Rabu, Mei 28, 2008

Mengkritisi BLT Melalui Pengalaman Jakarta

BLT, Pembiusan dan Pembodohan Rakyat
Oleh: Azas Tigor Nainggolan


“Kok yang dapat BLT (Bantuan Langsung Tunai) malah orang yang isterinya dua? Orang yang seharusnya mendapatkan bantuan karena miskin justru tidak dapat kupon BLT. Dua kali ada program BLT keluarga tersebut tidak mendapatkan bantuan BLT.” keluh seorang warga sebuah pemukiman di Jakarta Timur. Warga tersebut kesal sekali dengan kenyataan yang didapatkannya berkaitan dengan pembagian kupon BLT pada Jumat 23 Mei 2008 lalu menjelang dinaikkannya lagi harga BBM. Pemerintah umumkan bahwa pembagian BLT akan dilakukan kembali sebagai ganti subsidi atas kenaikan harga BBM. Pengumuman ini memunculkan berbagai reaksi publik. Dalam rangka upaya merekam dan menginvestigasi sikap masyarakat serta reaksi atas penyaluran BLT, sejak 22 Mei 2008 hingga 26 Mei 2008, Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) melakukan survey kecil bersama warga untuk mengkritisi program BLT di Jakarta. Survey tersebut dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan atau kuesioner dan membentuk sebuah tim kecil peneliti yang beranggotakan warga Jakarta dari 5 wilayah kota Jakarta, yakni Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.

Setiap anggota tim melakukan investigasi langsung di wilayah RT tempat tinggalnya dan mewawancarai Ketua RT atau Tokoh Masyarakatnya. Secara keseluruhan semua kuesioner yang disebar dan diisi oleh oleh 30 anggota Tim kembali semuanya ke kantor FAKTA. Dalam jawaban pertanyaan tentang data yang dipakai pemerintah dalam menyalurkan BLT, 100% jawaban mengatakan bahwa data yang dipakai adalah data BLT tahun 2005 tanpa perubahan dan tanpa adanya survey ulang. Hampir semua RT yang disurvey warganya menerima BLT. Hanya satu komunitas yang tidak satu pun warganya menerima BLT yakni di RT 07 RW 06 Kelurahan Cempaka Putih Jakarta Pusat seperti halnya pada tahun 2005 lalu.

Hasil survey juga menunjukkan bahwa sebelumnya memang tidak ada penjelasan substansial tentang rencana penyaluran kembali dana BLT. Hasil survey menunjukkan12 RT yang sama sekali tidak ada penjelasan dari pihak Kelurahan atau RW tentang rencana program BLT. Sisanya sebanyak 18 RT ada penjelasan yang dilakukan oleh pihak Kelurahan dan Ketua RW setempat. Isi penjelasan yang disampaikan tidak substansial hanya menjelasakan bahwa akan ada kembali penyaluran BLT karena kenaikan harga BBM dan penerimanya sama dengan tahun 2005. Temuan di lapangan juga menunjukkan bahwa tidak ada survey ulang terhadap penerima BLT untuk tahun 2008 ini. Para Ketua RT juga mengungkapkan bahwa seharusnya pemerintah setelah menyalurkan BLT tahun 2005 melakukan evaluasi lebih dulu. Evaluasi ini diperlukan karena menurut Ketua RT penerima atau penyaluran BLT tidak sesuai dengan kebutuhan jumlah keluarga atau rumah tangga miskin sesungguhnya.

Secara khusus juga dalam jawaban kuesioner, para Ketua RT mengkritisi bahwa seharusnya juga pemerintah mengevaluasi BLT dan pemanfaatannya serta kegunaannya bagi rumah tangga miskin. Sebanyak 26 Ketua RT berpendapat bahwa BLT itu kurang tepat, tidak ada gunanya dan sebaiknya dihentikan saja diganti dengan program lain yang lebih tepat sasaran bagi pemberdayaan warga yang miskin. Penyaluran yang tidak merata dan tidak sesuai dengan angka kebutuhan rumah miskin ini menimbulkan perpecahan dan kecemburuan di tingkat warga. Hal ini menyebabkan para ketua RT bingung dan tidak tega dengan warga miskin tetapi tidak mendapatkan BLT. Cara pendataan yang tidak melibatkan pihak RT setempat dalam pendataan calon penerima BLT ini juga dikiritik seluruh Ketua RT yang disurvey. Menurut mereka dikatakan bahwa yang mengetahui kondisi lapangan, siapa yang miskin adalah Ketua RTnya bukan orang lain.

Hasil survey juga mengungkap bahwa penjelasan yang yang tidak substansial itu pun dilakukan terburu-buru dan terkesan asal jalan. Penjelasan baru dilaksanakan pada 2 hari atau 1 hari sebelum kupon BLT dibagikan. Bila dikaitkan antara pendataan yang dilakukan bukan oleh RT setempat dan penerimanya jauh di bawah jumlah yang rumah tangga miskin dengan penjelasan tidak substansial yang asal jalan, program penyaluran terburu-buru, baik pada tahun 2005 maupun 2008. Kondisi ini menunjukkan bahwa memang benar program BLT adalah program asal mengahbiskan uang APBN atas dalih penyaluran subsidi. Sudah ada target uang yang harus dihabiskan atau disalurkan, lalu dihitung peluang kemungkinan jumlah yang akan diberikan sebagai BLT per rumah tangga. Agar jumlah rumah tangga miskin penerima tidak berlebihan dan dananya tidak kurang maka dibuatlah kriteria asal-asalan. Akibatnya terjadi kekacauan dalam menentukan rumah tangga miskin penerima BLT. Jumlah penerimanya sangat sedikit dan jauh dari kenyataan kebutuhan lapangan. Kekacauan lainnya adalah jumlah nominal BLT yang diberikan tahun 2005 sama dengan 2008 padahal nilai kemahalan kebutuhan sehari-hari rakyat sudah bertambah tinggi. Surveynya pun yang melakukan bukan dan tidak melibatkan Ketua RT agar jumlah penerima tidak lebih besar dari yang sudah direncakan pemerintah pusat.

Berangkat dari temuan dan analisa tersebut di atas memang benar-benar terbukti bahwa program BLT bukanlah bantuan untuk memberdayakan masyarakat miskin. BLT sekedar alat kampanye pemerintah yang telah gagal dan tidak mau berpihak pada rakyatnyanya sendiri. Bagi pemerintah lebih baik repot dan keluar uang besar untuk membangun citra positif dirinya serta kekuasannya dari pada membangun kesejahteraan rakyatnya sendiri. Sebenarnya banyak program atau kebijakan yang dapat dilakukan (kalau mau) pemerintah untuk mensejahterakan rakyat tanpa menghamburkan uang yang sangat besar tetapi tidak berguna seperti program BLT. Misalnya saja dengan kebijakan yang sifatnya mengurangi beban hidup atau beban ekonomi rakyat dilakukan dengan membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Birokrasinya ramah, tidak memeras rakyat, tidak mahal dan tidak korup serta profesional berkeadilan dan melindungi hak-hak dasar ralyatnya. Maka hentikan membohongi dan membius rakyat dengan BLT sekarang juga. Jangan ulangi lagi program-program pembiusan kepada rakyat seperti program BLT atau lainnya. Turunkan harga-harga kebutuhan pokok dan bangun kebijakan yang pro rakyat. Kami butuh presiden yang pro rakyat bukan produser kaset.



Jakarta, 28 Mei 2008
Penulis adalah Seorang Advokat di Kantor Hukum TMA dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA). Dapat dihubungi melalui HP; 08159977041 atau email: azastigor@yahoo.com dan blog: www.azastigornainggolan.blogspot.com

Senin, Mei 26, 2008

Anak Miskin Masih Tidak Bisa Sekolah

Kawan-kawan, pagi ini saya kedatangan seorang teman warga di kantor FAKTA. Kebetulan saya sedang duduk-duduk dan ngobrol dengan beberapa teman di ruang depan kantor. Sesaat saya melihat ke luar, terlihat seorang warga yang saya kenal betul wajahnya, berjalan gontai dengan wajah sedih menuju ke kantor FAKTA. Setibanya di depan pintu dia langsung masuk dan duduk disebelah saya sambil berkata bahwa dia membutuhkan bantuan untuk memasukkan anaknya masuk sekolah ke SMP.

Kawan warga ini bernama ibu Purwanti yang tinggal di kawasan tanah garapan Halim jakarta Timur. Sepeninggal wafat suaminya, ibu Purwanti berusaha seorang diri membiaya hidup keluarganya dengan 3 anak dengan berjualan Mie Ayam. Suamintya yang bernama Asmulin telah meninggal dunia 2 tahun lalu dan meninggalkan anak-anak yang masih sekolah. Saat ini anaknya yang nomor satu bernama Heri Puewanto karena kesulitan ekonomi terpaksa putus sekolah hanya sampai lulus SD dan sekarang bekerja menjadi calo angkutan umum di Cawang Jakarta Timur. Anaknya yang nomor dua ini bernama Hari Prasetyo putus sekolah sejak dua tahun lalu setamatnya dari SD. Putrinya yang nomor tiga bernama Yolanda Hestinawati saat ini juga sedang mau masuk ke SMP dan dibantu pembiayaan oleh mantan pemilik usaha tempat bekerja suami ibu Purwanti sewaktu masih hiudp.

Anak nomor dua inilah, Hari Prasetyo yang merengek-rengek minta sekolah ke SMP karena dia sudah bosan menganggur di rumah, cerita ibunya. Atas dorongan rengekan anaknya itulah dia bersama ankanya itu sudah menjajaki sebuah sekolah swasta di dekat rumah sekitar daerah Halim Jakarta. Ketika mereka bertanya tentang biaya masuknya ternyata biaya cukup mahal mencapai sekitar Rp 2 juta untuk uang masuk, uang membeli seraga dan buku-buku. Melihat kenyataan ini membuat si ibu lemas dan hampir putus asa. Situasi harapan sedih inilah yang mendorongnya datang ke kantor FAKTA untuk mencari bantuan atau pertolongan.

Ibu Purwanti bercerita bahwa dia ingin sekali menyekolahkan anaknya yang nomor dua ini juga seperti adiknya yang bernama Yolanda tersebut. Mungkin anaknya si Hari semakin tercau untuk sekolah kembali selain jenuh manganggur dan dia melihat adiknya sekolah masuk ke SMP. Menurut ibu Purwanti dikatakan bahwa apabila dia bisa terbantu mendapatkan uang untuk biaya masuknya maka uang sekolah bulananya akan dia usahakan dari hasil berjualan Mie Ayam keliling. Dia ingin sekali menyekolahkan juga anaknya yang nomor dua ini walau pun dia harus membanting tulang menghidupinya. Semangat kemandirian dan kekuatannya sudah dibuktikan oleh ibu Purwanti yang tetap tegar serta tahan banting kesulitan hidup walaupun harus dia sendirian berjuang menghidupi dirinya dan anak-anaknya.

Sedih dan negri sekali saya rasakan ketika berbicara dan mendengar cerita ibu Puurwanti tentang keinginan anaknya yang minta masuk sekolah kembali. Rasanya sangat mungkin situasi yang dialami oleh ibu Purwanti atau keinginan anaknya yang bernama Hari Prasetyo juga terjadi pada jutaan ibu miskin atau jutaan anak miskin usia sekolah di Jakarta bahkan di negara ini. Semua kesulitan hidup yang dialami oleh keluarga Ibu Purwanti atau keluarga miskin lainnya tentunya akan bertambah berat lagi setelah kenaikan harga BBM pada Jumat 23 Mei 2008 lalu.


Berangkat dari kesulitan yang dialami oleh ibu Purwanti dan anak-anaknya ini, kami ingin sekali membantu mereka agar bisa sedikit terbantu lepas dari sebahagian kecil penderitaannya. Melalui informasi ini juga kami hendak mengajak semua teman-teman yang bersimpat dan ingin membantu keluarga saudara kita ini. Apabila ada diantara teman-teman yang mau membantu, silahkan menghubungi kami via saya atau Tioria (Ria) 081808301931 atau di kantor FAKTA di Jl. Pancawarga 4 no: 44 Rt 03 Rw 07 Kalimalang (Belakang Gudang Seng) Jakarta Timur
Telepon 021-8569008. Apabila anda ingin bertemu langsung dengan keluarga ibu Purwanti, kami bisa mengantarkannya. Terima kasih atas bantuan dan kesempatan berbagai ini. Salam.


salam
Azas Tigor Nainggolan

Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), dapat dihubungi di 08159977041 atau email: azastigor@yahoo.com

Rabu, Mei 21, 2008

SBY-JK; Indonesia Bisa, Asal ada uang

Tolak Kenaikan Harga BBM dan Batalkan BLT
Oleh Azas Tigor Nainggolan.

Beberapa hari lalu saya kedatangan seorang teman mahasiswa dari Belanda yang hendak melakukan sebuah penelitian di Jakarta. Dalam pertemuan itu kami sempat membicarakan situasi politik dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Salah satu topik pembicaraan kami adalah tentang kondisi warga Jakarta dalam diselimuti penderitaan akibat dari naik harga-harga kebutuhan hidup dan rencana pemerintah yang akan menaikkan harga Bahan Bakar (BBM). Betapa memang walaupun harga BBM belum dinaikkan, saat ini hidup rakyat Indonesia sebagaimana dialami warga Jakarta sulit sekali. Warga Jakarta, mungkin juga di daerah lain terpaksa menyusun ulang atau bahkan merubah pola makan mereka sekarang. Banyak warga Jakarta saat ini terpaksa membeli dan memakan nasi Aking (nasi bekas yang dikeringkan dan dimasak kembali) yang harganya Rp 500,- per liternya. Sementara harga beras termurah sekarang ini adalah Rp 5.000,- per liter.

Semua kebutuhan hidup sudah naik, tidak terjangkau dan pemerintah tidak mau mengontrolnya walau pun harga BBM belum dinaikkan. Begitu pula sekolah yang katanya gratis ternyata juga tidak. Berobat yang juga katanya gratis ternyata tidak. Semua hanya janji tipu-tipu untuk menaikkan harga diri pemerintah di mata warganya yang sudah tidak percaya lagi. Akhirnya diskusi saya dengan teman mahasiswa tersebut berkesimpulan bahwa Indonesia Bisa, asal ada uangnya (dan uang habis dikorupsi). Kesimpulan ini bisa memiliki dua makna. Pertama maknanya uang itu sekarang sudah tidak cukup untuk terus memberi subsidi BBM sehingga harus distop dulu. Makna keduanya adalah, pemerintah biasanya baru akan berbuat atau bekerja apabila ada uangnya atau untungnya bagi kepentingan pribadi.

Makna pertama, uang negara saat ini sudah tidak cukup untuk membiayai subsidi BBM maka harganya harus dinaikkan. Melalui media massa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kala (JK) mengumumkan tentang rencana mereka menaikan harga BBM. Mereka mengatakan bahwa penyebab utama kenaikan ini adalah melonjaknya harga minyak di pasaran internasional. Kenaikan harga minyak di pasaran internasional ini akhirnya akan berakibat pada kenaikan harga-harga kebutuhan hidup lainnya.

Menaikkan harga BBM sudah jadi pilihan dan tidak bisa dihindari apabila mau mengurangi dan “memberikan” subsidi pada rakyat secara benar serta tidak memberatkan APBN. Rencananya akan dinaikkan sekitar 30% pada akhir Mei atau awal Juni 2008. Kenyataan di lapangan berbeda, saat ini saja semua harga kebutuhan hidup sudah beberapa kali naik dan semakin mahal walau secara resmi harga BBM belum dinaikkan. Misalnya saja pada bulan Mei 2008 ini harga minyak tanah sudah mencapai harga Rp 7.500,- per liter dimana pada Januari 2008 masih sekitar Rp 6.000,- dan pada tahun 2004 harganya masih Rp 600,- per liter. Tentunya nanti ketika harga BBM jadi dinaikkan oleh pemerintah maka barang-barang kebutuhan hidup akan naik lagi. Untuk meringankan beban penderitaan rakyat, SBY-JK yang akan kembali mengucurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada rakyat miskin sebagai penyaluran dana yang seharusnya menjadi anggaran subsidi BBM.

Semua pernyataan dan cara kampanye yang dilakukan oleh pemerintahan SBY-JK di atas sama dengan yang dilakukan dan diucapkan ketika mereka hendak menaikkan harga BBM pada 1 Oktober 2005 lalu. Seolah-olah semua penderitaan atau kesulitan hidup rakyat Indonesia sekarang ini adalah akibat dari naiknya harga minyak di dunia internasional. Jadi masyarakat internasional itulah yang menyebabkan rakyat Indonesia miskin menderita hingga hari ini, bukan karena buruknya dan korupnya pemerintahan SBY-JK. Justru SBY-JK juga mau mengatakan atau mengkampanyekan mereka itu baik dan paham dengan penderitaan rakyat sehingga menaikkan harga BBM dan memberikan BLT bagi rakyat miskin. Mereka mengatakan bahwa apabila BBM di Indonesia tidak dinaikkan harganya maka yang akan terus menikmati subsidinya adalah orang kaya. Artinya menolak kenaikan harga BBM berarti berpihak pada orang bukan pada kepentingan rakyat miskin, itu kata Wapres Jusuf Kala.

Logika atau cara berpikir inilah yang mau dibangun oleh SBY-JK dengan kampanye kenaikan harga BBM dan penyaluran BLT ini. Secara kritis dapat dipertanyakan, mengapa SBY-JK begitu ngotot menaikkan harga BBM dan menyalurkan BLT yang jelas-jelas tidak bermanfaat? Pasti ada keuntungan yang disembunyikan oleh mereka dari situasi dengan memakai alasan naiknya harga minyak di dunia internasional? Sebagai pemerintah, mereka berdua harus tetap tampil suci tanpa noda dan penuh belas kasih pada rakyatnya. Tidak bersalah atas penderitaan dialami rakyat Indonesia dan mau menutupi kebenaran bahwa mereka adalah pemerintahan yang korup. Sok menjadi pahlawan dan katanya siap menjadi tidak popular akibat kebijakan yang terpaksa menaikkan harga BBM nanti. Kesalahan orang lain yang berbuat hingga rakyat menderita, mereka siap menjadi penyelamat rakyat, SBY-JK mau memberikan dana BLT. Jadi jelas terlihat bahwa memang kenaikkan harga BBM digunakan betul oleh SBY-JK sebagai kendaraan untuk menaikkan peran citra pribadi mereka. Naiknya peran citra pribadi itu bertambah kuat dengan obat bius BLT yang sebenarnya uang itu adalah uang rakyat juga yang jumlahnya tidak lebih besar dari uang yang mereka korup selama ini.

Jadi sulit dibayangkan pemerintahan SBY-JK akan membatalkan kenaikkan harga BBM dan menghentikan BLT karena itu adalah skenario pengaman sebagai upaya menutupi perilaku korupsi selama mereka berkuasa. Bagi pemerintahan yang korup seperti ini, memang rakyat miskin hanya jadi objek cari untung dan alat kekuasaan pribadi semata. Rakyat bagi mereka adalah objek yang mudah dibohongi atau dibius dengan janji kosong belaka dan tidak akan pernah menuntut balik. Rakyat oleh mereka harus terus dimiskinkan dan dibodohi, dengan demikian kekuasaan akan aman. Sebagai akyat tentunya kita sadar betul dan jangan berdiam diri, melawan dan harus berani agar tidak dibodohi terus menerus. Mari tolak kenaikkan harga BBM dan hentikan pembiusan lewat BLT.


Jakarta, 21 Mei 2008
Penulis adalah Advokat pada Kantor Hukum TMA dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA)
Dapat dihubungi di HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com, blog: azastigornainggolan.blogspot.com

Minggu, Mei 18, 2008

Rakyat Menderita, Pemerintah Bernyanyi Bohong Terus


Oleh: Azas Tigor Nainggolan

Rakyat terus dibuat susah dan menderita, pemerintah justru membuat semakin bertambah susah saja. Sejak awal Pebruari rakyat terus berteriak minta tolong agar pemerintah bertindak menurunkan harga-harga kebutuhan pokok yang terus naik. Tetapi pemerintah hanya bisa menipu rakyat dan bernyanyi sendu menutupi ketidak-mampuan serta ketidak-berpihakannya terhadap rakyat. Pertengahan Pebruari lalu pemerintah hanya bisa mengundang makan siang para pengusaha dan bernyanyi bersama lagu yang judulnya “Akan Menurunkan dan Mengendalikan Harga”. Lagu tersebut berisi akan mengeluarkan Keputusan Presiden serta melakukan operasi pasar untuk mengendalikan harga. Ternyata lagu tersebut hanya untuk membius dan membohongi rakyat yang terus menderita agar tidak bergerak dan protes.
Saat ini rakyat susah tidak bekerja, semua harga kebutuhan pokok harganya naik selangit dan susah didapat. Penderitaan itu akan semakin bertambah berat lagi dengan rencana pemerintah yang akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam waktu dekat ini. Lagu apalagi yang akan dinyanyikan pemerintah untuk menutupi kesalahannya? Rupanya pemerintah tidak kehabisan inspirasi untuk membius dan membohongi rakyat. Pemerintah kembali menyanyikan lagu lama berjudul “BLT, Bantuan Langsung Tunai atau Bantuan Langsung Tewas?” Dalam lagu tersebut pemerintah berjanji akan meringakan beban penderitaan dengan memberikan dana subsidi BBM kepada rakyat sebagai BLT… Bantuan Langsung Tewas.

Lagu tersebut sama saja dengan lagu yang dinyanyikan pada saat pemerintahan SBY-JK menaikkan harga BBM pada 1 Oktober 2005 lalu. SBY-JK saat itu bernyanyi sama BLT akan diberikan agar rakyat diringankan bebannya. Rupanya lain lagu dengan kenyataannya. Semenjak saat itu rakyat terus bertambah penderitaannya, pemerintah tidak mau mengendalikan harga dan mensejahterakan rakyat. Lagu-lagu pemerintah hanya utnuk membius dan membohongi rakyat, termasuk BLT adalah memang Bantuan Langsung Tewas. Semua isi lagu yang diciptakan dan dinyanyikan pemerintahan SBY-JK sudah terungkap kebohongannya. Mau bernyanyi (bohong) apalagi sekarang?

Penderitaan rakyat sudah berat sekali dan semakin terpuruk kehidupannya sekarang ini. Pada tahun 2004 harga-harga kebutuhan pokok masih terjangkau walau berat. Tetapi pada tahun 2008 ini semua harga-harga tersebut naik melambung tinggi tidak terjangkau lagi. Sudah tidak lagi memiliki uang untuk menghidupi dirinya serta keluarganya. Semua barang yang menjadi kebutuhan hidup sudah tidak terbeli lagi, harganya naik tak terkendali dalam kisaran 200 % hingga 600 % dalam waktu 4 tahun ini. Padahal rakyat penghasilan atau penghidupannya selama 4 tahun ini tidak pernah mengalami peningkatan melainkan semakin terpuruk saja. Lihat saja penggusuran Pedagang Kaki Lima, Tempat tinggal dan Tempat usaha rakyat kecil terus digusur oleh pemerintah tanpa ampun.

Rakyat sudah tidak tahan lagi dengan penderitaan ini dan sudah muak dengan janji-janji yang dinyanyikan pemerintah. Mudahnya pemerintah terus menekan rakyat agar hidup menghemat dan mengetatkan ikat pinggang. Bagi rakyat bukan lagi menghemat tetapi sudah tidak bisa lagi membeli kebutuhan pokoknya secara manusiawi. Apanya yang mau dihemat, beli saja tidak bisa. Menyakitkan juga pernyataan Wapres JK dan Menteri Perindustrian yang mengatakan: “saat ini Indonesia sudah bisa mengekspor beras ke luar negeri karena cadangan beras cukup banyak. Jadi tidak perlu takut kekurangan beras.” Pernyataan ini menyakitkan rakyat kecil yang sudah tidak mampu lagi membeli beras.
Apakah Wapres dan Menteri Perindustrian tidak tahu bahwa saat ini rakyat sudah tidak bisa membeli beras? Sehingga cadangan beras Indonesia cukup besar. Juga apakah mereka tidak tahu saat ini rakyat bukan saja menghemat tetapi juga sudah merubah pola makan mereka. Rakyat terpaksa makan nasi Aking (nasi bekas yang dikeringkan) karena sudah tidak bisa beli beras. Begitu pula rakyat sekarang sudah menjadwal ulang pola makan hanya dua kali sehari makan nasi bagi anak-anak dan satu kali makan nasi bagi orang tuanya.
Sulit diterima akal sehat apabila pemerintah tidak bisa mengendalikan harga-harga kebutuhan hidup rakyatnya. Tidak mungking pemerintah tidak bisa untuk itu karena merekalah pemegang otoritasnya. Pemerintah hanya tidak mau mengendalikan harga-harga tersebut karena pemerintah juga terlibat di sana. Terlibat sebagai pengusahanya, penjual otoritasnya dan sebagai koruptornya. Apa yang bisa diharapkan dari pemerintah yang seperti ini? Pemerintah yang tidak berpihak sama sekali pada rakyatnya, tidak mau menolong rakyat dan hanya bisa umbar janji kosong belaka dan bernyanyi lagu kebohongan. Rakyat bersatulah untuk menolong diri kita sendiri dan mulailah merebut kembali kehidupan yang telah dijual pemerintah ketangan para pengusaha. Hidup kemanusiaan kita tidak bisa diserahkan pada orang lain termasuk pada pemerintah yang pembohong. Tetapi harus kita perjuangkan sendiri. Tolak Kenaikkan harga BBM dan turunkan harga. Atau turunkan SBY-JK!!! KAMI BUTUH PEMERINTAH YANG PRO RAKYAT BUKAN PRODUSER KASET.

Jakarta, 15 Mei 2008
Azas Tigor Nainggolan, dapat dihubungi di 08159977041; azastigor@yahoo.com atau di http://www.azastigornainggolan.blogspot.com

Senin, Mei 12, 2008

Selamatkan Anak-anak dari Busung Lapar

Oleh Lefidus Malau *

Anak-Anak Kelaparan

Kelaparan yang mengakibatkan gizi buruk dan kurang gizi seperti yang
diderita anak-anak di NTB, NTT, Papua, Lampung dan berbagai wilayah lainnya
bukanlah kejadian yang tiba-tiba muncul di Indonesia. Berbagai survei,
penelitian dan berita media selalu mengulang laporan yang mengungkap kondisi
bayi dan anak balita yang menderita kelaparan di berbagai wilayah .
Tengoklah data BPS tahun 1999, yang menyebutkan bahwa dari total 19.941.528
anak balita yang menderita gizi buruk dan kurang gizi ada sebesar 5.256.587
anak Balita (BPS, Susenas 1989-2000). Pada tahun 1999, dikabarkan tentang
ribuan bayi dan anak balita menderita gizi buruk di Sumatera Barat. Entah
berapa yang menderita busung lapar atau marasmus kwarshiorkor. Kematian
akibat busung lapar juga bukan kejadian yang baru.

Penelitian untuk menyusun desertasi yang dilakukan dr. Saptawati Bardosono
Msc tentang status gizi balita di tiga daerah miskin di Indonesia (pedesaan
Alor-Rote di NTT, Banggai di Sulawesi Tengah dan kawasan miskin) dari
Januari 1999-Januari 2001 menggambarkan buruknya status gizi anak-anak di
Indonesia (Kompas, 21 Februari 2003). Perbandingan antara temuan penelitian
tersebut dengan kondisi anak-anak berbagai negara yang dikenal sebagai
wilayah bencana di bumi ini sangat mengejutkan. Prevalensi wasting
(kurus/rendahnya berat badan terhadap tinggi badan) di semua daerah
penelitian melebihi 20 persen. Kondisi ini jauh lebih buruk dari keadaan di
Afrika Barat (16 persen) dan Asia Tengah bagian Selatan (15 persen) pada
tahun 1996. Menurut WHO, angka kematian akan meningkat secara nyata jika
prevalensi wasting lebih dari persen (5%).

Tingkat keparahan stunting (pendek/rendahnya tinggi badan terhadap usia) di
semua daerah penelitian (tahun 1999-2000) lebih tinggi dibanding kondisi
Kongo saat devaluasi mata uang Afrika tahun 1994. Prevalensi stunting anak
balita di pedesaan Alor-Rote (48 persen) menyamai prevalensi stunting di
Afrika Timur (48 persen) dan melebihi Asia Tengah bagian Selatan (44 persen)
pada tahun 2000. Keadaan Alor-Rote lebih buruk dari setelah kekeringan tahun
1983-1985. Prevalensi stunting kawasan miskin 26 persen dan Banggai
(Sulawesi Tengah) 28 persen. Stunting meningkatkan angka kematian,
menurunkan fungsi kognisi dan intelektual serta meningkatkan resiko penyakit
degeneratif seperti diabetes dan tekanan darah tinggi. Selanjutnya,
prevalensi Anemia anak balita di Alor-Rote (75 persen) mirip Asia Tengah
bagian Selatan. Sedangkan Banggai (52 persen) mirip Afrika Barat (56 persen)
dan (68 persen) polanya antara Afrika Timur dan Asia Tengah Bagian Selatan.
Anemia berkait erat dengan proporsi angka kesakitan anak (infeksi saluran
pernafasan, demam, diare) akibat rendahnya asupan makanan sebagai sumber zat
besi.

Survei Pemantauan Status Gizi dan Kesehatan (Nutrition & Health Surveillance
System) oleh Helen Keller Foundation selama 1998-2002 menunjukkan kenyataan
tentang 10 juta anak balita yang berusia enam bulan hingga lima tahun -
setengah dari populasi anak balita di Indonesia -- menanggung resiko
kekurangan Vitamin A. Disebutkan, makanan anak-anak tersebut sehari-hari di
bawah angka kecukupan Vitamin A yang ditetapkan untuk anak balita, yaitu
350-460 Retino Ekivalen per hari (Kompas, 30 Juli 2003). Anak-anak yang
tidak dicukupi kebutuhan Vitamin A akan mengalami gangguan kesehatan mata,
kemampuan penglihatan, maupun kekebalan tubuhnya. Laporan survei itu lebih
jauh menyatakan bahwa sebagian anak-anak balita itu menderita penyakit mata
dalam stadium lanjut akibat kekurangan Vitamin A, sehingga tidak dapat
disembuhkan. Anak-anak balita tersebut mengalami kerusakan bola mata dari
keratomalasia (sebagian dari hitam mata melunak seperti bubur), ulaserasi
kornea (seluruh bagian hitam mata melunak seperti bubur) hingga kondisi
parah xeroftalmia scars (bola mata mengecil dan mengempis).

Selamatkan Anak-Anak

Berbagai literatur menyatakan bahwa keberadaan wasting, stunting dan anemia
akibat kekurangan asupan makanan yang bergizi pada bayi dan anak balita
adalah bagian dari lingkaran setan kemiskinan dan penyakit infeksi.
Kemiskinan mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan orang tua, buruknya
lingkungan perumahan dan tidak adanya akses terhadap air minum dan sanitasi.
Juga keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar lain dan pelayanan sosial
termasuk pangan, kesehatan dan pendidikan.

Ada sebuah postulasi bahwa keberadaan orang lapar apalagi bayi dan anak
balita busung lapar merupakan pengujian utama terhadap adil dan efektifnya
sistem sosial dan ekonomi di sebuah negara. Demikian mendasar fungsinya,
sehingga melalui sistem pangan masyarakat (produksi - distribusi - konsumsi)
dapat dipakai sebagai jendela untuk memahami sebuah masyarakat. Kelaparan
yang diderita bayi dan anak balita di jelas menunjukkan tidak adil dan
efektifnya sistem sosial dan ekonomi negara Republik Indonesia.

.
Negara bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan ini. Akan tetapi,
bertahun-tahun sudah anak-anak kelaparan dan belum pernah DPR membentuk
Panitia Khusus (Pansus) Kasus Anak Busung Lapar atau Panitia Kerja (Panja)
untuk Anak-anak Kelaparan. Kita tidak dapat mengharapkan para anggota DPR
yang terus sibuk dengan Mukernas, rapat partai, kunjungan kerja, Pilkada dan
Pemilu untuk tertarik mengurus soal anak busung lapar. Kita juga sangat
sulit membayangkan administrasi pemerintah bekerja dalam kerangka organisasi
yang terpadu bergerak cepat mengatasi soal busung lapar. Advokasi masalah
ini pada tingkat kebijakan adalah penting. Menuntut pertanggungjawaban
negara adalah sebuah keharusan. Akan tetapi, jutaan anak-anak yang menderita
lapar tidak dapat menunggu. Sebelum tiba pada penyelesaian di tataran
politik nasional, banyak anak yang menjadi cacat (mental dan fisik) dan
meninggal dalam penantian. Jutaan anak-anak tidak dapat menunggu dibentuknya
Pansus atau Panja atau Tim Pencari Fakta (TPF) Kematian Anak Balita Akibat
Busung Lapar atau BAKORNAS Penangulangan Busung Lapar. Harus ada tindakan,
sekecil atau sesederhana apapun, untuk dapat menolong anak-anak yang
menderita kelaparan.

Promosi Sayuran Hijau

Salah satu cara untuk membantu menyelamatkan bayi dan anak balita dari
kekurangan gizi adalah dengan mempromosikan sayuran daun hijau. Sayuran daun
hijau sudah dikenal sebagai penghasil utama dari segala macam vitamin,
mineral dan protein yang dibutuhkan oleh tubuh. Prof. Dr. Poorwo Soedarmo,
perumus slogan "Empat Sehat Lima Sempurna," dan kawan-kawannya telah membuat
sebuah daftar sederhana sayuran hijau khas Indonesia yang dapat ditanam
dengan mudah: bayam, beluntas, enceng padi, gelang, gedi, gendola, genjer,
jotang, kabak, kacang panjang, kaki kuda, krokot, kangkung, katuk, kemangi,
kelor, labu-labuan, leunca, mangkokan, melinjo, mengkudu, paku sayur,
pepaya, sawi putih, selada air, sesawi, singkong, turi, talas, ubi jalar dan
yute.

Sayuran daun hijau sangat perlu untuk ibu-ibu yang sedang mengandung dan
menysui. Dengan demikian anak dalam kandungan mendapat pasokan gizi yang
baik yang memungkinkan pertumbuhan janin di dalam rahim. Dengan memakan
sayuran daun hijau, Ibu yang sedang menyusui telah memberikan makanan yang
bergizi pada anaknya melalui ASI. Sayuran daun hijau juga harus segera
diberikan pada bayi begitu ia membutuhkan makanan tambahan di luar ASI.
Semangkuk bubur yang dicampur dua genggam sayuran daun hijau dan sepotong
tahu atau tempe cukup memadai sebagai sarapan anak-anak yang telah tumbuh
gigi. Sepiring nasi dengan sayuran daun hijau yang diolah menjadi kuluban,
urap, pecel atau tumis dapat mempertahankan daya hidup dan pertumbuhan anak
balita. Kandungan gizi sayuran daun hijau telah terbukti ribuan tahun
mempertahankan hidup komunitas yang berpantang memakan daging seperti para
pendeta Budha. Kaum vegetarian yang terus berkembang bisa bekerja seperti
sama produktifnya dengan mereka yang memakan daging.

Otonomi Nutrisi

Untuk mendapatkan bahan makanan, terutama sayuran daun hijau, di daerah
pedesaan adalah dengan melakukan otonomi nutrisi. Artinya, penduduk
pedesaan, khususnya petani miskin dengan tanah terbatas harus mengutamakan
tanaman yang dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarganya secara langsung.
Setelah makanan keluarga terpenuhi barulah dapat diusahakan produk pertanian
yang akan diniagakan.

Untuk sebagian penduduk pedesaan, persoalan dapat diselesaikan melalui
penggunaan rasional ruang yang ada, sesempit apapun adanya. Penduduk
pedesaan dapat secara berkelanjutan memenuhi kebutuhan bagian penting dari
kebutuhan gizi dengan sayuran daun hijau yang dihasilkan secara langsung di
sekitar rumah. Berbagai proyek telah menunjukkan bahwa tanpa bahan-bahan
dari luar dan dengan biaya yang sangat rendah. Tanah seluas 40 meter persegi
dapat menghasilkan pangan untuk mencukupi kebutuhan anggota keluarga (5
orang) akan mineral dan Vitamin serta 18 % dari jumlah total protein yang
dibutuhkan seperti yang disarankan WHO. Luas tanah kurang dari 100 meter
persegi adalah sangat relevan dengan keadaan penduduk pedesaan di kebun
organik keluarga.

Untuk kawasan perkotaan, model yang diterapkan oleh warga Kampung
Banjarsari, Kelurahan Cilandak, Jakarta Selatan bisa dijadikan contoh
(Kompas, 4 Juni 2005). Warga di kampung tersebut, tepatnya RW 08, berhasil
menata dan menciptakan lingkungan tempat tinggal yang hijau, sejuk dan
nyaman dengan cara yang sangat kreatif. Di sekitar rumah masing-masing,
warga menanam beragam tumbuhan. tanaman produktif, tanaman pelindung,
tanaman hias dan tanaman yang berkhasiat obat. Karena tidak ada lahan untuk
menanam tumbuhan, warga Kampung Banjarsari menggunakan media pot untuk
menanam tanaman. Pot-pot yang digunakan bervariasi dan banyak menggunakan
barang bekas seperti bekas drum sampai bekas air mineral kemasan gelas.
Ribuan tanaman pot ditata sehingga membentuk rerimbunan tanaman.

Usaha seperti itu tidak membutuhkan biaya besar. Di Kampung Banjarsari,
petugas RW bekerjasama dengan dinas pertanian untuk mendapatkan bibit-bibit
tanaman yang murah. Dana untuk membeli bibit dikumpulkan dari iuran warga.
Inisiatif tersebut dapat dikembangkan untuk menghasilkan sayuran daun hijau.
Untuk memperkaya jenis tanaman di kebun organik keluarga, bibit bisa
didapatkan dengan berburu tanaman atau saling tukar bibit antara warga.

Penutup
Sayangnya, tulisan ini kemungkinan besar tidak bisa dibaca oleh kelompok
masyarakat yang sedang dirundung kelaparan: keluarga-keluarga yang sedang
menatap anak-anak mereka yang tergolek lunglai. Para pembaca tulisan ini,
diharapkan dapat membantu sesuai dengan kesempatan dan kemampuan
masing-masing. Para guru sekolah maupun guru agama adalah kelompok yang
paling diharapkan menjadi pendorong bagi keluarga para murid-murid untuk
mengenal dan menghargai sayuran daun hijau sebagai sumber gizi yang utama.
Guru dapat meluangkan sedikit waktu di sela pelajaran untuk bertanya tentang
apa saja yang dimakan para murid dan sekaligus memperkenalkan khasiat
sayuran daun hijau dan bagaimana cara bercocok tanam.

Para ketua RT dan ketua RW yang sangat mengenal warga dan wilayahnya sangat
penting dalam gerakan memakan sayuran hijau untuk menekan kasus kurang gizi
dan gizi buruk. Pertemuan-pertemuan warga dapat diisi dengan mengenal
berbagai sayuran daun hijau dan manfaatnya bagi tubuh.

Urun pikiran di antara para pembaca untuk menolong bayi dan anak balita dari
kekurangan gizi akan mengembangkan berbagai kegiatan. Sambil bekerja kreatif
untuk menolong bayi dan anak balita, kita tetap harus membangun kekuatan
untuk menuntut negara bertanggung jawab atas kelaparan yang dialami jutaan
bayi dan anak balita di Indonesia.

* Penulis adalah bapak rumah tangga, tinggal di Depok dan anggota simpul
JKB. Sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul
Jabodetabek. Dapat dihubungi di email: lefidus@yahoo. com

**Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian
atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan
mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus
mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap
pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi
harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau
www.prakarsa- rakyat.org) .

<http://www.prakarsa -rakyat.org> webmaster@prakarsa- rakyat.org

Selasa, Mei 06, 2008

Jakarta Kolaps

Koran TEMPO / Selasa, 06 Mei 2008

Opini


Oleh: Firdaus Cahyadi
Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia


Kepadatan Jakarta saat ini ternyata tidak menjadikan para pengambil kebijakan di kota ini menghentikan penambahan pusat belanja baru. Bahkan, dalam dua tahun ke depan, telah direncanakan akan ada 13 proyek pusat belanja baru lagi. Hal itu terungkap dari hasil riset Procon Indah yang dipublikasikan pada 28 April 2008. Menurut riset tersebut, 40 persen penambahan pusat belanja akan berada di Jakarta Utara, 20 persen berada di Jakarta Selatan, dan 18 persen di Central Business District Jakarta. Sementara itu, sisanya akan tersebar di berbagai daerah di Jakarta lainnya. Luas pusat belanja di Jakarta pun diperkirakan akan mencapai 3,33 juta meter persegi.

Beberapa pusat belanja yang direncanakan akan beroperasi pada tahun ini antara lain Sudirman Place, Grand Paragon, Mall of Indonesia, Plaza Indonesia Extension, Emporium Pluit Mall, Epicentrum Walk, Pluit Village, dan Pulo Mas Ex-Venture. Dampak nyata dari meningkatnya jumlah dan luasan pusat belanja di Jakarta adalah makin hilangnya daerah resapan air di kota ini. Pengalihfungsian kawasan ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air menjadi pusat belanja dan kawasan komersial lainnya adalah fakta yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah gelap pembangunan Kota Jakarta.

Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan seluas 279 hektare ini sebagai ruang terbuka hijau. Di atasnya hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal sebesar 16 persen dari luas total. Namun, di kawasan itu kini telah muncul Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23 Juni 2006), Plaza Senayan (pusat belanja dan perkantoran, dibuka 1996), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (apartemen 54 unit dan pusat belanja, dibangun pada 1974), serta bangunan megah lainnya.
Hal yang sama terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana Induk 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Kini hutan itu berubah menjadi Mediterranean Garden Residence I (apartemen, dibangun pada 2002 dan selesai 2004), Mediterranean Garden Residence II (apartemen, dijual pada 2005), serta Mal Taman Anggrek (apartemen dan pusat belanja, dibuka pada 2006).
Pengalihfungsian RTH secara besar-besaran menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar juga terjadi di kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter. Tapi sejauh ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mengambil tindakan terhadap para pemilik modal besar tersebut. Celakanya, sejarah gelap pembangunan Kota Jakarta terus-menerus diulang hingga kini oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Padahal data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menyebutkan bahwa menyusutnya daerah resapan air, baik berupa situ maupun ruang terbuka hijau, oleh aktivitas pembangunan telah menyebabkan dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian (run off) yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan (BPLHD DKI Jakarta, 2007). Bukan hanya itu, pengambilan air tanah secara besar-besaran ditambah beban bangunan di atas Kota Jakarta telah menyebabkan penurunan permukaan tanah di kota ini beberapa sentimeter setiap tahun. Artinya, potensi banjir di Jakarta akan semakin besar dengan penambahan 13 pusat belanja baru itu.
Sementara itu, biaya sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh banjir di kota ini tidaklah kecil. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), misalnya, memperkirakan kerugian akibat bencana banjir yang melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi pada 2007 mencapai Rp 8 triliun. Dari jumlah itu, Bappenas memerinci kerugian dari rumah penduduk yang rusak sebesar Rp 1,7 triliun dan infrastruktur Rp 600 miliar. Sementara itu, kerugian dari sektor industri, perbankan, serta usaha kecil dan menengah diperkirakan mencapai Rp 2 triliun.

Secara sosial, rencana penambahan pusat belanja itu juga sangat menyakitkan hati warga miskin kota yang menjadi korban penggusuran dengan dalih penambahan RTH oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Penggusuran itu, menurut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, disebabkan oleh semakin sempitnya luas tanah di kota ini sehingga sangat sulit untuk menambah RTH tanpa mengusir warga miskin kota yang kebetulan menempati secuil kawasan yang direncanakan sebagai RTH. Untuk menambah RTH, pemerintah DKI selalu mengaku kekurangan tanah, tapi tidak untuk membangun pusat belanja baru dan kawasan komersial lainnya.
Selain itu, penambahan kawasan komersial baru akan menambah kemacetan lalu lintas di Jakarta. Hal itu disebabkan oleh pengunjung dari pusat belanja tersebut sebagian besar adalah konsumen berkendaraan pribadi. Meningkatnya kemacetan lalu lintas ini tidak hanya akan mengurangi waktu produktif warga kota, tapi juga meningkatkan biaya kesehatan akibat polusi udara yang ditimbulkannya.

Terkait dengan kemacetan lalu lintas di Jakarta, sebuah studi menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di Jakarta telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp 5,5 triliun (SITRAMP, 2004). Bahkan, dengan metode yang berbeda, hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2003 menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di DKI telah menyebabkan kerugian akibat kehilangan waktu produktif yang jika dinominalkan akan mencapai Rp 7,1 triliun. Adapun polusi udara yang diakibatkan oleh meningkatnya kemacetan lalu lintas juga telah menimbulkan peningkatan biaya kesehatan yang sangat tinggi. Hasil kajian Bank Dunia menemukan dampak ekonomi akibat polusi udara di Jakarta sebesar Rp 1,8 triliun.
Dapat dibayangkan betapa berat beban yang harus dipikul oleh warga Jakarta pada dua tahun yang akan datang. Paradigma pembangunan usang yang dipakai oleh para pengambil kebijakan di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta benar-benar telah membuat kota ini mengalami kolaps. Paradigma itu adalah pengarusutamaan pencapaian target pertumbuhan ekonomi dengan mengesampingkan biaya-biaya sosial dan lingkungan yang timbul akibat kebijakan pembangunan.

Untuk menyelamatkan warga kota dari bencana ekologi yang akan semakin sering terjadi dalam skala masif, tidak bisa tidak paradigma pembangunan usang tersebut harus dibongkar. Pembangunan pusat belanja baru di kota ini harus dihentikan. Setelah itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus segera duduk bersama untuk membahas ulang tata ruang kota yang telah karut-marut ini. Para pengambil kebijakan di Jakarta harus kembali ke mandatnya semula, yaitu menempatkan kepentingan warga kota jauh di atas kepentingan para pemilik modal yang ingin menghancurkan kota ini melalui penambahan kawasan komersial baru.

Menaikkan Tarif, Bukan Solusi Tepat

Oleh: Azas Tigor Nainggolan



Beberapa waktu lalu seorang kawan bercerita bahwa dalam waktu dekat Dinas Perhubungan (Dishub) Jakarta akan menaikkan tarif busway yang sekarang Rp 3.500,- per orang. Informasi itu didapatkannya ketika ditraktir oleh seorang pejabat Dishub Jakarta di sebuah hotel berbintang di Jakarta. Pejabat tersebut melakukan pendekatan untuk mendapatkan dukungan atas rencana baru menaikkan tarif tersebut. Dalam pertemuan, pejabat Dishub tersebut mempresentasikan latar belakang serta alasan langkah penyesuaian kenaikan tarif busway Transjakarta. Dalam paparannya, si pejabat Dishub mengatakan bahwa selama ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta menanggung beban subsidi yang bertambah berat dari hari ke hari. Begitu pula dengan rencana penambahan operasional koridor baru 8-10 busway akan memberikan konsekuensi pada penambahan pengeluaran operasional, termauk juga beban subsidinya.
Tingginya beban subsidi itu dikatakan penyebabnya adalah besarnya beban biaya operasional pengelolaan Busway yang ditanggung Pemprov Jakarta. Dishub mendapatkan beberapa sumbernya, yakni inefisiensi dikarenakan keharusan membayar Biaya Perjalanan Kosong (Bus Km kosong) yang harus dibayarkan sepanjang tahun 2007 yakni sekitar Rp 36 milyar setahun. Bentuk infesiensi lainnya juga dikatakan pejabat Dishub itu adalah rendahnya pencapaian muatan rata-rata tiap armada busway yang hanya mencapai 47,83% saja pada tahun 2007 lalu. Akhir kata, si pejabat Dishub mengatakan bahwa menaikan atau menyesuaikan tarif busway adalah keharusan yang tidak bisa dielakkan lagi. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah benar memang menaikkan tarif busway adalah satu-satunya solusi yang tepat saat ini?
Jika dilihat dan dianalisis secara baik latar belakang masalah dalam pengelolaan busway dengan solusinya menaikkan tarif maka tidak berhubungan. Secara garis besar, sebenarnya penyebab dari masalahnya adalah dinternal pengelolaannya. Dalam hal dapat dikatakan bahwa justru Dishub sendiri yang menjadi sumber masalah ini. Pengelolaan system busway yang dilakukan oleh Dishub ternyata sangat tidak efisien dan tidak profesional. Coba saja dilihat dalam hal pengeluaran biaya perjalanan bus kosong yang besarnya mencapai 36 milyar pada tahun 2007 lalu. Bayangkan saja Pemprov harus membayar biaya Bus-Km Kosong mencapai 3 juta Km kepada operator karena menyetujui penempatan pool serta stasiun pembelian Bahan Bakar Gas (BBG) yang letaknya jauh dari koridor busway. Besarnya biaya yang ditanggung adalah Rp 12.000,-/Km dan itu masih berlangsung hingga sekarang. Pendek kata peningkatan biaya operasional busway menurut si pejabat Dishub dikatakan akibat inefisiensi operasional busway dengan infrastruktur pendukung yang belum memadai seperti keberadaan stasiun BBG dan Pool yang dibiarkan jauh dari koridornya.
Mengapa inefisiensi ini dibiarkan setidaknya (diketahui Dishub) selama 4 tahun? Padahal masalah seperti ini merupakan pengetahuan biasa dalam mengelola infrastruktur pendukung sebuah usaha tarnsportasi. Sepertinya memang ini disengaja oleh pihak Dishub untuk luput dan dibiarkan. Tidak mungkin perhitungan atau skema standar pengelolaan transportasi seperti itu tidak diketahui termasuk para konsultan Dishub. Inefisensi infrastruktur pendukung ini sebenarnya banyak alternative penyelesaiannya agar tidak menjadi anggaran rutin. Misalnya saja menetapkan dan meminta para operator membangun pool armada busway yang jaraknya nol km seperti banyak diterapkan banyak Negara yang mengelola busway. Seperti di kota Bogota Colombia, pemerintah kotanya menempatkan pool busway pada setiap ujung koridor buswaynya (TransMilenio).
Inefisiensi lain dari pengeluaran operasional busway karena karena infrastruktur pendukung stasiun BBG yang jauh dari pool armada busway. Masalah ini sebenarnya bisa dipecahkan dengan membangun stasiun BBG yang berada di dalam pool itu sendiri. Apabila memang mahal biaya pengadaan atau pembangunannya maka bisa dilakukan dengan membuat stasiun bergerak BBG di tiap pool. Pengadaan stasiun bergerak BBG ini sangat dimungkin dengan bekerja sama pada pihak penjual BBG. Pihak penjual BBG akan senang hati memenuhinya karena pembelian dan kebutuhan akan terjual sudah pasti. Pihak penjual hanya menyiapkan mobil yang berfungsi sebagai stasiun BBG sedangkan pengelola pool menyediakan tempat yang luasnya sekitar 200 M2 saja di dalam poolnya. Apabila bila kedua langkah penyelesaian ini dilakukan maka Pemprov sudah bisa menghemat sekitar Rp 36 milyar setahun dengan kapasitas mengelola 7 koridor busway.
Tingginya biaya operasional akibat dari besarnya subsidi penumpang busway juga diakibatkan oleh rendahnya Load Factor pencapaian dalam operasionalisasi busway. Load Factor (Target Penumpang) adalah angka pencapaian atau relisasi penumpang dibagi atau dibandingkan dengan angka kapasitas sebenarnya busway. Dalam evaluasi yang dipaparkan pejabat Dishub digambarkan bahwa pencapaian Load Factor sejak tahun 2005 mengalami penurunan. Pada tahun 2004 Load factor mencapai 57.92%, tahun 2005 mencapai 67.38%, tahun 2006 mencapai 58.10% dan tahun 2007 mencapai 47.83%. Penurunan target proyeksi jumlah penumpang busway memang belum pernah tercapai, setidaknya 90% agar pendapatan dari penjualan tiket lebih optimal. Apabila dilihat perhitungannya juga, mengapa ketika busway baru koridor 1 target penumpangnya bisa mencapai 67.38%? Sementara ketika penambahan koridor berikutnya justru yang terjadi adalah penurunan target penumpang?
Setelah terjadi penurunan target penumpang, seharusnya pihak Dishub cepat melakukan evaluasi dan penyelesaian jalan keluarnya. Target pencapaian penumpang atau Load factor ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan penempatan jalur atau koridornya dan letak haltenya yang sesuai dengan kebutuhan pengguna busway? Faktor penting lain yang mempengaruhi pencapaian target penumpang ini adalah Head Way (intensitas armada) yang cepat, pengadaan Park and Ride serta angkutan Feeder (armada pengumpan) yang disesuaikan kebutuhan pengguna. Faktor-faktor penting inilah yang seharusnya diperbaiki atau dibangun agar pengguna dapat mengakses busway sehingga target penumpang dapat dicapai pada angka yang rasional. Artinya Dishub jangan terburu-buru menyimpulkan dan menaikkan tarif busway.
Solusi yang tepat dilakukan oleh Dishub untuk menaikkan target penumpang adalah dengan membuat program-program yang berhubungan bagi peningkatan akses pengguna sebagai penumpang. Misalnya saja dengan membangun koridor, halte serta peningkatan intensitas armada (Head Way) yang sesuai dengan kebutuhan penggunanya. Juga membangun system Feeder yang hingga saat ini tidak satu pun koridor busway Transjakarta memilikinya. Selain itu juga sebenarnya masih banyak ruang usaha yang dapat dilakukan pihak Dishub untuk menambah penghasilan dalam pengelolaan busway. Kalo saja Dishub kreatif maka akan mengolah ruang-ruang di halte atau di armada Transjakarta sebagai ruang iklan yang menarik serta berharga ekonomis.
Akhirnya dapat disimpulkan, sebenarnya jalan keluar atau solusi kreatif dan cerdas yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah besarnya beban subsidi dalam pengelolaan busway Transjakarta. Tidak hanya bisa langsung meminta-minta, dengan mudahnya menyimpulkan menaikkan tarif busway secara diam-diam. Seperti pepatah mengatakan: “Jaka Sembung Pakai Topi, Tidak Nyambung Loh”. Antara masalah dan jalan keluar yang dipilih tidak memiliki hubungan dan artinya solusinya tidak tepat.



Jakarta, 2 Mei 2008
Penulis adalah Seorang Advokat pada Kantor Hukum TMA dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA)
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com,
Blog: azastigornainggolan.blogspot.com