Senin, Oktober 20, 2008

Peduli Kaum Lemah

Kebangkitan Nasional dan
Kepedulian kepada Kaum Lemah
Oleh: Azas Tigor Nainggolan



Pertengahan September 2008 lalu saya mendapatkan pengalaman menggugah kesadaran serta semangat melayani. Seorang kawan relawan di kantor FAKTA bernama Juma bercerita bahwa Heri, teman pemulung kami telah sekarat ketika ditemukan di depan stasiun Pondok Jati Matraman suatu sore. Langsung saja dia mengajak beberapa kawan lain untuk bersamanya membawa Heri ke sebuah rumah sakit terdekat. Langkah cepat itu dia ambil karena Heri terlihat sudah nyaris tak bergerak lagi dan suaranyanya pun lirih tak terdengar. Untuk menyelamatkan nyawa Heri, Juma dan kawan-kawan rela mengantar cukup jauh untuk mendapatkan sebuah rumah sakit gratis yang dikelola oleh sekelompok aktivis partai islam.

Juma sejauh yang saya kenal adalah seorang muslim yang cukup terbuka serta toleran dan bukan anggota partai muslim. Sebagai seorang muslim, Juma mengungkapkan kekagumannnya terhadap pelayanan yang sangat manusiawi dari petugas rumah sakit tersebut. Sebenarnya Juma selalu bersikap kritis terhadap organisasi atau partai yang berbasis agama termasuk seperti partai politik yang mengelola rumah sakit tersebut. Ketika menolong Heri, dia hanya berpikir langkah penyelamatan nyawa manusia. “Saya tidak peduli bang, rumah sakit itu punya partai Islam, yang penting bagi saya bisa selamatkan si Heri. Kasihan sekali dia, sepertinya Heri sudah tidak makan berhari-hari”, cerita Juma.

Masih banyak sebenarnya cerita atau pengalaman menarik, menggerakkan dan inspiratif yang saya dapatkan selama bekerja bersama warga di kantor FAKTA. Cerita dan pengalaman Juma juga termasuk yang membangkitkan serta meneguhkan semangatnya untuk terus mencoba bertahan bekerja sama dengan warga. Di ujung cerita, Juma bertanya pada saya. “Apa selanjutnya yang dapat saya lakukan agar Heri sembuh kembali dari penyakit Maag dan TBC yang sudah parah?” Juma selanjutnya bertanya kepada kepada saya. “Kamu sudah berbuat yang luar biasa dan mengagumkan saya. Kita coba hubungi petugas atau perawat serta dokter yang merawat Heri,” kata saya walau tidak menjawab pertanyaan Juma karena tidak tahu lagi akan harapan hidup Heri. “Juga mari kita ajak beberapa teman lain untuk membantu Heri agar bisa pulang ke kampungnya apabila sembuh,” ajak Juma kepada saya dengan semangat. Padahal setelah beberapa hari kemudian informasinya Heri semakin parah dan sulit untuk tertolong karena beratnya penyakit yang dideritanya.

Sungguh menggugah hati pengalaman Juma tersebut karena saya mengenal dan mengetahui siapa dia sebelum aktif sebagai relawan di FAKTA. Juma adalah seorang anak muda asli Jakarta yang hidup miskin ditinggal meninggal dunia kedua orang tuanya. Sebelum aktif menjadi relawan di FAKTA, Juma sempat ikut menjadi pengedar narkoba karena tidak memiliki pekerjaan dan usaha Lapaknya (penampung barang bekas dari Pemulung) bangkrut Setelah kakak iparnya tertangkap dan dipenjara, Juma berhenti menjadi pengedar dan sudah 3 tahun ini ikut bersama saya menjadi relawan di FAKTA.

Sungguh pengalaman Juma itu menyadarkan dan mempertegas bahwa solidaritas dan kemanusiaan itu tidak banyak bertanya formalitas dan tidak disekat oleh agama, tingkat ekonomi, pendidikan, suku dan bangsa. Pengalaman itu juga mengingatkan pada refleksi saya saat saat saya mendamping para keluarga penderita Kusta pada tahun 1989-1992 di RS Kusta Sitanala Tangerang. Refleksi saya saat itu mengatakan bahwa orang kecil-lah yang lebih punya hati bagi orang kecil. Satu pengalaman saya dapati ketika mengenal serta melihat sosok ibu Sri seorang mantan penderita kusta, perawat di IGD RS Kusta Sitanala saat itu. Setiap kali ada pasien kusta baru, ibu Sri inilah lebih dulu yang membersihkan dan mengobati luka-luka kusta di tubuh pasien. Setelah si pasien bersih diberi obat serta tidak bau amis kusta lagi barulah para perawat lain dan dokter menangani pasien tersebut.

Sebagai seorang mantan penderita kusta saya pernah melihat, betapa ibu Sri cukup sigap dan sepenuh hati menolong penderita kusta yang masuk ke RS Sitanala. Hampir tak ada luka atau lendir atau nanah tersisa, semua diberihkan dan diobati oleh ibu Sri sebelum dikirim ke ruang dokter atau perawatan selanjutnya. “Sebagai mantan penderita kusta saya tahu dan sangat merasakan perasaan si penderita kusta ketika baru masuk RS. Sama seperti yang saya alami ketika pertama kali masuk ke RS Sitanala. Kala itu saya sakit dan malu sekali dengan penyakit yang saya derita. Kusta adalah penyakit yang dicela, dihina dan dianggap kutukan oleh sekitar kita. Rasa terima kasih atas kebaikan Tuhanlah, saya mau mengerjakan pekerjaan ini walau saya digaji kecil dan tidak pernah diangkat menjadi pegawai tetap apalagi menjadi pegawai negeri,” cerita ibu Sri kepada saya sekitar tahun 1990 lalu di Tangerang.

Pengalaman kedua kawan, Juma dan ibu Sri mungkin juga akan mengerakkan pribadi kita ketika melihat orang lain yang perlu ditolong, dibela atau diperjuangkan karena mereka hidup dalam pemiskinan dan penderitaan. Ketika saya dihubungi oleh panitia acara ini, spontan yang ada dibenak saya adalah sosok ibu Maria yang mau merendahkan dirinya, spontan, melayani dan memberikan hidupnya menjadi, seorang ibu biasa dan menerima saja penugasan yang diberikan oleh Allah. Juga jawaban Maria, Aku ini hamba Tuhan, Jadilah padaku menurut perkataanMu (Bdk Luk 1: 38), ketika dia disapa oleh Allah, tidak menolak, justru menjawab terjadilah padaku apa yang menjadi kehendakNya. Jawaban luar biasa.

Kerendahan hati yang luar biasa dahsyatnya, ibu Maria mengetahui benar apa yang akan menimpa dan mencabik-cabik dirinya apabila menerima bapak Yoseph sebagai suami dan Yesus sebagai Putranya. Sebagai ibu yang mengandung serta melahirkanYesus, ibu Maria kemudian harus relakan Putranya Yesus disiksa dan disalib serta dibunuh di depan matanya sendiri. Luar biasa dahsyatnya kerendahan hati ibu Maria. Bisa dibayangkan, jika kita berada pada posisi ibu Maria sekarang ini. Sementara sekeliling dipenuhi tawaran materi, kebanggaan pribadi dan kenikmatan dunia. Mana mungkin kita mau relakan anak satu-satunya diambil, disiksa dan dibunuh orang lain? Mungkin jika ada ibu atau bapak seperti ini bisa jadi dikatakan orang tua yang kurang waras.

Melalui pengalaman kedua kawan, Juma dan ibu Sri, mereka sebagai manusia biasa walau miskin tetap bersedia membantu orang lain yang sama-sama mislin dan lemah, tanpa banyak bertanya formalitas atau administratif. Begitu pula pengalaman ibu Maria sendiri yang tidak banyak bertanya atau menawar kemungkinan ketika diminta menjadi ibu Yesus. Semangat kerendahan hati atau mau merendahkan hati sebagaimana dijalankan serta dihidupi ibu Maria ternyata telah menembus kemanusiaan biasa dirinya sehingga dia pantas menjadi santa dan ibu Yesus. Ibu Maria telah keluar dari kediriannya dan melepaskan kemauan badan agar penyelematan manusia bisa terjadi.

Begitu pula semangat kedua rekan saya, Juma dan ibu Sri telah menunjukkan dan mengungkapkan bahwa memang orang kecil yang lebih punya hati untuk orang kecil itu sendiri. Sebagai orang kecil kedua teman itu sadar betul bahwa yang dialami oleh teman-teman senasib seperti mereka, membutuhkan bantuan agar bisa terselamatkan. Baik pengalaman Juma dan ibu Sri di atas menunjukkan juga bahwa saat ini manusia sebagai citra Allah telah dirusak dan dibiarkan hancur martabat kemanusiaannya. Manusia sebagai citra Allah telah dihancurkan oleh kebijakan-kebijakan atau sikap-sikap pemerintah yang tidak berpihak dan tidak menghormati rakyatnya sebagai citra Allah. Ibu Maria sebagai teladan menunjukkan pada kita bahwa berpihak pada yang lemah, miskin dan menderita tidak cukup hanya dengan berkata kasihan, memberi uang atau baju bekas. Maria menunjukkan bahwa dia memberikan dirinya dan hidupnya bagi penyelamatan serta agenda pembebasan Tuhan Allah dengan menjadi ibu Yesus.

Kondisi rusaknya wajah Allah dialami rakyat sebagai korban pemiskinan, penindasan dan penggusuran yang sering terjadi di depan mata kita. Pengalaman korban ini seharusnya menggerakkan semangat kita untuk berkorban dan berjuang bersama para korban itu sendiri. Sebagai bagian dari rakyat yang menanti perubahan dan kesempatan bangkit dari kemiskinan dan keterpurukan tentunya kita yang berkesempatan lebih baik akan lebih mampu memimpin gerakannya. Sadar betul, bangsa ini sedang sakit dan tidak memiliki pemerintah yang peduli dengan rakyatnya yang menderita, kelaparan dan miskin, apakah kita sanggup dan tega diam saja? Atau bisakah kita hanya hidup secara ekslusif untuk diri dan kelompok kita semata? Sementara di depan mata kita banyak sesama yang mati kelaparan, mati kedinginan, tidak bisa sekolah atau rumahnya digusur, kita hanya diam dan tenang bisa makan serta berdoa sendirian?

Semangat dan kemauan merubah penghancuran martabat manusia semoga menjadi semangat perubahan yang bisa kita dalami dari kesetiaan dan kerendahan ibu Maria. Sebagai seorang pribadi, ibu Maria telah relah memilih jalan Allah dan “menjadi miskin dan lemah” seperti manusia lainnya sehingga bisa merasakan penderitaan si miskin dan lemah agar bisa ikut dalam rencana Allah. Bersikap dan menghayati seperti orang miskin dan lemah memungkin kita merasakan serta akan peduli dengan penderitaan sesama yang miskin, lemah tertindas di sekitar kita. Semoga. Amin



Jakarta, 20 Oktober 2008
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) dan seorang Advokat Publik bagi Warga Miskin di Jakarta, tinggal di Jakarta. Email: azastigor@yahoo.com , http://www.azastigornainggolan.blogspot.com/, Kontak:0815 9977041

Sabtu, Oktober 11, 2008

Mencintai Sesama dengan memanfaatkan sedikit harta benda yang kita miliki.

dikutip dr milis Student-emba) :

Kisah di bawah ini adalah kisah yang saya dapat dari milis Forum Pembaca Kompas yang dikirimkan oleh "Satrio Arismunandar" satrioarismunandar@yahoo.com yang didapatnya dari mailis alumni Jerman, atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim di sana .

Demikianlayak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur hidup.Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliahsaya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosensangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orangmemilikinya.Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling."

Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepadatiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka.

Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan didepan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum padasetiap orang. Jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah.

Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anakbungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke restoran McDonald's yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingindan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela danmeminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat dudukyang masih kosong.

Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiaporang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semulaantri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.

Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihatmengapa mereka semua pada menyingkir ? Saat berbalik itulah saya membauisuatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.

Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebihpendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang "tersenyum"kearah saya.

Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasihsayang. Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima'kehadirannya' ditempat itu.Ia menyapa "Good day!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitungbeberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan.

Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkantangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Saya segeramenyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka, dan kami bertiga tiba2 saja sudah sampai di depan counter.

Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir Nona." Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan direstoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran danmenghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya keduaorang ini hanya ingin menghangatkan badan.

Tiba2 saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpakubeberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka. Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua 'tindakan' saya.

Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketigakalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada dicounter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduksuami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalanmelingkari sudut kearah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untukberistirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap "makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua."Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah ber-kaca2 dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya."

Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata"Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian."

Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluklelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedualelaki itu.Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis sayasambil tersenyum dan berkata "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak-2ku! " Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itukami benar2 bersyukur dan menyadari,bahwa hanya karena 'bisikanNYA' lah kamitelah mampu memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.

Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu per satu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengankami.

Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap"Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yangberada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami."Saya hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum.

Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh kearah kami sambil tersenyum, lalu melambai-2kan tangannya kearahkami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar2 'tindakan' yang tidak pernah terpikir oleh saya. Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' iniditangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya kepada dosen saya.

Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas,ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu inikepada yang lain?" dengan senang hati saya mengiyakan. Ketika akan memulaikuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang didekat sayadiantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanyadengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya ."Tersenyumlah dengan 'HATImu', dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat'dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuhorang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi.

Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangkukuliah manapun, yaitu: "PENERIMAAN TANPA SYARAT."Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi olehpara pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknaicerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAISESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!

Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati anda, teruskancerita ini kepada orang2 terdekat anda. Disini ada 'malaikat' yang akanmenyertai anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita ini akan tergerakhatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun) bagi sesama yang sedangmembutuhkan uluran tangannya!Orang bijak mengatakan: Banyak orang yang datang dan pergi darikehidupanmu, tetapi hanya 'sahabat yang bijak' yang akan meninggalkan JEJAK di dalam hatimu.Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu. Tetapi untuk berinteraksi dengan orang lain, gunakan HATImu! Orang yang kehilangan uang,akan kehilangan banyak, orang yang kehilangan teman, akan kehilangan lebihbanyak! Tapi orang yang kehilangan keyakinan, akan kehilangan semuanya!

Tuhan menjamin akan memberikan kepada setiap hewan makanan bagi mereka, tetapi DIA tidak melemparkan makanan itu ke dalam sarang mereka, hewan itu tetap harus BERIKHTIAR untuk bisa mendapatkannya.

Orang-orang muda yang 'cantik' adalah hasil kerja alam, tetapi orang-orang tua yang 'cantik' adalah hasil karya seni. Belajarlah dari PENGALAMAN MEREKA, karena engkau tidak dapat hidup cukup lama untuk bisa mendapatkan semua itu dari pengalaman dirimu sendiri

Kamis, Oktober 02, 2008

Hak Asasi Manusia

Hak Dasar tak Terjamin, Negara Seharusnya Malu
Kompas, Jumat, 3 Oktober 2008 08:07 WIB

JAKARTA, JUMAT - Berjubelnya pemudik dalam gerbong kereta, kapal laut, serta jalan raya yang dipenuhi ratusan ribu sepeda motor pemudik seharusnya membuat negara malu. Tak tersedianya kendaraan umum yang memadai untuk memfasilitasi arus mudik yang selalu berulang setiap tahun menampakkan ketidakmampuan negara memenuhi tanggung jawab konstitusionalnya.

”Sebagai bagian dari hak budaya dan hak dasar warga, negara seharusnya memfasilitasi mereka dengan transportasi yang manusiawi,” kata Ketua Forum Warga Kota Azas Tigor Nainggolan ketika dihubungi Kompas, Kamis (2/10) di Jakarta.
Apalagi, hak dasar itu juga menjadi bagian dari hak ekonomi, sosial, dan budaya yang juga telah diakui Indonesia. Lebih lanjut Tigor mengatakan, kondisi yang tampak saat ini bukan sesuatu yang baru.

Seharusnya negara belajar dan berupaya keras meningkatkan pelayanan. Apalagi mudik adalah peristiwa tahunan. Pemerintah, tuturnya, seharusnya tidak kalah dari para pemodal. Sebagaimana diberitakan, beberapa perusahaan memfasilitasi warga untuk mudik dengan menyediakan kendaraan umum yang memadai.

Jika pemodal mampu mengoordinasikan dan berinisiatif membantu warga untuk mudik dan menyediakan fasilitas bagi mereka, seharusnya negara jauh lebih mampu melakukannya. ”Tetapi, ternyata tidak demikian. Pemerintah justru sibuk membangun citra diri,” kata Tigor.

Ia menganjurkan, seharusnya negara tidak serta-merta menyerahkan tanggung jawabnya kepada pemodal. ”Jika demikian, artinya negara kalah dari pemodal,” kata Tigor.
Menurut dia, negara dapat mengorganisasikan kemampuannya dalam pelayanan publik yang lebih memadai. Mengapa demikian? Karena negara bertanggung jawab dan berwenang untuk menjamin kesejahteraan umum.

Tanggung jawab bersama

Dihubungi secara terpisah, guru besar emeritus Universitas Airlangga Surabaya, Soetandyo Wignyosoebroto, melihat hal itu bukan semata-mata kelalaian negara. ”Masyarakat karena dorongan tradisi memaksakan diri untuk pulang,” katanya.
Pemerintah, lanjutnya, telah berupaya membantu, seperti mengimbau pemudik motor dan memberikan petunjuk untuk menjaga diri. ”Masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga dirinya sendiri,” kata Soetandyo.

Ia justru melihat ada masalah struktural yang mengiringi persoalan itu, yaitu terpusatnya peredaran uang di Jakarta. Ada sentralisasi aktivitas finansial dan itu menjadikan Jakarta menjadi tujuan bagi banyak orang di Indonesia.

Jika negara mampu menghidupkan wilayah-wilayah lain di luar Jakarta sebagai pusat-pusat lain bagi aktivitas keuangan, warga tidak lagi menyerbu Jakarta. Menurut dia, tidak cukup hanya menyebar pusat-pusat kegiatan seperti pabrik di berbagai daerah. (JOS)

Josie Susilo Hardianto Sent from my BlackBerry © Wireless device from XL GPRS/EDGE/3G Network