Selasa, April 29, 2008

Membangun Kota yang Berkeadilan

Oleh: Azas Tigor Nainggolan


MIRIS sekali kehidupan di kota Jakarta ini. Suatu sore, ketika melintasi jalan Sultan Agung (Jl Pasar Rumput) Jakarta Selatan, di salah satu jembatan yang menghubungkan Jl Sultan Agung Jakarta Selatan dengan Jl Malang Menteng Jakarta Pusat, saya melihat beberapa keluarga hidup di bawahnya. Mereka tinggal hanya beralaskan papan disusun untuk mendapatkan posisi seperti lantai di dasar jembatan, yang sebenarnya menggantung di atas sungai Ciliwung tersebut.Mengerikan sekali keadaan tempat tinggalnya. Sudah di bawah jembatan, menggantung pula posisinya di atas sungai. Salah bergerak saat tidur atau anak-anak mereka salah posisi bermain, bisa langsung tercebur ke sungai. Tanpa sadar saya menggeleng kepala, setelah membayangkan semua kejadian mengerikan yang mungkin akan dialami warga di kolong jembatan tersebut. Sambil mengendarai sepeda motor, saya teringat kejadian sekitar 5 tahun lalu saat terjadi penggusuran di daerah Tanjung Duren Barat, Jakarta Barat. Sebagai korban gusuran, warga yang saat itu harus bertahan terpaksa membangun tenda seadanya. Padahal, banyak anak-anak yang masih berusia di bawah lima tahun dan bahkan, yang terkecil berusia sau bulan. Malang sekali hidup warga Jakarta yang miskin. Seperti dialami korban gusuran Tanjung Duren Barat dan warga yang tinggal di kolong jembatan Manggarai di atas sungai Ciliwung, mereka adalah korban atau dikorbankan oleh pengelola kota.

Juga terbayang di benak saya, kehidupan kawan-kawan warga yang karena miskin dan digusur, akhirnya terpaksa memilih tinggal di dalam komplek Kuburan Cina di Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur.Kota macam apa Jakarta ini? Bisa-bisanya membiarkan warganya hidup dalam penderitaan luar biasa, merendahkan warganya seperti hewan? Ya, Jakarta telah menjadi kota yang tidak memiliki keadilan terhadap warganya sendiri. Hidup tidak layak, tergusur di negerinya oleh bangsanya sendiri. Kondisi ini menunjukkan, perjuangan mendapatkan hak atas tempat tinggal atau perumahan bagi warga Jakarta, khususnya bagi kaum miskin, bukan perkara gampang. Menyakitkan malah. Padahal, Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia tahun 1948 (Duham), dalam Pasal 25 ayat 1 menyatakan, "setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan standar hidup yag layak atas kesehatan dan kehidupan dirinya dan keluargannya, termasuk makanan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang dibutuhkan, dan hak untuk mendapat jaminan saat menganggur, sakit, cacat, janda, lanjut usia atau ketidakmampuan lain untuk melanjutkan kehidupan dalam situasi yang ada di luarkendalinya." Begitu pula dengan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Pasal 11 ayat (1) menyebutkan: Negara-negara pihak konvenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan papan yang layak, dan atas perbaikan kondisi hidup secara berkesinambungan.Kesulitan hidup di kota Jakarta, membuat warga Jakarta yang miskin tidak memiliki kesempatan memilih tempat tinggal yang layak dan akhirnya penghidupan yang tidak manusiawi.

Struktur pembangunan kota, keberpihakan dan kebijakan pengelola (pemerintah) kotalah, yang menyebabkan warga hidup miskin, bahkan dipermiskin secara sistematis. Pengelola kotanya tidak mengakui mereka sebagai warga, dan tidak diberi status kehidupan perdata seperti KTP atau surat-surat kependudukan lainnya. Otomatis mereka tidak mendapatkan pelayanan fasilitas publik seperti air bersih, kesehatan, subsidi perumahan publik, atau pendidikan. Mereka dibuat hidup dalam ketidakadilan dan kemelaratan, dikelilingi masalah kemiskinan seperti kelaparan dan gizi buruk.Hidup dalam semua pembatasan pengelola kota, tidak bisa bekerja layak, tidak bisa sekolah layak, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan layak, tidak memiliki sumber air bersih dan bahkan tidak bisa dikubur di Jakarta. Hanya dapat membangun tempat tinggal dengan menggarap lahan-lahan milik negara atau orang lain. Lokasinya sangat mengenaskan, seperti di pinggir atau bahkan di atas sungai, pinggir rel kereta api, di kolong jembatan, di balik-balik gedung bertingkat atau bahkan di lokasi pemakaman umum. Sering digusur dan berpindah-pindah dari satu lahan garapan ke lahan garapan sejenis lainnya di kota Jakarta. Secara sistematis, mereka dibuat miskin dan menderita berkelanjutan karena kotanya dibangun tanpa rasa berkeadilan.

Sementara itu pengelola kota, aparat Pemprov dan DPRD Jakarta, terus sibuk menghitung dan mengeruk, membuat proyek, menjual otoritas perizinan, mendekati pemodal dan mengkorupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), untuk dirinya. Misalnya saja, seorang kepala dinas Kebersihan Jakarta pada APBD 2008, dapat mengajukan proyek menyewa 50 truk pengangkut sampah senilai Rp 40 milyar. Luar biasa terbukanya korupsi di tubuh pemprov Jakarta, tapi sampai saat ini baru satu orang kepala dinas yang ditangkap dan dimasukkan ke penjara oleh KPK. Lucu sekali. Selain itu, musim pembahasan pembahasan APBD, berarti musim korupsi. Anggota DPRD kembali memunculkan masalah dan perilaku tercela yakni, mengurangi anggaran sekitar Rp 590 Milyar tetapi, kemudian memasukkan proyek pribadi baru mencapai sekitar Rp 3 Trilyun pada APBD 2008. Awalnya, APBD 2008 Jakarta, disusun oleh Pemprov sebesar Rp 20,01 trilyun dan diubah oleh anggota DPRD menjadi Rp 20,59 trilyun. Penambahannya seolah-olah hanya terjadi sekitar Rp 590 milyar, tetapi sebenarnya tidak. Perubahan APBD itu dilakukan anggota DPRD dengan mengurangi usulan sebesar Rp 444,37 Milyar, namun menambahkan proyek baru lagi sebesar Rp 2, 943 trilyun oleh DPRD, sehingga terkoreksi menjadi Rp 3,381 trilyun. Angka ini yang menjadi proyek pribadi anggota DPRD. Penambahan atau kenaikan tersebut dilakukan anggota DPRD dengan jurus baru, seolah-olah anggarannya pro warga padahal mau mengeruk uang APBD. Modusnya dilakukan dengan cara:
  1. Menambahkan anggaran pada pos-pos yang tidak diajukan oleh pemprov karena dipandang belum saatnya diajukan pada tahun 2008;
  2. Menambahkan besaran anggaran yang sudah diajukan Pemprov menjadi lebih besar;
  3. Mengurangi anggaran yang diajukan kemudian menaikkannya lagi anggaran yang sudah diajukan oleh pemprov dan mengalihkan ke pos lainnya yang sudah diajukan, bahkan anggaran yang sudah dikurangi anggota DPRD dialihkan dengan membuat pos anggaran baru.

Penambahan pos-pos anggaran baru yang diajukan oleh anggota DPRD itu bisa dilihat misalnya saja pada:
Pengadaan papan nama Ketua RT se Jakarta sebesar Rp 7 Milyar, padahal selama ini para Ketua RT sudah biasa dan bisa mengadakan papan namanya secara swadaya (Komisi A);
Pengadaan proyek pengadaan Finger Print untuk kelurahan sebesar Rp 11 Milyar yang pegawainya hanya 8 orang tiap keluarahan (Komisi A);
  • Pembebasan lahan untuk hutan kota Rt 001 Rw 004 Kedlurahan Cilangkap sebesar Rp 34 Milyar (komisi B);
  • Penyediaan sarana dan prasarana penanggulangan penceraman minyak di laut sebesar Rp 23 Milyar (Komisi B);
  • Asuransi Gedung-gedung Pemda sebesar RP 26 Milyar (komisi C);Pengembangan alat komunikasi radio UHF TETRA Pemprov tahap 2 sebesar Rp 40 Milyar (Komisi C);
  • Pengadaan dan pembangunan Waduk Kelapa Gading sebesar Rp 80 Milyar (Komisi D);
  • Pengolahan pencemaran air pada Kali Besar Kota Tua sebesar Rp 74 Milyar (Komisi D).

Penambahan jumlah dari anggaran yang sudah diajukan oleh Pemprov menjadi lebih besar oleh anggota DPRD misalnya bisa terlihat pada anggaran:
Pembebasan Tanah Kali Cakung Lama dari Rp 36,15 Milyar ditambah Rp 25 Milyar;
Pengadaan alat pemantau kualitas udara dari Rp 5 Milyar ditambah Rp 11 MilyarDinas Pendidikan Menengah dan Tinggi sebesar Rp 500 Juta ditambah Rp 72 Milyar;

engurangan jumlah anggaran yang sudah diajukan oleh Pemprov menjadi lebih kecil bahkan dihapus anggota DPRD misalnya bisa terlihat pada anggaran:Rehab total gedung SMPN 179 sebesar Rp 12 Milyar dikurangi Rp 12 Milyar;
  • Rehab total gedung SMPN 282 sebesar Rp 12 Milyar dikurangi Rp 12 Milyar;
  • Rehab total gedung SMPN 53 sebesar Rp 11 Milyar dikurangi Rp 11 Milyar;

Pengurangan lalu dikurangi dan kemudian ditambahkan lagi jumlah anggaran yang sudah diajukan oleh Pemprov oleh DPRD misalnya bisa terlihat pada anggaran;
Bantuan sosial sebesar Rp 400 Milyar ditambah Rp 159 Milyar lalu dikurangi lagi Rp 202,1 Milyar dan akhirnya menjadi Rp 443 Milyar;
Dinas Prendidikan dasar Rp 244,4 Milyar ditambah Rp 24,2 Milyar lalu dikurangi lagi Rp 145,2 Milyar dan akhirnya menjadi Rp 123,4 Milyar.Selain itu juga anggota DPRD melakukan tindakan lucu lainnya.
Menghapus anggaran refungsi SPBU untuk program pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang diusulkan Pemprov dan menggantinya dengan program penggusuran lahan warga. Awalnya untuk refungsi lahan SPBU dianggarakan sekitar Rp 280 juta dinaikkan menjadi sebesar Rp 320,207 milyar. Anggaran penambahan yang besar itu rupanya dilakukan untuk membatalkan refungsi SPBU proyek penggusuran baru terhadap warga. Jika benar anggota DPRD memiliki keberpihakan kepada warga, mengapa saat terjadi penggusuran pedagang di Jl Barito Jakarta Selatan dan di Jl Rawasari Jakarta Pusat, tidak mati-matian membela seperti mereka membela para pengusaha yang SPBU-nya akan direfungsi menjadi RTH?

Melihat perilaku pengelola kota seperti para anggota DPRD ini, jelas bahwa struktur pembangunan kota Jakarta, keberpihakan dan kebijakan pengelola (termasuk pemerintah) kotanya, hanya memiskinkan warga (kota)nya sendiri. Kenikmatan kota hanya bisa diakses atau diberikan pada segelintir orang, para pengelola kota itu sendiri beserta keluarga, juga teman-temannya, dan pemilik modal. Seharusnya, pengelola kota membangun struktur kota Jakarta yang berkeadilan, berbasis penghargaan terhadap pemerataan akses kehidupan yang layak, dan menghidupi hak-hak dasar warganya. Bukannya membangun atas dasar ideologi marilah memiskinkan warga sampai mati secara tidak manusiawi seperti sekarang serta, menjual otoritas kepada pemodal. Celakanya, mereka malu mengakui peningkatan kemiskinan, kematian atas nama pembangunan, kelaparan, kurang gizi, dan juga penggusuran.

***Azas Tigor Nainggolan, adalah Advokat pada Kantor Hukum TMA dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA). Penulis bisa dihubungi di email: http://generic.f395.mail.yahoo.com/ym/Compose?To=azastigor%40yahoo.com, blog: azastigornainggolan .com

Sabtu, April 12, 2008

Bereskan Transjakarta sekarang juga

Oleh: Azas Tigor Nainggolan

Mencuatnya sengketa perbedaan patokan harga dalam pengelolaan Busway Transjakarta (Transjakarta) antara Badan Layanan Umum (BLU) dengan Konsorsium Operator Busway Koridor 4-7, menunjukkan adanya ketidak-beresan dalam pengelolaan Transjakarta. Sengketa itu berawal ketika pihak BLU selesai melakukan lelang tambahan armada bagi operator baru Transjakarta koridor 4-7 yang dimenangkan operator baru yakni Lorena dan Primajasa dengan harga sebesar Rp 9.500,- per kilometer jalan. Sementara itu sejak dioperasikannya Transjakarta koridor 4-7 patokan harga yang digunakan pihak BLU membayar Rp 12.885,- per kilometer jalan berdasarkan kesepakatan BLU dengan konsorsium operator pada awal pengoperasian koridor tersebut. Rencananya Januari 2008 lalu BLU ingin menerapkan patokan harga Rp 9.500,- secara sama selain bagi semua operator. Pemakasaan inilah yang akhirnya memulai silang pendapat dan akhir konflik antara BLU dan konsorsium operator yang menolak harga baru sebesar Rp 9.500,- serta masuknya operator baru Lorena dan Primajasa.
Kesepatakan patokan harga ini di perjalanan seharusnya disahkan sebuah Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara BLU sebagai unit pelaksana tehknis dari Dinas Perhubungan Pemprov Jakarta dengan konsorsium operator. Barulah setelah ada PKS sebagai dasar pelaksanaannya BLU menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) bagi pihak konsorsium operator. Tetapi yang terjadi sejak beroperasinya Transjakarta koridor 4-7 pada 27 Januari 2007 hingga maret 2008 ini belum pernah ada kesepakatan kerja sama antara Konsorsium Operator dan BLU yang dituangkan dalam PKS pengoperasian koridor 4-7. Operasional hanya di dasarkan pada SPK yang sudah dikeluarkan sebanyak 5 kali. Pertanyaannya sekarang, mengapa bisa Bus Transjakarta koridor 4-7 terus beroperasi tanpa ada PKS selama setahun lebih?
Kekacauan manajemen operasional tersebut bukannya tanpa sebab. Ternyata kekacauan sudah terjadi dimulai sejak awal dioperasikanya busway di Jakarta. Transjakarta selalu dimulai dengan asal jalan, begitu setiap koridornya. Tanpa sistem yang benar dan politik proyek semata, memproyekkan solusi masalah kemacetan lalu lintas serta buruknya kondisi angkutan umum di Jakarta. Jakarta dikepung kemacetan, angkutan umum buruk dan semua orang lebih memakai kendaraan pribadi. Didapatkanlah sistem angkutan massal umum berbasis Bus Rapid Transit (BRT) atau di Indonesia sering dikenal sebagai busway yang kemudian diusulkan sebagai alternatif solusi.
Sebagai sebuah sistem, Busway adalah solusi alternatif yang cukup mungkin direalisasikan bagi Jakarta. Busway dari sisi biaya lebih murah, daya angkutnya cukup besar serta lebih cepat pembangunannya dibandingkan sistem transportasi angkutan umum massal lainnya. Melalui pembangunan sistem busway bagi di Jakarta diharapkan bisa menyelesaikan bebagai persoalan yang terjadi seperti kemacetan karena penggunaan mobil pribadi berlebihan. Berkurangnya penggunaan mobil pribadi akan berdampak pada pengurangan penggunaan bahan bakar serta mengurangi pencemaran udara. Melalui busway juga diharapkan menyelesaiakan persoalan buruknya pelayanan angkutan umum di Jakarta. Artinya adalah pendekatan penyelesaian melalui sistem busway ini adalah secara menyeluruh atau berdampak bias positif hingga ke akar masalahnya.
Sistem Busway inilah akhirnya dipilih sebagai salah alternatif solusi memecahkan masalah tersebut. Mulailah pada 15 Januari 2004 kota Jakarta memiliki koridor 1 busway jurusan Kota Jakarta Barat ke Blok M Jakarta Selatan. Sambil berjalan Pemprov melengkapi target 15 koridor busway hingga sekarang. Bersamaan dengan itu mulai juga muncul atau terungkap masalah-masalah yang berkaitan dengan pengoperasian busway. Masalah yang terungkap mulai dari soal sistem tiketing yang tidak on line hingga sekarang, feeder (bus pengumpan) yang tidak ada, head way (tempo kehadiran armada bus) yang mencapai 30 menit hingga satu jam, korupsi pengadaan dalam proyek busway dan sekarang masalah belum adanya kontrak kerja sama antara Pemprov Jakarta (BLU dengan konsorsium operator busway koridor 4-7. Semua masalah atau kekacauan ini tidak lepas dari proses awal pihak pemprov saat itu yang memproyekkan busway. Upaya memproyekkan itu dilakukan dengan menjual atau mengatas-namakan kepentingan publik Jakarta yang butuh alternatif angkutan umum. Dikatakan memproyekkan karena Transjakarta katanya sebagai sistem busway tetapi yang ada hanya koridor utamanya saja atau belum lengkap sebagai sistem.
Masalah patokan harga koridor 4-7 hingga saat ini belum ada perjanjian kerja sama (PKS) dan pembayaran bagi 4 koridor dilakukan oleh BLU sekitar Rp 10-11 milyar tiap bulan pada konsorsium operator tanpa ada lelang. Pembayaran ini jelas telah melanggar hukum, ketua BLU serta Kepala Dishubnya bisa diseret oleh KPK atas tuduhan korupsi (setidaknya memperkaya orang lain yakni para operator busway) karena melakukan pembayaran diatas Rp 50 juta tanpa melalui lelang pengadaan barang sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No: 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Selain itu, pembayaran tersebut telah melanggar Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi DKI Jakarta Nomor 123 Tahun 2006 (Pergub 123/2006) tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Operator Busway di Provinsi DKI Jakarta. Menurut Pergub ini seharusnya BLU menyelesaikan PKS dengan konsorsium dalam pengoperasian Transjakarta koridor 4-7. Barulah setelah itu dapat melakukan renegosiasi terhadap perbedaan patokan harga dengan operator baru jika ada perbedaan angka harganya.
Rupanya pengoperasian Transjakarta sejak awal di tiap koridor seperti ”kejar tayang”, sistem belum siap tapi dipaksa jalan tidak hanya di koridor 4-7 saja. Penuturan beberapa operator Transjakarta diungkapkan bahwa Dishub memaksa operator mengoperasikan armada Transjakartanya walau belum ada kontrak atau PKS, Feeder atau sistem tiketingnya bahkan belum ada armada. Dishub setiap akan memulai koridor baru hanya melakukan lobby-lobby dengan pengusaha atau operator. Misalnya saja ketika hendak mengoperasikan koridor 4-7 meminjam bus dari koridor 1-3 karena konsorsium belum armadanya. Hingga saat ini pun armada di koridor 4-7 belum penuh dan baru mencapai sekitar 60%.
Model kejar tayang seperti sebelumnya rupanya akan dilakukan lagi dalam pelaksanaan Transjakarta koridor 8-10 yang masih dalam proses penyelesaian infarstrukturnya. Hingga saat ini armada seperti apa yang akan digunakan dalam koridor 8-10 belum ada kejelasan. Tidak usah soal armadanya, siapa pengusaha atau operator yang akan masuk dalam koridor 8-10 pun tidak jelas. Begitu pula bentuk konsorsium koridor 8-10 pun belum jelas bentuknya seperti apa. Semua persoalan ini belum terdengar pihak Dishub Jakarta melakukan lelang. Terdesak oleh evaluasi Gubernur, langsung saja Kepala Dishub menyatakan bahwa koridor 8-10 akan dioperasikan pada September 2008 dengan menggunakan armada bus milik operator hasil lelang koridor 4-7. Lagi-lagi Kepala Dishub mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Tentunya ini akan memunculkan berbagai masalah lagi dikemudian hari dan menjatuhkan wibawa Pemprov Jakarta di mata warga Jakarta.

Memperbaiki pola kerja atau sikap Dishub yang selalu hanya ingin mengambil keuntungan dari pengusaha angkutan umum (operator). Sikap ini akhirnya membuat publik memiliki kesan buruk terhadap Pemprov Jakarta, yakni selalu merelakan atau mengorbankan sistem untuk diproyekkan. Selalu saja Dishub berkolusi bersama pihak para operator membohongi publik, katanya membangun sistem busway padahal tidak sepenuhnya. Kesepakatan kolutif seperti ini melanggar hukum dan kedua (pejabat Dishub dan operator) bisa masuk penjara. Lebih penting lagi adalah praktek kotor seperti ini harus dihentikan untuk membangun kembali citra Pemprov dan kota Jakarta ke depan lebih baik. Ketegasan memperbaiki akan berdampak positif dalam pembangunan serta perbaikan sistem transportasi Jakarta dan bisa tegas terhadap operator yang nakal atau tidak beres. Para operator nakal ini mendapatkan lebih banyak dari aparat Dishub yang nakal sementara kritikan lebih banyak dialamatkan kepada Dishub dan Pemprov Jakarta.
Nah kondisi buruk ini ini harus disadari selain oleh dishub (karena merekalah penguasa kebijakan tehknis pemprov Jakarta) juga para operator yang saat ini sudah tergabung dalam konsorsium. Para operator tidak bisa mengklaim bahwa mereka sudah benar dibandingkan dishub atau BLU. Sama-sama melanggar hukum dan merampok uang warga karena bersepakat melakukan kebohongan publik melalui proyek busway. Mari perbaiki dan sadarkan para operator Transjakarta agar menjamin memberikan pelayanan prima paba warga Jakarta. Tidak hanya berpikir cari untung semata dan merusak sistem buseway yang telah dibangun. Begitu pula dorong Dishub dan BLU mengawal dan menjaga sistem busway berjalan secara baik hingga tuntas, bukan semata memproyekkan busway. Membangun sistem busway secara baik dan sempurna tidak hanya kejar tayang untuk mengatakan pada Jakarta bahwa sudah ada busway.


Jakarta, 10 April 2008
Penulis adalah Seorang Advokat pada Kantor Hukum TMA dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA)
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo. com,

Kamis, April 03, 2008

Kisah Yang Mungkin Nyata

Seperti biasa saya sehabis pulang kantor tiba di rumah langsung duduk bersantai sambil melepas penat. Sepertinya saya sangat enggan untuk membersihkan diri dan langsung shalat. Sementara anak2 & istri sedang berkumpul di ruang tengah. Dalam kelelahan tadi, saya disegarkan dengan adanya angin dingin sepoi2 yang menghembus tepat di muka saya. Selang beberapa lama seorang yang tak tampak mukanya berjubah putih dengan tongkat ditangannya tiba2 sudah berdiri di depanku. Saya sangat kaget dengan kedatangannya yang tiba2 itu. Sebelum sempat bertanya.... .siapa dia...tiba2 saya merasa dada saya sesak... sulit untuk bernafas.... namun saya berusaha untuk tetap menghirup udara sebisanya. Yang saya rasakan waktu itu ada sesuatu yang berjalan pelan2 dari dadaku...... terus berjalan.... . kekerongkonganku. ...sakittttttttt ........sakit. ..... rasanya. Keluar airmataku menahan rasa sakitnya,... . Oh Tuhan ! ada apa dengan diriku..... Dalam kondisi yang masih sulit bernafas tadi, benda tadi terus memaksa untuk keluar dari tubuhku... kkhh........ .khhhh... .. kerongkonganku berbunyi. Sakit rasanya, amat teramat sakit Seolah tak mampu aku menahan benda tadi...

Badanku gemetar... peluh keringat mengucur deras.... mataku terbelalak.. ...air mataku seolah tak berhenti. Tangan & kakiku kejang2 sedetik setelah benda itu meninggalkan aku. Aku melihat benda tadi dibawa oleh orang misterius itu...pergi. ..berlalu begitu saja....hilang dari pandangan. Namun setelah itu......... aku merasa aku jauh lebih Ringan, sehat, segar, cerah... tidak seperti biasanya. Aku herann... istri & anak2 ku yang sedari tadi ada diruang tengah, tiba2 terkejut berhamburan ke arahku.. Di situ aku melihat ada seseorang yang terbujur kaku ada tepat di bawah sofa yang kududuki tadi. Badannya dingin kulitnya membiru. siapa dia???????.. . Mengapa anak2 & istriku memeluknya ! sambil menangis... mereka menjerit...histeris ....terlebih istriku seolah tak mau melepaskan orang yang terbujur tadi... Siapa dia......... ....????? ??? Betapa terkejutnya aku ketika wajahnya dibalikkan.. .. dia........dia. ......dia mirip dengan aku....ada apa ini

Tuhan...???? ???? Aku mencoba menarik tangan istriku tapi tak mampu..... Aku mencoba merangkul anak2 ku tapi tak bisa. Aku coba jelaskan kalau itu bukan aku. Aku coba jelaskan kalau aku ada di sini.. Aku mulai berteriak... ..tapi mereka seolah tak mendengarkan aku seolah mereka tak melihatku... Dan mereka terus-menerus menangis.... aku sadar..aku sadar bahwa orang misterius tadi telah membawa rohku Aku telah mati...aku telah mati. Aku telah meninggalkan mereka ..tak kuasa aku menangis.... berteriak. ..... Aku tak kuat melihat mereka menangisi mayatku. Aku sangat sedih.. selama hidupku belum banyak yang kulakukan untuk membahagiakan mereka. Belum banyak yang bisa kulakukan ! untuk membimbing mereka.

Tapi waktuku telah habis....... masaku telah terlewati... . aku sudah tutup usia pada saat aku terduduk di sofa setelah lelah seharian bekerja. Sungguh bila aku tahu aku akan mati, aku akan membagi waktu kapan harus bekerja, beribadah, untuk keluarga dll. Aku menyesal aku terlambat menyadarinya. Aku mati dalam keadaan belum ibadah. Ya ALLAH, JIKA KAU ijinkan keadaanku masih hidup dan masih bisa membaca E-mail ini sungguh aku amat sangat bahagia. Karena aku MASIH mempunyai waktu untuk bersimpuh, mengakui segala dosa & berbuat kebaikan sehingga bila maut menjemputku kelak aku telah berada pada keadaan yang lebih siap. Patrikan setiap gerak mulai dari niat hingga mengaktualisasikann ya didalam setiap tindakan kita sehari-hari untuk selalu mengingat ALLAH SWT. Semoga ALLAH memberikan kekuatan kepada kita untuk tetap didalam lindungannya untuk meraih Ridho-Nya
(amin ya ALLAH).

Shinta.S (aci) BrainAct (D'sign Service & Multimedia)
Mobie : 0815-84200019
YM : acicute_gks43
FS : http://http://www.friendster.com/acicute

Jurus Baru Mengeruk APBD

Oleh: Azas Tigor Nainggolan

Perdebatan pembahasan Anggaran Belanja Daerah (APBD) Jakarta selalu menarik perhatian dan memunculkan permasalahan baru. Begitu pula dengan pembahasan Rencana Anggaran Belanja Daerah (RAPBD) tahun 2008 yang menjadi persoalan terkesan diperlambat oleh pihak DPRD Jakarta sejak awal tahun 2008. DPRD sendiri menepis anggapan tersebut dengan mengatakan bahwa RAPBD diserahkan terlambat oleh Pemprov Jakarta (Eksekutif). Pemprov Jakarta dikatakan kurang serius dan tidak melibatkan DPRD dalam pembahasan sehingga terlambat dan jumlah angkanya tidak sesuai dengan kebutuhan warga yakni hanya Rp 20 Trilyun. Lebih lanjut DPRD mengatakan bahwa penurunan jumlah APBD menjadi 20 Trilyun menunjukkan ketidak-seriusan eksekutif dalam membangun pelayanan public kepada warga.
Penurunan jumlah inilah yang akhirnya dalam perjalanan pembahasan hingga rencana penyerahan ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri) menjadi sangat terlambat. Memang biasanya jumlah APBD Jakarta dari tahun ke tahun selalu naik sekitar Rp 1 Trilyun hingga Rp 2 Trilyun. Tetapi pada tahun 2008 ini pihak Pemprov Jakarta membuat kejutan dengan membuat APBD yang jumlahnya lebih kecil dari tahun 2007 sebelumnya yang sekitar Rp 21 Trilyun lebih. Pengurangan anggaran ini dikatakan oleh DPRD sebagai langkah kemunduran dan akan terjadi penurunan kualitas pelayanan public bagi warga Jakarta. Akhirnya pada akhir pembahasannya DPRD katanya melakukan langkah “perbaikan” dan penambahan APBD hingga total menjadi sekitar Rp 20,59 Trilyun.

Bertambahnya jumlah APBD 2008 ini memnunculkan masalah dan kecurigaan baru jika dilihat lebih rinci lagi RAPBDnya yang telah disusun oleh DPRD. Rupanya penambahan itu bukan hanya sekitar Rp 590 Milyar tetapi mencapai sekitar Rp 3 Trilyun walau jumlah akhirnya menjadi hanya sekitar Rp 20,59 Trilyun. Total usulan awal pemprov yang dirubah tercatat sebesar Rp 444,37 Milyar namun ditambahkan oleh sebesar Rp 2, 943 Trilyun oleh DPRD sehingga terkoreksi menjadi Rp 3,381 Trilyun. Coba bayangkan betapa besarnya penambahan atau titipan proyek anggaran yang dilakukan pada APBD Jakarta 2008 nanti. Penambahan atau kenaikan tersebut dilakukan oleh DPRD dengan jurus baru seolah-olah anggarannya pro warga padahal mau mengeruk uang APBD itu dilakukan dengan cara:
1. Menambahkan anggaran pada pos-pos yang tidak diajukan oleh pemprov karena dipandang belum saatnya diajukan pada tahun 2008,
2. Menambahkan besaran anggaran yang sudah diajukan Pemprov menjadi lebih besar.
3. Mengurangi anggaran yang diajukan kemudian menaikkannya lagi anggaran yang sudah diajukan oleh pemprov dan mengalihkan ke pos lainnya yang sudah diajukan, bahkan anggaran yang sudah dikurangi oleh DPRD dialihkan dengan membuat pos anggaran baru.
Penambahan pos-pos anggaran baru yang diajukan oleh DPRD itu bisa dilihat misalnya saja pada:
· Pengadaan papan nama Ketua RT se Jakarta sebesar Rp 7 Milyar, padahal selama ini para Ketua RT sudah biasa dan bisa mengadakan papan namanya secara swadaya (Komisi A).
· Pengadaan proyek pengadaan Finger Print untuk kelurahan sebesar Rp 11 Milyar yang pegawainya hanya 8 orang tiap keluarahan (Komisi A).
· Pembebasan lahan untuk hutan kota Rt 001 Rw 004 Kedlurahan Cilangkap sebesar Rp 34 Milyar (komisi B).
· Penyediaan sarana dan prasarana penanggulangan penceraman minyak di laut sebesar Rp 23 Milyar (Komisi B).
· Asuransi Gedung-gedung Pemda sebesar RP 26 Milyar (komisi C).
· Pengembangan alat komunikasi radio UHF TETRA Pemprov tahap 2 sebesar Rp 40 Milyar (Komisi C).
· Pengadaan dan pembangunan Waduk Kelapa Gading sebesar Rp 80 Milyar (Komisi D).
· Pengolahan pencemaran air kali besar Kota Tua sebesar Rp 74 Milyar (Komisi D).
Penambahan jumlah dari anggaran yang sudah diajukan oleh Pemprov menjadi lebih besar oleh DPRD misalnya bisa terlihat pada anggaran:
· Pembebasan Tanah Kali Cakung Lama dari Rp 36,15 Milyar ditambah Rp 25 Milyar
· Pengadaan alat pemantau kualitas udara dari Rp 5 Milyar ditambah Rp 11 Milyar
· Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi sebesar Rp 500 Juta ditambah Rp 72 Milyar
Pengurangan jumlah anggaran yang sudah diajukan oleh Pemprov menjadi lebih kecil bahkan dihapuskan oleh DPRD misalnya bisa terlihat pada anggaran:
· Rehab total gedung SMPN 179 sebesar Rp 12 Milyar dikurangi Rp 12 Milyar
· Rehab total gedung SMPN 282 sebesar Rp 12 Milyar dikurangi Rp 12 Milyar
· Rehab total gedung SMPN 53 sebesar Rp 11 Milyar dikurangi Rp 11 Milyar
Pengurangan lalu dikurangi dan kemudian ditambahkan lagi jumlah anggaran yang sudah diajukan oleh Pemprov oleh DPRD misalnya bisa terlihat pada anggaran:
· Bantuan social sebesar Rp 400 Milyar ditambah Rp 159 Milyar lalu dikurangi lagi Rp 202,1 Milyar dan akhirnya menjadi Rp 443 Milyar

. Dinas Prendidikan dasar Rp 244,4 Milyar ditambah Rp 24,2 Milyar lalu dikurangi lagi Rp 145,2 Milyar dan akhirnya menjadi Rp 123,4 Milyar
Semua cara pengurangan lalu penambahan atau penghapusan angaran yang sudah diajukan oleh Pemprov Jakarta kemudian pemunculan dan pembuatan anggaran baru oleh DPRD ini adalah modus atau bentuk baru penipuan pembahasan APBD untuk mengeruk anggaran milik public warga Jakarta oleh DPRD. Terlihat jelas upaya penipuan tersebut jika dilihat dari penambahannya semata yang terlihat hanya sekitar Rp 590 Milyar tetapi terjadi upaya mengeruk keuntungan melalui pengolahan anggaran dalam APBD secara luar biasa pandainya DPRD. Sehingga upya penurunan tersebut rupanya oleh Pemprov Jakarta dilakukan sebagai langkah realistis untuk mengefektifkan dan mengevisiensikan anggaran tidak tercapai. Anggaran yang telah disusun serta disesuaikan dengan kebutuhan tanpa upaya mengada-ngada seperti biasanya dilakukan pada masa sebelumnya saat Jakarta di bawah Gubernur Sutiyoso.
Semua kebutuhan yang dibuat berdasarkan kebutuhan dan kemampuan yang ada tanpa mengada-ngada agar tidak menggenjot pendapatn besar dari warga. Upaya kotor dan tidak berbudaya ini harus diwaspadai dan dicermati betul oleh pihak Depdagri saat menerima RAPBD yang akan disampaikan oleh pemprov dan DPRD Jakarta. Untuk itu sebaiknya pihak DPRD menegur keras para anggota DPRD Jakarta yang telah melakukan tipu daya dalam pembahasan RAPBD Jakarta. Jika modus kotor seperti yang dilakukan DPRD Jakarta didiamkan maka bukan tidak mungkin akan ditiru oleh DPRD daerah lain dan akhirnya akan menghambat pembangunan pelayanan public di Jakarta atau di daerah lainnya dikemudian hari.

Jakarta, 16 Februari 2008
Penulis adalah Advokat pada Kantor Hukum TMA dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA)
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com

Usulan Solusi Atas Perbedaan Pendapat Patokan Harga Busway Koridor 4-7

Oleh: Azas Tigor Nainggolan



Kondisi Nyata
Perbedaan pendapat tentang Patokan harga Satuan Rp/KM Busway (patokan harga) Koridor 4-7 beberapa hari seakan mencapai puncaknya. Antara Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta (BLU) dan Konsorsium Operator (yang eksisting) sama-sama mempertahankan pendapat dan argumentasinya terhadap patokan harga. Konsorsium operator di koridor 4-7 tetap bersikukuh menginginkan Patokan harganya sebesar Rp 12.885,- dan menolak terjadinya perubahan yang akan diterapkan oleh Pihak BLU. Sementara BLU ingin menerapkan patokan harga pada konsorsium operator berdasarkan hasil evaluasi harga (lelang) bersama operator baru (non eksisting) sebesar Rp 9.300,- hingga Rp 9.500,-. Perbedaan patokan harga inilah yang terus berkelanjutan sejak awal tahun 2008 dan hingga sekarang belum terselesaikan dan menimbulkan ancam-mangancam antara BLU dan Konsorsium Operator.

Pihak konsorsium berargumentasi bahwa penentuan patokan harga sebesar Rp 12.885 yang dipertahankan hingga sekarang itu adalah berdasarkan SK Kepala Biro Perlengkapan Propinsi DKI Jakarta No. 2550/073.532 tahun 2007 yang penghitungannya juga melibatkan unsur Dewan Transportasi Kota Jakarta saat itu. Selain itu juga dikatakan oleh konsorsium operator bahwa patokan harga Rp 12.885 masih lebih rendah dari harga yang diusulkan konsultan (PT Rekadaya Sentosa) yang ditunjuk oleh BLU yakni sebesar Rp 13.925,-. Berdasarkan argumentasi tersebut maka konsorsium operator berpendapat penerapan harga hasil lelang operator bus baru kepada mereka sebagai operator eksisting adalah tidak setara. Menurut para anggota konsorsium operator ini dikatakan bahwa ada perbedaan situasi serta waktu yang cukup lama. Misalnya perbedaan situasi harga dalam pengadaan bus, konsorsium operator koridor 4-7 dengan operator bus baru pemenang lelang yang menyebabkan perbedaan biaya.

Sementara itu pihak BLU berpendapat bahwa tidak ada dasarnya pembayaran patokan harga sebesar Rp 12.885 seperti yang diminta konsorsium operator. Apabila pembayarannya tidak seperti patokan harga hasil lelang sebesar Rp 9.500 atau membayar berbeda antara pemenang lelang dengan konsosrsium eksisting sebesar Rp 12.885 maka itu akan melanggar hukum dan terjerat tindak pidana korupsi atas tuduhan memperkaya orang lain karena melakukan pembayaran di atas harga hasil lelang atau menerapkan dua patokan harga dalam satu koridor yang sama. Atas dasar pertimbangan inilah maka BLU bertahan meminta agar konsorsium operator mau menerima patokan harga sama dengan operator bus baru agar tidak ada 2 (dua) patokan harga dalam satu koridor sama.

Alas Hukum Patokan harga
Pada awal pengoperasian Busway koridor 4-7, Kepala Dinas Perhubungan mengeluarkan Keputusan No. 269/2006 untuk mengatur operator bus di koridor ini. Dalam keputusannya Kepala Dinas Perhubungan pada tanggal 15 Desember 2006 menetapkan bahwa operator bus di koridir 4-7 terdiri dari, 60% berasal operator eksisting yang terkena restrukturisasi Trayek Angkutan Umum akibat pengoperasian Busway koridor 4-7. Sisanya sebesar 40% dialokasikan bagi operator bus baru non eksisting yang ditetapkan atas hasil lelang. Keputusan Kepala Dinas Perhubungan tersebut di atas dibuat berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 123 Tahun 2006 (Pergub 123/2006) tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Operator Bus Busway di Provinsi DKI Jakarta. Untuk memenuhi kebutuhan Dinas Perhubungan dalam hal Patokan harga pada tanggal 21 Juni 2007 melalui Kepala Biro Perlengkapan Propinsi DKI Jakarta menetapkan Keputusan No. 2550/073.532 sebesar Rp 12.885,-.

Secara khusus untuk keperluan mengatur operator busway serta patokan harga sebenarnya bisa dirujuk juga pada Pergub 123/2006. Dalam pasal 1 ayat 3 Pergub ini dikatakan bahwa Patokan harga atau Biaya rupiah per kilometer (Rp/Km) adalah biaya produksi yang dikeluarkan oleh operator bus dalam memberikan pelayanan angkutan umum busway sepanjang satu kilometer. Keberadaan operator yang terdiri konsorsium operator dan operator bus baru diatur di dalam pasal 3. Dalam pasal 3 ayat 2 dikatakan bahwa Konsorsium diberikan hak pengelolaan sebagai kompensasi karena trayek yang dilayaninya terkena dampak restrukturisasi trayek (bagi trayek busway). Operator bus baru dalam pasal 3 ayat 3 diberikan hak pengelolaan untuk memenuhi kebutuhan operasional busway guna menjamin kuantitas, kualitas dan kontinyuitas pelayanan.

Keberadaan konsorsium operator itu sendiri dalam pasal 4 disebutkan pembentukannya berdasarkan gabungan perusahaan-perusahaan angkutan umum bus kota (eksisting) yang terkena dampak restrukturisasi trayek yang ditetapkan oleh Kepala BLU Transjakarta. Sementara itu Operator bus baru oleh pasal 5 Pergub 123/2006 dikatakan bahwa dilakukan pembentukannya oleh Kepala BLU Transjakarta berdasarkan hasil proses pengadaan barang/jasa (lelang) diantara operator angkutan umum baru busway (non eksisting). Berbedanya pembentukan inilah mungkin menjadi awal perbedaan patokan harga Rp/K busway pada koridor 4-7. BLU Transjakarta diatur oleh pasal 6 melakukan kerja sama atau kontrak kerja sama dengan konsorsium operator serta operator bus baru yang asalnya berbeda.
Bagi konsorsium operator diatur dalam pasal 7 ayat 1 bahwa pihak BLU membayar berdasarkan patokan harga yang besarnya dinegosiasikan antara Tim BLU dengan pihak konsorsium. Pembayaran bagi operator bus baru dibayarkan patokan harganya berdasarkan hasil proses (lelang) pengadaan barang/jasa operator angkutan umum busway. Perbedaan cara pembentukan dan penetapan patokan harga inilah menjadi bibit masalah meruncingnya konflik hubungan antara BLU dengan konsosrsium. Hasil lelang yang dilakukan BLU pada September 2007 hingga Desember 2007 didapatkan harga terbaik (terendah) adalah pada kisaran Rp 9.300,- hingga Rp 9.500,- yang jauh berbeda di bawah patokan harga konsorsium.

Negosiasi Ulang
Mulai Januari 2008 hingga sekarang ramai silang pendapat antara antara BLU dan Konsorsium terhadap besaran patokan harga yang harus dibayarkan oleh BLU kepada Konsorsium. Pihak BLU berkeinginan menerapkan patokan harga berdasarkan hasil lelang sekitar Rp 9.300 hingga Rp 9.500, sementara pihak konsorsium tidak mau dan tetap ingin dibayarkan sesuai patokan harga hasil negosiasi sebelumnya yakni sebesar Rp 12.885,-. Perbedaan patokan harga ini juga terjadi pada harga bagi jenis bus gandeng (tempel) yang belum bisa dioperasikan oleh konsorsium karena belum terjadi kesepakatan antara BLU dengan Konsorsium. Bagi bus tempel Konsorsium menginginkan patokan harga Rp/Km sekitar Rp 28.500 sedangkan BLU menetapkan berdasarkan hasil lelang sebesar Rp 16.661,-. Perbedaan besaran patokan harga ini sebenarnya sudah diantisipasi pembuat Pergub No. 123/2006 akan bisa terjadi. Secara khusus Pergub ini pada pasal 7 ayat 3 mengatur bahwa apabila terjadi perbedaan besaran patokan harga Rp/Km antara hasil negosiasi bersama konsorsium dengan hasil lelang pengadaan barang/jasa maka akan dilakukan negosiasi ulang terhadap harga lebih tinggi dengan berdasarkan nilai rupiah per kilometer (patokan harga) terendah. Cara penetapan atas harga lebih tingg dengan harga lebih rendah ini sejalan dengan keberadaan operator bus baru yang terkandung dalam pasal 3 ayat 3 sebagai penjaga keseimbangan kualitas dan kontinyuitas atau keberlangsungan pelayanan

Menyikap konflik antara BLU dan Konsorsium ini duduk bersamanya antara BLU dan Konsorsium adalah sebuah keharusan untuk menegosiasi ulang patokan harga karena tidak mungkin menerapkan dua patokan harga pada satu koridor. Untuk memulai penyelesaian perselisihan patokan harga tersebut mungkin bias memakai semangat peluang negisasi yang ada dalam pasal 7 ayat 3 Pergub No. 123/2006 yang mengatur dilakukannya negosiasi ulang apabila terjadi perbedaan patokan harga hasil negosiasi ulang dengan hasil lelang. Memang konsorsium operator pada koridor 4-7 belum memiliki perjanjian kerja sama (PKS) dengan pihak BLU tetapi tidak menghambat untuk negosiasi ulang agar terjadi kebaikan. Guna memperlanjar negosiasi ulang dapat dilakukan dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) yang ditugasi melakukan negosiasi ulang. Pokja tersebut diharapkan berisi para pihak yang berselisih ditambah beberapa pihak lagi seperti unsure pemerintah atau LSM. Apabila negosiasi tidak menghasilkan kesepakatan maka Pokja bias melanjutkan dan menyerahkan penyelesaian melalui cara arbitrase dengan menyerahkan kepada Badan Arbitrase Nasional. Biarlah pada akhirnya keputusan patokan harga yang akan digunakan diputuskan secara hukum melalui Badan Arbitrase Nasional agar BLU dan Konsosrsium memiliki patokan harga yang akan dijadikan pegangan.

Negosiasi ulang harus dilakukan agar perbedaan bisa diselesaikan secara ramah dan pelayanan publik bisa terjamin berjalan dengan kualitas baik. Melakukan negosiasi ulang dan mencari titik temu sudah tepat dan susai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 7 ayat 3 Pergub No. 123/2006 yang mengatur dilakukannya negosiasi ulang apabila terjadi perbedaan patokan harga hasil negosiasi ulang dengan hasil lelang. Keputusan ini harus dipilih agar tidak ada pelanggaran hukum atau pemaksaan kehendak yang akan merusak sistem yang sudah dibangun dengan biaya mahal. Semoga pengalaman ini menjadi pelajaran bagi pelayanan lebih baik di kemudian hari.


Jakarta, 2 Maret 2008
Penulis adalah Seorang Advokat pada Kantor Hukum TMA dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA)
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com

Dewan Transportasi Kota, Jembatan yang Belum Berfungsi (1)

Oleh: Azas Tigor Nainggolan[2]


Keinginan memiliki dan membangun sebuah Dewan Transportasi Kota bagi Jakarta awalnya muncul saat pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Transportasi di Jakarta. Beberapa orang aktivis LSM, operator angkutan umum dan anggota Komisi D DPRD Jakarta saat itu, sekitar tahun 2003 lalu seringkali bertemu membangun sebuah forum diskusi yang membicarakan atau membahas Raperda Transportasi yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta kepada DPRD. Dalam pembahasan beberapa kali tersebut, agenda besarnya adalah sebuah cita-cita perbaikan sistem lalu lintas dan transportasi di Jakarta yang pembuatannya melibatkan seluruh kelompok yang berkepentingan. Fokus pembicaraan saat itu mencoba menggali peran Pemprov, DPRD, LSM, Operator Angkutan Umum dan anggota masyarakat lainnya yang memiliki kepentingan terhadap ketersediaan sistem lalu lintas, khususnya transportasi angkutan umum. Peserta tetap forum diskusi itu akhirnya menamakan diri mereka sebagai Koalisi Warga Untuk Transportasi (KAWAT) Jakarta.

Secara simultan dan terprogram forum diskusi di Komisi D DPRD Jakarta berjalan dan mengkritisi Raperda tersebut. Pasal demi pasal coba dibedah dan didiskusikan bersama di ruangan Komisi D, berpindah di sekretariat kawan-kawan LSM bahkan hingga menginap di sebuah tempat “mengurung” perhatian peserta. Salah satu topik utama pembicaraan yang cukup menarik saat itu juga adalah pasal-pasal tentang keterlibatan masyarakat pembuatan kebijakan lalu lintas dan transportasi. Singkat cerita akhirnya forum diskusi mulai membedah secara khusus tentang Dewan Transportasi Kota (DTK). Melalui institusi DTK inilah, saat itu forum diskusi melihat dapat dijadikan media pelibatan partisipasi warga dalam penyusunan kebijakan lalu lintas dan transportasi. Atau diharapkan DTK menjadi jembatan kepentingan antara Pemprov, warga, Pebisnis dan DPRD agar terbentuk perbaikan dalam pengelolaan transportasi serta lalu lintas di Jakarta.

Pelibatan partisipasi warga serta komponen publik lainnya melalui DTK itu juga dilihat akan menjadikan pembangunan sistem transportasi dan lalu litas sesuai kepentingan publik Jakarta. Perjalanan berikutnya forum diskusi KAWAT diminta oleh Komisi D untuk mencari dan mempersiapkan usulan materi ketentuan tentang bentuk DTK yang hendak dibangun. Visi atau dasar yang disepakati dalam pembahasan saat itu adalah DTK yang akan dibentuk menjadi lembaga yang independen dan terpercaya dalam hal pengembangan kebijakan sistem transportasi yang berkelanjutan di DKI Jakarta. Untuk mewujudkan visi tersebut juga disusun misi DTK agar mendorong peran serta masyarakat dan terciptanya transparansi dalam pengembangan kebijakan sistem transportasi yang berkelanjutan.

Selain itu forum diskusi diperluas, KAWAT mengundang beberapa pakar transportasi dan perencanaan kota dan mulai menjajaki atau mencari model sejenis DTK dengan visi misi di atas melalui pengalaman di negara lain yang sudah lebih dulu memiliki institusi seperti DTK. Pengalaman negara lain yang didapat saat itu adalah pengalaman negara Singapura yang menamakan intitusi itu The Public Transport Council (PTC), yang berada di bawah Ministry of Communications & Information Technology, dengan dasar hukumnya The Public Transport Council Act (Cap 259B) yang berlaku sejak 14 Agustus 1987. Model yang dimiliki ini juga sempat dipaparkan dan didiskusikan oleh KAWAT bersama rekan-rekan Komisi D DPRD Jakarta saat membahas Raperda tentang Transportasi.

Dalam perjalanannya, forum diskusi yang diperluas tersebut secara bersama menyadari bahwa proses ini adalah sebuah pengalaman menarik antara warga, pemprov, DPRD dan operator angkutan umum (pebisnis). Model proses inilah sebenarnya yang sudah cukup lama diharapkan hadir di tengah-tengah pembuatan kebijakan bagi kota Jakarta. Forum diskusi yang berjalan cukup panjang dan terprogram saat itu merupakan sebuah terobosan luar biasa dalam hal penyusunan sebuah kebijakan yang berbentuk Raperda. Kesadaran penting serta komitmen yang terbentuk juga melalui proses itu adalah bahwa pelibatan partisipasi publik secara murni dan baik akan menghasilkan kebijakan yang sesuai kepentingan publik. Akhirnya memang setelah melalui proses diskusi bersama Raperda itu disahkan oleh DPRD dan diterima Pemprov Jakarta menjadi Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2004 mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau serta Penyeberangan di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Menariknya lagi adalah Perda tersebut mejadi dasar hukum keharusan dibentuknya DTK di Jakarta. Luar biasa memang pengalaman tersebut. Menghasilkan sebuah Perda yang cukup partisipatif pembahasannya dan dibentuknya satu organ penting yang bisa menjadi salah satu solusi memperbaiki akar masalah transportasi dan lalu lintas di Jakarta yakni melalui DTK.

Keberhasilan maksimal dari kerja bersama itu dapat dilihat dalam pasal-pasal yang diatur oleh Perda No. 12 Tahun 2004 terebut. Memang materi yang diatur Perda tersebut belum lengkap tetapi secara umum sudah jauh lebih baik isinya dan proses pembuatannya dari Perda-perda lainnya yang dihasilkan oleh DPRD dan Pemprov Jakarta. Begitu pul pasal yang mengatur tentang DTK, secara substansial yang dibahas dan diusulkan oleh forum tersebut diterima penuh dalam Perda No. 12 Tahun 2004. Perda tersebut mengatur secara khusus tentang DTK dalam Bab XII Pasal 98:
Ayat (1)
“Untuk menampung aspirasi masyarakat dan memberikan pertimbangan terhadap penyusunan kebijakan Pemerintah Daerah dalam bidang transportasi dibentuk Dewan Transportasi Kota yang unsur anggotanya terdiri dari Perguruan Tinggi, Pakar Transportasi, Dinas Perhubungan, Kepolisian, Pengusaha Angkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang transportasi, Awak Angkutan dan Masyarakat Pengguna Jasa Transportasi”
Ayat (2)
“Dewan Transportasi Kota merupakan lembaga yang berkedudukan di tingkat Propinsi”
Ayat (3)
“Organisasi, Tata Kerja dan Keanggotaan Dewan Transportasi Kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diberlakukan Peraturan Daerah ini”
Ayat (4)
“Masa bakti keanggotaan Dewan Transportasi Kota selama 2 tahun”

DTK Dalam Harapan
Pasal 98 inilah dasar hukum keberadaan DTK di kota Jakarta dan landasan kerja bagi para anggotanya dan alat kontrol warga terhadap kinerja DTK. Berpijak pada pasal 98 ini, mulailah forum diskusi itu diperluas oleh KAWAT untuk upaya mempersiapkan pembentukan DTK bersama DPRD serta Pemprov dalam hal ini Dinas Perhubungan. Tahap awal diskusi itu para peserta forum mencoba mengumpulkan harapan terhadap DTK dalam sebuah rumusan Visi DTK yakni menjadi lembaga yang independen dan terpercaya dalam hal pengembangan kebijakan sistem transportasi yang berkelanjutan di DKI Jakarta. Untuk mewujudkan visi tersebut juga dirumuskan bahwa DTK yang akan dibentuk memiliki misi sebagai pendorong peran serta masyarakat dan terciptanya transparansi dalam pengembangan kebijakan sistem transportasi yang berkelanjutan.

Berangkat dari ayat 1 pasal 89 Perda Transportasi dan visi misinya, DTK haruslah menjadi jembatan yang menyamankan warga dan Pemprov menyusun kebijakan transportasi di Jakarta. Sebagai jembatan, DTK haruslah selalu dekat dengan warga juga Pemprov agar dapat berfungsi secara baik. Dekat dalam artian bahwa DTK bagi warga adalah sebuah media yang dikenal, nyaman dan dapat akses secara mudah juga terbuka, tidak menjadi menara gading seperti sekarang. Tidak menjadi menara gading karena DTK memiliki tugas pokok sebagai media yang menumbuhkan, menerima serta mengolah aspirasi masyarakat dan memberikan bahan pertimbangan terhadap penyusunan kebijakan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dalam bidang transportasi. Tugas pokok menjadi jembatan aspirasi masyarakat itu diharapkan terwujud melalui fungsi atau kerja-kerja:
§ Menerima, menampung dan menganalisa masukan masyarakat tentang pengelolaan transportasi kota serta meneruskan hasil analisa kepada pemerintah.
§ Memberikan masukan kepada pemerintah, diminta atau tidak diminta, tentang kebijakan pengelolaan transportasi kota.
§ Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam bidang transportasi.
§ Mendorong transparansi dan peran serta masyarakat dalam penentuan kebijakan tentang pengelolaan transportasi
§ Menjadi mediator antara masyarakat dengan pemerintah dan DPRD
Untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya, DTK dapat mengundang Gubernur, DPRD, pejabat terkait atau unsur-unsur di luar pemerintah untuk hadir dalam rapat yang diselenggarakan DTK.

Begitu pula dengan keanggotaannya DTK diatur, jenis keterwakilan serta jumlahnya pun difasilitasi agar bisa memenuhi kebutuhan menjadi jembatan yang baik tidak seperti menara gading. Penyusunan keangotaannya, diskusi saat itu merumuskan dulu kebutuhannya agar bisa menjalankan tugas serta fungsi, baru menghitung jumlahnya. Disepakati akhirnya bahwa keanggotaan DTK terdiri dari 15 orang yang dipilih dari unsur-unsur:
§ Perguruan Tinggi, dengan bidang-bidang keahlian diantaranya:
¨ Ekonomi transportasi
¨ Perencanaan sistem transportasi
¨ Sosiologi perkotaan
§ Pakar Transportasi, dengan keahlian di bidang-bidang keahlian diantaranya:
¨ Pembiayaan sistem transportasi
¨ Lingkungan perkotaan
¨ Komunikasi massa
¨ Infrastruktur
§ Dinas Perhubungan
§ Kepolisian
§ Pengusaha Angkutan
§ Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang transportasi
§ Awak angkutan
§ Masyarakat pengguna jasa transportasi

DTK Dalam Kenyataan
Melihat proses pembentukannya, DTK menerima harapan besar dari warga Jakarta agar memiliki sistem transportasi dan lalu lintas nyaman serta sesuai dengan kepentingan publik. Tidak hanya proses penyusunan tata organisasinya saja yang dikawal oleh kawan-kawan LSM, Dishub Jakarta dan Operator, termasuk juga rekruitmen perdana anggota DTK. Harapan besar terhadap DTK ini wajar karena memang dilahirkan berawal dari keinginan mendasar warga sendiri agar dapat mengakses pembangunan kotanya. Lahir dari sebuah proses kerja bersama antara warga, Pemprov dan DPRD serta para operator angkutan. Tidak dilahirkan secara kloning atau dari hubungan gelap tetapi terang benderang dan partisipatif.

Masalahnya sekarang adalah terlihat secara terang bahwa DTK setelah terbentuk dan dilantik oleh Gubernur Jakarta belum berfungsi sebagaimana harapannya. Sudah hampir setahun setelah dilantik, DTK nyaris tidak terdengar kerja nyatanya sesuai dengan yang diberikan padanya. Akhir-akhir ini, terutama setelah kenaikan harga BBM yang besar sekali pada 1 Oktober 2005 lalu, DTK baru terdengar secara publik. Pertanyaannya sekarang, kemana saja kawan-kawan DTK sebelumnya? Memang dengan kenaikan harga BBM tersebut, DTK serasa tertolong untuk muncul dengan adanya tuntutan warga berkaitan dengan tarif angkutan umum di Jakarta. Namun kemunculan itu pun juga masih belum memuaskan warga karena hanya bicara kenaikan tarif angkutan umum saja. Bukankah peran DTK dengan jenis anggota dan jumlahnya yang cukup memadai itu tidak hanya diharapkan berfungsi dalam soal tarif? Ada soal-soal lain yang harus DTK kritisi berkaitan dengan visi, misi, tugas pokok dan fungsinya jembatan menuju pembangunan sistem lalu lintas dan transportasi kota Jakarta yang berkelanjutan.

Kelemahan atau bahkan dapat dikatakan bahwa anggota DTK yang sekarang belum memahami benar fungsi mereka atau bahkan tidk memiliki orientasi kebijakan publik di bidang transportasi dan lalu lintas. Mengapa mereka, para anggota DTK sekarang hanya membatasi kapasitasnya sebatas masalah tarif atau kerja reaktif? Sulit dibayangkan apabila warga mengetahui visi, misi, tugas pokok dan fungsi DTK, sementara anggotanya pun tidak populer atau dikenal secara publik. Ketidak populeran DTK hingga saat ini tidak lepas dari masih lemahnya komitmen dan orientasi para anggotanya. Kerja ringan mensosialisasikan keberadaan DTK kepada publik saja hampir tidak terdengar atau tidak kelihatan. Sebagai sebuah media kepentingan publik, warga tidak mengetahui dimana kantor DTK. Jelas sekali tugas pokok sebagai angota tidak dapat fungsional karena warga tidak tahu mengadu kemana kantornya DTK.

Bukankah keberadaan DTK belakangan ini justru mematikan partisipasi warga yang menjadi tugas pokok mereka? Mungkin sebagai anggota dihantui ketakutan tidak siap apabila warga mengetahui hakekat yang harus dikerjakan oleh sebuah DTK? Apabila warga tahu tentang kebenaran hakekat DTK, tentu warga akan aktif memberi masukan atau pengaduan. Warga Jakarta adalah warga yang rasional dan sadar betul hak serta kewajibannya, cukup aktif berpartisipai atau mau peduli dengan kotanya. Selama ini justru partisipasi warga selalu dibuat buntu bahkan dibunuh begitu saja hingga terus dirugikan. Berangkat dari keprihatinan ini, ada baiknya para anggota DTK mulai memperbaiki diri dan kerjanya terlibat secara baik sebagai jembatan. Bersikap dan bertindak secara populer memperjuangkan kepentingan warga dan kota ini dengan menjemput warga atau mengenalkan diri pada warga. Kita masih percaya bahwa pelibatan partisipasi warga secara murni dan baik dapat menghasilkan kebijakan transportasi dan lalu lintas sesuai kepentingan bersama dan berkelanjutan.




Jakarta, 20 Oktober 2005
[1] Disampaikan untuk acara Diskusi Publik “Mewujudkan Dewan Transportasi Kota yang berpihak pada Kepentingan Publik”, diadakan oleh Koalisi Warga Untuk Transportasi (KAWAT) Jakarta, 20 Oktober 2005 di Gedung Jakarta Media Center.
[2] Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) dan Kordinator Koalisi Warga Untuk Transportasi Jakarta (KAWAT Jakarta).
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com

Kerja Advokasi Dalam Isu Publik



Udara bersih atau lingkungan yang nyaman, siapa yang menolak? Pernyataan ini sederhana tetapi berat sekali rasanya untuk diwujudkan. Rasanya semua orang terutama di Jakarta sangat merindukan dapat menghirup udara bersih atau hidup secara nyaman. Seakan sudah tidak ada dan tidak terbeli lagi ruang yang dapat memberikan ruang gerak atau hidup nyaman saat ini di Jakarta. Keprihatinan ini sepertinya berjalan sendiri di balik keinginan warga Jakarta yang kehidupannya diselimuti oleh udara kotor setiap saat. Warga akhirnya melakukan upaya perlindungan serta pemenuhan secara individu yang berujung dengan merampas dan bahkan menabrak haknya sendiri atau warga lainnya.

Misalnya saja mengurung atau “membungkus” dirinya dengan berbagai cara karena pemerintah sepertinya tidak sanggup. Ruang dibungkus sedemikian rupa, dilengkapi berbagai kebutuhan seperti membuat steril ruang dengan berbagai kebutuhannya. Padahal tindakan itu jelas selain merugikan dirinya sendiri tetapi juga terhadap warga lainnya. Benturan kepentingan ini menunjukkan bahwa seharusnya pemerintah sebagai fasilitator melakukan kebijakan belum berfungsi secara baik. Atau mungkin saja terjadi keadaan dimana pembuat kebijakan tidak bekerja secara kordinatif dan tidak menguasai masalah. Akibatnya adalah kepentingan warga yang seharusnya dilindungi dengan tegaknya aturan tidak berjalan.

Kekacauan-kekacauan di atas menunjukkan pada kenyataan bahwa dibutuhkan sebuah kerja secara sistematis terorganisir agar terjadi sebuah perubahan sikap dan kebijakan. Apapun bentuk kebutuhan perubahannya, perlu dilakukan dengan pendekatan seluruh stakeholder isu yang bersangkutan. Pendekatan semacam ini yang lazim dilakukan dalam gerak LSM sering disebut sebagai kerja Advokasi terpadu. Advokasi berasal dari Advocacy (bahasa Inggris) yang berarti membela atau Advocare (bahasa Latin) yang berarti melayani. Dalam kerja advokasi terpadu ini yang menjadi tujuan adalah terjadinya sebuah perubahan kebijakan atau juga perubahan perilaku. Kerja advokasi ini dilakukan dengan pengandaian adanya sebuah intervensi sekelompok masyarakat yang biasanya digambarkan oleh kehadiran Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai agen atau fasilitator terjadinya perubahan.

Konsep tentang faktor adanya intervensi kerja agen KSM atau LSM ini dapat dilihat secara kerja terorganisir advokasi bersama warga. Kerja advokasi ini akan berjalan secara baik dan berhasil apabila disertai upaya penumbuhan:
· Partisipasi warga
· Kedekatan isu dengan kepentingan warga atau pembuat kebijakan
· Keterbukaan pembuat kebijakan dan warga

Partisipasi atau sikap aktif warga dalam memperjuangkan terjadinya perubahan sangat penting karena wargalah yang akan mendapatkan keuntungan pertama. Bersama partisipasi warga inilah KSM atau LSM membangun dan menyusun upaya secara terorganisir agar terjadi perubahan perilaku atau kebijakan. Upaya tersebut dalam kerja advokasi didekati dengan melakukan pendidikan serta penyadaran politik terhadap warga dan pembuat kebijakan.
Upaya penyadaran dan penumbuhan sikap kritis ini, biasanya dilakukan pihak LSM dengan menggunakan beberapa media atau cara dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai baru atau kesadaran baru terhadap sebuah komunitas masyarakat. Pengertian Advokasi menurut Mansour Fakih, adalah upaya yang ditujukan agar terjadinya sebuah perubahan sosial melalui semua saluran dan piranti demokrasi perwakilan, proses-proses politik dan legislasi yang terdapat dalam sistem yang berlaku.[2] Dikatakan juga oleh Mansour Fakih dalam tulisannya itu, bahwa advokasi merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadi perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap maju.[3] Sebagai sebuah usaha sistematis, advokasi di kalangan LSM atau Ornop biasa dijalankan melalui program-program yang berbentuk kegiatan kampanye, pendampingan dan pengorganisasian komunitas masyarakat korban kebijakan (Commuinity Organizing), pendidikan dan pelatihan serta pembelaan.

Dalam sebuah proses advokasi, para aktivis KSM atau LSM menempatkan warga dan pembuat kebijakan sebagai subjek utama. Penempatan posisi warga dan pembuat kebijakan sebagai subjek ini didasari pemikiran bahwa warga dan pembuat kebijakan adalah pelaku utama dalam sebuah perubahan. Proses yang menuju pada sebuah perubahan tidak akan terjadi dengan baik jika tidak lahir dari dalam diri atau tidak adanya keinginan berubah dari para warga dan pembuat kebijakan itu sendiri. Metode atau model pendekatan dan pengembangan kesadaran baru ini banyak dipakai oleh LSM untuk membangkitkan kembali keinginan dan partisipasi masyarakat serta keterbukaan pembuat kebijakan. Partisipasi dan keterbukaan itu bisa dalam rangka menuntut pembentukan kebijakan, merubah kebijakan yang sudah ada sebelumnya atau mendukung kebijakan-kebijakan yang sudah ada tetapi belum dijalankan dengan benar.

Uraian singkat di atas memperlihatkan bahwa sasaran dari advokasi adalah terjadinya perubahan kebijakan publik yang dibuat karena telah merugikan kepentingan masyarakat. Kegiatan advokasi haruslah merupakan sebuah proses kegiatan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis, dirancang untuk mendesakkan terjadinya perubahan baik dalam isi, tata-laksana maupun budaya hukum yang berlaku.[4] Selanjutnya juga dikatakan oleh Topatimasang, bahwa untuk membangun upaya advokasi diperlukan sebuah proses penumbuhan kesadaran masyarakat untuk memperjuangkan perubahan kehidupannya sendiri.[5] Penguatan kesadaran dan perjuangan perubahan kebijakan publik yang dilakukan oleh LSM memakai beberapa media atau sarana. Kebanyakan LSM yang berorientasi pada kerja-kerja advokasi memilih bentuk-bentuk media sarana sosialisasi politik seperti:[6]
a. Pengorganisasian dan pendidikan, kerja sarana ini diarahkan terbentuk dan kuatnya kesadaran baru agar masyarakat miskin atau korban kebijakan publik dapat melakukan upaya-upaya advokasi. Media pengorganisasian dan pendidikan ini dilakukan atau diadakan di tempat tinggal atau tempat kerja komunitas masyarakat miskin atau korban kebijakan publik. Bentuk dari media adalah berupa pendampingan atau kunjungan rutin para pekerja LSM, pertemuan warga, pembuatan selebaran informasi, training-training kontekstual dengan kebutuhan advokasi masyarakat korban. Fungsi atau pengaruh yang diharapkan terbangun adalah masyarakat korban mendapatkan informasi, nilai-nilai, pemahaman dan akhirnya adalah tumbuhnya partisipasi warga korban sendiri untuk melakukan advokasi (perjuangan) perubahan kebijakan publik yang telah merugikan mereka.
b. Lobby-lobby terhadap pembuat kebijakan (pemerintah), setelah masyarakat membangun kesadaran barunya, mereka melakukan beberapa upaya advokasi berupa aksi unjuk rasa atau melakukan lobby-lobby (kontak-kontak) politik kepada pemerintah atau pembuat kebijakan agar mau merubah kebijakan publiknya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Topatimasang bahwa proses penumbuhan kesadaran dan advokasi dilakukan melalui tiga proses yakni:[7]
a. proses legislasi dan juridiksi, proses ini meliputi seluruh proses
penyusunan rancangan undang-undang dan peraturan sesuai dengan konstitusi dan sistem ketatanegaraan yang berlaku.
b. proses politik dan birokrasi, proses ini meliputi konsolidasi organisasi pemerintahan, seleksi, rekruitmen dan induksi para aparat pemerintahan dengan cara lobby, mediasi, negosiasi, tawar-menawar dan kolaborasi
c. proses sosialisasi dan mobilisasi, proses ini meliputi semua bentuk penumbuhan kesadaran dan pendapat umum serta tekanan massa terorganisir seperti penggalangan pendapat dan dukungan hingga berbentuk unjuk rasa, mogok dan boikot.

Jika dilihat dari pendekatan tiga proses di atas maka dapat dilihat juga bahwa keberadaan sosialisasi atau komunikasi publik menjadi pendukung penting dalam melakukan kegiatan advokasi. Setidaknya berdasarkan pengalaman menunjukkan, bahwa penggunaan media komunikasi sebagai pendidikan di tempat bekerja atau tempat tinggal dan media lobby oleh banyak LSM didasari kebutuhan agar sasaran proses advokasi berjalan baik. Kedua bentuk media sosialisasi atau komunikasi di atas ternyata cukup efektif membangun terjadinya perubahan sikap atau kebijakan publik. Pilihan model ini didasari pertimbangan adanya keterbatasan pendidikan atau informasi warga dan pembuat kebijakan, bahkan kemiskinan ekonomi yang melingkupi hidup warga. Sehingga dua sarana di atas jadi sangat relevan untuk dipilih sebagai alat meningkatkan partisipasi dan keterbukaan warga atau pembuat kebijakan dalam melakukan advokasi perubahan kebijakan serta perilaku.
Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa pengertian Advokasi merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang ditujukan untuk terjadinya sebuah perubahan sosial atas kebijakan dan perilaku yang ada. Apabila itu berkaitan dengan kebijakan atau perilaku pemerintah serta pembuat kebijakan publik maka upaya ini dapat dilakukan melalui saluran dan sarana demokrasi perwakilan, proses-proses politik dan legislasi yang terdapat dalam sebuah sistem atau tatanan masyarakat. Sebuah upaya dapat dikatagorikan sebuah advokasi jika itu merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi atau mendesakkan terjadi perubahan dalam kebijakan atau perilaku secara bertahap maju. Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa intervensi agen KSM atau LSM didefinisikan sebagai kerja menumbuhkan partisipasi dan keterbukaan warga atau pembuat kebijakan ke arah perubahan.

Jakarta, 27 September 2005
Azas Tigor Nainggolan
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA).
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com

[1] Disampaikan dalam Lokakarya IV, Peluang dan Tantangan Stakeholder Dalam Menurunkan Pncemaran Udara di Jakarta, diselenggarakan oleh CAP Swisscontact bekerja sama dengan Yayasan Orang Indonesia, di Hotel Ibis Tamarin Jakarta, 28 September 2005
[2] Mansour Fakih, Memahami Advokasi, dalam Roem Topatimasang dkk (Penyunting), Merubah Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, h. iii.
[3] Ibid.
[4] Roem Topatimasang, Advokasi Kebijakan Publik: Ke Arah Suatu Kerangka Kerja Terpadu, dalam Roem Topatimasang dkk (Penyunting), Op Cit, h. 40-41.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid, h. 43-45

Jakarta Bukan Untuk Orang Miskin

Azas Tigor Nainggolan*

Selama bulan Juni 2003 ini Jakarta merayakan ulang tahunnya yang ke 476 selama bulan penuh. Jauh hari sebelumnya berita tentang keceriaan perayan ulang tahun itu sudah memenuhi pemberitaan media massa. Jakarta dipenuhi oleh pengumuman acara-acara hiburan serta program obral murah dan puja puji tentang keberhasilan tipu-tipu senangnya Sutiyoso. Semua menyulap sepertinya Jakarta tidak ada masalah dan baik sekali pada warganya. Suasanan ini membuat saya muak dan kesal. Mengapa semua orang mau begitu saja tunduk dan takut jika berkata lain dengan Sutiyoso, Sang Gubernur Jenderal Jakarta. Pada malam puncak perayaan ulang tahun tersebut, sekitar jam 22.00 saya sedang berada di tengah kemacetan di sekitar terminal busKampung Rambutan, Jakarta Timur.

Malam minggu menjelang tanggal 22 Juni itu saya baru pulang mengunjungi seorang teman pedagang kaki lima buah-buahan yang baru digusur. Tempat berjualan teman saya itu digusur oleh Pemprov Jakarta yang ingin membangun jembatan layang (fly over). Sambil menungguantrian kemacetan, iba-tiba mata saya menangkap sebuah pemandangan yang sungguh menyedihkan. Seorang ibu dengan tergopoh-gopoh menarik anaknya yang masih mengenakan seragam sekolah mengejar sebuah. Namun bis tersebut melongos kencang meninggalkan seakan tak sudi dinaiki ibu dan anaknya itu.

Pemandangan ini membuat pikiran dan perasaan saya dipenuhi oleh kemarahan dan protes tentang betapa berat dan kejamnya kehidupan di Jakarta. "Kejam dan kejam sekali kota ini", keluh saya saat itu juga. "Apa saja yang dikerjakan elit kota ini ?" tanya saya pada diri sendiri. Kepedihan, penderitaan, penindasan, kesemrawutan, penggusuran dan kemiskinan terus memenuhi ibu kota Jakarta. Selanjutnya selepas kemacetan, pikiran saya teringat pada engalaman lain yang sama menyedihkannya.

Salah satunya adalah pengalaman saya beberapa hari sebelumnya yang bertemu dengan kawan lama saya seorang ibu yang setiap hari duduk meninta-minta dengan anaknya yang berumur belum genap 1 tahun di pinggir jalan Gajah Mada Jakarta Pusat. Perkenalan kamiberawal ketika saya beberapa teman pada awal tahun 2000 lalu melalui jalan pojok jalan tempat mereka berdua beroperasi. Sepanjang tahun 2000 itu kami harus mengkuti sidang gugatan Class Action banjir sebagai pengacara warga Jakarta. Suatu ketika diperjalanan kembali ke kantor, sepulang sidang kami melihat seorang ibu yang sedang hamil duduk meminta-minta dipinggir jalan Gajah Mada Jakarta Pusat. Ibu itu duduk tanpa payung di tengah terik matahari sambil menengadahkan tangan pada mobil yang lewat di depannya.

Ada rasa kagum bercampur sedih terungkap dalam pembicaraan tentang ibu yang baru kami lewati. Pengalaman itu akhirnya membuat mata kami selalu mengarah pada posisi ibu hamil tersebut setiap pulang sidang. Akhirnya suatu ketika selesai sidang dan di perjalanan menuju kantor, ibu hamil yang biasa kami lihat sudah menggendong seorang bayi merah. Ibu danbayinya itu duduk pada posisi yang sama tetap tanpa payung walaupun sinar matahari panas sekali. "Oh, ibu itu sudah melahirkan": kata saya pada teman-teman yang pulang bersama saya.
Beberapa cerita pengalaman kemiskinan dan kepiluan yang dialami oleh semua kawan kita di atas hanyalah beberapa contoh dari jutaan potret kekejaman hidup di kota yang dikatakan Metropolitan ini. Sudah 39 tahun saya hidup di Jakarta tapi rasanya potret pemiskinan, penyingkiran dan penindasan terhadap kaum miskin seperti tidak pernah berkurang bahkan bertambah. Sebagaimana potret perjalanan hidup seorang pedagang bakso yang biasa berjualan di depan rumah orang tua saya di Matraman, Jakarta Timur. Pertama kali saya mengenalnya saat saya baru berumur 5 tahun. Hingga sekarang penjual baso itu tetap saja berjualan dengan gerobak dorong. Potret lainnya adalah pengalaman hidup seorang kawan yang sudah 20 tahun hingga sekarang masih menarik becak di pinggiran kota Jakarta. Perkenalan saya denga kawan pengemudi becak itu awalnya pada tahun 1989 ketika Jakarta mulai mencanangkan larangan becak beroperasi di Jakarta.

Mungkin kita akan mengatakan bahwa kawan-kawan saya itu masih beruntung tetap bisa berjualan atau mengoperasikan becak walau tetap dikejar-kejar dan dilarang. Penilaian seperti ini jelas salah l dan sangat merendahkan kemanusiaan. Coba kita bandingkan, apakah nilai mata uang Rp 10. 000 sepuluh tahun lalu dengan sekarang? Luar biasa sekali, hampir 25 tahun hanya bisa menjual bakso tanpa ada perkembangan dan bahkan sekarang sering dikejar aparat Trantib (petugaskemanan dan ketertiban) Pemprov. Jelas ini adalah kemunduran bukan kemajuan. Akankah potret-potret seperti ini terus menghiasi album kenangan kota Jakarta sebagai Ibukota Negara. Tanpa rasa bersalah dan perasaan kasihan atas penderitaan dan kemiskinan warganya sendiri. Terus menggusur dan tidak mau memberi ruang pada warganya yang miskin dengan alasandan selalu mengatakan bahwa mereka bukan warga Jakarta karena tidak memiliki KTP Jakarta. Padahal kita tahu warga miskin tersebut bukanlah pendatang baru, mereka banyak yang sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta tanpa diberi KTP. Jika memang kenyataannya seperti ini siapa yang salah sebenarnya?

Entah mengapa? Padahal kita tahu di Jakarta ada jutaan orang pintar, ahli, pakar dan para doctor. Tetapi Jakarta tetap saja dipenuhi persoalan kesulitan hidup, penggusuran dan penistaan terhadap warganya miskin. Apa saja yang dikerjakan orang-orang pintar itu selama hidup di Jakarta? Beberapa waktu lalu semua media massa hampir tiap hari memberitakan perdebatan tentang Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Disertai dengan aksi-aksipuluhan ribu orang di depan gedung DPR RI yang mewakili gerombolan pro dan kontra RUU tersebut. Tapi mengapa tokoh-tokoh yang terlibat dalam aksi RUU Sisdiknas tersebut tidak pernah terlibat perhatiannya jika ada warga digusur rumah atau tempat bekerjanya di Jakarta. Mengaku tokoh pendidikan nasional tapi hanya berpikir dan berjuang untuk kepentingan diri dan kelompoknya sendiri? Kita tahu benar di Jakarta ini hidup semua agama dan ribuan LSM yang selalu bicara dan mengajarkan tentang kebaikan dan keberpihakan pada orang miskin (optionfor the poor). Ada ribuan ulama, pendeta, pastor, tokoh agama, dan tokoh LSM yang sering tampil pada diskusi-diskusi masalah pelanggaran Hak Azasi Manusia di tempat lain yang jauh dari Jakarta. Kemana larinya mereka ketika elit kota ini melakukan penggusuran dan penindasan? Termasuk juga Komisi Nasional (Komnas) Hak Azasi Manusia (HAM) yang berkantor di Jakarta,tidak berbuat apa-apa untuk membantu warga Teluk Gong Jakarta Utara yang sepanjang tahun 2002 saja mengalami penggusuran 20 kali. Mungkin kita merasa cukup puas bila sudah membicarakan "keberpihakan pada orang miskin" berbusa-busa sebagai bahan kotbah di rumahibadah atau diskusi di hotel dan sekedar menjadi bahan bacaan atau riset semata.

Jakarta pada ulang tahunnya ke 476, 22 Juni 2003

* Azas Tigor Nainggolan, Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta)
HP: 0815 99 77 041

Bunuh Diri Kaum Miskin

Oleh: Azas Tigor Nainggolan

Mengerikan sekali hidup di kota Jakarta. Sedih dan ingin marah rasanya saya setelah membaca pemberitaan media massa tentang tindakan bunuh diri seorang ibu bersama 2 orang anaknya karena kesulitan hidup atau kemiskinan yang melilit mereka. Keputusan itu diambil oleh seorang ibu bernama Jasih, melakukan bunuh diri bersama 2 anaknya yakni Galang (7 tahun) dan Galuh (4 tahun). Bunuh diri itu dilakukan dengan membakar diri di rumahnya di daerah Koja Jakarta Utara pada tanggal 15 Desember 2004. Menurut isi surat yang ditulis dan ditinggalkan pada suaminya Mahfud, Jasih mengungkapkan, bahwa dia sudah tidak tahan lagi menanggung kemiskinan hidup dan tidak tahan melihat penderitaan anak mereka, Galuh yang menderita kanker otak.

Mengerikan dan menyayat hati membaca keputusan yang diambil oleh si ibu, sementara dia pun saat itu sedang hamil. Peristiwa menyakitkan itu ditambah lagi, diaman saat tetangga korban membawa Galang yang badannya penuh dengan luka bakar, ditolak oleh sebuah rumah sakit. Penolakan itu menurut cerita tetangga korban dikarenakan tidak ada uang jaminan yang diminta oleh pihak rumah sakit. Saat mengetahui informasi itu, saya tidak bisa membayangkan ada orang, entah itu petugas atau perawat entah dokternya, bisa menolak seorang anak yang penuh luka bakar bakar hanya alasan uang jaminan. Tidakkah mereka harusnya sebagai pekerja di rumah sakit sadar bahwa mereka bekerja untuk menolong manusia dan menempatkan keselamatan kehidupan sesamanya lebih dulu ketimbang uang.

Kejadian ini bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Banyak kasus seperti ini terjadi dan terjadi terus hingga hari ini. Belum hilang dari ingatan kita tentunya, kejadian pada tahun 2003 lalu, dimana seorang pelajar di Bandung terpaksa mencoba melakukan upaya bunuh diri dengan gantung diri karena masalah biaya sekolah. Upaya bunuh diri itu dilakukan setalah si pelajar tidak mendapat uang sebesar Rp 3.000 untuk membayar biaya ekstra kurikuler di sekolah. Ketika itu orang tuanya memang sedang tidak punya uang, hingga terpaksa menolak permintaan sang anak. Takut mendapatkan masalah di sekolah, sang anak akhirnya mencoba bunuh diri namun berhasil digagalkan. Walaupun demikian karena sempat tergantung beberapa lama, kejadian tersebut saat ini meninggalkan dampak kejiwaan yang sangat buruk bagi si anak.
Begitu pula beberapa bulan lalu juga, kita dibuat tegang karena seorang suami meminta izin pada pengadilan agar diberi izin melakukan tindakan euthanasia (bunuh diri) dengan cara menghentikan upaya medis terhadap isterinya yang diopname karena sudah tidak mampu lagi membiayai tagihan biaya rumah sakit. Sang suami saat diwawancara oleh sebuah stasiun televisi swasta mengatakan, bahwa permintaan izin ini terpaksa dilakukan karena dia sudah tidak punya biaya dan negara atau pemerintah tidak mau membantu. Dikatakan juga desakan meminta izin upaya euthanasia itu semakin kuat karena pihak rumah sakit tetap saja menagih biaya pengobatan walau dia sudah mengatakan tidak punya uang lagi membiayai pengobatan isterinya tersebut.

Jalan pintas dengan bunuh diri untuk lepas dari kemiskinan yang melilit kehidupan warga Jakarta lainnya juga dilakukan oleh seorang pedagang kaki lima (PKL) pada tangga 26 Mei 2004 lalu. Peristiwa bunuh diri pasti terpaksa dilakukan oleh Binsar Sianipar (28 tahun) yang sehari-hari berjualan VCD, secara nekat mengikat lehernya dengan menggantung dirinya memakai sebuah spanduk di dalam kamar kontrakannya yang sederhana di daerah Ciracas Jakarta Timur. Menurut cerita seorang temannya dikatakan bahwa ada kemungkinan disebabkan karena putus asa sebagai pedagang kaki lima (PKL) tidak berkembang.

Temannya itu menuturkan, bahwa mereka sebelumnya sama-sama berjualan di daerah Pasar Rebo Jakarta. Sebagai PKL, barang dagangan mereka berdua diceritakan sering menjadi sasaran empuk penggusuran atau dirazia oleh petugas ketentaraman dan ketertiban (Trantib) pemda. Situasi ini memaksa Sianipar pindah berjualan di daerah Glodok Jakarta Barat yang sebenarnya juga tidak membawa perkembangan karena terlalu banyak saingan. Kesulitan hidup di Jakarta inilah yang menurut kawannya itu membuat Sianipar putus asa dan memutuskan bunuh diri. Mengerikan sekali hidup di Jakarta ini, miskin tanpa ada bantuan atau perhatian dari pemerintahnya dan terpaksa bunuh diri untuk menghentikan penderitaan.

Kejadian lain sejenis juga dialami oleh sebuah keluarga miskin di daeran Halim Jakarta Timur pada November 2004 lalu. Seorang ibu bernama Rosmawati (32 tahun) terpaksa meninggal dunia pada tanggal 18 November 2004 karena menderita infeksi dan tumor di kandungan. Kemiskinan keluarganya membuat Romawati terpaksa dibawa ke “pengobatan alternatif”, tidak berobat ke rumaha sakit karena biaya pengobatan sangat mahal tetapi pergi. Tindakan ini justru membuat penyakit Rosmawati semakin parah dan mengalami infeksi pada kandungannya karena tindakan pada pengobatan alternatif itu steril. Saat kritis, pihak keluarga mencoba kembali membawa Rosmawati ke sebuah rumah sakit umum daerah dan diminta biaya Rp 50 juta walau keluarga sudah menyertakan Surat Keterangan bahwa mereka adalah keluarga miskin.

Tindakan memilih cara non medis untuk penyakit serius yang dialami oleh Rosmawati karena mahal berobat ke rumah sakit, juga merupakan sebuah bentuk upya bunuh diri secara perlahan. Memilih cara pengobatan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara medis tetapi dipilih karena tidak ada pilihan guna menyiasati kesulitan keuangan. Beberapa media ibukota memberitakan juga banyak kejadian bunuh diri lain sepanjang tahun 2004 ini, yang dilakukan warga Jakarta karena sudah tidak tahan lagi dengan kemiskinan yang melilit mereka. Semua kejadian bunuh diri mengubur janji-janji pemerintah dan khususnya pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta yang katanya akan memberikan kesejahteraan pada warganya yang miskin.
Pemprov Jakarta selalu bicara, bahwa mereka memiliki program untuk membantu kehidupan warga miskin misalnya saja Program Pengentasan Warga Miskin Kota (PPMK) atau jaminan pelayanan kesehatan gratis keluarga miskin. Beberapa kasus kematian akibat bunuh diri di atas sudah cukup memberikan bukti pada kita, bahwa program-program yang dijanjikan Pemprov Jakarta hanya omong kosong belaka. Kasus kematian Binsar di atas menunjukkan, bahwa kebijakan Pemprov Jakarta secara sistematis telah mendorong dibuatnya keputusan bunuh diri. Akibat sering digusur oleh Pempro Jakarta terus menerus dan hidup semakin sulit maka Binsar memutuskan gantung diri. Selain itu juga, kebijakan menggusur yang dilakukan oleh Pemprov Jakarta adalah pembunuhan karena telah menghilangkan sumber kehidupan warganya.

Demikian pula dengan beberapa kejadian bunuh diri akibat kesulitan biaya pengobatan yang dialami keluarga Mahfud dan Rosmawati membuktikan, bahwa janji pengobatan gratis tidak jalan dan tidak dapat dijangkau oleh para keluarga miskin. Tidak terjangkaunya program itu oleh korban tidak lain merupakan akibat dari rusaknya dan korupnya para aparat di jajaran Pemprov Jakarta. Rusaknya lagi, para akhir-akhir ini anggota DPRD Jakarta justru sibuk dan ngotot minta mobil dinas serta rumah dinas, gubernur dan wakilnya minta jatah baju dinas. Sementara warganya gantung diri atau membakar dirinya karena hidup miskin dan digusur terus menerus.

Cukup kiranya bukti-bukti bagi kita untuk mengatakan bahwa elit kota ini, Pemprov dan DPRD Jakarta telah gagal bekerja sebagai pelayanan warga. Mereka yang seharusnya memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak warga untuk hidup, bekerja secara bebas dan mendapatkan pelayanan kesehatan, malah sibuk bagi-bagi jatah uang dan menggelapkan dana yang seharusnya menjadi hak warga untuk kepentingan pribadi mereka. Akhirnya haruslah diakui, bahwa banyak kematian bunuh diri para warga miskin ini, tanggung jawab utama berada di tangan Pemprov dan DPRD Jakarta. Tindakan mereka yang selama ini main gusur dan mengkorupsi berbagai dana proyek bantuan keluarga miskin merupakan cara-cara sistematis membunuh warganya sendiri. Jika Pemprov tidak main gusur dan tidak koruptif, besar kemungkinan Binsar atau Jasih akan memiliki alternatif pilihan lain yang tidak mematikan diri mereka sendiri.


Jakarta, 17 Desember 2004
Penulis adalah Ketua Forum Warga Jakarta (FAKTA)
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No: 44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Jakarta Timur.
Telp/Fax: 021 8569008, HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com

Rabu, April 02, 2008

Orang Miskin Dilarang Hidup?

Azas Tigor Nainggolan

Akhir bulan Maret 2005 ini, Jakarta kembali diguncang berita bunuh diri. Beberapa media massa memberitakan seorang warga miskin mati bunuh diri karena tidak tahan dengan kesulitan hidup di Jakarta. Berita tersebut kembali membuka mata dan hati pembacanya untuk mencoba merasakan kegetiran yang dihadapi keluarga serta si korban bunuh diri. Kegetiran yang terjadi saat si korban ketika dia harus membunuh dirinya sendiri karena ingin cepat lepas dari himpitan kesulitan hidup sebagai orang miskin. Juga kegetiran keluarga yang harus menyaksikan dan ditinggalkan oleh orang yang dikasihinya nekat bunuh diri. Pada 27 Maret 2005 pagi, Yusuf (48 tahun) ditemukan oleh isterinya Sofiah (45 tahun) meninggal dunia gantung diri pada tiang jemuran sekitar rumahnya. Yusuf yang sehari-hari dikenal sebagai pedagang kaki lima (PKL) bubur ayam di depan Hotel Kartika Candra, Jakarta Selatan, diduga oleh isterinya, memilih bunuh diri karena stres berat akibat tidak tahan menghadapi dengan kesulitan hidup yang dihadapinya di Jakarta. Pilihan bunuh diri itu menurut penuturan isterinya kemungkinan disebabkan oleh karena Yusuf tidak tahan dengan masalah yang menimpa keluarganya. Peristiwa itu dimulai beberapa bulan lalu saat keluarga Yusuf dan Sofiah beserta anak-anaknya kehilangan rumah yang dibelinya dari tabungan uang hasil berjualan bubur ayam selama 15 tahun. Seorang kawannya datang meminjam uang sebesar Rp 20 juta kepada Yusuf dan berjanji akan dikembalikan secepatnya. Yusuf lalu menjaminkan rumahnya itu agar mendapatkan uang sebesar Rp 20 juta untuk dipinjamkan kepada kawannya. Setelah berkali-kali selama lebih 7 bulan ditagih, Yusuf belum juga menerima pengembalian uangnya itu dan mulai curiga. Belakangan Yusuf mendapatkan kabar bahwa rumahnya yang dijaminkan itu ternyata juga telah dijual oleh kawannnya yang meminjam duit. Beban masalah ini akhirnya membuat Yusuf bingung dan stres karena kawannya ternyata telah membawa kabur uangnya serta menjual rumahnya. Cobaan hidup berat yang menimpa Yusuf tidak berhenti sampai disitu. Sekitar dua minggu lalu, isterinya menceritakan bahwa gerobak dan seluruh alat berjualan bubur ayam digaruk (dirampas) oleh petugas Tramtib pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta. Tempat berjualan diobrak-abrik (dihancurkan) dan gerobak mereka diambil oleh Tramtib yang melakukan operasi penggusuran PKL. Kejadian itu membuat mereka terpukul, terutama Yusuf bertambah stres dan sedih. Hari-hari setelah penggusuran tempat berjualan itu dijalani oleh Yusuf sekeluarga dengan penuh kepedihan karena sudah tidak memiliki mata pencaharian lagi. Untuk memulai lagi usaha dan membiayai keluarga, Sofiah bekerja sebagai tukang masak di sebuah restoran. Berkat penghasilan Sofiah ini, Yusuf bisa kembali membuat gerobak baru untuk berjualan bubur ayam. Baru empat bulan Sofiah bekerja, Yusuf jatuh sakit karena stres yang dialaminya semakin parah. Sofiah mengatakan bahwa, walaupun sudah kembali berjualan bubur ayam dengan gerobak baru, Yusuf masih sering melamun dan sering bicara kacau. Memang selama berjualan dengan gerobak barunya, Yusuf sering ketakutan dan melihat-lihat ke jalan raya, takut apabila ada petugas Tramtib datang. Suatu malam Yusuf menyaksikan di televisi berita tentang penggusuran PKL yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh aparat Jakarta Pusat di jalan Salemba. Sambil menyaksikan tayangan berita itu Yusuf berkali-kali mengeluarkan komentar marah terhadap perlakuan Tramtib terhadap para PKL. Malam itu juga Yusuf berkata pada isteri bahwa, dia takut untuk berjualan lagi karena terus dibayangi ketakutan gerobaknya akan digusur lagi. Keesokan harinya, pagi-pagi benar Yusuf pamit pada Sofiah untuk jalan-jalan dan keluar rumah. Setelah lama ditunggu, Yusuf tidak pulang dan ditemukan sudah meninggal gantung diri. Bunuh diri yang dilakukan oleh PKL karena merasa takut dan “kalah” karena penggusuran seperti Yusuf di atas pernah terjadi juga tahun lalu. Peristiwa sejenis itu dilakukan oleh seorang PKL pada tangga 26 Mei 2004 lalu. Peristiwa bunuh diri itu dilakukan oleh Binsar Sianipar (28 tahun) yang sehari-hari berjualan VCD, secara nekat mengikat lehernya dengan menggantung dirinya memakai sebuah spanduk di dalam kamar kontrakannya yang sederhana di daerah Ciracas Jakarta Timur. Menurut cerita seorang temannya dikatakan bahwa ada kemungkinan disebabkan karena putus asa sebagai pedagang kaki lima (PKL) tidak berkembang. Temannya itu menuturkan, bahwa mereka sebelumnya sama-sama berjualan di daerah Pasar Rebo Jakarta. Sebagai PKL, barang dagangan mereka berdua diceritakan sering menjadi sasaran empuk penggusuran atau dirazia oleh petugas ketentaraman dan ketertiban (Tramtib) pemda. Situasi ini memaksa Sianipar pindah berjualan di daerah Glodok Jakarta Barat yang sebenarnya juga tidak membawa perkembangan karena terlalu banyak saingan. Kesulitan hidup di Jakarta inilah yang menurut kawannya itu membuat Sianipar putus asa dan memutuskan bunuh diri. Mengerikan sekali hidup di Jakarta ini, miskin tanpa ada bantuan atau perhatian dari pemerintahnya dan terpaksa bunuh diri untuk menghentikan penderitaan.Membius Orang MiskinBeberapa waktu lalu, saat presiden Susilo menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) mengatakan bahwa, kebijakannya itu diambil untuk menolong orang miskin yang seharusnya berhak menikmati subsidi dari pemerintah. Selama ini yang menikmati subsidi melalui harga BBM lebih dinikmati oleh orang-orang yang memiliki kendaraan bermotor. Untuk itulah sebagai presiden, menaikkan harga BBM agar dapat memberikan kompensasi subsidi pada orang miskin. Mengesankan sekali pernyataan presiden itu, sepertinya pemerintah memiliki keberpihakan pada orang kecil atau miskin. Terulangnya kembali peristiwa bunuh diri orang miskin di atas menunjukkan bahwa, pernyataan presiden hanyalah untuk membius atau membohongi agar kebijakannya menaikkan harga BBM didukung masyarakat. Tetapi kenyataan yang terjadi subsidi kompensasi dana kenaikan harga BBM tidak pernah sampai ke tujuan dan orang miskin tetap saja miskin tidak boleh hidup aman sebagai manusia.Peristiwa bunuh diri ini menunjukkan bahwa, adanya proses secara sistematis terhadap orang miskin oleh pemerintah. Orang miskin dibuat tetap dan terus tidak ada pilihan lain dan akhirnya harus membunuh dirinya sendiri. Adanya pembunuhan sistematis ini juga menunjukkan betapa komitmennya sebagai presiden terhadap orang miskin tidak mendapat dukungan dari aparat pemerintah di bawahnya. Sebagai presiden seharusnya dia memiliki wewenang kuat agar aparat pemerintah di bawahnya merealisasikannya di tingkat masyarakat. Kejadian mengerikan yang dialami keluarga Yusuf di atas menunjukkan betapa komitmen presiden tidak didukung anak buahnya sendiri, yakni oleh Gubernur Jakarta Sutiyoso. Seharusnya komitmen tersebut tidak perlu hanya berbentuk pemberian subsidi uang, yang faktanya justru banyak dikorupsi juga oleh aparat pemerintah. Komitmen itu sebenarnya dapat pula ditunjukkan dengan adanya kebijakan-kebijakan di tingkat aparat pembantu presiden dengan memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak hidup warganya terutama yang miskin. Penghormatan terhadap komitmen presiden terhadap orang miskin tersebut dapat dilakukan dengan penegasan kepada seluruh aparat pemerintah agar tidak melakukan penggusuran sewenang-wenang seperti sering dilakukan oleh pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta di bawah gubernur Sutiyoso. Perilaku menindas dan mengusur orang yang miskin yang sering dilakukan oleh Sutiyoso di Jakarta pasti diketahui dan dapat dibaca di berbagai media massa. Tetapi mengapa, melihat semua tindakan menindas dan menggusur itu, presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mampu menindak Sutiyoso karena telah bertindak melawan komitmennya sebagai presiden yang katanya berpihak pada orang miskin? Jika memang keberpihakan itu merupakan sebuah komitmen bukan sekedar alat pembiusan maka harus diserta tindakan nyata dalam menjalankannya. Tindakan memberikan subsidi adalah suatu bentuk tanggung jawab melakukan perlindungan serta penghormatan sebagai aparatus negara yang harus diberikan pada warga negaranya, khususnya yang miskin agar dapat tetap hidup dan berkembang secara manusiawi. Jadi subsidi tidak harus berbentuk uang atau dana kompensasi tetapi yang terpenting adalah melakukan tindakan nyata memberikan perlindungan dan menindak aparatnya yang telah melanggar hak hidup warga negaranya. Pengalaman kekejaman Gubernur Jakarta Sutiyoso terhadap orang miskin, kiranya oleh presiden dapat dijadikan uji coba komitmen presiden yang katanya berpihak pada orang miskin. Jika presiden berhasil menindak Sutiyoso maka tindakan itu akan menjadi pelajaran bagi gubernur atau aparat didaerah lain sering menggusur orang miskin. Dalam hal ini presiden ditantang oleh Sutiyoso atau kepala daerah lainnya, apakah berani menindak dan memberhentikan tindakannya yang selalu menindas dan menggusur?
Akhirnya orang miskin benar-benar dapat hidup layak di Jakarta dan di negeri ini.
Ditunggu.

Jakarta, 31 Maret 2005

Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA).

Enjoylah Di Jakarta?

-Azas Tigor Nainggolan

Tahun 2005 ini pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta memiliki sebuah program yang diberi nama Enjoy Jakarta. Melalui program ini diharapkan akan semakin banyak orang yang berkunjung dan mengeluarkan atau membelanjakan uangnya selama di Jakarta. Beberapa brosur dan media memuat promosi program ini secara serius dan besar-besaran agar dibaca dan melahirkan ketertarikan mengunjungi kota Jakarta. Dalam promosinya, pihak penyelenggara program menampilkan informasi tentang tempat-tempat menarik seperti pusat perbelanjaan, tempat hiburan, tempat rekreasi serta tempat menarik lainnya yang dapat dikunjungi selama berada di Jakarta. Ada beberapa hal yang menarik dibahas secara kiritis melalui kampanye program Enjoy Jakarta ini. Salah satunya adalah pemikiran yang berpendapat sepertinya Jakarta kekurangan pengunjung sehingga perlu membuat program promosi khusus agar dikunjungi.Selama ini Jakarta dikenal sebagai kota yang cukup padat dengan jumlah penduduk di siang hari sekitar 12 juta orang dan di malam hari sekitar 10 juta orang. Selisih jumlah penduduk malam dan siang hari itu bukankah dapat diartikan ada sekitar 2 juta orang secara tetap mengunjngi Jakarta. Mereka dikenal sebagai pekerja penglaju dari beberapa kota sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Bukankah ini bagi Jakarta merupakan sebuah angka besar pengunung yang potensial dan harusnya dijadikan sumber pendapatan daerah? Jumlah ini jelas merupakan sebuah potensi secara ekonomi apabila mereka difasilitasi secara baik. Berangkat kenyataan itu, tulisan ini hendak melihat seberapa besar dan kontribusi apa saja yang di berikan para penglaju pada pendapatan daerah kota Jakarta. Serta mencoba melihat sejauh mana kesiapan Jakarta sebagai kota kunjungan wisata dikaikan dengan kondisi pelayanan transportasi publiknya. Potensi dengan jumlah pengunjung tetap sekitar 2 juta orang setiap hari kerja bukanlah sedikit jika ini diatur dan dikembangkan secara baik. Selama ini keberadaan para penglaju tersebut hanya dilihat sebagai salah satu penyebab buruknya wajahnya Jakarta sebagai Ibukota Negara yang selalu membuat macet, penuh polusi dan memboroskan energi bahan bakar minyak. Lihat saja di jalan-jalan atau pintu-pintu tol pinggir Jakarta, pada pagi hari dipadati oleh kendaraan yang akan masuk dan sore hari oleh kendaraan yang akan keluar dari Jakarta. Buruknya lagi kendaraan bermotor seperti mobil atau motor itu banyak tidak maksimal pengunaannya. Mobil-mobil pribadi yang mewarnai kemacetan itu hanya diisi oleh 1 atau 2 orang saja dan motor pun hanya ditumpangi oleh satu orang. Kepadatan atau kemacetan itu juga menjadi terus menguasai seluruh hari jalan-jalan di tengah Jakarta. Sepertinya di Jakarta ini tidak ada lagi jalan atau hari tanpa kemacetan. Salah satu penyebab kondisi buruk ini dialamatkan kepada pola transportasi para penglaju yang diangap hanya datang bekerja atau membuat macet dan mencari keuntungan di Jakarta serta seolah-seolah tidak memberikan kontribusi apa-apa. Apakah memang para penglaju ini tidak memberikan kontribusi dan semua masalah di atas pantas dibebankan pada mereka saja sebagai penyebanya?Beberapa waktu lalu, penulis melakukan penelusuran mencari tahu tentang hal ini dan dibantu oleh seorang kawan operator angkutan umum yang pernah mengoperasikan angkutan penglaju (commuters). Rute angkutan penglaju dikelola dengan 4 unit bus ini melayani perjalanan para pekerja dari kotanya di Bogor Jawa barat ke Jakarta, pulang pergi setiap hari kerja. Jarak tempuh angkutan penglaju yang dikelolanya ini berjarak tempuh sekitar 40 Km. Penumpangnya dilayani secara reguler, berangkat dari sebuah perumahan di Bogor dan berhenti di lokasi sekitar Ratu Plasa Jakarta Selatan dengan membayar ongkos Rp 10.000 setiap orang sekali jalan. Perlahan tapi pasti setelah berjalan sekitar satu bulan, rute angkutan penglaju kawan penulis tersebut semakin dikenal oleh publik kota Bogor dan berhasil memiliki pelanggan tetap sekitar 200 an penumpang yang bekerja di sekitar jalan Sudirman, Thamrin dan Jakarta Kota. Tingkat ekonomi para pelangannya itu berpenghasilan rata-rata Rp 5 juta setiap bulannya. Kebanyakan dari penumpangnya itu merupakan para pekerja muda yang masih memiliki dua atau tiga anak memilih tinggal di Bogor karena lebih murah harga rumahnya dibandingkan di Jakarta. Para penumpang dari kota Bogor ini menuturkan, bahwa mereka memilih angkutan penglaju karena mendapatkan banyak keuntungan dan kenyamanan dalam perjalanan. Salah satu keuntungannya adalah mereka mengatakan bahwa jadwal perjalanan kerja dapat diatur karena sekali jalan dari Bogor ke Ratu Plasa hanya memakan waktu sekitar 45 menit karena melalui jalan tol dan bus tidak berhenti di tengah jalan. Kemudahan berikutnya, para penglaju ini dapat dengan mudah melanjutkan perjalanan ke tempat bekerjanya, apabila diperlukan dengan menggunakan Trans Jakarta melalui salah satu haltenya di sekitar Ratu Plasa. Melalui Trans Jakarta (Busway) yang melayani rute tengah kota dari Blok M ke Jakarta Kota (sepanjang 12,9 Km) membantu para penglaju menyelesaikan perjalanannya. Dituturkan juga oleh para penglaju itu bahwa mereka setelah turun dari Trans Jakarta tinggal berjalan kaki saja menuju tempat bekerja. Perjalanan bekerja yang mudah diakses oleh kendaraan umum ini membuat mereka meninggalkan kendaraan pribadinya di rumah. Semua kemudahan itu selanjutnya mendorong para penglaju beralih memakai jalur angkutan penglaju dan menyambung Trans jakarta karena lebih nyaman, aman dan murah. Bagi mereka angkutan penglaju ini dikatakan sebagai alat penghubung yang sesuai kebutuhan sehingga memudahkan mereka mengakses Trans Jakarta. Sebelumnya mereka kesulitan sekali mengakses Trans Jakarta walaupun tempat bekerjanya berada di sekitar rute koridor satu Trans Jakarta. Pengoperasian angkutan penglaju seperti ini juga menumbuhkan hubungan yang baik antara penumpang, pengemudi dan si operatornya. Para penumpang dan si sopir, misalnya saja bisa saling melakukan komunikasi dan saling menegur apabila si sopir mengebut atau si penumpang terlambat datang ke halte penjemputan. Kawan operator itu pun bercerita bahwa sopir-sopirnya tidak perlu ngebut untuk mengejar setoran karena mereka telah diberikan gaji dan uang makan harian secara tetap.Data di atas menunjukkan, bahwa keberadaan angkutan penglaju memiliki banyak peran positif dalam mengurangi beban masalah transportasi dan kemacetan yang ada di Jakarta. Setidaknya angkutan penglaju itu telah mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi, apabila ini dikembangkan setidaknya akan mengurangi kemacetan akibat dari padatnya lalu lintas di jalan membludaknya penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Berkurangnya kemacetan ini juga berarti akan diikuti oleh berkurang tingkat pencemaran serta pemborosan penggunaan bakar bakar minyak bagi kendaraan bermotor. Sisi positif lain yang menurut kawan operator tersebut dikatakan, bahwa angkutan penglaju juga memberi kontribusi ekonomi atau pendapatan daerah bagi Jakarta dan Bogor. Diuraikan olehnya beberapa pendapat daerah yang bisa diberikan cukup besar, seperti:1.Untuk kota Bogor;Bea Balik Nama kendaraan bermotor: Rp 25 juta hingga Rp 30 juta tiap unit bus, Pajak kendaraan bermotor: Rp 5 juta setiap tahun untuk tiap bus Biaya uji kelayakan kendaraan bermotor: Rp 300.000 setiap enam bulan untuk tiap bus2.Untuk kota Jakarta;Pajak penghasilan sekitar Rp 1 juta setiap tahunnya dari tiap penglaju dengan penghasilan sekitar Rp 5 juta bagi yang berkeluarga memiliki anak 3 orang. Uraian angka-angka ini menambah data dimana para penglaju tidak bisa dengan mudah dikatakan sebagai pembawa masalah, mereka memiliki kontribusi yang cukup besar. Kontribusi itu akan bertambah besar apabila mereka sebagai penglaju benar difasilitasi kebutuhannya akan transportasi secara baik dan nyaman. Sayangnya saat ini angkutan penglaju yang beroprasi dengan perhentian akhir di Ratu Plasa dengan ongkos Rp 7.000 tiap penumpang baru beberapa saja, yakni: Rute Bintaro beroperasi dengan 6 unit bus dan pelanggan sekitar 360 orang Rute Bekasi, 2 trayek masing-masing beroperasi dengan 5 bus dan total pelanggan 600 orang. Coba dibayangkan berapa besar pemasukan dan dampak positifnya apabila para pekerja penglaju yang menurut perkiraan sekitar 2 juta orang itu diberikan fasilitas angkutan penglaju yang mudah diakses? Beberapa penumpang yang menjadi pelanggan dari jurusan lain juga mengungkapkan hal yang sama tentang alasan mereka memilih angkutan penglaju sebagai alat transportasi bekerja mereka. Kemudahan dan kenyamanan karena angkutan tersebut mudah diakses sehingga memberikan keleluasaan para penglaju mengatur waktu perjalanannya. Pengaturan waktu yang sedikit lebih dapat dihitung ini apabila bisa dikembangkan maka akan memungkinkan para penglaju berjalan-jalan sebentar di Jakarta atau berbelanja sebelum pulang. Bukankah ini berarti akan membuat pertambahan pendapatan lagi bagi kas daerah Pemprov Jakarta?Fakta besarnya jumlah para penglaju dan kontribusinya itu menunjukkan bahwa Jakarta sebenarnya tidak kekurangan pendatang sebagaimana kekuatiran yang tersirat di balik program Enjoy Jakarta. Sebenarnya Jakarta dapat dijadikan salah satu kota tujuan kunjungan wisata asal ada dukungan dalam melanjutkan langkah-langkah perbaikan sarana transportasi dan memecahkan masalah kemacetan. Bisa dibayangkan, apabila Jakarta memiliki sarana transportasi yang nyaman dan mudah diakses oleh siapa pun, maka para wisatawan akan tertarik datang. Para wisatawan tidak perlu bingung dan takut berekreasi selama di Jakarta dan memiliki kenangan menarik untuk berkunjung kembali. Sebagai wisatawan tentunya saat akan datang ke salah satu kota wisata, yang dibayangkan adalah keindahan dan kenyamanan bukanlah kebisingan serta kemacetan. Berpijak dari gambaran di atas didapat pemikiran bahwa memang Jakarta bisa menjadi kota tujuan kunjungan wisata asal mau memberi perhatian perbaikan sarana lainnya seperti transportasi k agar memberikan rasa enjoy bagi pengunjungnya. Perbaikan dapat dilakukan dengan mengarahkan agar angkutan umum menjadi alternatif transportasi bagi warga atau orang-orang berkepentingan dan mengunjungi di Jakarta. Pengalaman dioperasikannya angkutan penglaju di atas dapat dijadikan titik awal memulai sesuatu yang sederhana dan menarik. Sayangnya memang model angkutan penglaju ini belum masuk menjadi bagian kerangka perbaikan sistem transportasi Jakarta. Sebenarnya angkutan penglaju bisa dikembangkan secara sistematis menjadi angkutan pengumpan (Feeder) bagi Trans Jakarta yang sudah dibangun. Hingga saat ini Trans Jakarta yang katanya memakai sistem Busway ternyata belum memiliki bus pengumpan sebagaimana disyaratkan agar sistem tersebut bisa berperan menanggulangi masalah trasnportasi manusia. Beberapa pengalaman negara lain dan literatur tentang sistem Busway memang menampilkan jarak tempuh bus pengumpan tidak lebih panjang dari koridor utamanya. Sementara itu selama ini nyata-nyata angkutan penglaju ini telah mampu menjadi bus pengumpan walau jarak tempuhnya lebih panjang dari Trans Jakarta. Melihat kenyataan dan berbedanya kebutuhan masing-masing negara atau konteks tempat maka perlu adanya penyesuaian dalam menggunakan sistem busway sebagai alat penanggulangan transportasi di Jakarta. Penyesuaian itu perlu dilakukan agar sistem yang dibangun dapat lebih sesuai dengan kebutuhan dan lebih berkembang lagi tingkat manfaatnya. Tidak bisa begitu saja memaksakan sebuah sistem yang berasal dari “luar” di terapkan atau diadopsi tanpa memperhitungkan faktor kontekstualitas setempat. Tidak cukup hanya kepandaian atau keahlian tetapi juga harus diikuti oleh keberanian dan kreatifitas dalam mengimplementasikan sebuah sistem baru agar dapat menjawab kebutuhan yang ada. Bagi konteks Jakarta, mungkin tahap awal bisa saja feeder yang digunakan adalah seperti angkutan penglaju agar Trans Jakarta bisa benar-benar diakses dengan mudah serta murah. Model feeder seperti ini juga, apabila Pemprov Jakarta tidak memaksakan kehendak maka bisa menghasilkan kerja sama yang baik dengan kota-kota di sekitarnya. Kerja sama itu misalnya dilakukan dengan memberi peluang pada angkutan dari sekitar Jakarta menjadi feeder busway dalam konteks bagi-bagi rezeki atau pendapatan kepada daerah di sekitarnya agar sama-sama enjoy.

Selamat Ulang Tahun Jakarta, 6 Juni 2005

Penulis adalah Kordinator Koalisi Warga Untuk Transportasi (KAWAT) Jakarta dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA)Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com