Selasa, Mei 06, 2008

Menaikkan Tarif, Bukan Solusi Tepat

Oleh: Azas Tigor Nainggolan



Beberapa waktu lalu seorang kawan bercerita bahwa dalam waktu dekat Dinas Perhubungan (Dishub) Jakarta akan menaikkan tarif busway yang sekarang Rp 3.500,- per orang. Informasi itu didapatkannya ketika ditraktir oleh seorang pejabat Dishub Jakarta di sebuah hotel berbintang di Jakarta. Pejabat tersebut melakukan pendekatan untuk mendapatkan dukungan atas rencana baru menaikkan tarif tersebut. Dalam pertemuan, pejabat Dishub tersebut mempresentasikan latar belakang serta alasan langkah penyesuaian kenaikan tarif busway Transjakarta. Dalam paparannya, si pejabat Dishub mengatakan bahwa selama ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta menanggung beban subsidi yang bertambah berat dari hari ke hari. Begitu pula dengan rencana penambahan operasional koridor baru 8-10 busway akan memberikan konsekuensi pada penambahan pengeluaran operasional, termauk juga beban subsidinya.
Tingginya beban subsidi itu dikatakan penyebabnya adalah besarnya beban biaya operasional pengelolaan Busway yang ditanggung Pemprov Jakarta. Dishub mendapatkan beberapa sumbernya, yakni inefisiensi dikarenakan keharusan membayar Biaya Perjalanan Kosong (Bus Km kosong) yang harus dibayarkan sepanjang tahun 2007 yakni sekitar Rp 36 milyar setahun. Bentuk infesiensi lainnya juga dikatakan pejabat Dishub itu adalah rendahnya pencapaian muatan rata-rata tiap armada busway yang hanya mencapai 47,83% saja pada tahun 2007 lalu. Akhir kata, si pejabat Dishub mengatakan bahwa menaikan atau menyesuaikan tarif busway adalah keharusan yang tidak bisa dielakkan lagi. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah benar memang menaikkan tarif busway adalah satu-satunya solusi yang tepat saat ini?
Jika dilihat dan dianalisis secara baik latar belakang masalah dalam pengelolaan busway dengan solusinya menaikkan tarif maka tidak berhubungan. Secara garis besar, sebenarnya penyebab dari masalahnya adalah dinternal pengelolaannya. Dalam hal dapat dikatakan bahwa justru Dishub sendiri yang menjadi sumber masalah ini. Pengelolaan system busway yang dilakukan oleh Dishub ternyata sangat tidak efisien dan tidak profesional. Coba saja dilihat dalam hal pengeluaran biaya perjalanan bus kosong yang besarnya mencapai 36 milyar pada tahun 2007 lalu. Bayangkan saja Pemprov harus membayar biaya Bus-Km Kosong mencapai 3 juta Km kepada operator karena menyetujui penempatan pool serta stasiun pembelian Bahan Bakar Gas (BBG) yang letaknya jauh dari koridor busway. Besarnya biaya yang ditanggung adalah Rp 12.000,-/Km dan itu masih berlangsung hingga sekarang. Pendek kata peningkatan biaya operasional busway menurut si pejabat Dishub dikatakan akibat inefisiensi operasional busway dengan infrastruktur pendukung yang belum memadai seperti keberadaan stasiun BBG dan Pool yang dibiarkan jauh dari koridornya.
Mengapa inefisiensi ini dibiarkan setidaknya (diketahui Dishub) selama 4 tahun? Padahal masalah seperti ini merupakan pengetahuan biasa dalam mengelola infrastruktur pendukung sebuah usaha tarnsportasi. Sepertinya memang ini disengaja oleh pihak Dishub untuk luput dan dibiarkan. Tidak mungkin perhitungan atau skema standar pengelolaan transportasi seperti itu tidak diketahui termasuk para konsultan Dishub. Inefisensi infrastruktur pendukung ini sebenarnya banyak alternative penyelesaiannya agar tidak menjadi anggaran rutin. Misalnya saja menetapkan dan meminta para operator membangun pool armada busway yang jaraknya nol km seperti banyak diterapkan banyak Negara yang mengelola busway. Seperti di kota Bogota Colombia, pemerintah kotanya menempatkan pool busway pada setiap ujung koridor buswaynya (TransMilenio).
Inefisiensi lain dari pengeluaran operasional busway karena karena infrastruktur pendukung stasiun BBG yang jauh dari pool armada busway. Masalah ini sebenarnya bisa dipecahkan dengan membangun stasiun BBG yang berada di dalam pool itu sendiri. Apabila memang mahal biaya pengadaan atau pembangunannya maka bisa dilakukan dengan membuat stasiun bergerak BBG di tiap pool. Pengadaan stasiun bergerak BBG ini sangat dimungkin dengan bekerja sama pada pihak penjual BBG. Pihak penjual BBG akan senang hati memenuhinya karena pembelian dan kebutuhan akan terjual sudah pasti. Pihak penjual hanya menyiapkan mobil yang berfungsi sebagai stasiun BBG sedangkan pengelola pool menyediakan tempat yang luasnya sekitar 200 M2 saja di dalam poolnya. Apabila bila kedua langkah penyelesaian ini dilakukan maka Pemprov sudah bisa menghemat sekitar Rp 36 milyar setahun dengan kapasitas mengelola 7 koridor busway.
Tingginya biaya operasional akibat dari besarnya subsidi penumpang busway juga diakibatkan oleh rendahnya Load Factor pencapaian dalam operasionalisasi busway. Load Factor (Target Penumpang) adalah angka pencapaian atau relisasi penumpang dibagi atau dibandingkan dengan angka kapasitas sebenarnya busway. Dalam evaluasi yang dipaparkan pejabat Dishub digambarkan bahwa pencapaian Load Factor sejak tahun 2005 mengalami penurunan. Pada tahun 2004 Load factor mencapai 57.92%, tahun 2005 mencapai 67.38%, tahun 2006 mencapai 58.10% dan tahun 2007 mencapai 47.83%. Penurunan target proyeksi jumlah penumpang busway memang belum pernah tercapai, setidaknya 90% agar pendapatan dari penjualan tiket lebih optimal. Apabila dilihat perhitungannya juga, mengapa ketika busway baru koridor 1 target penumpangnya bisa mencapai 67.38%? Sementara ketika penambahan koridor berikutnya justru yang terjadi adalah penurunan target penumpang?
Setelah terjadi penurunan target penumpang, seharusnya pihak Dishub cepat melakukan evaluasi dan penyelesaian jalan keluarnya. Target pencapaian penumpang atau Load factor ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan penempatan jalur atau koridornya dan letak haltenya yang sesuai dengan kebutuhan pengguna busway? Faktor penting lain yang mempengaruhi pencapaian target penumpang ini adalah Head Way (intensitas armada) yang cepat, pengadaan Park and Ride serta angkutan Feeder (armada pengumpan) yang disesuaikan kebutuhan pengguna. Faktor-faktor penting inilah yang seharusnya diperbaiki atau dibangun agar pengguna dapat mengakses busway sehingga target penumpang dapat dicapai pada angka yang rasional. Artinya Dishub jangan terburu-buru menyimpulkan dan menaikkan tarif busway.
Solusi yang tepat dilakukan oleh Dishub untuk menaikkan target penumpang adalah dengan membuat program-program yang berhubungan bagi peningkatan akses pengguna sebagai penumpang. Misalnya saja dengan membangun koridor, halte serta peningkatan intensitas armada (Head Way) yang sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Juga membangun system Feeder yang hingga saat ini tidak satu pun koridor busway Transjakarta memilikinya. Selain itu juga sebenarnya masih banyak ruang usaha yang dapat dilakukan pihak Dishub untuk menambah penghasilan dalam pengelolaan busway. Kalo saja Dishub kreatif maka akan mengolah ruang-ruang di halte atau di armada Transjakarta sebagai ruang iklan yang menarik serta berharga ekonomis.
Akhirnya dapat disimpulkan, sebenarnya jalan keluar atau solusi kreatif dan cerdas yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah besarnya beban subsidi dalam pengelolaan busway Transjakarta. Tidak hanya bisa langsung meminta-minta, dengan mudahnya menyimpulkan menaikkan tarif busway secara diam-diam. Seperti pepatah mengatakan: “Jaka Sembung Pakai Topi, Tidak Nyambung Loh”. Antara masalah dan jalan keluar yang dipilih tidak memiliki hubungan dan artinya solusinya tidak tepat.



Jakarta, 2 Mei 2008
Penulis adalah Seorang Advokat pada Kantor Hukum TMA dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA)
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com,
Blog: azastigornainggolan.blogspot.com

Tidak ada komentar: