Senin, Desember 29, 2008

Penggusuran

Mengutamakan Manfaat Tanah:
Menyibak Bom Waktu di Balik Kasus Suluk Bongkal

Kekerasan yang diperagakan Polda Riau dalam menyelesaikan sengketa tanah di Suluk Bongkal antara Serikat Tani Riau (STR) dan PT Arara Abadi kembali mengundang keprihatinan banyak pihak. Dua bayi tak berdosa telah berpulang ke hadiratNya akibat terbakar. Mereka menjadi tumbal di salah satu lokasi dari sekian banyak kasus konflik tanah di seluruh bagian nusantara. Kejadian ini mengulang kembali kejadian yang sama di seluruh tanah air, seperti juga kasus-kasus penggusuran oleh aparat Pemerintah Kota. Komnas HAM menyatakan pihak keamanan telah melakukan pelanggaran HAM dalam kasus ini. Ada permintaan yang diajukan oleh pihak tertentu kepada pihak keamanan untuk mengosongkan tanah, menertibkan, mengusir, menggusur atau apa pun namanya. Selain dipicu pesanan spesial tersebut, pihak keamanan selalu berargumen bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan telah sesuai dengan hukum.

Komnas HAM sudah menyatakan dengan tegas, tidak ada satu pun hukum yang membenarkan tindakan kekerasan dalam menyelesaikan persoalan warga di negeri ini! Penulis sangat setuju dan mengajak semua pihak untuk mendukung penuh ketegasan Komnas HAM ini. Bravo Komnas HAM! Bagaimanapun, sebagai negara yang berasaskan Pancasila khususnya sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, fatwa Komnas HAM ini patut menjadi perhatian seluruh pihak penyelenggara Negara, mulai dari Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat hingga Lurah dan Dewan Kelurahan!

Kepada aparat penertiban (Satpol PP), keamanan (Polisi) dan pertahanan negara (Tentara) hendaknya tidak serta merta ringan tangan menerima pesanan pihak-pihak tertentu. Baik dari pihak-pihak perorangan, perusahaan modal kuat yang kebelet berspekulasi, maupun permintaan dari aparat Pemerintah! Bahkan permintaan dari pihak pengadilan sekalipun! Karena keadilan pun harus ditegakkan secara manusiawi dan beradab! Ingat, aparat keamanan makan gaji dari uang rakyat dan mendapat amanat Konstitusi NKRI untuk melindungi dan mengayomi seluruh rakyat. Mereka BUKAN PESURUH BAYARAN yang bisa menerima pesanan khusus! Parahnya, pada beberapa kasus bayarannya ini pun bersumber dari uang rakyat!

Kembali kita hendaknya mendukung anjuran Komnas HAM, yaitu hendaknya semua pihak yang berkepentingan lebih berlapang dada, menjauhi upaya-upaya jalan pintas, duduk bersama menuntaskan persoalan yang ada. Namun pihak-pihak yang berkepentingan langsung tentunya tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri saja. Pihak-pihak terkait lainnya harus bertanggung jawab dan harus keluar dari persembunyiannya! Pihak-pihak yang ambil sikap diam dan pura-pura tidak tahu harus berani keluar dari cangkangnya yang nyaman! Komnas HAM sudah menyebut beberapa pihak yang berada lebih di hulu, yaitu Pemda Provinsi, Pemda Kabupaten dan Badan Pertanahan.

Baik, katakanlah kini semua pihak di daerah sudah berusaha duduk bersama. Harus dicatat pula, bahwa konflik tanah selalu berkepanjangan. Konflik tanah di Dusun Suluk Bongkal, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau ini sudah berlangsung sekitar dua tahun. Pertanyaannya, apakah para-pihak berkepentingan dan para-pihak terkait di daerah dapat menyelesaikan masalah ini sendiri? Semoga saja, meskipun belum tuntas. Paling tidak mereka sudah harus menghentikan cara-cara represif sebagai solusi. Namun ibarat bom waktu, kebuntuan (deadlock) ini berpotensi untuk terus berlarut-larut dan dapat kembali meledakkan kekerasan aparat keamanan yang berakibat pelanggaran HAM. Juga tidak ada jaminan bom waktu yang sama tidak meledak di tempat lain di tanah air.

Perdebatan tipikal seperti dasar hukum pemilikan tanah, masalah ketertiban, rasa keadilan, pelanggaran HAM dan sebagainya, tak akan kunjung tuntas sejauh solusi hanya disandarkan pada status hukum dan kekerasan aparat keamanan. Solusi ganti rugi uang sekalipun tidak akan menyelesaikan masalah! Ganti rugi uang itu hanya cara-cara yang biasa dipakai preman, pemalak dan calo, yang sayangnya masih digemari mulai dari preman jalanan sampai preman elit. Ganti rugi uang hanya semakin memiskinkan dan sama sekali tidak memberdayakan pihak manapun. Justru di sini penulis bersimpati terhadap aparat keamanan sebagai pihak yang hanya digunakan untuk menyulut kebakaran. Kita juga beriba hati dengan Komnas HAM yang hanya kebagian peran bak pemadam kebakaran!

Oleh karena itu di sini penulis berpendapat bahwa masih ada akar masalahnya di tingkat yang lebih hulu lagi. Akar masalah inilah yang menyebabkan merebak dan berlarut-larutnya berbagai kasus sengketa tanah hampir di seluruh wilayah tanah air, di semua kota , di semua wilayah dan di semua pulau di tanah air tercinta ini. Akar masalahnya adalah belum ditempatkannya manfaat tanah sebagai yang utama, di atas urusan-urusan pertanahan lainnya dengan menganut asas-asas keadilan dan kemanfaatan tanah yang produktif. Demikian pula, masih absennya berbagai sistem dan mekanisme pembangunan yang mengutamakan manfaat tanah.
Mispersepsi Peran Administrasi Pertanahan

Banyak kalangan menyorot administrasi tanah sebagai akar masalah sengketa tanah yang menyimpan segudang potensi konflik. Badan Pertanahan Nasional (BPN) termasuk Kantor Pertanahan di daerah-daerah dituding sebagai lembaga yang bertanggung jawab. Perkara yang sering muncul pun akhirnya berputar pada klaim pemilikan tanah. Aspek hukum pertanahan selalu dijadikan jalan penyelesaian segala sengketa. Beginilah pandangan tipikal dari kalangan awam maupun para elit di negeri ini dalam mensikapi carut marut masalah tanah, yaitu memandang masalahnya adalah urusan kepemilikan, bagaimana administrasi kepemilikannya dan bagaimana menyelesaikan sengketa kepemilikan di pengadilan.

Memang disadari bahwa administrasi tanah dan status pemilikan yang kuat adalah aspek penting yang perlu terus dibenahi sebagai prasyarat di berbagai bidang pembangunan yang membutuhkan sumberdaya tanah.. Namun harus kita akui pula bahwa kapasitas administrasi dan kejelasan hukum pertanahan di tanah air masih jauh dari memadai. Berbagai konflik tanah umumnya terjadi di wilayah yang urusan adminstrasi tanahnya masih belum tertangani dengan baik. Lalu apakah konflik tanah harus menunggu beresnya semua administrasi tanah? Menurut penulis justru pandangan yang meletakkan administrasi dan hukum tanah sebagai akar masalahlah yang merupakan sumber masalah. Mengapa?

Pertama, karena sebagai negara yang besar Indonesia memiliki aneka ragam budaya dan tradisi. Sebagai negara yang sedang berkembang memiliki pula ragam kondisi pembangunan antar wilayah, antar pulau, dan antar kota-desa. Hal-hal seperti ini berimplikasi pada aneka ragam bentuk dan status kepemilikan dan pemanfaatan tanah serta riwayatnya yang panjang. Sebagian besar tanah masih memiliki status dan riwayat yang beraneka ragam. Kita mengenal tanah adat, tanah garapan, verponding, tanah negara, dan sebagainya. Keadaan ini tidak bisa di-administrasi dengan sistem registrasi dan sistem kadastral yang seragam di seluruh tanah air, seluruhnya dan dalam waktu yang singkat pula.

Kedua, administrasi (sistem registrasi dan informasi) tanah bukanlah hal yang sederhana. Sebelum mengeluarkan sebuah sertifikat tanah, kantor pendataan tanah perlu menelusuri riwayat tanah tersebut secara seksama, mengarsip semua surat-surat yang berhubungan dengan riwayat tanah, baru kemudian mengukur dan mencatatkannya. Hal ini tentunya membutuhkan biaya administrasi dan sistem informasi yang tidak sedikit dan waktu yang lama. Apalagi jika menyangkut persil yang berukuran kecil dan banyak jumlahnya di kawasan perkotaan. Kenyataannya, masih sedikit tanah yang telah diregistrasi dan diberi sertifikat oleh BPN.
Pertanyaannya, apakah konflik tanah baru punya harapan diselesaikan setelah seluruh dan aneka ragam status tanah di bumi Indonesia ini diregistrasi? Tentunya ini hal yang mustahil, ibarat mimpi. Pemerintah saja sudah kewalahan dihadapkan masalah sengketa tanah yang sangat pelik. Hingga kini saja BPN sudah mengidentifikasi sekitar 3.000 kasus sengketa tanah yang BELUM DAPAT DISELESAIKAN. Belum lagi jika diperhitungkan potensi konflik yang ada dan terus bermunculan. Lalu ke mana arah administrasi pertanahan? Apakah memang kesalahan mendasar dalam pengelolaan pertanahan adalah karena memulainya dari administrasi tanah?
Dominasi Paradigma Pemilikan Tanah
Administrasi pertanahan menjadi sumber masalah ketika hanya diarahkan untuk mendukung status hukum kepemilikan tanah. Akibatnya adalah dominasi paradigma kepemilikan tanah (land ownership) yang mendikte administrasi tanah. Payunh hukum pertanahan hanya digunakan semata untuk melindungi hak-hak pemilikan tanah. Dalam situasi pemerintahan yang belum baik, tidak mengherankan jika dominasi paradigma pemilikan tanah inilah yang melahirkan pendekatan kekuasaan dan kekerasan dengan menggunakan alat keamanan negara dalam penyelesaian sengketa tanah.
Pengutamaan administrasi tanah dan dominasi paradigma pemilikan tanah sebenarnya cenderung menghambat modernisasi pengelolaan sumber daya tanah dalam pembangunan yang transformatif dan dinamis. Perhatian yang mementingkan kedua aspek ini hanya melahirkan status quo Kantor Pertanahan dan kejumudan kelembagaan. Administrasi tanah yang dijalankan tanpa arah kebijakan dan perencanaan pemanfaatan tanah yang jelas dan tegas, serta tanpa mewadahi kebutuhan dan kepentingan berbagai pihak, hanya menjadi stempel pihak-pihak berkepentingan untuk menguasai tanah dengan jalan pintas. Buahnya adalah pola penanganan represif yang hanya menzalimi, bertambah-tambahnya penderitaan warga masyarakat yang sudah hidup susah, dan rasa ketidak adilan yang semakin meluas bak api dalam sekam.
Fenomena Spekulasi, Pembiaran, Penggusuran, dan Politik Bagi-bagi Tanah
Tanpa arah yang jelas, Kantor Pertanahan tidak memiliki panduan dimana tanah perlu mendapat prioritas administrasi. Akibatnya, di bagian mana saja bumi nusantara ini, di atas sawah, di ladang ilalang, di hutan belukar, sertifikat hak milik begitu mudah didapat. Tanah-tanah yang luas hanya untuk dikuasai di atas kertas, dari Jakarta atau dari kota-kota besar. Tidak adanya arahan pemanfaatan tanah hanya menjadikan tanah sebagai komoditi dan kolateral penjaminan secara berlebihan sehingga menyuburkan praktik-praktik spekulasi dan manipulasi yang melibatkan pula pihak perbankan. Spekulasi tanah sebagai kolateral properti secara berlebihan ini pulalah yang turut menggelembungkan balon ekonomi.
Pada gilirannya, spekulasi tanah sebagai buah ekonomi pasar tanah yang menggelembung berdampak pada pembiaran-pembiaran tanah di mana-mana. Pemanfaatan tanah menjadi tidak penting karena tanah telah diborohkan untuk mendapatkan uang. Tanah-tanah lalu dibiarkan saja terlantar.
Akhirnya hukum alam tetap bekerja ketika tanah-tanah tersebut dimanfaatkan masyarakat, yang menurut kacamata pasar formal itu adalah pemanfaatan secara informal bahkan ilegal. Suatu ketika, jika tanah dibutuhkan, warga masyarakat pemanfaat tanah digusur begitu saja dengan cara-cara intimidasi dan kekerasan. Aparat penertiban dan keamanan disiapkan pula untuk menerima pesanan pengosongan, penertiban dan pengamanan tanah, yang hakikatnya adalah penggusuran dan represi. Beginilah pola-pola penanganan berbagai bentuk kegiatan informal.
Pengutamaan administrasi, status legal dan paradigma pemilikan tanah inilah yang melahirkan berbagai konflik pertanahan di negeri ini. Fenomena spekulasi tanah pembiaran, penggusuran dan sengketa hukum selalu mengemuka yang menjadi ciri khas pemerintahan di Indonesia . Jika begini terus keadaannya, maka administrasi tanah akan menjadi sumber korupsi dan menjadi biang kekusutan tata pemerintahan yang berkepanjangan, serta menjadi biang keresahan di masyarakat. Oleh sebab itu keadaan kemarut ini perlu diwaspadai agar jangan sampai hanya mendudukkan administrasi tanah dan pengadilan sebagai pintu utama penyelesaian masalah. Keadaan semrawut seperti ini juga rawan untuk dijadikan komoditas politik populis dengan program bagi bagi tanah, tanpa penyelesaian akar masalahnya secara mendasar dan sistemik.
Administrasi dan hukum pertanahan semata bukanlah panglima yang dapat menuntaskan sengkarut masalah tanah. Hukum pertanahan tidak dapat diterapkan secara persis sebagaimana hukum positif tindak pidana. Pengelolaan tanah harus secara jelas menentukan dimana, kepada siapa dan dengan tujuan apa administrasi tanah perlu diprioritaskan. Pengelolaan pertanahan memerlukan arah dan prioritas penanganan, identifikasi kebutuhan tanah dan kepentingan semua pihak serta pemberdayaan di berbagai seginya.
Mengutamakan Pemanfaatan Tanah
Menurut hemat penulis, diperlukan perubahan paradigma dalam memandang sumber daya tanah. Pada hakikatnya, tanah hanyalah milik Tuhan Sang Pencipta. Tanah yang membentuk kulit bumi ini sudah ada sejak dahulu kala bahkan ketika nenek moyang manusia belum menempatinya. Peran manusia di muka bumi ini adalah untuk memanfaatkan bumi dan sumber daya tanah dengan sebaik-baiknya secara berdaya guna dan berkelanjutan sebagai anugerah Tuhan.
Kehidupan bernegara memberikan arah bahwa pemanfaatan tanah harus didayagunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh warga negara, sebagaimana tertera pada UUD 1945 pasal 33. Hukum dasar negara kita ini sebenarnya telah memberi arah bahwa pemanfaatan tanahlah (land utilization) yang perlu dijadikan panduan dalam pengelolaan pertanahan, untuk menjamin kemanusiaan yang adil dan beradab dan terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Oleh karena itu pemanfaatan atas tanah harus ditempatkan sebagai asas utama, dan bukannya pemilikan tanah. Pemilikan tanah hanya diakui sepanjang mendukung pemanfaatan tanah. Untuk itu Negara perlu menjamin pemanfaatan tanah dengan sebaik-baiknya secara berkelanjutan. Untuk tujuan ketertiban, negara mendata dan memberikan hak kepada warganya untuk menguasai atau memiliki tanah di wilayah negara tersebut. Namun bukan kepemilikan mutlak, melainkan dalam rangka pemanfaatannya untuk kemakmuran seluruh warga secara berkeadilan.
Langkah-langkah Realisasi Pengutamaan Manfaat Tanah
Mengutamakan manfaat tanah hendaknya jangan dijadikan sebatas dakwah kata-kata atau jargon kosong yang tak bermakna. Tugas besar yang menantang adalah bagaimana merealisasikan paradigma pengutamaam manfaat tanah ini dalam berbagai bentuk strategi dan mekanisme pembangunan. Menurut penulis sementara ini, mengutamakan pemanfaatan tanah setidaknya berimplikasi pada pentingnya 5 hal, yaitu: memperbaiki sistem tata guna tanah, pengutamaan kepemimpinan sektor publik, pembagian peran kelembagaan, pengembangan koordinasi dan pemberantasan spekulasi tanah.
1. Memperbaiki Sistem Tata Guna Tanah
Sumber daya tanah tentunya sangat terbatas dan tidak terbarukan. Namun sistem rencana, sistem pemanfaatan dan sistem pengendalian manfaat tanah merupakan modal kelembagaan (institutional capital) yang harus dibangun secara progresif. Jika banyak pejabat yang berkilah sulitnya memperoleh tanah dan mahalnya harga tanah sebagai kendala, ini menunjukkan modal kelembagaan dan modal sistem yang masih primitif yang tidak responsif mendukung perkembangan kebutuhan tanah. Sumber daya kelembagaan dan sistem harusnya berkembang terus dan tidak akan pernah habis untuk memanfaatkan sumber daya tanah yang terbatas.
Pengutamaan pemanfaatan tanah akan menggerakkan pemerintah untuk menyusun sistem rencana dan penerapan tata guna tanah secara sungguh-sungguh. Sayangnya hingga kini modal kelembagaan ini belum terbangun dan belum jadi perhatian. Kondisi rencana tata guna tanah dan pengendalian pemanfaatannya tidak kalah memprihatinkan dibanding kondisi administrasi tanah. Rencana-rencana tata ruang (RTRW) dan tata bangunan (RTBL) hanya menjadi onggokan dokumen yang tidak diimplementasikan. Rencana-rencana peruntukan tanah (RGT), rencana perumahan dan permukiman (RP4D) di daerah jauh dari karakter kebutuhan yang ada. Konversi guna tanah terjadi secara diam-diam dan tak terkendali sehingga memaksa perubahan tak terencana dari RTRW setelah 20 tahun kemudian, sebagaimana kasus perubahan RTRW Jakarta 1965-1985 ke RTRW 1985-2005 dan RTRW 2005-2025 yang melalap peruntukan Ruang Terbuka Hijau kota.
Bagaimanapun, bangsa ini perlu segera membangun perikehidupan yang lebih tertib dengan taat terhadap rencana-rencana yang disusun secara partisipatif. Sistem perencanaan yang efektif terutama di sektor publik harusnya menjadi kerangka acuan aktifitas pembangunan di berbagai bidang dan oleh berbagai pelaku. Pemanfaatan tanah harus segera ditertibkan secara terencana dan terkendali. Rencana tata ruang, tata guna tanah, tata bangunan dan berbagai instrumen perencanaan lainnya perlu segera diefektifkan penerapannya serta mendapat prioritas penegakan hukum. Dengan instrumen infrastruktur publik, pemerintah dapat mengendalikan perencanaan tata ruang secara efektif. Untuk itu wilayah-wilayah yang cepat tumbuh dan potensial perlu segera diidentifikasi sebagai wilayah promosi pembangunan yang dipioritaskan. Setelah rencana tata ruang dan tata guna tanah disusun, barulah kemudian administrasi tanah diarahkan untuk mendukung tertib pemanfaatannya. Dengan demikian pengembangan kawasan lebih terkendali dan sertifikasi tanah memiliki arah dan prioritas.
Pemanfaatan tanah dan ruang yang berkembang dengan terencana dan terkendali, menghasilkan nilai properti yang tinggi dan terus meningkat sejalan dengan perkembangan kegiatan ekonomi yang berlangsung efisien di atasnya. Perencanaan pemanfaatan tanah yang dirujuk oleh administrasi tanah pada gilirannya diikuti oleh administrasi perpajakan tanah yang baik pula. Nilai poperti tanah dan bangunan yang tinggi akan menjadi objek pajak. Pendapatan negara dari perpajakan tanah dan bangunan yang bernilai tinggi ini akan membuat negara kaya. Kekayaan ini pulalah yang pada gilirannya akan memampukan pemerintah dalam pembiayaan infrastruktur publik. Efektifitas sistem tata guna tanah akan membentuk siklus pembangunan wilayah yang terus bertumbuh secara produktif dan sistemik, sebagai mesin pembangunan ekonomi yang semakin meningkat dan mensejahterakan seluruh rakyatnya secara berkeadilan.
2. Pengutamaan Kepemimpinan Sektor Publik
Perusahaan-perusahaan publik di berbagai bidang yang mengakumulasi tanah dan terkait penggunaan tanah, baik di tingkat nasional seperti Perum Perumnas, PT Perkebunan, Perhutani, PT Pelindo, PT. KAI, Pengelola Senayan maupun di daerah seperti Dewan Pengelola Kemayoran, , Pengelola Pantura, Pengelola Pluit, Jakarta Propertindo, dan lain-lain secara umum dapat dinilai belum berkembang dalam memanfaatkan tanah sebagai amanat kepentingan publik. Perusahaan publik yang menguasai tanah-tanah yang luas belum menjadi instrumen intervensi yang mampu mengendalikan manfaat dan mudarat dari penggunaan tanah untuk sebesar-besarnya kepentingan seluruh lapisan masyarakat.
Sebagai hasilnya, di wilayah pesisir, kehutanan, pertanian dan perkebunan, terjadi konversi guna tanah yang marak sekali secara tidak terencana dan terkendali. Akibatnya adalah dampak pada kerusakan lingkungan hidup, mengakibatkan ekonomi wilayah tidak berkembang secara terencana, hingga konversi tanah yang anti sosial. Sebagai contoh, konversi tanah perkebunan menjadi permukiman dan perkotaan belum menjadi informasi publik yang terbuka. Konversi terjadi secara diam-diam di balik layar sehingga disusupi kepentingan investor dan pejabat yang korup.
Dampaknya di wilayah perkotaan, kota dan permukiman berkembang secara sporadis tanpa rencana dan pengendalian yang efektif. Pengutamaan status administrasi dan asas kepemilikan tanah hanya memihak kepentingan pemilik modal secara sepihak, selain merupakan celah korupsi yang menganga. Hasilnya adalah mosaik kota dan kawasan yang tersegregasi secara ruang dan sosial. Pengembang swasta dibolehkan membebaskan tanah mentah langsung dari masyarakat, melampaui rencana tata ruang dan tanpa lebih dulu dikonsolidasi oleh perusahaan publik. Ini namanya fenomena kepemimpinan sektor swasta (private sector led large scale housing development) yang kini marak terjadi. Meskipun sudah ada konsep mekanisme kawasan siap bangun skala besar yang harus dikelola badan publik (UU 4/92 tentang Perumahan dan Permukiman dan PP 80/99 tentang Kasiba-Lisiba, namun mekanisme ini mangkrak alias belum berjalan secara efektif dan progresif.
Konversi guna tanah dan ijin pengelolaan tanah berkembang tidak terkendali. Padahal konversi guna tanah yang terencana dan terkendali merupakan sumber daya yang sangat berharga untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Dan mekanisme itu hanya bisa dijalankan dengan memberikan pengutamaan pemanfaatan kepada perusahaan publik yang akuntabel.
Jika ada pandangan yang mengatakan adanya dominasi negara dapat mendistorsi pasar, memang ada benarnya menurut penulis. Namun kepemimpinan sektor publik berbeda dengan dominasi negara. Distorsi pasar perumahan belum pernah terjadi di tanah air akibat pemerintah terlalu mencampuri urusan tanah dan pemanfaatannya. Yang terjadi justru sebaliknya, distorsi terjadi akibat pemerintah tidak campur tangan. Sebagai contoh dalam hal tanah untuk perumahan, tanah di seputar Jabodetabekpunjur sudah dikuasai para pengembang swasta. Sementara Perumnas hanya menguasai beberapa ratus hektar tanah, sedangkan pengembang swasta menguasai hingga ratusan ribu hektar. Belum lagi jika dilihat letak strategis lokasinya yang sangat timpang.
Pemanfaatan tanah lebih terjamin dijalankan secara berkeadilan dan mengutamakan kepentingan orang banyak jika dijalankan dengan mengacu pada prinsip kepemimpinan sektor publik (public-sector-led development) yang transparan dan akuntabel. Sekali lagi, kepemimpinan sektor publik berbeda dengan dominasi sektor publik (public sector dominated development) atau dominasi negara (state dominated development). Mengapa penulis menekankan hal ini? Tidak lain adalah karena mitos dominasi negara ini seringkali digunakan pihak-pihak kepentingan untuk menghambat berkembangnya peran kepemimpinan sektor publik. Pihak-pihak inilah yang menginginkan iklim yang bebas seperti di hutan rimba karena merekalah yang mereguk kenikmatan dari spekulasi tanah, eksploitasi administrasi tanah, penyalahgunaan perijinan dan korupsi konversi guna tanah.
3. Pembagian Peran Kelembagaan.
Pengutamaan manfaat tanah melalui pengutamaan sektor publik dan pemberantasan spekulasi tanah bukanlah pengekangan pasar. Yang perlu dilakukan pemerintah lebih jauh adalah pengembangan tata pemerintahan yang baik melalui pembagian peran kelembagaan yang efektif, yaitu antara pihak-pihak pemerintah, swasta dan organisasi-organisasi di masyarakat.
Bagaimana memberikan peran penting kepada sektor publik? Kenaikan nilai tanah seharusnya diutamakan untuk lebih dulu diberikan kepada perusahaan- perusahaan publik. Namun bukan perusahaan publik yang kinerjanya buruk dan dipenuhi praktek korupsi. Secara simultan perusahaan-perusahaan publik berbagai sektor tersebut harus terus ditingkatkan kapasitasnya agar semakin profesional dan akuntabel serta dapat mengemban misi memanfaatkan tanah untuk kepentingan rakyat banyak. Tujuannya bukan untuk mencari untung, namun untuk memberikan kerangka bagi kepentingan berbagai pihak, menjamin kepentingan publik di dalamnya, dan mengembangkan kawasan-kawasan yang berkualitas dan berkeadilan. Baik pengembangan kawasan-kawasan lindung, hutan produksi, perkebunan, permukiman, industri, perhubungan dan sebagainya. Sebagai contoh, Perhutani mengemban misi hutan produksi rakyat, PT Perkebunan mengemban misi perkebunan inti dan plasma, Perumnas mengemban misi untuk merumahkan seluruh rakyat secara layak, PD Damri, Pelindo dan PT KAI mengemban misi transportasi publik, dan sebagainya. Pembagian peran ini lebih jauh adalah realisasi dari pengutamaan kepemimpinan sektor publik.
Adapun peran-peran lain diberikan kepada pihak swasta dan masyarakat seiring dengan sinergi antar pihak. Bangunlah sistem kerjasama yang baik sehingga kepentingan pihak swasta untuk mengambil untung tetap terjaga secara efektif dan efisien, bukan dengan membuka peluang spekulasi tanah (yang diiringi korupsi perijinan). Pengusaha swasta yang semakin efisien akan semakin kompetitif di era globalisasi.
Sebagai perbandingan adalah bidang perumahan dan transportasi di Jepang. UR atau Urban Renaissance (Perumnasnya Jepang) atau Dinas Perumahan Daerah nya selalu diutamakan untuk menguasai tanah dalam radius tertentu dari stasiun kereta listrik yang dibangun JR (Japan Railway, PT-KAI nya Jepang). Baru kemudian pada lingkar di luarnya pengembang swasta diberi ijin membangun. Sistem rel kereta yang dibangun JR umumnya berbentuk melingkar menguasai kawasan yang luas. Developer swasta yang lebih besar melirik kawasan di antara dua stasiun yang berdekatan tapi belum ada jalur rel keretanya. Di lokasi-lokasi ini yang biasanya ada di jalur jari-jari, mereka (Odakyu, Tobu, dll) tidak hanya membangun jaringan rel kereta, tapi juga menguasai tanah dan membangun aneka properti. Namun secara keseluruhan tidak ada pengembang swasta yang lebih besar dari UR dan JR. Ini terjadi bukan karena Jepang negara kaya, tapi karena bangsa Jepang dapat menempatkan peran-peran berbagai pihak pada posisinya. Mereka memahami mana yang untuk kepentingan orang banyak dan wilayah mana yang dibolehkan untuk kepentingan orang seorang.
4. Pengembangan Koordinasi Kelembagaan.
Yang perlu dilakukan pemerintah juga adalah pengembangan tata pemerintahan yang baik melalui pengembangan mekanisme koordinasi yang efektif, terutama di antara lembaga- lembaga pemerintah secara lintas sektor dan lintas pusat-daerah. Sebagai perbandingan lagi, sebagai konsekwensi pembagian peran yang apik di Jepang, koordinasi dapat berjalan harmonis bukan karena dipaksa berkoordinasi.
Setidaknya ada tiga aspek penting dalam manajemen pertanahan yang perlu dijalankan pemerintah secara terkoordinasi, baik antar sektor maupun antar tingkatan. Ketiga aspek itu adalah tata guna tanah (land use) di hulunya, administrasi tanah (land administration) di tengah-tengah dan pajak tanah (land tax) di hilirnya. Ketiga instrumen penting ini perlu diselenggarakan secara terpadu dan diterapkan secara tepat sesuai potensi dan tingkat perkembangan suatu kawasan. Baik sebagai instrumen pendorong (incentive) maupun sebagai instrumen pengendali (disincentive) perkembangan kawasan.
Belum jelasnya kebijakan yang mampu menjamin distribusi tanah yang berkeadilan untuk seluruh rakyat adalah akibat masih terkotak-kotaknya koordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah tersebut. Di tingkat pusat, yaitu antara Badan Pertanahan Nasional (BPN), Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Direktorat Jenderal Pajak dan Departemen Dalam Negeri. Mengingat hubungan lembaga-lembaga tersebut adalah hubungan koordinasi kebijakan di tingkat kabinet, maka efektifitas koordinasi di antara aspek-aspek penting pertanahan untuk perumahan tersebut menjadi ukuran keseriusan seorang Presiden untuk menuntaskan masalah tanah. Pada gilirannya, koordinasi yang baik dalam kebijakan dan strategi di pusat dapat memberikan arahan yang konstruktif di tingkat daerah.
5. Pemberantasan Spekulasi Tanah.
Pengutamaan status hukum dan kepemilikan tanah hanya membuka celah praktek-praktek spekulasi tanah. Sedangkan mekanisme hak pengelolaan lahan dan hak guna bangunan (leasehold) belum menjadi instrumen yang efektif untuk menerapkan rencana-rencana guna tanah untuk kepentingan publik dan untuk mengendalikan penguasaan dan pengelolaan tanah yang luas oleh selain lembaga publik.
Contohnya, siapa dan pihak mana yang paling menikmati kenaikan nilai tanah di sepanjang Tol Cikampek, Tol Jagorawi, Tol Tengerang dan Tol Purbalenyi, misalnya? Apa memang boleh pengembang swasta menikmati lebih dulu peningkatan nilai tanah akibat dibangunnya kompleks Pemda di Bekasi, misalnya lagi? Siapa yang seharusnya berhak menikmati peningkatan nilai tanah akibat konversi tanah-tanah perkebunan dan pertanian menjadi permukiman dan kota-kota baru?
Pertanyaan yang lebih mendasar lagi sebenarnya adalah, apakah ada prinsip pemanfaatan tanah di Indonesia ini yang menyatakan bahwa peningkatan nilai tanah akibat perencanaan ruang, pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik diutamakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat atau kepentingan publik? Bukankah keadaan ini yang menyebabkan maraknya praktek spekulasi tanah oleh para pengembang dan spekulan-spekulan individu? Spekulasi tanah bukanlah cermin mekanisme pasar, namun wujud kehidupan hutan rimba yang membolehkan siapa yang kuat memakan yang lemah.
Absennya sistem tata guna tanah, kepemimpinan sektor publik, pembagian peran dan koordinasi semakin menyuburkan spekulasi tanah, sedemikian sehingga banyak orang-orang dan para pihak tertipu. Mereka menyangka bahwa kegiatan spekulasi yang dilakukannya adalah sah-sah saja, halal dan tentunya wuenak tenan. Mental spekulasi tanah sudah cukup berkarat dan membudaya di tengah-tengah bangsa yang sedang membangun budaya dan identitasnya ini. Untuk itu perbaikan sistem tata pertanahan saja tidak lagi memadai. Diperlukan pemupukan kesadaran baru di tingkat nasional, bahwa spekulasi tanah adalah salah satu bentuk korupsi tanah yang dapat menyengsarakan rakyat banyak. Para ulama dan pemuka agama juga perlu memahami masalah ini dan memberikan fatwa haram terhadap tindakan spekulasi tanah maupun spekulasi aset properti lainnya (spekulasi apartemen, rumah susun dan lain-lain). Pemberantasan spekulasi tanah harus sama kencangnya dengan pemberantasan korupsi.
Penutup
Pada gilirannya, mengutamakan manfaat tanah melalui realisasi lima agenda di atas berimplikasi pada terbukanya akses terhadap tanah bagi seluruh rakyat dan tumbuhnya keamanan pemanfaatan tanah. Akses terhadap tanah (access to land) haruslah dibuka seluas-luasnya bagi seluruh warga negara dan semua pihak yang membutuhkan tanah. Administrasi tanah justru tidak boleh menjadi sumber sengketa atau bahkan menjadi penghalang akses terhadap tanah. Pemanfaatan tanah oleh warga perlu dijamin keamanannya (security of land tenure). Berdasarkan kedua hal ini, berbagai bentuk pembiaran pengusiran dan penggusuran baik melalui intimidasi maupun kekerasan haruslah dihapuskan.
Fenomena meledaknya bom waktu konflik tanah dan meletusnya balon ekonomi yang disulut krisis properti sungguh harus menjadi pelajaran berharga semua pihak karena telah membawa penderitaan kemanusiaan yang luas di tanah air. Kalangan pengambil kebijakan di negeri ini jangan terlena tidak menyadari api yang terus menjalar dalam sekam. Pengutamaan status hukum pemilikan tanah yang berimplikasi pada penanganan dengan kekerasan harus segera dipinggirkan karena harganya yang mahal sekali berupa penderitaan, ketakutan, kemarahan, tetesan darah dan nyawa warga masyarakat. Fokus tata kelola pertanahan harus berorientasi pada manfaat tanah, karena selain lebih menjamin asas keadilan, tata kelola pertanahan akan mendorong warganya untuk lebih aktif, kreatif, dinamis dan produktif. Bukankah iklim macam begini yang menjadi prasyarat pembangunan yang lebih beradab, mandiri dan berdaya saing?

***
(Oleh: Moh. Jehansyah Siregar, Ph.D. Pemerhati dan pegiat di bidang perumahan dan perkotaan, tinggal di Bandung . Email: jehansiregar at yahoocom. Silahkan jika ada yang ingin meneruskan ke alamat lain)

Kamis, Desember 25, 2008

Selamat Natal

Dear All,

Marry Christmas and
let`s share our love that we recieve today from him.
May God Bless you.

Sincerely yours
Tigor, Tiar, Kevin n Yoseph

Rabu, Desember 03, 2008

Advokasi Penegakan Peraturan Kawasan Dilarang Merokok di Jakarta

Penegakan Peraturan Berbasis Partisipasi Warga


Baru saja pada tanggal 19 hingga 27 November 2008 yang lalu Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta bersama LSM melakukan upaya penguatan penegakan peraturan Kawasan Dilarang Merokok (KDM). Upaya penguatan tersebut dilakukan dengan mengadakan Uji Simpatik KDM agar Perda No:2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Udara khususnya mengenai peraturan Kawasan Dilarang Merokok yang diatur dalam Pergub No: 75 Tahun 2005 dapat dikenal dan diimplementasikan. Pergub No: 75 tahun 2005 dalam pasal 3 mengatur bahwa tempat-tempat yang menjadi sasaran kawasan dilarang merokok adalah tempat umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah dan angkutan umum.

Keterlibatan LSM atau masyarakat ini adalah wujud dukungan pada Pemprov Jakarta untuk menerapkan dan mengakkan aturan tentang KDM. Dukungan ini diberikan agar penegakkan Perda dan Pergub tentang KDM ini tidak lagi terbenam oleh waktu atau persoalan tehnis penerapannya. Berdasarkan analisis hukum, ada beberapa hambatan atau persoalan dalam penerapan aturan tentang KDM, seperti:
1. Sanksi yang sulit diterapkan, yakni maksimal kurungan 6 bulan atau denda Rp 50 juta sudah bukan lagi masuk kawasan Tindak Pidana Ringan yang sanksinya masimal kurungan 3 bulan atau denda Rp 5 juta.
2. Adanya perbedaan penerapan aturan mengenai penyediaan tempat merokok bagi pengelola kawasan atau gedung. Dalam Perda No:2 Tahun 2005 disebutkan bahwa pengelola gedung harus menyediakan sementara Pergub 75 Tahun 2005 menyebutkan bahwa pengelola gedung hanya dikatakan dapat menyediakan tempat merokok.

Terlepas masih adanya perbedaan dan hambatan dalam penerapan peraturan tentang KDM, kebutuhan mengatur dan melindung warga agar mendapatkan udara bersih tidak bisa ditunda lagi. Artinya adalah Pemprov bersama warga dalam hal ini tetap perlu berupaya keras menerapkan peraturan tentang KDM sebagai wujud udara bersih adalah hak dasar warga negara. Banyak dilakukannya kampanye oleh LSM dan warga tentang harusnya udara bersih dalam ruangan, bahaya asap rokok dan perlindungan generasi mendatang dari bahaya rokok membuat masayarakat sadar akan bahaya rokok bagi kesehatan dan kehidupan. Begitu pula dengan kerja sama Pemprov, warga, media massa dan LSM pada prose uji petik simpatik KDM tersebut membuat warga lebih paham dan besar keinginannya berpartipasi dalam upaya penegakkan aturan tentang KDM. Keinginan warga ini dilatar-belakangi keinginan mewujudkan udara Jakarta yang bersih dan sehat, bebas dari asap rokok.

Tingginya partisipasi dan kesadaran warga itu tergambar dari banyaknya respon dan sikap kritis untuk menegakkan aturan dalam Perda No:2 dan Pergub No:75 Tahun 2005 tentang KDM. Warga mengungkapkan bahwa sekarang mereka sudah lebih memahami aturan tenang KDM dan akan melakukan kontrol atau tekanan bagi pihak-pihak yang melanggar aturan tentang KDM. Awalnya ada warga yang takut menegur atau tidak tahu bahwa merokok dalam angkutan umum itu dilarang. Namun setelah adanya sosialisasi dan kampanye tentang KDM, warga jadi lebih berani dan bersemangat menjaga KDM karena memang ada dasar hukumnya.
Keterlibatan atau partisipasi warga dalam penegakan setiap peraturan sangat dibutuhkan mengingat keterbatasan jumlah aparat sebagai tenaga penegak peraturan. Keberadaan partisipasi warga Jakarta dalam penegakan aturan KDM menjadi penting dan memang harus ada karena udara bersih dan sehat adalah hak untuk semua warga. Dalam pasal 19 Pergub No:75 disebutkan bahwa Peran Serta Masyarakat diatur:
1. Peran serta masyarakat dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, badan hokum atau badan usaha dan lembaga atau organisasi yang diselenggarakan oleh masyarakat,
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan:
a) Melakukan pengawasan pelaksanaan Peraturan Gubernur ini,
b) Memberikan bimbingan dan penyukuhan serta penyebarluasan data dan atau informasi dampak rokok bagi kesehatan.

Sebagai langkah lanjut yang diharapkan dapat dilakukan bersama dalam penegakkan peraturan KDM ini adalah dengan terus melakukan kampanye. Sebagai modal dasar penting yang harus dimiliki aparat Pemprov adalah komitmen dan konsistensi untuk menegakan hukum dalam KDM. Komitmen dan konsistensi aparat ini akan mendorong kesadaran warga untuk berpartisipasi membantu dalam penegakan aturan.agar Pergub menjadi kebijakan yangimplementatif.

Jangka pendek yang juga dapat dilakukan sebagai wujud komitmen dan konsistensi Pemprov adalah membangun dukungan bagi warga berupa sistem Hotline Service di tiap-tiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dan memfasilitasi gerakan bersama menjaga KDM. Dukungan tersebut dapat dibangun bersama warga seusai Uji Simpatik menjadi gerakan penegakan peraturan yang berbasis partisipasi warganya. Pemnerian ruang dan pengakuan terhadap partisipasi warga ini tidak memerlukan biaya dan energi besar dari Pemprov. Cukup Pemprov membuka diri dan bekerja secara transparan dan profesional.

Secara simultan selanjutnya Pemprov dapat mengagendakan sebuah proses revisi atau perbaikan ketentuan tentang sanksi pelaggaran KDM yang saat ini dirasa sulit diterapkan. Pengakuan terhadap partisipasi warga akan menghasilkan dukungan dan dapat digunakan oleh Pemprov sebagai energi atau kekuatan membangun perubahan bersama agar peraturan tentang KDM bisa lebih implementatif sanksinya. Penyusunan bersama atas perubahan atau revisi sanksi terhadap pelanggaran KDM akan membuat peraturan tersebut memiliki dukungan kuat dari warga dan penerapannya.


Jakarta, 3 Desember 2008
Azas Tigor Nainggolan
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) dan seorang Advokat Publik bagi Warga Miskin di Jakarta, tinggal di Jakarta. Email: azastigor@yahoo.com , http://www.azastigornainggolan.blogspot.com/, Kontak:0815 9977041

Menolak Komersialisasi Pengelolaan Air Sungai Citarum Jawa Barat

Petisi

Pesan untuk Dewan Direktur Bank Pembangunan Asia (ADB): Agar tidak menyetujui ICWRMIP (Integrated Citarum Water Resource Management Investment Program) sampai terjadi perbaikan-perbaikan yang terukur.

Dokumen-dokumen pelindung dan persiapan proyek tidak sesuai dengan kebijakan-kebijakan ADB sendiri. Resiko sosial jauh lebih besar daripada potensi keuntungan dari rencana hutang ini.


ADB dan Sungai Citarum
Sungai Citarum adalah salah satu daerah aliran sungai (DAS) penting di Indonesiam yang berlokasi di Jawa Barat. DAS ini seluas lebih dari 13,000 Km persegi, yang merupakan ruang hidup bagi 10 juta penduduk. DAS Citarum adalah merupakan pemasok 80 persen kebutuhan air bersih bagi penduduk Jakarta, sumber air irigasi bagi 240,000 hektar sawah dan pertanian, serta sumber energi listrik sebesar 1,400 MW.

Dengan maksud untuk mengatasi tantangan rumit dalam pengelolaan sumber air Citarum, ADB menawarkan paket bantuannya yang dinamai Integrated Citarum Water Resource Management Investment Project/ Proyek Investasi Pengelolaan Lingkungan dan sumber-sumber Air yang Terintegrasi (ICWRMIP). Program ini bermaksud untuk menawarkan pengintegrasian sumber-sumber air dengan pengelolaan lingkungan di DAS Citarum yang akan menuju pada konservasi air dan alokasinya. ICWRMIP memiliki berbagai proyek yang meliputi pengelolaan daerah aliran sungai, pertanian pasokan air dan pasokan energi.

Dengan pendanaan lebih dari US$ 600 juta, ICWRMIP adalah proyek pertama ADB yang menggunakan metode Multi-tranche Financing Facility (MFF), yang akan berjalan selama 15 tahun. ADB telah menandatangani perjanjian dengan pemerintah Indonesia untuk Bantuan Teknis persiapan ICWRMIP. 4 Desember 2008, Dewan direktur ADB dijadwalkan untuk menyetujui proyek – proyek berikut yang menjadi bagian pendanaan ICWRMIP, yaitu:
Bantuan Teknis – memperkuat pengelolaan sumber-sumber air di 6 DAS (Ciliwung, Cisadane, Progo-opak Oyo, Ciujung, Bengawan Solo, Citarum)
MFF – konsep fasilitas: : Multitranche Financing Facility - Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program
Hutang - Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program - Project 1

Aliansi Rakyat untuk Citarum (ARUM) adalah jaringan masyarakat sipil di Jakarta dan Jawa Barat yang melakukan pemantauan persiapan proyek ICWRMIP sejak Pebruari 2008. ARUM telah membangun kontak dengan pengelola proyek di ADB dan Bappenas sebagai usaha untuk mendapatkan informasi atas rencana ICWRMIP ini. ARUM telah melakukan penilaian kolektif atas ICWRMIP berdasarkan misi pencari-fakta, pertemuan dengan tim pengelola proyek ADB, meninjau dokumen-dokumen proyek, studi materi lain yang relevan termasuk kebijakan-kebijakan ADB. Juga melakukan pengujian integrated water resource management (IWRM), strategi jender, dan anti korupsi dari ICWRMIP dan resiko-resikonya. Tujuan dari penilaian (assessment) ini adalah untuk mengidentifikasikan potensi dampak dari ICWRMIP, terutama fase I, terhadap penghidupan mereka yang langsung maupun tidak langsung terkena dampak.

Rencana Penggusuran (Resettlement Plan) dalam fase I hutang: penuh resiko
Hutang Fase pertama mencakup rehabilitasai Kanal Tarum Barat sepanjang 68,3 km yang mengalihkan sebagian badan Sungai Citarum yang digunakan untuk air irigasi, industri dan rumah tangga di Jawa Barat dan metropolitan Jakarta. Total hutang untuk sub-proyek ini adalah US$50 juta yang merupakan bagian dari total pendanaan MFF US$500 Juta.

Rehabilitasi Kanal Tarum Barat ini akan menggusur 872 rumah tangga dan memberi dampak tidak langsung bagi penduduk di tiga Kabupaten lainnya: Bekasi, Karawang dan Kota Bekasi. Namun, Rencana Penggusuran ini (yang sampai sekarang masih dalam tahap rancangan) memiliki banyak kejanggalan yang serius dan resiko sosial yang tinggi. Rencana Penggusuran tidak memenuhi kebijakan penggusuran ADB dan persyaratan- persyaratan implementasinya.

Temuan-temuan kunci dari penilaian ini adalah sebagai berikut:

Mengenai rancangan Rencana Pemukiman (Resetlement Plan)
Ketidakcocokan dalam jumlah manusia yang terkena dampak proyek.
Ketidakjelasan dalam mekanisme untuk melihat kelangkaan lahan dan isu-isu kepemilikan
Tidak ada kompensasi yang layak, dan ukuran-ukuran bantuan rehabilitasi dan pemulihan penghidupan (LRP).

Tidak ada jaminan restorasi penghidupan kepada masyarakat yang terkena dampak, mengingat adanya kesenjangan dalam ukuran-ukuran bantuan tersebut. Strategi persiapan sosial tidak jelas dan tidak dapat diterima.

Proses pemukiman tidak jelas dan tidak partisipatoris.
Program pemulihan penghidupan (LRP) tidak memberikan mekanisme yang memadai dan jaminan memenuhi tujuan proyek ini.

Ada jurang yang lebar antara tujuan proyek (yaitu untuk mengisi setiap kekosongan di mana peraturan daerah ataupun Undang-undang tidak dapat memberikan jaminan bagi rumah-tangga yang terkena dampak dapat merehabilitasi dirinya agar setidaknya sama dengan kondisi sebelum proyek)[1] dan desain dari Program Pemulihan Penghidupan (LRP) tidaklah menjamin masyarakat yang terkena dampak lebih buruk kehidupannya dari kehidupan mereka sebelum dimukimkan kembali, mengingat tempat relokasi masih belum diketahui dan program-program pelatihan hanya didasarkan pada asumsi-asumsi.

Secara keseluruhan, LRP sangat sempit, superfisial, tidak komprehensif, dan kabur. LRP tidak memiliki tujuan dan rencana spesifik untuk meningkatkan atau setidaknya memperbaiki kapasitas produktif mereka, termasuk untuk petani yang akan terkena dampak yang tidak memiliki hak atas penggunaan lahan.

Mengenai praktik transparansi dan konsultasi
Tidak memadainya keterbukaan informasi bagi publik dan konsultasi, terutama bagi keluarga yang terkena dampak dan pemerintah-pemerint ah daerah.

Mengenai strategi IWRM, jender dan anti-korupsi
Rencana pemukiman tidak memiliki strategi jender yang jelas vis-avis kebijakan Jender ADB. Dokumen itu gagal untuk melihat mekanisme yang mewajibkan setiap pimpinan proyek dan penasehat proyek untuk melihat komponen penting dari isu jender dan pembangunan. Jika proyek ini terus berlangsung tanpa penilaian yang dalam atas kebutuhan yang berbeda dan dampak dari proyek terhadap perempuan, kebijakan jender ADB dan IPSA (Penilaian awal sosial dan kemiskinan), ini berarti ketimbang mempromosikan keberlanjutan, proyek ini malah akan memiskinkan perempuan yang hidup di sepanjang kanal tersebut.
Kerangka Anti-korupsi dan bagaimana ia akan diterapkan tidak jelas. Tawarannya tidak mencakup mekanisme yang jelas untuk mencegah dan memerangi praktik-praktik korupsi di tingkat lokal maupun nasional.

Tidak ada bukti empiris yang memaparkan keberhasilan apapun dari proyek-proyek IWRM di Indonesia maupun di Asia Tenggara. Dengan kondisi ini, tampaknya strategi yang diterapkan dalam proyek ini sungguh tidak mempertimbangkan persoalan biaya transaksi dari pengalokasian yang tidak inklusif kepada para pihak yang berbeda di hulu dan hilir (mengingat adanya pembagian kekuasaan dan kompetisi pengklaiman terhadap sumber air dan alokasinya) didalam manajemen proyek dan pembuatan keputusan. Di Indonesia, telah ada beberapa kontroversi yang terkait dengan pembuatan Dewan Daerah Aliran Sungai yang mandatnya lintas batas kabupaten dan propinsi, karena beberapa pemerintahan local menolak otoritasnya dalam manajemen sungai (contohnya untuk mengenakan dan mengumpulkan biaya dari pengguna air) didelegasikan ke Dewan Daerah Aliran Sungai karena akan mempengaruhi pendapatan daerah mereka. ICWRMIP tidak memiliki strategi yang jelas tentang bagaimana menyelesaikan persoalan atau konflik vertikal maupun horisontal terkait dengan manajemen sungai Citarum.
Rehabilitasi Tarum Kanal Barat gagal memahami persoalan yang kompleks dari berkurangnya akses petani-petani terhadap air di Citarum untuk keperluan irigasi di lahan pertanian mereka hanya karena meningkatnya alokasi air kepada konsumsi air minum maupun untuk keperluan industri.

Kesimpulan
Rancangan Rencana Penggusuran dari fase pertama proyek ini memiliki banyak kesalahan. Rancangan tersebut tidak memiliki mekanisme yang tepat dan jelas yang pasti bagi pihak yang melakukan komplain melalui Kebijakan Pengaman- Penggusuran ADB (Involuntary Resettlement Policy ADB) di tahap formulasi maupun implementasi proyek. Ketidakadanya strategi yang eksplisit, dapat diverifikasi, dapat dimonitor, maupun strategi jender, anti korupsi, maupun IWRM menyebabkan potensi resiko yang serius terhadap percikan-percikan konflik horisontal dan vertikal di area proyek. Rancangan Rencana Penggusuran dan aktifitas persiapan perlindungan (safeguard) di project 1 memiliki indikasi kuat akan jaminan bahwa orang terkena dampak tidak akan dijamin keberlangsungan hidupnya. Resiko akan proses pemiskinan lebih jauh juga menjadi meningkat dengan dilaksanakannya proyek ini. Ditambah lagi, hal yang paling kritis dan penting bagi keberlanjutan penyediaan air dan alokasi air yang adalah ‘rehabilitasi’ hulu Citarum dan perencanaan yang terintegrasi serta pengambilan keputusan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta komunitas yang ada di hulu dan hilir, bukan rehabilitasi Tarum Kanal Barat.

Tuntutan Kami
Karena ICWRMIP tidak cukup mendapat dukungan dari masyarakat dan pemangku kepentingan, dan mengingat resiko politik serta pemiskinan yang tinggi, Dewan Direktur ADB harus sungguh-sungguh mempertimbangkan untuk menarik investasinya di MFF-ICWRMIP kecuali dilakukan penilaian-ulang yang signifikan, bermakna, kuat dan meluas terhadap seluruh rencana program. Jika Dewan tetap melakukan persetujuannya tanpa melakukan penilaian-ulang, ini membuktikan bahwa Dewan menyetujui program yang jelas melanggar kebijakan perlindungan ADB dan kebijakan lainnya serta prosedur-prosedur operasional lainnya.

Kami menuntut agar Dewan Direktur ADB harus segera menunda persetujuan MFF-ICWRMIP dan Fase 1 proyek pada 4 Desember, 2008 sampai terjadinya perbaikan-perbaikan yang signifikan dari proyek yang tunduk pada kebijakan ADB sendiri, dan praktik-praktik terbaik berdasarkan standar internasional. Dokumen-dokumen penting yang dihasilkan proyek ini harus terbuka untuk publik, dan menjadi subyek untuk dikonsultasikan ke para pemangku kepentingan, dan kepada masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung terkena dampak.

Tugas utama sekarang bukanlah tentang penyuntikan dana tetapi meneguhkan agar terjadinya tata pemerintahan sumber-sumber daya sungai citarum yang layak. Kami meyakini bahwa rencana program ini akan berujung pada buruknya hutang (bad debt), yang membebankan rakyat Indonesia dengan pinjaman yang tidak menjamin akses berkesinambungan terhadap sungai Citarum. ICWRMIP adalah inisiatif yang didisain oleh para teknokrat yang dapat menghambat inisiatif pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengelola sumber daya publik mereka.


Jakarta, 2 Desember

Penandatangan Petisi:

Signatories (Name/Organization - Country)
1. Diana Gultom, debtWATCH Indonesia– Indonesia
2. Arimbi Heroepoetri, Environmental Law Alliance Worldwide (ELAW Indonesia ) – Indonesia
3. Hamong Santono, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) – Indonesia
4. Dadang Sudardja, Aliansi Rakyat untuk Citarum (ARUM) – Indonesia
5. Novita Merdriana Tantri, Perkumpulan Boemi-Indonesia
6. Jefry Rohman, Pusat Sumber Daya Komunitas (PSDK), Bandung-Indonesia
7. Koalisi Ornop Jawa Barat, Indonesia
8. Ogie, WALHI Jawa Barat , Indonesia
9. Siti Fatimah, Bandung Institute of Governance Studies (BIGS)- Indonesia
10. Huyogo Gabriel Yohanes Simbolon, Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia , West Java , Indonesia
11. Amrullah, elKAIL, Bekasi-Indonesia
12. Berry Nahdian Forqan, WALHI Eksekutif Nasional/ Friends of the Earth Indonesia , Indonesia
13. Syamsul Ardiansyah, INDIES, Jakarta-Indonesia
14. Andiko, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HUMA), Jakarta, Indonesia
15. Farah Sofa, Ketua Badan Pengurus INFID, Indonesia
16. Fabby Tumiwa, Institute for Essential Service Reform (IESR) - Indonesia
17. Chris Wangkay, Gerakan Aliansi Rakyat untuk Penghapusan Utang (GARPU) – Indonesia
18. Jimmy Pandjaitan, Konservasi Alam dan Lingkungan Hidup (KALI), Sumatra Utara – Indonesia
19. Adzkar Ahsinin, Yayasan Pemantau Hak Anak(YPHA) – Indonesia
20. Chabibullah, Serikat Tani Merdeka (SETAM), Yogyakarta-Indonesi a
21. Imam Cahyono, Perkumpulan Prakarsa , Indonesia
22. Abetnego Tarigan, Sawit Watch-Indonesia
23. Beka Ulung Hapsara, Perguruan Rakyat Merdeka (PRM)-Indonesia
24. Dede K, Kabut Riau-Indonesia
25. Estu Fanani, LBH Apik Jakarta-Indonesia
26. M. Teguh Surya, WALHI Eksekutif Nasional-Indonesia
27. Wawan Suwandi, KOAGE-Indonesia
28. Mohammad Djauhari, KpSHK, Bogor-Indonesia
29. Shaban Setiawan, WALHI-Kalimantan Barat-Indonesia
30. Ari Sunarijati, Bupera, FSPSI Reformasi-Indonesia
31. Tubagus Haryo Karbyanto, FAKTA-Indonesia
32. Ahmad Zazali, Scale Up-Indonesia
33. Sulaiman Zuhdi Manik, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Aceh-Indonesia
34. Muhamad Usman, Yayasan Sanak-Jambi- Indonesia
35. Ika Kartika Dewi, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Jakarta-Indonesia
36. Athoillah, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Surabaya-Indonesia
37. Feri Irawan, Dewan Nasional WALHI-Indonesia
38. Yohanna T. Wardhani, LBH Apik Jakarta, Jakarta-Indonesia
39. Siti Maemunah, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)-Indonesia
40. Sarah Lery Mboeik, PIAR-Indonesia
41. Dewi Rana Rasyidi, Lingkar Belajar untuk Perempuan, Palu-Indonesia
42. Masruchah, Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)-Indonesia
43. Kencana, KePPak Perempuan-Indonesia
44. Dahniar, Perkumpulan Bantaya, Palu-Indonesia
45. Ahmad Syarifudin, Environmental Task Force-Indonesia
46. Irfan, Yayasan Kapeta-Indonesia
47. Roman Ndau Lendong, Inspra, Flores , NTT-Indonesia
48. Caroline Pintauli, Bina Insani, Sumatera Utara-Indonesia
49. Ema, Institute of Community Justice, Makasar-Indonesia
50. Supartono, KIKIS-Indonesia
51. Mohamad Hamdin, Yayasan Tanah Merdeka, Palu-Indonesia
52. Marthen Salu, Lembaga Advokasi Hukum dan HAM, Atambua-Indonesia
53. Nur Hidayati, CSF-Indonesia
54. Hanni Adiati, CSF- Indonesia
55. Max Binur, Belantara Papua, Sorong-Indonesia
56. Azas Tigor Nainggolan, FAKTA-Indonesia
57. Mamiek, Lembayung Institute, Jakarta-Indonesia
58. Tri Chandra Aprianto, Fakultas Sastra, Universitas Jember-Indonesia
59. Egi Neobeni, Yayasan Kiper-HAM, Flores-Indonesia
60. Nedhy Priscilla, YKMF, Flores, Indonesia
61. Yayasan Kebudayaan Masyarakat Adat (Yakema) Maumere-Indonesia
62. Chalid Muhammad, Institut Hijau Indonesia-Indonesia
63. Alfina Mustafainah, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulawesi Selatan-Indonesia
64. Midaria Novawanty, KIARA-Indonesia
65. Dwi Astuti, Bina Desa, Indonesia
66. Risma Umar, Solidaritas Perempuan-Indonesia
67. Titi Suntoro, NADI-Indonesia
68. Indri, Semarak Cerlang Nusa (SCN)-Indonesia
69. Saifuddin Gani, SH, SBSS&Partners Lawfirm, Banda Aceh-Indonesia
70. Koesnadi Wirasapoetra, Sarekat Hijau-Indonesia
71. Khalisah Khalid, Sarekat Hijau Indonesia
72. Rian, Setara, Jambi , Indonesia
73. Nila Ardhianie, AMRTA Institute, Indonesia
74. Bowo Usodo, Jaringan Radio Komunitas-Indonesia
75. Adi Rusprianto, Serikat Buruh Indonesia
76. John Pluto Sinulingga, Bina Desa Sadajiwa, Meulaboh, Aceh Barat-Indonesia
77. Budiman Maliki, LPMS, Poso-Indonesia
78. Gustav Dupe, Perhimpunan Pelayanan Penjara
79. Yayasan Pendidikan dan Swadaya Indonesia
80. Forum Komunikasi Kristiani, Jakarta, Indonesia
81. AD Eridani, Yayasan Rahima, Indonesia
82. Eri Andriani, Forum Refleksi Emansipasi Jember, Indonesia
83. Didi Novrian, SAINS (Sajogyo Institute), Bogor , Jawa Barat , Indonesia
84. Budi Laksana, Kelompok Nelayan Cirebon , Jawa Barat , Indonesia
85. Gunawan, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice-Indonesia
86. Ella Uran, Yayasan Komodo Indonesia Lestari (YAKINES), Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur- Indonesia
87. Ferdy M. Manu, Yayasan Komodo Indonesia Lestari (YAKINES), Nusa Tenggara Timur- Indonesia
88. Dian Pratiwi P, Kediri Bersama Rakyat (KIBAR), Jawa Timur , Indonesia
89. Baya, SETARA, Jambi- Indonesia
90. Wahyu, Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesia
91. Wildasari, Koalisi Anti Utang (KAU), Indonesia
92. John Erryson, Forum Tanah Air , Indonesia
93. Sutrisno, Serikat Buruh Indonesia- Indonesia
94. Erpan Faryadi, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Indonesia
95. Widji Sri Rahayu, Solidaritas Perempuan Jabodetabek- Indonesia
96. Ridwan Darmawan, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice-Indonesia
97. Idham Arsyad, Konsorsium Pembaruan Agraria, Indonesia
98. Rahma, LBH Semarang, Indonesia
99. Yeni Roslaini Izi, Women’s Crisis Centre, Palembang, South Sumatera, Indonesia
100. Musri Nauli, Yayasan Keadilan Rakyat, Jambi, Indonesia
101. Lusia Palulungan, LBH APIK Makassar, South Sulawesi- Indonesia
102. Rena Herdiyani, Kalyanamitra, Jakarta-Indonesia
103. Adnan Balfaz, Komisi Orang Miskin Indonesia untuk Keadilan (KOMIK)- Indonesia
104. Azmar Exwar, Jurnal Celebes, Makassar-Indonesia
105. Herdianto, Bohotokong Generasi Muda-X-Onderneming, Central Sulawesi, Indonesia
106. Sugeng, Himpunan Petani Organik Banyumas (HIPORMAS), Central Java, Indonesia
107. Rukiyah, SPN-SU (Serikat Perempuan Nelayan Sumatera Utara), North Sumatera- Indonesia
108. Ali Azhar Akbar, ELAW Indonesia- Indonesia
109. Firman, Jaringan Kerja Bumi, Makassar- Indonesia
110. Gustaf George, Pro Era Media Suara Komunitas Agraris (PERETAS), Central Sulawesi, Indonesia
111. Ismar Indarsyah, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Indonesia
112. Dani Setiawan, Koalisi Anti Utang, Indonesia
113. Tasnim Yusuf, YSIK-Indonesia
114. Datuk Usman Gumanti, Aliansi Komunitas Adat, Jambi- Indonesia
115. Hariansyah Usman, Jikalahari, Riau- Indonesia
116. Zohra Andi Baso, Forum Pemerhati Masalah Perempuan, South Sulawesi- Indonesia
117. Yayasan Lembaga Konsumen, Sulsel-Indonesia
118. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)- Indonesia
119. Abdul Gofur, GAPPRI, Indonesia
120. Sudarno, Perserikat Rakyat, Jakarta-Indonesia
121. Serikat Nelayan Merdeka (SNM), Sumatera Utara- Indonesia
122. Serikat Buruh Kebun (SERBUK), Serdang Bedagai, Sumut- Indonesia
123. Isal Wardhana, WALHI Kalimantan Timur- Indonesia
124. Beauty Erawati, LBH APIK NTB- Indonesia
125. INNA, Jaringan Indonesia Timur , Indonesia
126. Ismar Indarsyah, LMND, Indonesia
127. Ari, FISIP USU, Sumatera Utara, Indonesia
128. Sri Murtopo, Front Perjuangan Pemuda Indonesia, Indonesia
129. Iswan Kaputra, BITRA Indonesia- Indonesia
130. Himpunan Mahasiswa Islam KOM FISIP Universitas Sumatera Utara- Indonesia
131. Syafrudin Ali, Front Perjuangan Rakyat Miskin, Indonesia
132. Agus Arifin, Solidaritas Buruh Sumatera Utara, Indonesia
133. Shabri Abdul Rahman, Komite Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Universitas Sumatera Utara, Indonesia
134. Anto, Serikat Buruh Carrefour Medan (SBCM-SBSU), Sumatera Utara, Indonesia
135. Abdul Sani, SBCM-SBSU, Indonesia
136. Bambang, SBCM-SBSU, Indonesia
137. Boy Dirgantara, SBCM-SBSU, Indonesia
138. M. Fadli Siregar, Ketua SBCM-SBSU, Indonesia
139. Ganda, Ketua SBCM-SBSU, Indonesia
140. Winston Rondo, Perkumpulan Relawan CIS Timor, Indonesia
141. Rahwanto, Himpunan Mahasiswa Islam UMSU, Sumatera Utara , Indonesia
142. Maharani Caroline, LBH Menado, North Sulawesi, Indonesia
143. Desmiwati, Manager Region Jawa Kalimantan WALHI Eksekutif Nasional, Indonesia
144. Desiana, PP PMKRI, Indonesia
145. Baginda, Serikat Buruh Medan Independen Sumatera Utara (SBMI-SUMUT) , Indonesia
146. Johny Setiawan Mundung, WALHI Riau , Indonesia
147. JAPESDA (Jaringan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam), Indonesia
148. HIMBUNGA (Kelompok Kerja untuk Perdamaian), Indonesia
149. Ulfah Mutiah Hizma, Yayasan Rahima, Indonesia
150. Ririn Sefsani, Commitment Democratic Governance and Social Justice, Solo, Indonesia
151. Dwi Ayu Kartikasari, Komunitas Anti Globalisasi Ekonomi, Indonesia
152. Mulyadi, SARI, Solo-Indonesia

International
153. Chad Dobson, Bank Information Center (BIC), USA
154. NGO Forum on ADB, Manila
155. Milo Tanchuling, Freedom from Debt Coalition , Philippines
156. Prabin Man Singh, Collective Initiative for Research and Action (CIRA), Nepal
157. Zakir Kibria, BanglaPraxis ( Bangladesh )
158. Janaka, Green Movement of Srilanka, Srilanka
159. Charles Santiago, Monitoring Sustainability of Globalization- MSN , Malaysia
160. Vimalbhai, Matu Peoples’ Organization, India
161. Wilfred Dcosta, Indian Social Action Forum - INSAF, India
162. Souparna Lahiri, National Forum of Forest People & Forest Workers, India
163. Water & Energy Users' Federation-Nepal (WAFED), Nepal
164. Himalayan & Peninsular Hydro-Ecological Network - HYPHEN
165. Nepal Policy Institute – NPI, Nepal
166. Ekoloji Kolektifi Türkiye
167. Gaye Yilmaz, Platform "No to commercialization of water", Turkey
168. Acacia Rose, Alpine Riverkeepers Australia, Australia
169. Sarah Siddiqi, Citizens' Alliance in Reforms for Equitable and Efficient Development, Pakistan

Akademisi
170. Benny D Setianto, Post Graduate Program on Environment and Urban Studies Soegijapranata Catholic University-Indonesi a
171. Tri Chandra Aprianto, Fakultas Sastra, Universitas Jember-Indonesia
172. Wijanto Hadipuro, Post Graduate Program on Environment and Urban Studies Soegijapranata Catholic University- Indonesia
173. Hotmauli Sidabalok, Post Graduate Program on Environment and Urban Studies Soegijapranata Chatolic University-Indonesi a

Individu
Yulia Siswaningsih, Jakarta, Indonesia
Adhi Prasetyo, Jakarta, Indonesia
Anik Wusari, Jakarta, Indonesia
Tandiono Bawor Purbaya, Jakarta, Indonesia
Siti Aminah, Jakarta, Indonesia
Syafruddin K., Donggala
Boedhi Widjarjo, Jakarta Indonesia
I Wayan Suwardana
Dete Aliyah, Jakarta, Indonesia
Hedar Laudjeng, Palu, Indonesia
BJD. Gayatri, Jakarta, Indonesia
Bambang Budiono, Jawa Barat, Indonesia
Ratna Yunita, Jakarta, Indonesia
Latief Madafaku, Dompu, Indonesia
Husnaeni Nugroho, Indonesia
Jevelina Punuh, Indonesia