Selasa, Mei 06, 2008

Jakarta Kolaps

Koran TEMPO / Selasa, 06 Mei 2008

Opini


Oleh: Firdaus Cahyadi
Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia


Kepadatan Jakarta saat ini ternyata tidak menjadikan para pengambil kebijakan di kota ini menghentikan penambahan pusat belanja baru. Bahkan, dalam dua tahun ke depan, telah direncanakan akan ada 13 proyek pusat belanja baru lagi. Hal itu terungkap dari hasil riset Procon Indah yang dipublikasikan pada 28 April 2008. Menurut riset tersebut, 40 persen penambahan pusat belanja akan berada di Jakarta Utara, 20 persen berada di Jakarta Selatan, dan 18 persen di Central Business District Jakarta. Sementara itu, sisanya akan tersebar di berbagai daerah di Jakarta lainnya. Luas pusat belanja di Jakarta pun diperkirakan akan mencapai 3,33 juta meter persegi.

Beberapa pusat belanja yang direncanakan akan beroperasi pada tahun ini antara lain Sudirman Place, Grand Paragon, Mall of Indonesia, Plaza Indonesia Extension, Emporium Pluit Mall, Epicentrum Walk, Pluit Village, dan Pulo Mas Ex-Venture. Dampak nyata dari meningkatnya jumlah dan luasan pusat belanja di Jakarta adalah makin hilangnya daerah resapan air di kota ini. Pengalihfungsian kawasan ruang terbuka hijau (RTH) dan daerah resapan air menjadi pusat belanja dan kawasan komersial lainnya adalah fakta yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah gelap pembangunan Kota Jakarta.

Hutan kota di kawasan Senayan, misalnya. Rencana Induk Jakarta 1965-1985 memperuntukkan kawasan seluas 279 hektare ini sebagai ruang terbuka hijau. Di atasnya hanya boleh berdiri bangunan publik dengan luas maksimal sebesar 16 persen dari luas total. Namun, di kawasan itu kini telah muncul Senayan City (pusat belanja yang dibuka pada 23 Juni 2006), Plaza Senayan (pusat belanja dan perkantoran, dibuka 1996), Senayan Trade Center, Ratu Plaza (apartemen 54 unit dan pusat belanja, dibangun pada 1974), serta bangunan megah lainnya.
Hal yang sama terjadi pada hutan kota Tomang. Rencana Induk 1965 dan 1985 memperuntukkan lahan di Simpang Tomang ini sebagai sabuk hijau Jakarta. Kini hutan itu berubah menjadi Mediterranean Garden Residence I (apartemen, dibangun pada 2002 dan selesai 2004), Mediterranean Garden Residence II (apartemen, dijual pada 2005), serta Mal Taman Anggrek (apartemen dan pusat belanja, dibuka pada 2006).
Pengalihfungsian RTH secara besar-besaran menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar juga terjadi di kawasan Pantai Kapuk, Kelapa Gading, dan Sunter. Tapi sejauh ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mengambil tindakan terhadap para pemilik modal besar tersebut. Celakanya, sejarah gelap pembangunan Kota Jakarta terus-menerus diulang hingga kini oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Padahal data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menyebutkan bahwa menyusutnya daerah resapan air, baik berupa situ maupun ruang terbuka hijau, oleh aktivitas pembangunan telah menyebabkan dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian (run off) yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan (BPLHD DKI Jakarta, 2007). Bukan hanya itu, pengambilan air tanah secara besar-besaran ditambah beban bangunan di atas Kota Jakarta telah menyebabkan penurunan permukaan tanah di kota ini beberapa sentimeter setiap tahun. Artinya, potensi banjir di Jakarta akan semakin besar dengan penambahan 13 pusat belanja baru itu.
Sementara itu, biaya sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh banjir di kota ini tidaklah kecil. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), misalnya, memperkirakan kerugian akibat bencana banjir yang melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi pada 2007 mencapai Rp 8 triliun. Dari jumlah itu, Bappenas memerinci kerugian dari rumah penduduk yang rusak sebesar Rp 1,7 triliun dan infrastruktur Rp 600 miliar. Sementara itu, kerugian dari sektor industri, perbankan, serta usaha kecil dan menengah diperkirakan mencapai Rp 2 triliun.

Secara sosial, rencana penambahan pusat belanja itu juga sangat menyakitkan hati warga miskin kota yang menjadi korban penggusuran dengan dalih penambahan RTH oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Penggusuran itu, menurut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, disebabkan oleh semakin sempitnya luas tanah di kota ini sehingga sangat sulit untuk menambah RTH tanpa mengusir warga miskin kota yang kebetulan menempati secuil kawasan yang direncanakan sebagai RTH. Untuk menambah RTH, pemerintah DKI selalu mengaku kekurangan tanah, tapi tidak untuk membangun pusat belanja baru dan kawasan komersial lainnya.
Selain itu, penambahan kawasan komersial baru akan menambah kemacetan lalu lintas di Jakarta. Hal itu disebabkan oleh pengunjung dari pusat belanja tersebut sebagian besar adalah konsumen berkendaraan pribadi. Meningkatnya kemacetan lalu lintas ini tidak hanya akan mengurangi waktu produktif warga kota, tapi juga meningkatkan biaya kesehatan akibat polusi udara yang ditimbulkannya.

Terkait dengan kemacetan lalu lintas di Jakarta, sebuah studi menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di Jakarta telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp 5,5 triliun (SITRAMP, 2004). Bahkan, dengan metode yang berbeda, hasil penelitian Yayasan Pelangi pada 2003 menyebutkan bahwa kemacetan lalu lintas di DKI telah menyebabkan kerugian akibat kehilangan waktu produktif yang jika dinominalkan akan mencapai Rp 7,1 triliun. Adapun polusi udara yang diakibatkan oleh meningkatnya kemacetan lalu lintas juga telah menimbulkan peningkatan biaya kesehatan yang sangat tinggi. Hasil kajian Bank Dunia menemukan dampak ekonomi akibat polusi udara di Jakarta sebesar Rp 1,8 triliun.
Dapat dibayangkan betapa berat beban yang harus dipikul oleh warga Jakarta pada dua tahun yang akan datang. Paradigma pembangunan usang yang dipakai oleh para pengambil kebijakan di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta benar-benar telah membuat kota ini mengalami kolaps. Paradigma itu adalah pengarusutamaan pencapaian target pertumbuhan ekonomi dengan mengesampingkan biaya-biaya sosial dan lingkungan yang timbul akibat kebijakan pembangunan.

Untuk menyelamatkan warga kota dari bencana ekologi yang akan semakin sering terjadi dalam skala masif, tidak bisa tidak paradigma pembangunan usang tersebut harus dibongkar. Pembangunan pusat belanja baru di kota ini harus dihentikan. Setelah itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus segera duduk bersama untuk membahas ulang tata ruang kota yang telah karut-marut ini. Para pengambil kebijakan di Jakarta harus kembali ke mandatnya semula, yaitu menempatkan kepentingan warga kota jauh di atas kepentingan para pemilik modal yang ingin menghancurkan kota ini melalui penambahan kawasan komersial baru.

Tidak ada komentar: