Rabu, Mei 28, 2008

Mengkritisi BLT Melalui Pengalaman Jakarta

BLT, Pembiusan dan Pembodohan Rakyat
Oleh: Azas Tigor Nainggolan


“Kok yang dapat BLT (Bantuan Langsung Tunai) malah orang yang isterinya dua? Orang yang seharusnya mendapatkan bantuan karena miskin justru tidak dapat kupon BLT. Dua kali ada program BLT keluarga tersebut tidak mendapatkan bantuan BLT.” keluh seorang warga sebuah pemukiman di Jakarta Timur. Warga tersebut kesal sekali dengan kenyataan yang didapatkannya berkaitan dengan pembagian kupon BLT pada Jumat 23 Mei 2008 lalu menjelang dinaikkannya lagi harga BBM. Pemerintah umumkan bahwa pembagian BLT akan dilakukan kembali sebagai ganti subsidi atas kenaikan harga BBM. Pengumuman ini memunculkan berbagai reaksi publik. Dalam rangka upaya merekam dan menginvestigasi sikap masyarakat serta reaksi atas penyaluran BLT, sejak 22 Mei 2008 hingga 26 Mei 2008, Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) melakukan survey kecil bersama warga untuk mengkritisi program BLT di Jakarta. Survey tersebut dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan atau kuesioner dan membentuk sebuah tim kecil peneliti yang beranggotakan warga Jakarta dari 5 wilayah kota Jakarta, yakni Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.

Setiap anggota tim melakukan investigasi langsung di wilayah RT tempat tinggalnya dan mewawancarai Ketua RT atau Tokoh Masyarakatnya. Secara keseluruhan semua kuesioner yang disebar dan diisi oleh oleh 30 anggota Tim kembali semuanya ke kantor FAKTA. Dalam jawaban pertanyaan tentang data yang dipakai pemerintah dalam menyalurkan BLT, 100% jawaban mengatakan bahwa data yang dipakai adalah data BLT tahun 2005 tanpa perubahan dan tanpa adanya survey ulang. Hampir semua RT yang disurvey warganya menerima BLT. Hanya satu komunitas yang tidak satu pun warganya menerima BLT yakni di RT 07 RW 06 Kelurahan Cempaka Putih Jakarta Pusat seperti halnya pada tahun 2005 lalu.

Hasil survey juga menunjukkan bahwa sebelumnya memang tidak ada penjelasan substansial tentang rencana penyaluran kembali dana BLT. Hasil survey menunjukkan12 RT yang sama sekali tidak ada penjelasan dari pihak Kelurahan atau RW tentang rencana program BLT. Sisanya sebanyak 18 RT ada penjelasan yang dilakukan oleh pihak Kelurahan dan Ketua RW setempat. Isi penjelasan yang disampaikan tidak substansial hanya menjelasakan bahwa akan ada kembali penyaluran BLT karena kenaikan harga BBM dan penerimanya sama dengan tahun 2005. Temuan di lapangan juga menunjukkan bahwa tidak ada survey ulang terhadap penerima BLT untuk tahun 2008 ini. Para Ketua RT juga mengungkapkan bahwa seharusnya pemerintah setelah menyalurkan BLT tahun 2005 melakukan evaluasi lebih dulu. Evaluasi ini diperlukan karena menurut Ketua RT penerima atau penyaluran BLT tidak sesuai dengan kebutuhan jumlah keluarga atau rumah tangga miskin sesungguhnya.

Secara khusus juga dalam jawaban kuesioner, para Ketua RT mengkritisi bahwa seharusnya juga pemerintah mengevaluasi BLT dan pemanfaatannya serta kegunaannya bagi rumah tangga miskin. Sebanyak 26 Ketua RT berpendapat bahwa BLT itu kurang tepat, tidak ada gunanya dan sebaiknya dihentikan saja diganti dengan program lain yang lebih tepat sasaran bagi pemberdayaan warga yang miskin. Penyaluran yang tidak merata dan tidak sesuai dengan angka kebutuhan rumah miskin ini menimbulkan perpecahan dan kecemburuan di tingkat warga. Hal ini menyebabkan para ketua RT bingung dan tidak tega dengan warga miskin tetapi tidak mendapatkan BLT. Cara pendataan yang tidak melibatkan pihak RT setempat dalam pendataan calon penerima BLT ini juga dikiritik seluruh Ketua RT yang disurvey. Menurut mereka dikatakan bahwa yang mengetahui kondisi lapangan, siapa yang miskin adalah Ketua RTnya bukan orang lain.

Hasil survey juga mengungkap bahwa penjelasan yang yang tidak substansial itu pun dilakukan terburu-buru dan terkesan asal jalan. Penjelasan baru dilaksanakan pada 2 hari atau 1 hari sebelum kupon BLT dibagikan. Bila dikaitkan antara pendataan yang dilakukan bukan oleh RT setempat dan penerimanya jauh di bawah jumlah yang rumah tangga miskin dengan penjelasan tidak substansial yang asal jalan, program penyaluran terburu-buru, baik pada tahun 2005 maupun 2008. Kondisi ini menunjukkan bahwa memang benar program BLT adalah program asal mengahbiskan uang APBN atas dalih penyaluran subsidi. Sudah ada target uang yang harus dihabiskan atau disalurkan, lalu dihitung peluang kemungkinan jumlah yang akan diberikan sebagai BLT per rumah tangga. Agar jumlah rumah tangga miskin penerima tidak berlebihan dan dananya tidak kurang maka dibuatlah kriteria asal-asalan. Akibatnya terjadi kekacauan dalam menentukan rumah tangga miskin penerima BLT. Jumlah penerimanya sangat sedikit dan jauh dari kenyataan kebutuhan lapangan. Kekacauan lainnya adalah jumlah nominal BLT yang diberikan tahun 2005 sama dengan 2008 padahal nilai kemahalan kebutuhan sehari-hari rakyat sudah bertambah tinggi. Surveynya pun yang melakukan bukan dan tidak melibatkan Ketua RT agar jumlah penerima tidak lebih besar dari yang sudah direncakan pemerintah pusat.

Berangkat dari temuan dan analisa tersebut di atas memang benar-benar terbukti bahwa program BLT bukanlah bantuan untuk memberdayakan masyarakat miskin. BLT sekedar alat kampanye pemerintah yang telah gagal dan tidak mau berpihak pada rakyatnyanya sendiri. Bagi pemerintah lebih baik repot dan keluar uang besar untuk membangun citra positif dirinya serta kekuasannya dari pada membangun kesejahteraan rakyatnya sendiri. Sebenarnya banyak program atau kebijakan yang dapat dilakukan (kalau mau) pemerintah untuk mensejahterakan rakyat tanpa menghamburkan uang yang sangat besar tetapi tidak berguna seperti program BLT. Misalnya saja dengan kebijakan yang sifatnya mengurangi beban hidup atau beban ekonomi rakyat dilakukan dengan membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Birokrasinya ramah, tidak memeras rakyat, tidak mahal dan tidak korup serta profesional berkeadilan dan melindungi hak-hak dasar ralyatnya. Maka hentikan membohongi dan membius rakyat dengan BLT sekarang juga. Jangan ulangi lagi program-program pembiusan kepada rakyat seperti program BLT atau lainnya. Turunkan harga-harga kebutuhan pokok dan bangun kebijakan yang pro rakyat. Kami butuh presiden yang pro rakyat bukan produser kaset.



Jakarta, 28 Mei 2008
Penulis adalah Seorang Advokat di Kantor Hukum TMA dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA). Dapat dihubungi melalui HP; 08159977041 atau email: azastigor@yahoo.com dan blog: www.azastigornainggolan.blogspot.com

Tidak ada komentar: