Senin, April 27, 2009

Awas Bahaya Laten Orde Baru

Kiriman seorang teman jurnalis KBR 68H untuk anggota Jaringan Green Radio, baik sekali menjadi masukan untuk kita yang akan memilih presiden di pilpres 8 juni 2009 mendatang

Sikap Redaksi KBR68H
Ditulis : Santoso

Bagi anda pengguna facebook, pekan ini mungkin akan menemui gejala berbeda. Ada banyak teman anda yang tiba-tiba memasang gambar profil serupa. Dan gambar itu, sama sekali bukan wajah mereka. Orang-orang kini memasang poster merah, bertuliskan Awas. Pembunuh di Sekitar Kita . Facebook bukan sekedar sarana nampang, atau bergaul sesama teman. Tetapi juga media kampanye.

Awas. Pembunuh di Sekitar Kita. Pesan itu bukan untuk menakuti Anda tentang meningkatnya kriminalitas di sekitar rumah. Tetapi, pesan supaya kita waspada tentang kembalinya tokoh politik yang di masa lalu banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Pesan itu menjadi lebih jelas, kalau kita perhatikan tulisan lebih kecil di bawahnya, Kita ingat mereka yang diculik dan dibunuh

Riwayat Orde Soeharto memang penuh dengan pelanggaran HAM. Di akhir masa kekuasaannya, penculikan mahasiswa dan aktifis pro demokrasi marak terjadi. Dua puluh dua orang hilang diculik, hanya sembilan yang kembali dalam keadaan hidup. Besar kemungkinan korban yang lain itu sudah meninggal. Mungkin sengaja dibunuh untuk melenyapkan bukti-bukti. Peristiwa penculikan itu, menyeret sejumlah anggota Kopasus ke pengadilan.

Sampai sekarang orang orang seperti Widji Tukul atau Herman Hendrawan, tidak jelas keberadaannya. Tim Mawar, pelaku penculikan, memang sudah diadili. Tetapi pertanggung-jawaban politik yang lebih tinggi, tak efektif berjalan. Prabowo sempat dipecat dan karir militernya terhenti. Tetapi, ia tak pernah diadili. Sekarang dia bisa membangun partai dan memperoleh dukungan suara lumayan. Dengan bekal dana yang sangat besar, Prabowo kemungkinan juga akan menjadi calon wakil presiden yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Paket Mega-Prabowo, dianggap bisa menandingi popularitas SBY yang sampai sekarang belum menentukan calon wakil presidennya.

Inilah dilema transisi demokrasi yang tidak menyelesaikan masa lalunya dengan baik. Berbeda dengan Afrika Selatan yang tegas membuat rekonsiliasi nasional, kita membiarkan masa lalu mengendap sendiri. Tanpa penyelesaian. Dan sekarang, kita dikejutkan oleh munculnya tokoh masa lalu, seperti Prabowo dan Wiranto. Sebuah gejala yang secara hukum tak bisa diabaikan lagi. Karena partai mereka dipilih oleh rakyat, dan kemungkinan besar akan berkiprah di parlemen.

Kita paham maksud orang orang memasang profil serupa di facebook mereka. Meski secara hukum semua orang punya hak politik yang sama, kita perlu ingat masa lalu tokoh- tokoh yang sekarang tampil di publik dan berniat duduk di kekuasaan.

Kita ingat mereka yang diculik dan dibunuh.

Minggu, April 12, 2009

Bunga Kejujuran

Bunga Sang Kaisar

Pada suatu waktu di Cina hiduplah seorang pria muda bernama Chang. Ia cerdas dan tulus. Lebih dari segalanya, ia mencintai bunga. Tidak ada yang lebih menyenangkannya daripada melihat bunga lilac, lili, dan peony ketika mereka mekar di musim semi. Di musim dingin ia menanti-nantikan munculnya bunga narcissus yang indah. Ia tidak bisa memilih sebuah bunga favorit, karena ia menyukai bunga morning glory dan evening glory, bunga delima, bunga peach, dan bunga teratai yang mengapung di kolam. Ia menikmati bunga mawar yang wangi, seruni yang kokoh, dan dahlia yang menakjubkan.

Chang mengagumi kaisar karena ia pernah mendengar bahwa kaisar juga mencintai bunga dan mengawasi kebun indah di taman istana.

Sekarang kaisar sudah berusia lanjut. Ia tidak mempunyai putera, sehingga ia tidak mempunyai calon penggantinya. Selama bertahun-tahun ia memikirkan cara memilih seorang pria yang bisa ia angkat sebagai kaisar berikutnya. Kemudian, pada suatu hari di awal musim semi ketika ia berjalan-jalan di tamannya, ia mendapat gagasan yang sangat bagus.

Hari berikutnya, kaisar mengumumkan kepada semua pria muda di negeri itu bahwa di akhir minggu ia akan memberikan biji-biji kepada siapapun yang ingin menanam bunga. Kaisar mengatakan, "Siapapun yang menumbuhkan bunga terindah yang dibawa ke hadapanku akan menjadi penggantiku."

Ketika Chang mendengar berita itu, ia mengisi sebuah pot biru terang dengan lumut dan kompos, tanah subur dan pasir. Puas bahwa tanahnya subur dan lembab, ia membawanya ke istana. Di sana ia berdiri di dalam antrian bersama ratusan orang lain. Setiap pria muda memegang sebuah pot: ada yang besar, ada yang kecil, ada yang bulat, ada yang tinggi, ada yang ramping. Setiap orang menerima sebuah biji dari tangan kaisar sendiri.

Chang menekan biji itu ke dalam tanah di pot dan dengan berhati-hati menutupnya dengan kain tipis untuk menjaganya agar tetap hangat. Kemudian ia bergegas pulang.

Di rumah, Chang memelihara biji dari kaisar itu dengan pengabdian yang sama seperti yang ia berikan ke semua tanamannya. Ia berhati-hati untuk tidak memberi terlalu banyak atau terlalu sedikit air. Pada saat yang tepat ia memberi pupuk, dan sangat berhati-hati dalam melindunginya dari serangga, debu dan jamur, seperti semua tanaman lainnya.

Berbulan-bulan berlalu, tanaman lainnya telah menembus tanah dan mulai tumbuh, tetapi Chang kecewa karena tida ada tunas yang tumbuh di pot birunya. "Ini aneh," katanya. "Mungkin biji ini tidak membutuhkan banyak matahari." Jadi, ia memindahkan pot ke ruangan lain, tetapi juga tidak terjadi apapun. "Mungkin ruangan ini terlalu dingin," katanya, dan ia memindahkan pot birunya ke ruangan yang lebih hangat. Masih juga tak terjadi apapun.

Sekarang waktu untuk menghadap kaisar sudah mendekat, dan pot biru Chang masih kosong. Setiap kali memandanginya, ia dipenuhi rasa putus asa. "Apa yang salah?" pikirnya. Ia mengunjungi setiap ahli perkebunan yang ia kenal, dan kepada setiap orang menceritakan kisah bijinya. Mereka semua menggelengkan kepala. Tak ada yang tahu dimana letak kesalahannya.

Beberapa orang mengatakan bahwa jelas ia tidak dimaksudkan untuk menjadi kaisar. Beberapa orang lainnya mengatakan ia harus menambah tanah, atau menambah air, atau mengurangi pupuk. Beberapa orang lain mengatakan untuk melupakan keinginannya menjadi kaisar.

Tetapi orang tua Chang mendengarkan kekuatiran anaknya dan hanya tersenyum. "Jangan kuatir, nak. Kamu sudah melakukan hal yang terbaik," kata orang tua yang bijaksana itu. "Hanya itu yang dapat kau lakukan."

"Tetapi aku telah gagal," keluh Chang ketika memandangi tanah kosong di potnya. "Sudah waktunya untuk menemui kaisar, dan aku sudah mengecewakannya."

"Katakan saja apa yang telah terjadi," kata ayahnya. "Kewajibanmu hanyalah mengatakan kebenaran."

Pada hari yang telah ditentukan beberapa waktu kemudian, dengan hati putus asa karena kecewa, Chang berjalan ke istana. Ketika tiba, air matanya mengalir, karena di depannya, lautan pria muda berdiri, masing-masing memegang bunga yang lebih indah dari pada orang di depannya. Bunga-bunga anggrek yang anggun, bunga lili yang halus, bunga peony yang berwarna-warni. Pemiliknya memeganginya dengan bangga. "Lihat punyaku!" teriak mereka sambil memegangi tanamannya tinggi-tinggi ketika kaisar berjalan melewati kerumunan. Ia mengangguk senang sambil berlalu, memperhatikan bunga bell, bunga forget-me-not, bunga foxglove, bunga dari setiap warna pelangi.

Chang belum pernah melihat pemandangan yang begitu indah, dan kesedihannya menguap untuk sementara waktu ketika ia menghirup aroma bunga-bungaan dan mengagumi ukuran dan bentuk bervariasi dari bunga-bunga itu.

Akhirnya kaisar sampai juga di hadapan Chang. Chang membungkukkan kepalanya. "Di mana bungamu, pria muda?" tanya kaisar.

Chang melihat cahaya di mata kaisar yang membuatnya terkejut. "Baginda, hamba telah mengecewakan baginda," katanya dengan sedih. "Hamba telah merawat biji yang baginda berikan, tetapi seperti baginda lihat, hamba tak mampu menumbuhkan bunga untuk baginda. Hamba berharap baginda memaafkan hamba."

Tetapi wajah kaisar bersinar dengan senyum yang lebih cerah dari pada semua bunga yang ada di sekelilingnya. "Kamulah penggantiku," kata kaisar menggenggam tangan Chang.

"Tetapi, baginda, hamba adalah satu-satunya orang yang gagal,"

Kaisar menggelengkan kepalanya. "Sebaliknya," jelasnya, "kamu tahu, aku telah merebus biji-biji ini sebelum aku membagikannya. Tidak satupun dari biji-biji itu yang akan tumbuh, tetapi semua orang muda lain begitu menginginkan kedudukanku sehingga mereka hanya ingin menyenangkan aku dengan keindahan bunga mereka dan dengan demikian mereka berharap mendapatkan tahtaku. Mereka tidak peduli pada kejujuran, pada kebenaran. Hanya kamu yang telah membuktikan bahwa kamu adalah pemimpin yang layak."

Dan begitulah, pria muda dengan pot kosong itu menjadi pengganti kaisar Cina.

Tuhan bergaul karib dengan orang jujur. . . .




Sumber: Media Kawasa

Selasa, April 07, 2009

Buddha Bar

Cagar Budaya itu bernama Buddha Bar
Oleh: Azas Tigor Nainggolan



Rupanya kontroversi masalah cafe Buddha Bar Jakarta yang menghebohkan itu ternyata belum juga hilang. Masih bertahannya isu ini dapat dilihat di beberapa jaringan internet beredar email (surat elektronik) tentang masalah cafe yang menempati gedung eks kantor Imigrasi. Dulu gedung ini dikenal sebagai Gedung Kunstkring terletak di daerah permukiman Menteng dan sempat dijual ke pihak swasta. Rencananya setelah dibeli kembali akan dijadikan sebagai bangunan cagar budaya. Email-email itu menyebutkan bahwa gedung eks kantor Imigrasi sempat dibeli oleh perusahaannya Tommy Soeharto. Banyak pihak yang mempertanyaan saat itu, kenapa gedung eks Imigrasi itu bisa dibeli perusahaan Tommy Soeharto? Akhirnya pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta saat itu didorong oleh publik untuk membeli kembali gedung Kunstkring agar bisa diselamatkan sebagai bangunan cagar budaya.

Bagian akhir salah satu email juga mempertanyakan, mengapa gedung tua tersebut setelah dibeli dari perusahaannya Tommy Soeharto dan direnovasi dengan uang warga Jakarta tetapi digunakan oleh swasta? Ditanyakan pula bahwa mengapa peruntukannya bukan sebagai cagar budaya? Sebagaimana diberitakan banyak media massa beberapa waktu lalu, gedung Kunstkring yang terletak di jalan Cut Nya Dien, Teuku Umar Jakarta Pusat direnovasi dan digunakan sebagai Cafe Buddha Bar. Sebenarnya pada tahun 1993 gedung eks kantor Imigrasi ini sempat dihargai Rp 9 miliar dan ditukar guling (ruilslag) dengan sebuah gedung kepunyaan PT Mandala Griya Cipta milik Tommy Soeharto (Koran Warta Kota, 22 November 2008). Selanjutnya sebagai gantinya, Departemen Kehakiman mendapatkan kantor baru di daerah Kemayoran Jakarta Pusat. Namun kemudian pada sekitar tahun 1999, kondisi bangunan yang dilindungi dan berklasifikasi A ini berantakan. Kusen, daun pintu dan jendela lenyap. Pagar seng menutupi sekeliling bangunan. Tahun 2002, Pemprov DKI membeli gedung ini kembali. Setahun kemudian diadakan sayembara konsep pemanfaatan gedung Kunstkring ini dan kemudian pemugaran dimulai.

Rencana awal Pemprov Jakarta ketika itu bersama komunitas warga pecinta bangunan tua, akan menjadikan gedung Kunstkring sebagai ruang publik untuk berkesenian dan berkebudayaan. Data mencatat bahwa Dastin Hillery, Suci Mayang Sari, dan Agus Surja Sadana, tercatat sebagai tiga pemenang sayembara konsep penggunaan dan pengelolaan bangunan cagar budaya gedung Kunstkring. Dastin, juara pertama, mengusulkan agar gedung Kunstkring digunakan sebagai pengembangan seni dan budaya di Jakarta seperti fungsi masa lalu. Ruang bagian lantai dasar dari gedung berlantai dua diusulkan sebagai ruang pamer utama. Lantai dua digunakan sebagai ruangan untuk kuliah umum, bincang-bincang, diskusi serta toko buku seni dan arsitektur. Sementara itu Mayang Sari, juara kedua, mengusulkan agar gedung itu digunakan untuk kepentingan komunitas seni arsitektur Jakarta. Sementara Agus Sadana, juara tiga, mengusulkan agar gedung dimanfaatkan sebagai resto bernuansa tempo dulu.

Usulan pemenang pertama, Dastin Hillery ini sesuai dengan sejarah keberadaan gedung Kunstkring yang dituliskan oleh Adolf Heuken dalam bukunya yang berjudul Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia. Dalam bukunya itu, Adolf Heuken menuliskan bahwa gedung dengan dua menara tersebut merupakan awal sejarah arsitektur Indonesia. Semula gedung itu milik Nederlandsch Indische Kunstkring (Lingkar Seni Hindia Belanda), sebuah perkumpulan (kelompok) yang membangkitkan apresiasi warga Batavia terhadap seni dan budaya. Gedung dibangun tahun 1913 di atas sebidang tanah sumbangan NV De Bouwpleg pada tahun 1912. Adolf Heuken dalam bukunya itu juga menuliskan bahwa di gedung Kunstkring sering diadakan pameran lukisan, pertunjukan musik dan ceramah. Bertempat di gedung bersejarahnya ini juga pernah ada sebuah perpustakaan berisi buku tentang kesenian. Begitu pula pada tahun 1936 di gedung ini pernah dibuka pameran lukisan karya van Gogh dan Picasso yang dipinjam dari museum di Eropa serta lukisan tentang Oud Batavia.

Sejarah panjang berkesenian dan berkebudayaan gedung ini seakan tidak memiliki pengaruh. Belakangan terdengar gedung Kunstkring rancangan PAJ Moojen ini telah disewa menjadi cafe Buddha Bar. Cafe yang dibawa oleh Raymond Visan dari Perancis ini pengelolaannya dipegang PT Nireta Vista Creative (PT NVC) selama lima tahun. Sewa menyewa seperti ini merupakan baru kali pertama dilakukan terhadap sebuah bangunan cagar budaya yang dipugar kemudian difungsikan kembali dan dikelola oleh pihak swasta. Pihak swasta yang mengelola cafe Buddha Bar ini kepada Pemprov DKI yang masih menjadi pemilik sah gedung itu selama lima tahun dengan nilai sekitar Rp 4 miliar atau Rp 800 juta/tahun. Menyewakan gedung dan mengganti peruntukannya secara bertentangan dengan tujuan atau eksistensi sebagai cagar budaya adalah sebuah pelanggaran hukum.

Pelanggaran itu jelas terlihat, membeli atau mengambil alih dari pihak swasta yang sebelumnya membelinya (PT Mandala Griya Cipta ) dengan uang warga dari APBD dan atas nama penyelamatan cagar budaya. Terdapat sebuah permainan lucu (jika tidak mau mengatakannya sebagai penggelapan uang APBD Jakarta) dalam penguasaan gedung Kunstkring. Akhirnya menyewakannya menjadi sebuah cafe yang tidak ada hubungannya dengan pengelolaan sebuah cagar budaya. Padahal penguasaan kembali, membeli kembali, membuat sayembara dan merenovasi gedung Kunstkring menggunakan uang dari APBD Jakarta atas nama kepentingan cagar budaya. Justru gedung yang bersejarah itu akhirnya hanya dijadikan tempat dugem (hiburan) atau sejenisnya, sebagai sebuah cafe semata.

Jika memang peruntukan menjadi Buddha Bar tidak sesuai dengan peruntukan awal maka perlu ada tindakan publik dari arga Jakarta pemerhati cagar budaya agar gedung Kunstkring kembali menjadi cagar budaya. Tindakan yang dapat dilakukan, pertama adalah mempertanyakan perubahan tersebut kepada Pemprov Jakarta. Tindakan kedua yang dapat dilakukan kemudian adalah membawa persoalan ini ke pengadilan dengan gugatan publik secara Class Action atau Legal Standing atau Citizen Lawsuit. Perubahan yang sangat bertolak belakang itu menunjukkan adanya indikasi (kemungkinan) penyelewengan (praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau KKN) dalam penyewaan Kunstkring kepada pihak swasta. Ketika pembelian kembali gedung Kunstkring pada tahun 2002 dari PT Mandala Griya Cipta oleh Pemprov Jakarta (saat itu gubernurnya Sutiyoso). Beredar informasi bahwa pemegang saham pengelola Buddha Bar di Jakarta ini adalah orang-orang yang dekat dengan Sutiyoso yakni Reni (putri Sutiyoso), Puan Maharani (putri Megawati dan Djan Faridz. Informasi ini bisa diklarifikasi dengan melihat akta pendirian badan usaha perusahaan pengelolanya.

Reni Sutiyoso dan Puan Maharani memang sudah mengklarifikasi bahwa mereka bukan bukan pemegang saham cafe Buddha Bar Jakarta. Tetapi mereka perlu membuktikan klarifikasi tersebut dengan menujukkan akta badan hukum perusahaan pengelola Buddha Bar Jakarta. Jika memang ada nama-nama tersebut di atas sebagai pemegang saham maka sudah sangat jelas permainan KKNnya dalam pengelolaan gedung Kunstkring menjadi cagar budaya Buddha Bar ini. Artinya ada upaya terselubung penyelewengan dilakukan untuk kepentingan pribadi atau sekelompok orang termasuk di dalamnya adalah Sutiyoso sendiri. Masalah penyimpangan ini merupakan salah satu bentuk parktek KKN, memperkaya diri sendiri juga orang lain yang dikagorikan tindak pidana korupsi. Proses dan indikasi tersebut dapat dijadikan informasi awal untuk publik melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Upaya ini tidak lain adalah untuk mengembalikan peruntukan gedung Kunstkring sebagai cagar budaya bukan tempat dugem atau cafe.




Jakarta, 1 April 2009
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) dan seorang Advokat Publik bagi Warga Miskin di Jakarta, tinggal di Jakarta. Kontak: 08159977041, email: azastigor@yahoo.com, blog: www.azastigornainggolan.blogspot.com

Minggu, April 05, 2009

Orang Batak

Alboin Sitorus dan "Anak Nanimiahan"
Tulisan : Suhunan Situmorang, awal April 2009



SAMA sekali aku tak mengenal dirinya. Peristiwa yang menimpanya pun aku tahu dari sebuah koran langganan pada pagi dua hari lalu. Lelaki 43 tahun itu, diberitakan meninggal dunia saat mengemudi bus Transjakarta di lintasan Jalan Sudirman. Ia tiba-tiba terduduk lemas saat menyetir dan bus yang dikemudikannya sempat oleng ke kiri dan kanan jalan—membuat puluhan penumpang keheranan dan cemas. Diduga kuat, tiba-tiba ia diserang penyakit jantung.

Kematiannya itu, walau tak seorang pun yang menyangka dan tentu saja telah menyebabkan duka yang amat dalam bagi orang-orang terdekatnya, termasuk kematian yang "normal" sebetulnya. Kebetulan saja terjadi pada seorang pengendara kendaraan umum di jalan raya utama Jakarta yang pagi itu telah disesaki berbagai jenis kendaraan dan manusia pekerja.

Kemungkinan besar, ia memiliki istri dan anak. Tapi, mungkin pula tak. Bisa jadi pula, ayah-ibunya masih ada, entah di mana. Yang dikutip media, hanya suara seorang abang kandungnya di RS Cikini: almarhum Alboin Sitorus, sopir bus yang wafat saat bertugas itu, sebelumnya tak pernah mengeluh atau diketahui mengidap gangguan jantung.

Aku mendesahkan nafas panjang seusai membaca, lalu berpindah ke judul-judul berita lain. Alboin, ternyata, terus mengikuti pikiranku. Coba kualihkan dengan melihat judul berita terdepan sebuah koran lain yang kubeli di persimpangan jalan saat mengantar anak sulungku ke sekolah, dan kemudian berpindah ke halaman dalam.

Ditulis koran itu, Presiden SBY menyesalkan sikap seorang anggota DPR yang juga caleg Partai Demokrat karena tak memenuhi panggilan KPK. Keterangan sang caleg diperlukan KPK untuk membongkar siapa saja pihak yang terlibat kasus korupsi untuk pembangunan infrastruktur perhubungan di wilayah Indonesia Timur—di mana dua pelakunya telah ditangkap petugas KPK (juga) di sisi Jalan Sudirman saat transaksi.

Anggota DPR bernisial JAM yang tengah disorot itu, aku kenal betul. Ia teman sekampung, bahkan sempat satu SD denganku di Pangururan. Memang, di antara puluhan teman dekat asal Pangururan yang kini tersebar di berbagai wilayah, ia tak termasuk. Terakhir kami jumpa dan cuma saling melempar senyum pada akhir Desember 2001, tatkala jalan raya menuju lokasi wisata Aek Rangat Pangururan mendadak macet disebabkan membludaknya pengunjung. Kendaraan kami masing-masing terjebak dan akhirnya sama-sama turun mengatur lalu-lintas yang cukup mendebarkan karena sisi jalan yang sempit bersisian dengan Danau Toba—yang bila terpeleset sedikit akan berguling belasan meter ke bawah.

***
ALBOIN dan JAM, tentulah sama-sama pekerja keras di Jakarta, walau derajat profesi mereka berbeda bagai bumi dan langit. Juga sama-sama andalan keluarga mereka, dengan porsi dan ekspektasi yang tak sama. Yang satu harus lebih keras berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat marjinal, sementara yang satu lagi gigih bergiat untuk menambah pundi-pundi keuangan yang tentulah sudah banyak. Alboin (dan keluarganya) hanya bisa mengagumi kemilau Jakarta dari pinggiran, sementara JAM (serta keluarganya) sudah terbiasa ”dinner” di hotel bintang lima dan belanja di mall-mall mahal.

Sebagai manusia-manusia Batak diaspora, semangat dan impian mereka, pastilah tak jauh beda. Jakarta harus ditaklukkan dengan segala upaya, keberhasilan mesti direngkuh untuk kehidupan yang lebih indah. Perantauan ke tanah Jawa, bukanlah sekadar penggantian bumi pijakan. Ada harapan besar yang terus dibangun, ada sejumlah impian yang terus mengembang.

Tapi, nasib seseorang, tak seorangpun yang bisa menentukan. Alboin dan JAM yang merantau dengan bekal doa yang sama banyak, juga semangat dan harap yang pastilah sama besar, akhirnya berselisih jalan hidup. Alboin tertatih-tatih menelusuri jalan yang penuh rintangan, JAM melangkah mulus di jalan yang cuma berkerikil. Setamat kuliah di IPB Bogor, JAM menjadi dokter hewan dan kemudian meniti karir di KB Ragunan (jabatan terakhir: direktur). Ia terjun ke politik setelah era reformasi membuka kemudahan bagi siapa saja menjadi penggiat partai di negeri ini. Sejak 2004, namanya tercatat sebagai anggota legislator dan akses ke pusaran kekuasaan pun menjadi mudah ia terobos—apalagi partai pilihannya mampu melahirkan seorang eks menteri menjadi Presiden RI.

JAM termasuk cerdik dan ditopang peruntungan. Begitu banyak sarjana di negeri ini, begitu banyak pula yang telah menghabiskan ratusan juta dan bahkan milyar rupiah untuk menjadi legislator, tapi tak berhasil. Aku bahkan mengetahui seorang praktisi hukum yang sebelumnya kaya raya namun akhirnya merana setelah tak terpilih jadi anggota DPR, sementara uangnya sudah banyak ludas untuk membangun karir politiknya di sebuah parpol yang tengah naik daun.

Nasib dan peruntungan seseorang, memang begitu misterius. Putra-putri dan cucu-cucu Soeharto, misalnya, tak perlu berlelah-lelah, nyatanya bisa menjadi orang-orang super kaya di negara ini. Para pemulung di Bantar Gebang pastilah sering memimpikan kehidupan lain yang terjauh dari sergapan bau sengit ribuan ton sampah yang menyesakkan dada namun tiap hari harus terus mengais-ngais sampah demi sepiring nasi, dan hingga umur mereka berujung pun tetap berkutat di situ.

***
ORANG Batak mengenal istilah ”anak nanimiahan” atau yang dilimpahi berkat (harta dan kuasa), sementara orang-orang yang sepanjang hidupnya terkurung nestapa kemiskinan—padahal sudah bekerja keras siang malam—hanya bisa mempertahankan angan-angan dan kadang sudah dilupakan orang-orang di sekitar mereka sebab dianggap ”bukan siapa-siapa.”

Memang, kecuali Tuhan, siapapun tak kuasa mengetahui nasib seseorang secara akurat, sehingga tak ada jaminan bahwa atas tindakan-tindakan yang telah dan atau ditempuh seseorang, ia akan terpilih menjadi ”anak nanimiahan.” Kehidupan dan nasib seseorang, terlalu pekat diselubungi kabut ketidaktahuan—dan karena itulah kehidupan yang paling susah pun masih tetap menyisakan gairah dan harapan.

Sayangnya, untuk menjadi ”nanimiahan” dan menggapai puja-puji itu, orang-orang jadi kerap mengabaikan makna kehidupan dan keberartian diri, kemudian tergoda melakukan apa saja untuk mempertahankan yang sudah diraih atau hendak dicapai. Orang-orang pun kian tak peduli lagi menyoal dari manakah sumber kemakmuran seseorang dan seakan-akan yang terutama adalah: seberapa besar keberhasilannya, yang ironisnya lebih menitikberatkan timbangan atas kepemilikan materi atau jabatan daripada cara atau perjuangannya untuk mendapatkan.

Siapapun tak bisa menafikan pentingnya harta dan kuasa. Tapi, akan sangat mengerikan akibatnya bila untuk mendapatkan keduanya kita sudi melakukan apa saja dan mengamini segala cara—termasuk perbuatan yang paling nista. Siapapun ia taklah mungkin menyangkal perlunya uang dan materi, bahkan seorang pertapa pun masih tetap butuh dana untuk membeli keperluan tapa semisal dupa dan wewangian.

***
DI jalan yang berbeda dan nasib yang tak sama, Alboin dan JAM sudah berusaha keras untuk menggapai impian dan ambisi mereka. Alboin, memang masih terus berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan primer diri atau keluarganya, sebagaimana perjuangan puluhan juta orang seperti dirinya; sementara JAM telah melambung tinggi dan tiba di lingkaran kaum elite yang hanya nol koma sekian persen dari keseluruhan penduduk Indonesia.

Tapi Alboin, betapapun mungkin memiliki kepribadian yang baik dan selama hidupnya berupaya melakukan perbuatan yang terpuji, pastilah belum pernah mendapat julukan ”anak nanimiahan” itu. Ia pun mungkin jarang diharapkan kedatangannya dalam hajatan-hajatan adat dan marga dan termasuk orang-orang yang dilupakan.

Begitupun, ketika kabar kematiannya saat menjalankan tugas mengemudi bus Transjakarta dimuat koran-koran Jakarta, ada yang langsung membekas di pikiranku: ia mati secara terhormat. Telah ia antar dan jemput ribuan atau puluhan ribu orang Jakarta mencari nafkah, di tengah kelelahan, tuntutan pemenuhan nafkah, dan sejumlah pikiran yang membebaninya. Meski ”cuma” sopir buskota, aku mengagumi dirinya.

Karenanya, bagiku, ia pun layak mendapat julukan ”anak nanimiahan” itu, sebab telah terpilih sebagai pengemudi bus Transjakarta yang seleksinya terbilang ketat, sudah menjalankan pekerjaannya dengan profesional, dan setidaknya, hingga hayatnya berakhir, tak ikut mengisi halaman media-media cetak Jakarta dengan perbuatan yang memalukan orang Batak.

Aku turut berduka atas kepergiannya, sebagaimana orang-orang yang amat mengasihinya.***

Kamis, April 02, 2009

Mengelola Parkir Jakarta

Menjadikan Parkir untuk Mengelola Kebutuhan Transportasi
Oleh: Azas Tigor Nainggolan


Masalah pengelolaan parkir di Jakarta terus saja menuai kritik warga. Ada saja masalahnya, mulai dari kenyamanan, prinsip parkir hingga pada pengelolaan keuangan. Kritik warga itu beralasan, di depan mata dapat dilihat bahwa mengelola parkir tidak akan rugi. Tetapi pihak pengelola parkir, Badan Peneglola Perparkiran Jakarta (BP Parkir) setiap tahun berteriak rugi dalam mengelola parkir on street di Jakarta. “Ah mana mungkin rugi. Lihat saja tempat parkir di jalan-jalan terus penuh 24 jam. Kok teriak rugi?”, ungkap seorang warga Jakarta saat diminta pendapatnya tentang pengelolaan parkir di Jakarta. Sejak bulan Pebruari lalu pengelolaan parkir on street di Jakarta dialihkan dari Badan Pengelola Perparkiran Jakarta (BP Parkir) kepada Unit Pelayanan Tehnis Perparkiran (UPT Parkir). Saat di bawah BP Parkir pertanggung jawabannya langsung kepada Gubernur dan sekarang pengelolaannya diberikan kepada UPT Parkir di bawah pengelolaan Dinas Perhubungan Pemprov Jakarta. Perpindahan pengelolaan parkir ini di bawah UPT Parkir menjadikan jalan panjang pengelolaan parkir di Jakarta. Jauh sebelum pada masa penjajahan Belanda dulu di Jakarta telah ada pengelolaan parkir yang namanya Jaga Oto. Masa itu pengelolaan parkir lahir dan tumbuh secara swadaya dari warga lokal dan dikelola secara premanisme.


Pengelolaan secara premanisme itu dilakukan di bawah kekuasaan para Jawara yang merupakan orang kuat lokal hingga sekitar tahun 1950an. Para juru parkir (Jukir) dipaksa menyetor sejumlah uang tertentu sesuai kemauan para jawara. Penghitungamn setoran tersebut tidak memiliki sistem penghitungan tertentu tetapi hanya didasarkan penglihatan si jawara atas ramai atau tidaknya kendaraan yang parkir ketika itu setiap harinya. Mulai pada tahun 1955-1968 pengelolaan mulai diatur karena melihat potensi pendapatannya maka parkir dikelola oleh Dinas PU Propinsi DKI Jakarta. Penataan pengelolaan yang berdasarkan potensi pendapatan itu berjalan terus hingga akhirnya di bawah BP Parkir. Sejak tahun 1979 dibentuk Badan Pengelolaan Perparkiran (BP Perparkiran) berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 531 Tahun 1979 tentang Penetapan Badan Pengelola Perparkiran Pemerintah DKI Jakarta serta Susunan dan Tatakerjanya.


Pengelolaan parkir tersebutr akhirnya dipindahkan lagi dan tidak bertanggung jawab pada Gubenur tetapi pada Kepala Dinas Perhubungan dengan UPT Parkir sejak bulan Pebrurari 2008 lalu. Perpindahan ke bawah Dinas Perhubungan ini sebenarnya menandakan Pemprov Jakarta ingin pengelolaan parkir tidak hanya melihat potensi pendapatan semata tetapi juga sebagai bagian dari sistem transportasi. Rekomendasi penelitian parkir on street oleh Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) meminta agar pengelolaan parkir dipindahkan menjadi di bawah Dinas Perhubungan. Pemindahan ini diusulkan agar pengelolaan parkir tidak hanya untuk mendapatkan pemasukan anggaran saja tetapi juga bagian sistem transportasi.


Dalam rekomendasi itu juga dikatakan agar tujuannya tercapai maka pemindahan terlebih dahukan dengan pembicaraan bersama para kelompok atau instansi berkepentingan dengan pengelolaan parkir. Tidak seperti sekarang, Dinas Perhubungan sebagai pengelola dan membawahi UPT Parkir tidak pernah sekalipiun meminta ayau mengajak publik yang berkepentingan dengan pengelolaan parkir bicara. Sebenarnya hingga saat Paradigma pengelolaan parkir yang berkembang adalah pertama sebagai bagian dari sistem transportasi yakni untuk kepentingan mengelola kebutuhan tarnsportasi (Transport Demand Management atau TDM). Kedua sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) bisa dikombinasikan untuk pengelolaan kebutuhan transportasi transportasi (TDM). Ketiga adalah sebagai bagian dari management sistem public service yakni hanya menginginkan management fee saja bukan untuk cari untung.


Melihat perjalanan pengelolaan parkir yang ada hingga saat ini hanya bergerak pada satu sisi pemikiran yakni mengenjot pendapatan bagi kas daerah semata. Dilihat dari potensinya memang sebenarnya sektor perparkiran di Jakarta seharusnya dapat memberi kontribusi yang signifikan bagi sisi penerimaan di APBD Propinsi DKI Jakarta. Tetapi yang terjadi justru sektor ini tidak memberi kontribusi sama sekali. Bahkan dalam beberapa tahun terus menerus membebani APBD itu sendiri dari sisi belanja rutinnya. Lihat saja pendapatannya dari tahun 1999 hingga 2008 pengelolaan parkir on street terus ditomboki oleh ABPD setidaknya Rp 1 milyar hingga 4 milyar setiap tahun. Begitu pula dari pendapat restribusinya pendapatan pengelolaan parkir on street tidak pernah mencapai angka yang ditargetkan sendiri oleh pengelolanya. Melihat ditombokinya terus menerus pengelolaan parkir on street ini menunjukkan ada kerja yang yang tidak beres dan tidak sehat. Padahal dari sisi potensi dan peluangnya sebenarnya bisa memberi pendapatan yang besar bagi APBD.


Anggaran Pendapatan Restribusi dan Belanja Parkir Jakarta

Tahun Anggaran Retribusi Belanja Selisih
Target Realisasi Target Realisasi
1999/2000 7,578 5,566 10,760 9,853 - 4,623
2000 16,000 10,011 9,223 8,884 1,213
2001 14,000 14,106 13,798 11,875 2,244
2002 32,000 14,765 25,600 17,517 - 2,729
2003 32,000 15,464 20,000 15,797 - 329
2004 15,000 14,155 16,307 15,089 - 933
2005 20,000 14,4 17,708 - -
2006 20,5 14
2007 45,79 14
2008 20 18
Forum Warga Kota Jakarta (Fakta): dilolah dari berbagai sumber







Jika pengelolaan pendapatan saja sudah tidak beres, bagaimana dengan sisi parkir sebagai bagian sistem transportasi, yakni untuk mengelola kebutuhan kebutuhan transportasi (MKT)? Studi parkir yang telah penulis lakukan terhadap sejarah pengelolaan parkir Jakarta hingga saat ini belum pernah menempatkan visi pengelolaan parkir sebagai bagian dari sistem transportasi. Pengelolaan parkir sejak Jakarta tempo dulu sekitar tahun 1950an hingga sekarang dibawah sebuah institusi pengelolaan pemerintah daerah hanya terfokus pada sektor pendapatan atau restribusi saja. Terpakunya pada satu model pemikiran pendapatan itu terlihat dari perjalanan perubahan pengelolaan parkir yang hanya berdasarkan peningkatan pendapatan yang tidak pernah tercapai.

Perkembangan pemikiran mulai ada ketika pengelolaan parkir di bawah BP Parkir pada pada bulan Pebruari 2008 lalu di pindahkan menjadi Unit Pelayanan Tehnis (UPT) Perparkiran di bawah Dinas Perhubungan. Pemindahan yang dilakukan oleh gubernur menunjukkan adanya perubahan paradigma dalam pengelolaan parkir on street sebagai sumber pendapatan daerah dan bagian dari sistem transportasi. Sayangnya maksud dan pemikiran langkah gubernur tersebut tidak ditangkap baik oleh pejabat Dinas Perhubungan dan Kepala UPT Perparkiran yang sekarang. Para pejabat yang Dinas Perhubungan masih belum menyadari atau mungkin tidak menangkap maksud dan pemikiran gubernur agar parkir tidak hanya dikelola untuk pendapatan kas daerah tetapi juga sebagai bagian sistem transportasi. Pengelolaan parkir di bawah UPT Perpakiran yang sudah hampir setahun masih berkutat dan tidak jelas pendapatannya. Jangankan diharapkan bisa mendukung sistem transportasi, menghasilkan saja tidak dan selalu berteriak rugi.

Apabila memang mau menempatkan parkir sebagai bagian dari sistem transport maka pengelolaanya harus merupakan jawaban dari persoalan yang ada. Persoalan yang saat ini adalah untuk melakukan pengaturan sistem mengelola kebutuhan transportasi (MKT). Kebutuhan mengelola transportasi dalam hal bukanlah untuk mendapatkan uang dari pilihan solusi persoalannya yakni kemacetan karena penggunaan mobil pribadi yang berlebihan. Pengelolaan parkir yang benar seharusnya bisa untuk keduanya, yakni sebagai sumber pendapatkan kas daerah dan terutama juga untuk mengelola kebutuhan transportasi (TDM). Sebuah sistem TDM bertujuan untuk untuk menjawab soal kemacetan dan mengurangi penggunaan mobil pribadi. Sebenarnya banyak cara atau tindakan pilihan lain yang merupakan turunan dari TDM, misalnya saja adalah Road Pricing. Penerapan pembayaran pada jalan-jalan tertentu (Road Pricing) ini juga dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan atau masuknya mobil pribadi pada jalan tertentu yang seringkali macet.

Biasanya negara-negara atau kota-kota besar yang awalnya memiliki masalah dengan kemacetan akut (berat) seperti Jakarta memulai sistem TDMnya dengan pengaturan pembatasan ruang parkir bagi kendaraan bermotor pribadi seperti mobil pribadi. Setelah kebijakan TDM melalui penegakan kebijakan parkir ini berjalan kemudian dilanjutkan secara bersama dengan kebijakan Road Pricing. Perbaikan kebijakan parkir yang dilakukan adalah dengan membatasi ruang untuk parkir serta menerapkan tarif parkir mahal bagi mobil pribadi. Penerapan perbaikan aturan parkir ini sering dipilih untuk dilakukan pada tahap awal kebijakan TDM karena:
1. Lebih mudah dan murah untuk dijalankan dibandingkan dengan bentuk TDM lainnya.
2. Akan mendapatkan dukungan lebih banyak pihak yang merupakan pengguna angkutan umum.
3. Lebih memungkinkan dan cepat terwujud hasilnya
4. Lebih dipahami dan mudah ditangkap maksudnya oleh publik
5. Memiliki dampak positif bagi persoalan lain seperti tata ruang, keindahan kota, pencemaran udara dan ekonomi


Sementara itu jika pilihanya pada Road Pricing maka dibutuhkan anggaran yang lumayan besar untuk membangun infrastrukturnya. Memulai dengan perbaikan sistem parkir tidak perlu banyak kerepotan, hanya sosialisasi dan mengurangi ruang serta infrastrukturnya sudah ada.


Pilihan atau hasil cepat inilah yang perlu dilakukan untuk kota Jakarta, kemacetan sudah masuk pada fase parah dan ketegasan. Diperlukan kemauan pemerintah kota Jakarta untuk mau memakai strategi sedikit menekan dan memaksa kesadaran baru para pengguna mobil pribadi agar mau meninggalkan mobilnya di rumah dan beralih pada angkutan umum. Begitu pula aparat pemerintah daerah khususnya Dinas Perhubungan perlu belajar betul mengenai maksud gubernur memindahkan pengelolaan parkir menjadi unit dibawahnya yakni UPT Perparkiran Jakarta. Pemahaman yang benar itu dibutuhkan agar pengelolaan parkir bukan lagi untuk memanjakan para pemakai mobil pribadi. Tidak ada lagi program pengelolaan parkir bonus seperti yang diluncurkan pada awal Pebruari lalu yakni parkir lima kali mendapat bonus parkir gratis satu kali. Tidak lagi membuat aturan baru atau lokasi parkir on street baru seperti yang sekarang ini marak dilakukanoleh Dinas Perhubungan dan UPT Perparkiran.


Begitu pula perlu dibangun kesadaran baru pengguna jalan bahwa kota ini dibangun untuk membuat jalan raya sebanyak-banyak. Membangu jalan untuk mengatasi kemacetan adalah salah besar dan tidak manusiawi. Kota ini dibangun untuk wrganya, untuk manusia agar warganya bisa hiudp secara mansuiawi. Penggunaan mobil pribadi bukanlah sebuah hak dasar melainkan hanya sebuah kebutuhan yang tidak mematikan. Tanpa menggunakan mobil pribadi bukan berarti warga meninggal dunia karena masih ada pilihan lain. Kota ini akan sangat melanggar hak dasar warganya apabila mendahulukan pembangunan jalan sementara warganya tidak memiliki rumah, banyak yang belum bisa makan layak dan pelayanan publik yang kurang.


Jakarta, 12 Maret 2009

Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) dan seorang Advokat Publik bagi Warga Miskin di Jakarta, tinggal di Jakarta. Kontak: 08159977041, email: azastigor@yahoo.com