Sabtu, Maret 07, 2009

Bahaya Iklan Rokok

Kompas -
Sabtu, Maret 7

LINDUNGI ANAK DARI IKLAN ROKOK

DENPASAR, JUMAT — Ketua Lembaga Perlindungan Anak Bali, Nyoman Masni, menegaskan, iklan dan promosi rokok di berbagai media massa, luar ruang, dan dalam berbagai kemasan acara harus segera dilarang sebagai bentuk perlindungan anak dan remaja.


"Terjadi prevalensi merokok pada anak dan remaja, lelaki dan perempuan, yang sebanding dengan iklan, promosi, dan sponsor acara dari industri rokok yang semakin tidak terkendali. Ini harus dilarang karena bisa merampas hak hidup sehat anak dan remaja," katanya di Denpasar.

Iklan dan promosi rokok dalam berbagai kemasan bentuk dan acara, katanya, menyajikan informasi tidak sehat yang bisa mengganggu proses pertumbuhan dan perkembangan anak dan remaja dari banyak aspek. Industri rokok menjadi sponsor aktif kegiatan olahraga, kesenian, dan lain-lain yang banyak bersentuhan dengan dunia remaja, bahkan dunia religi.

Berdasarkan kajian berbagai pihak yang giat dalam penanggulangan bahaya merokok dan perlindungan anak, katanya, disimpulkan seluruh rangkaian kegiatan pemasaran industri rokok sangat sistematis untuk menjadikan anak-anak dan remaja sebagai perokok pemula.

"UU Nomor 23/2002 Tentang Perlindungan Anak jelas menyebutkan bahwa anak dan remaja Indonesia harus dilindungi dari berbagai hal yang bisa merugikan hak hidup mereka," katanya.

Sejauh ini belum ada peraturan resmi yang meregulasi tata cara pemasaran rokok dan yang memiliki semangat melindungi anak dan remaja dari bahaya rokok. Komisi Nasional Perlindungan Anak sendiri tengah mendekati Mahkamah Agung untuk keperluan perlindungan anak ini.

Di Provinsi Bali yang sangat terbuka terhadap hal-hal baru, katanya, menjadi lokasi baik bagi penularan informasi sekaligus pemasaran potensial bagi industri rokok, baik dari dalam maupun luar negeri.

"Kami mendesak dan mendorong Pemerintah Provinsi Bali untuk melakukan langkah segera dan nyata yang melarang berbagai kegiatan iklan dan promosi serta sponsor industri rokok guna melindungi anak dan remaja kita," katanya.

Berdasarkan laporan Economic Analysis on Tobacco Use pada 2004, di Indonesia rokok membunuh 427.948 orang alias 1.174 orang per hari. Data Global Youth Tobacco pada tahun sama menyebutkan, tingkat prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun mencapai 24,5 persen dari total populasi anak Indonesia.

Dari jumlah itu, 2,3 persen adalah remaja perempuan sehingga prevalensi perokok pemula usia 15-19 tahun meningkat dari tahun ke tahun. Pada 1995 angka itu adalah 13,7 persen, menjadi 24,2 persen pada 2000, dan 32,8 persen pada 2004, dan angka itu cenderung meningkat pada lima tahun terakhir.

Senin, Maret 02, 2009

Monorel yang gagal

Saya muat catatan yang pernah saya tulis tahun 2006 lalu tentang Proyek Monorel di Jakarta. Pemuatan ulang ini dimaksudkan agar pemda yang sekarang akan meninjau ulang proyek monorel tersebut mendapat dukungan. Saat ini pemda Jakarta dituntut membayarkan anggara yang sudah sempat dikeluarkan oleh PT JTM, pihak kontraktor pembangun infrastruktur proyek monorel. Jika dilihat dari perjanjian kontrak kerja samanya, pemda Jakarta tidak perlu membayarkannya karena justru pihak PT JTMlah yang wanprestasi. Pihak PT JTM tidak bisa menyelesaikan proyek JTM tepat waktu sesuai kontraknya. Jadi apa yang mau dituntut oleh PT JTM pada pemda Jakarta. Justru sebaiknya pemda Jakarta menuntut balik PT JTM karena tidak selesaikan proyek monorel sesuai waktunya. Juga bisa menuntut PT JTM untuk mencabut dan membersih jalan-jalan dari tiang-tiang beton monorel yang gagal tersebut. salam Azas Tigor Nainggolan




Melanjutkan Monorel Jakarta, Lebih Beresiko
Oleh: Azas Tigor Nainggolan


Perdebatan tentang Proyek Monorail Jakarta muncul kembali dipermukaan media publik. Berbagai tokoh, pakar, pejabat hingga Wakil Presiden Yusuf Kalla ikut berbicara. Semua perdebatan itu muncul karenaakhir-akhir ini pembangunan proyek Monorel kembali terhentinya. Hal itu disebabkan oleh kegagalan PT Jakarta Monorail (PTJM) sebagai pihak pembangun dan pemegang konsesi pengelolaan selama 30 tahun Monorel Jakarta tidak dapat meneruskan pembangunan infrastruktur proyek Monorel Jakarta lagi-lagi karena kekurangan dana. Menyikapi kegagalan itu, kebanyakan pendapat meminta agar proyek Monorel dilanjutkan dan dijadikan proyek pemerintah Republik Indonesia (RI) saja. Usulan pengambil-alihan itu disebabkan PTJM dinilai telah gagal menggalang investor untuk mendanai pembangunan proyek ini setelah lebih dua tahun mencoba membangun proyek bergengsi ini.

Padahal untuk proyek ini sudah banyak yang dilakukan PTJM. Membangun infrastruktur awal membangun tiang-tiang penyangga lintasan Monorel, menebangi banyak pohon dan Gubernur Jakarta Sutiyoso pun konon sudah melakukan studi banding ke Malaysia dan Jepang. Hingga tahun 2005 lalu Sutiyoso terus berkeyakinan dan ngotot bahwa proyek monorel ini layak dan menguntungkan sehingga akan banyak investor swasta menanamkan modalnya. Barulah tahun 2006 ini Sutiyoso mulai melemah tetapi tetap ngotot meneruskan pembangunan Monorel Jakarta dengan meminta tolong pada pemerintah untuk terlibat dan mengambil alih proyek ini.

Sebenarnya jauh sebelumnya sudah banyak pendapat yang mengatakan bahwa proyek ini tidak layak secara ekonomi dan tidak bisa dijadikan solusi pemecahan masalah kesemrawutan lalu lintas di Jakarta. Dua jalur Monorel yang akhirnya ditetapkan untuk dibangun itu adalah Jalur Hijau dengan rute Kuningan Senayan dan Jalur Biru dengan rute Kampung Melayu Roxy. Termasuk penulis pada awal tahun 2005 lalu berkali-kali mengatakan bahwa Monorel adalah sekedar proyek saja bukan solusi. Sekarang barulah diakui oleh banyak pihak bahwa dua jalur itu bukanlah jalur yang menguntungkan. Apabila diteruskan proyek Monorel akan merugi karena dua jalur itu bukan rute yang banyak penumpangnya. Tidak menguntungkanya proyek inilah menjadi salah satu penyebab tidak adanya investor yang mau terlibat menanamkan modalnya. Kondisi itu membuat PTJM kembali berteriak terus minta modal pada Gubernur Sutiyoso apabila proyek Monorel Jakarta mau diteruskan.

Gubernur Sutiyoso tidak pernah mau mendengar tanggapan dan desakan yang mempertanyakan proyeknya itu. Padahal semua pertanyaan itu berkisar tentang kelayakan secara ekonomi dan dampak positifnya terhadap kebutuhan transportasi umum di Jakarta. Termasuk juga mempertanyakan kredibilitas PTJM sebagai pihak swasta yang ditunjuk. Sayangnya semua pertanyaan publik itu tidak pernah mendapat jawaban jelas dan tegas pihak Pemprov Jakarta. Begitu pula sejak awal (dan baru sekarang) beberapa pihak atau pakar baru mengatakan bahwa proyek monorel yang akan dibangun tidak layak secara ekonomi. Tetapi mengapa semua pendapat para pakar tersebut baru keluar sekarang? Mengapa tidak sejak awal saja mengatakan proyek tersebut harus dihentikan?

Sekedar untuk menyegarkan kembali ingatan tentang proyek ini. Ide awal membangun monorail pertama kali digulirkan PT Indonesian Transit Central (ITC) sebagai partner dari MTrans Malaysia pada awal 2001. Waktu itu, pihak ITC mengatakan bahwa surat dukungan terhadap investasi proyek monorail telah didapat, yaitu dari Menteri Perhubungan, Dirjen Hubungan Darat, Gubernur Jakarta (Juli 2002), Walikota Bekasi (April 2002), dan Walikota Tangerang (Mei 2002). Gagasan awal proyek monorel ini akhirnya ditunda terus dan akhirnya tenggelam karena pihak Pemprov Jakarta melihat busway dinilai lebih layak. Setelah busway koridor 1 berjalan dan diteruskan dengan pembangunan koridor 2 dan 3, barulah monorel pun dilirik kembali.

Awalnya ITC mengajukan rencana pembangunan monorel tahap pertama dengan rute Bekasi-Mega Kuningan sepanjang 22,5 kilometer dan tahap kedua akan dibangun rute Jakarta-Tangerang kemudian diteruskan Bekasi-Cikarang. Gubernur Jakarta, Sutiyoso tetap ngotot proyek ini harus dijalankan walaupun belum siap benar konsepnya. Sutiyoso terus menjajaki pembangunan monorel untuk menghubungkan Jakarta dengan Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Sebelum berangkat studi banding tentang monorel, kepada wartawan di Jakarta (25/7/2003), Sutiyoso mengatakan bahwa jika nantinya sudah tersedia tranportasi yang representatif seperti monorel, diharapkan jumlah kendaraan yang masuk ke DKI Jakarta akan berkurang. “Saya harapkan orang-orang yang sebelumnya membawa mobil ke luar kota, akan naik kendaraan itu (kereta api jalur monorail). Bayangkan saja, tiap hari kira-kira 2 juta kendaraan yang masuk ke Jakarta. Itulah yang membuat kemacetan di Jakarta,” jelas Sutiyoso saat itu.

Bahkan gubernur Sutiyoso berencana akan memasukkan rute monorel ke bandara sebagai bagian jaringan transportasi makro yang menjangkau sampai Jakarta, Bogor, Depok Tangerang dan Bekasi. Menarik sekali membaca dan memperhatikan kembali semua rencana dan mimpi Sutiyoso terhadap proyek monorel di atas. Tetapi rencana panjang rute monorel tersebut berubah total, hanya dua jalur yakni Hijau dan Biru. Setelah rencana jalur yang akan dibangun berubah, satu persatu muncul perubahan lainnya. Rute baru itu pun sejak awal sudah membuahkan persoalan dan penolakan. Saat itu jalur yang melalui Senayan sudah ditolak karena ditakutkan akan mengganggu keseimbangan kawasan Senayan sebagai kawasan terbuka untuk olah raga.

Perubahan lainnya juga terjadi pada investor yang menjadi pemegang konsesi proyek ini. PT Indonesian Transit Central (ITC) berpatner dengan MTrans Malaysia seperti rencana awal tahun 2001 pun berubah. Sebagai penggantinya saat itu ditunjuk PT Jakarta Monorel (PTJM) mengaku telah memiliki sebuah konsorsium pemodal yang akan membiayai pembangunan proyek monorail di Jakarta. Peralihan investor pelaksana proyek ini pun Sutiyoso tidak menjelaskan apa penyebabnya. Padahal saat penunjukkan awal Sutiyoso sudah menjamini PT ITC dan Mtrans sebagai konsorsium investor yang punya duit dan diakui pemerintah Malaysia. Sekarang baru terbukti kembali bahwa rupanya PTJM sebagai investor tidak memberikan arti lebih baik dalam pembangunan proyek monorel. Termasuk juga langkah terakhir yang gagal meyakinkan pihak Bank Dubai menanamkan uang pada proyek monorel. Pihak Bank Dubai tidak mau melakukan investasi karena pemerintah RI tidak mau memberikan dukungan jaminan.
Pelaksanaannya saat ini justru semakin buruk dan tidak jelas seperti apa nasib penyelesaiannya. Menarik sepertinya mencermati penyebab penolakan pemerintah RI memberikan dukungan terhadap pembangunan Monorel. Penolakan tersebut sebenarnya jika dicermati benar-benar adalah karena Pemprov Jakarta sendiri. Pemerintah RI melihat tidak mampunya dan tidak konsistensi kinerja Pemprov Jakarta di bawah Sutiyoso sebagai Gubernur dalam menyelesaikan persoalan transportasi di Jakarta. Pemprov Jakarta dapat dinilai terus melakukan tindakan tidak konsisten terhadap rencana Pola Transportasi Makro Jakarta yang dibuatnya sendiri. Dalam Pola Transportasi itu digambarkan visinya Jakarta akan dikembangkan pada pembangunan perbaikan dengan mengarahkan pada pengembangan transportasi umum massal. Namun sering kali kebijakannya bertentangan dengan semua rencana awal.

Bukti lain tidak konsistennya Pemprov Jakarta terlihat dari rencana pembuatan enam ruas jalan tol dalam kota. Di tengah-tengah kekacauan proyek Monorel, mulai tahun ini DKI Jakarta hendak membangun enam ruas jalan tol dalam kota. Pembangunan jalan yang akan menghabiskan dana Rp. 23 triliun itu akan melewati lokasi Kemayoran-Kampung Melayu, Rawa Buaya-Sunter, Kampung Melayu – Tanah Abang, Sunter-Pulogebang, Pasar Minggu-Casablanca, Ulujami-Tanah Abang. Melihat rencana ini jelas sekali Pemprov Jakarta tidak konsisten dengan visi pola pembangunan sarana trnasportasi yang dibuatnya sendiri. Dibangunnya enam ruas jalan tol dalam kota ini jelas telah menghantam dan menabrak rencana mendukung pola trnasportasi umum dengan menekan penggunaan kendaraan pribadi. Membangun jalan apalagi jalan tol berarti kembali memberi ruang dan memanjakan pengguna kendaraan mobil pribadi. Melihat tidak konsistennya kerja Premprov Jakarta terhadap program yang telah disusunnya sendiri membuat bertambah maklum dan mendukung penolakan pemerintah RI terhadap proyek Monorel. Keberadaan enam ruas jalan tol dalam kota tersebut jelas nantinya menambah rugi dan tidak ada gunanya membangun Monorel karena mobil pribadi masih diberi ruang.

Akhirnya harus diakui bahwa semua kekacauan dalam pembangunan proyek monorel disebabkan oleh orientasi pembangunan yang terus menerus salah. Apa yang dikatakan bahwa monorel dapat memecahkan masalah kekacauan transportasi dan lalu lintas di Jakarta hanyalah omong kosong belaka. Artinya memang proyek Monorel sudah selayaknya dibatalkan dan tidak diteruskan karena akan menambah rugi serta resiko yang lebih besar. Biarlah kerugian yang selama ini sudah sempat dikeluarkan membangun infrastruktur awal untuk Monorel menjadi tanggung jawab Sutiyoso menggantinya. Tanggung jawab itu harus dipikul oleh Sutiyoso secara pribadi karena dialah yang terus memaksakan proyek tersebut. Sementara itu infrastruktur awal monorel yang sudah dibangun berupa tiang-tiang penyangga jalur dibiarkan saja dan jangan dibongkar. Biarlah tiang-tiang jalur monorel itu menjadi monumen kegagalan yang harus diingat untuk perbaikan perencanaan pembangunan kota Jakarta berikutnya. Menarikkan, tiang-tiang Monorel itu menjadi menara-menara pengingat bagi warga, perencana pembangunan dan Pemprov Jakarta, apabila di kemudian hari ingin membangun agar tidak mengulangi kesalahan proyek Monorel.

Jakarta, 10 Agustus 2006
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) dan Kordinator Koalisi Warga Untuk Transportasi Jakarta (KAWAT Jakarta).
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com

Pelayanan Kependudukan

Pelayanan Kependudukan, Hak atau Kewajiban Warga?
Oleh: Azas Tigor Nainggolan



“Ini pak uangnya”, bisik seorang ibu sambil menyodorkan selembar uang kertas dua puluhan ribu rupiah pada petugas saat menerima KTPnya di kelurahan. “Wah pak ini perlu uang bensin biar petugas mau langsung ke rumah melakukan pengukuran”, minta seorang petugas sebuah kecamatan pada seorang warga yang hendak mengurus surat pengantar kepemilikan tanah. “Ini gak bener, masa kita harus ngurangin jatah proyek sebenarnya hanya untuk memberi jatah pada lurah, Dekel dan TPK. Kalo gak dikasih katanya uang proyek tersebut gak bakal diturunin”, protes seorang pengurus RW terhadap perilaku koruptif dan memeras di sekitarnya.

Begitu pula dalam hal pengurusan keperluan administrasi kependudukan yang sering dilakukan oleh warga Jakarta. Pengurusan KTP merupakan kepentingan yang sering dan selalu memberikan cerita atau pengalaman kekesalan tersendiri. “Siapa bilang gratis? Urus saja KTPnya di koran,” umpat seorang petugas saat memarahi warga yang memprotes dan menolak memberikan uang tambahan. Warga tersebut mengatakan bahwa koran memuat berita bahwa mengurus KTP gratis. Memang benar, seharusnya pengurusan KTP harus mudah, seperti digratiskan sebagai wujud difasilitasinya hak kependudukan oleh aparatur pemrov. Kependudukan adalah hak dasar warga bukan kewajiban warga dan harus dinikmati sebagai bentuk perlindungan hak-hak kemanusiaan warga. Pemikiran kritis inilah yang mendasari gubernur Jakarta agar warganya menjadi tuan rumah di kotanya bukan sebagai pengungsi di kotanya sendiri tanpa identitas.

Suasana atau dialog kesal dan kecewa atas buruknya pelayanan atau perilaku aparatur pemprov di kelurahan, kecamatan atau kantor pemprov lainnya masih masih menjadi masalah warga saat mengurus pelayanan kependudukannya. Bahkan mungkin kita sebagai warga pernah mengalaminya seperti kejadian di atas. Protes atau kritik atas perilaku tidak melayani itu adalah gambaran ketidak-pahaman aparat birokrasi terhadap pemikiran dan sikap gubernur dalam membangun pelayanan publik termasuk kependudukan untuk warga Jakarta secara baik. Gubernur selalu menekankan agar aparat birokrasi pemprov menjadi pamong yang baik, bersikap melayani (bukan dilayani) dan banyak mendengarkan (bukan banyak omong kepada) warga. Tidak dipahami dan belum terwujudnya sikap melayani yang diinginkan gubernur itu menunjukkan masih suburnya pola hubungan terbalik, yakni warga melayani aparat pemprovnya.

Terbaliknya hubungan ini menjadikan sesuatu yang merupakan hak warga menjadi kewajiban warga, kewajiban aparat menjadi hak dan dibebankan pada warganya. Pembalikan hubungan seperti akan memperburuk citra dan persepsi warga terhadap pemprovnya. Kelemahan dan kekurangan aparat pemprov dalam memberikan pelayanan kependudukan atau publik ini akhirnya akan menjadi getah atau cerita buruk bagi gubernur. Pelayanan publik seperti bidang kependudukan ini adalah bentuk yang sangat dekat dan akrab atau strategis bagi kehidupan warga. Apabila pelayanan strategis ini tidak dipenuhi, warga akan kehilangan atau menjadi cacat secara administratif dan tidak dapat menikmati pelayanan lainnya yang menentukan kehidupan warga.

Sikap dan pemahaman inilah yang ada dalam kebijakan gubernur yang menaruh keinginan besar agar warga dilayani secara baik dan manusiawi dengan menempatkan aparat pemprov atau aparat birokrasi sebagai ujung tombak pelayanan hingga ke bawah. Dalam prinsip-prinsip hak dasar atau hak asasi, pelayanan kependudukan adalah salah satu hak dasar yang dilindungi dan diatur dalam Kovenan Internasional Tahun 1966 tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Ekosob). Kovenan Ekosob ini mengakui dan memerintahkan negara-negara peserta atau anggota PBB agar memenuhi hak-hak warga untuk mendapatkan pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, administrasi kependudukan agar dapat hidup serta berkembang secara manusiawi.

Perlindungan dan penghormatan terhadap hak atas pelayanan publik atau pelayanan kependudukan ini juga dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dasar di tingkat nasional maupun internasional lainnya. Secara jelas telah diatur dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun 1948 serta UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Ketiga ketentuan Hak Aasi di atas menegaskan bahwa perlunya sebuah bentuk perlindungan dan pelayanan yang baik oleh aparat pemprov agar kemanusiaan warga sebagai citra Sang Pencipta dapat dihidupi di Jakarta. Tindakan dalam bentuk apapun, entah pembiaran atau mempersulit warga mendapatkan hak tersebut adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Berbagai bentuk pelayanan publik kependudukan telah diatur dalam ketentuan tersebut sebagai hak dasar dan berpengaruh bagi kehidupan sebagai manusia, misalnya pelayanan KTP, Surat Akta Lahir, Surat Kematian atau Surat Nikah. Apabila seseorang tidak diberikan atau difasilitasi haknya untuk mendapatkan Akta Lahir maka kelak akan sulit mendapatkan KTP dan akan sulit menikah secara resmi. Atau juga jika tidak memiliki KTP maka warga yang memerlukan kesehatan gratis (Gakin) akan sulit mendapatkannya karena tidak bisa mendapatkan SKTM sebab tidak memiliki KTP. Proses ini menunjukkan betapa penting dan berharganya pelayanan kependudukan bagi hidup warga. Terlihat bahwa misalnya tanpa KTP maka seseorang tidak diakui sebagai warga dan kehilangan sarana penunjang hak-hak hidupnya.

Baru-baru ini diumumkan bahwa Dinas Kependudukan akan meluncurkan program pelayanan pembuatan KTP Keliling, menjemput dan mendekatkan diri langsung kepada warga yang memerlukan di kampung-kampung. Tentunya warga yang tinggal di kampung-kampung adalah mayoritas warga miskin dan kurang memiliki akses pada layanan publik. Rencana program KTP Keliling ini menunjukkan Dinas Kependudukan memiliki sensitivitas terhadap pemenuhan hak warga, pelayanan publik yang pro warga dan memperhitungkan kepentingan warga. Berkeliling secara langsung seperti ini tentunya untuk lebih mempermudah dan mengontrol pembuatan KTP yang mungkin saja selama ini sering sulit didapatkan di kelurahan-kelurahan. Adanya pelayanan KTP Keliling ini akan menjadi pembanding pelayanan yang sama di kelurahan.

Ada baiknya juga bahwa kemudian atau berikutnya pelayanan KTP Keliling ini juga dikembangkan pada pelayanan pembuatan Akta Kelahiran atau layanan kependudukan lainnya. Keberadaan layanan kependudukan langsung dan mudah seperti ini jadi sangat penting bagi warga agar hidup secara manusiawi tanpa diskriminasi, tidak hanya warga yang berduit saja bisa mendapatkan hak kependudukannya tetapi warga miskin juga. Berangkat dari pengalaman kurang mengenakkan dan kritik warga terhadap pelayanan publik selama ini maka perlu ada perbaikan perilaku dan kesadaran aparatur birokrasi dalam pelayanan kependudukan. Perubahan sikap aparat untuk tidak minta dilayani tetapi melayani dan memfasilitasi warga agar terpenuhi hak-hak dasar kependudukannya. Selain itu juga ada baiknya untuk membantu terwujudnya perubahan dan perbaikan layanan publik kependudukan dapat dilakukan dengan:
• Membangun prosedur pelayanan publik yang menggunakan pemenuhan kepentingan warga paling miskin sebagai indikator pencapaian
• Mensosialisasikan semua prosedur dan mengevaluasikannya secara terbuka dan berkelanjutan
• Membangun sebuah mekanisme dan Pusat Pengaduan Pelayanan Publik agar dapat membantu terwujudnya perubahan dan perbaikan pelayanan.

Ketiga langkah di atas merupakan sebuah tawaran yang dapat dilakukan oleh pemprov bersama warga.



Salam penulis
Jalan Bunga, 26 Pebruari 2009