Kamis, April 03, 2008

Usulan Solusi Atas Perbedaan Pendapat Patokan Harga Busway Koridor 4-7

Oleh: Azas Tigor Nainggolan



Kondisi Nyata
Perbedaan pendapat tentang Patokan harga Satuan Rp/KM Busway (patokan harga) Koridor 4-7 beberapa hari seakan mencapai puncaknya. Antara Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta (BLU) dan Konsorsium Operator (yang eksisting) sama-sama mempertahankan pendapat dan argumentasinya terhadap patokan harga. Konsorsium operator di koridor 4-7 tetap bersikukuh menginginkan Patokan harganya sebesar Rp 12.885,- dan menolak terjadinya perubahan yang akan diterapkan oleh Pihak BLU. Sementara BLU ingin menerapkan patokan harga pada konsorsium operator berdasarkan hasil evaluasi harga (lelang) bersama operator baru (non eksisting) sebesar Rp 9.300,- hingga Rp 9.500,-. Perbedaan patokan harga inilah yang terus berkelanjutan sejak awal tahun 2008 dan hingga sekarang belum terselesaikan dan menimbulkan ancam-mangancam antara BLU dan Konsorsium Operator.

Pihak konsorsium berargumentasi bahwa penentuan patokan harga sebesar Rp 12.885 yang dipertahankan hingga sekarang itu adalah berdasarkan SK Kepala Biro Perlengkapan Propinsi DKI Jakarta No. 2550/073.532 tahun 2007 yang penghitungannya juga melibatkan unsur Dewan Transportasi Kota Jakarta saat itu. Selain itu juga dikatakan oleh konsorsium operator bahwa patokan harga Rp 12.885 masih lebih rendah dari harga yang diusulkan konsultan (PT Rekadaya Sentosa) yang ditunjuk oleh BLU yakni sebesar Rp 13.925,-. Berdasarkan argumentasi tersebut maka konsorsium operator berpendapat penerapan harga hasil lelang operator bus baru kepada mereka sebagai operator eksisting adalah tidak setara. Menurut para anggota konsorsium operator ini dikatakan bahwa ada perbedaan situasi serta waktu yang cukup lama. Misalnya perbedaan situasi harga dalam pengadaan bus, konsorsium operator koridor 4-7 dengan operator bus baru pemenang lelang yang menyebabkan perbedaan biaya.

Sementara itu pihak BLU berpendapat bahwa tidak ada dasarnya pembayaran patokan harga sebesar Rp 12.885 seperti yang diminta konsorsium operator. Apabila pembayarannya tidak seperti patokan harga hasil lelang sebesar Rp 9.500 atau membayar berbeda antara pemenang lelang dengan konsosrsium eksisting sebesar Rp 12.885 maka itu akan melanggar hukum dan terjerat tindak pidana korupsi atas tuduhan memperkaya orang lain karena melakukan pembayaran di atas harga hasil lelang atau menerapkan dua patokan harga dalam satu koridor yang sama. Atas dasar pertimbangan inilah maka BLU bertahan meminta agar konsorsium operator mau menerima patokan harga sama dengan operator bus baru agar tidak ada 2 (dua) patokan harga dalam satu koridor sama.

Alas Hukum Patokan harga
Pada awal pengoperasian Busway koridor 4-7, Kepala Dinas Perhubungan mengeluarkan Keputusan No. 269/2006 untuk mengatur operator bus di koridor ini. Dalam keputusannya Kepala Dinas Perhubungan pada tanggal 15 Desember 2006 menetapkan bahwa operator bus di koridir 4-7 terdiri dari, 60% berasal operator eksisting yang terkena restrukturisasi Trayek Angkutan Umum akibat pengoperasian Busway koridor 4-7. Sisanya sebesar 40% dialokasikan bagi operator bus baru non eksisting yang ditetapkan atas hasil lelang. Keputusan Kepala Dinas Perhubungan tersebut di atas dibuat berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 123 Tahun 2006 (Pergub 123/2006) tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Operator Bus Busway di Provinsi DKI Jakarta. Untuk memenuhi kebutuhan Dinas Perhubungan dalam hal Patokan harga pada tanggal 21 Juni 2007 melalui Kepala Biro Perlengkapan Propinsi DKI Jakarta menetapkan Keputusan No. 2550/073.532 sebesar Rp 12.885,-.

Secara khusus untuk keperluan mengatur operator busway serta patokan harga sebenarnya bisa dirujuk juga pada Pergub 123/2006. Dalam pasal 1 ayat 3 Pergub ini dikatakan bahwa Patokan harga atau Biaya rupiah per kilometer (Rp/Km) adalah biaya produksi yang dikeluarkan oleh operator bus dalam memberikan pelayanan angkutan umum busway sepanjang satu kilometer. Keberadaan operator yang terdiri konsorsium operator dan operator bus baru diatur di dalam pasal 3. Dalam pasal 3 ayat 2 dikatakan bahwa Konsorsium diberikan hak pengelolaan sebagai kompensasi karena trayek yang dilayaninya terkena dampak restrukturisasi trayek (bagi trayek busway). Operator bus baru dalam pasal 3 ayat 3 diberikan hak pengelolaan untuk memenuhi kebutuhan operasional busway guna menjamin kuantitas, kualitas dan kontinyuitas pelayanan.

Keberadaan konsorsium operator itu sendiri dalam pasal 4 disebutkan pembentukannya berdasarkan gabungan perusahaan-perusahaan angkutan umum bus kota (eksisting) yang terkena dampak restrukturisasi trayek yang ditetapkan oleh Kepala BLU Transjakarta. Sementara itu Operator bus baru oleh pasal 5 Pergub 123/2006 dikatakan bahwa dilakukan pembentukannya oleh Kepala BLU Transjakarta berdasarkan hasil proses pengadaan barang/jasa (lelang) diantara operator angkutan umum baru busway (non eksisting). Berbedanya pembentukan inilah mungkin menjadi awal perbedaan patokan harga Rp/K busway pada koridor 4-7. BLU Transjakarta diatur oleh pasal 6 melakukan kerja sama atau kontrak kerja sama dengan konsorsium operator serta operator bus baru yang asalnya berbeda.
Bagi konsorsium operator diatur dalam pasal 7 ayat 1 bahwa pihak BLU membayar berdasarkan patokan harga yang besarnya dinegosiasikan antara Tim BLU dengan pihak konsorsium. Pembayaran bagi operator bus baru dibayarkan patokan harganya berdasarkan hasil proses (lelang) pengadaan barang/jasa operator angkutan umum busway. Perbedaan cara pembentukan dan penetapan patokan harga inilah menjadi bibit masalah meruncingnya konflik hubungan antara BLU dengan konsosrsium. Hasil lelang yang dilakukan BLU pada September 2007 hingga Desember 2007 didapatkan harga terbaik (terendah) adalah pada kisaran Rp 9.300,- hingga Rp 9.500,- yang jauh berbeda di bawah patokan harga konsorsium.

Negosiasi Ulang
Mulai Januari 2008 hingga sekarang ramai silang pendapat antara antara BLU dan Konsorsium terhadap besaran patokan harga yang harus dibayarkan oleh BLU kepada Konsorsium. Pihak BLU berkeinginan menerapkan patokan harga berdasarkan hasil lelang sekitar Rp 9.300 hingga Rp 9.500, sementara pihak konsorsium tidak mau dan tetap ingin dibayarkan sesuai patokan harga hasil negosiasi sebelumnya yakni sebesar Rp 12.885,-. Perbedaan patokan harga ini juga terjadi pada harga bagi jenis bus gandeng (tempel) yang belum bisa dioperasikan oleh konsorsium karena belum terjadi kesepakatan antara BLU dengan Konsorsium. Bagi bus tempel Konsorsium menginginkan patokan harga Rp/Km sekitar Rp 28.500 sedangkan BLU menetapkan berdasarkan hasil lelang sebesar Rp 16.661,-. Perbedaan besaran patokan harga ini sebenarnya sudah diantisipasi pembuat Pergub No. 123/2006 akan bisa terjadi. Secara khusus Pergub ini pada pasal 7 ayat 3 mengatur bahwa apabila terjadi perbedaan besaran patokan harga Rp/Km antara hasil negosiasi bersama konsorsium dengan hasil lelang pengadaan barang/jasa maka akan dilakukan negosiasi ulang terhadap harga lebih tinggi dengan berdasarkan nilai rupiah per kilometer (patokan harga) terendah. Cara penetapan atas harga lebih tingg dengan harga lebih rendah ini sejalan dengan keberadaan operator bus baru yang terkandung dalam pasal 3 ayat 3 sebagai penjaga keseimbangan kualitas dan kontinyuitas atau keberlangsungan pelayanan

Menyikap konflik antara BLU dan Konsorsium ini duduk bersamanya antara BLU dan Konsorsium adalah sebuah keharusan untuk menegosiasi ulang patokan harga karena tidak mungkin menerapkan dua patokan harga pada satu koridor. Untuk memulai penyelesaian perselisihan patokan harga tersebut mungkin bias memakai semangat peluang negisasi yang ada dalam pasal 7 ayat 3 Pergub No. 123/2006 yang mengatur dilakukannya negosiasi ulang apabila terjadi perbedaan patokan harga hasil negosiasi ulang dengan hasil lelang. Memang konsorsium operator pada koridor 4-7 belum memiliki perjanjian kerja sama (PKS) dengan pihak BLU tetapi tidak menghambat untuk negosiasi ulang agar terjadi kebaikan. Guna memperlanjar negosiasi ulang dapat dilakukan dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) yang ditugasi melakukan negosiasi ulang. Pokja tersebut diharapkan berisi para pihak yang berselisih ditambah beberapa pihak lagi seperti unsure pemerintah atau LSM. Apabila negosiasi tidak menghasilkan kesepakatan maka Pokja bias melanjutkan dan menyerahkan penyelesaian melalui cara arbitrase dengan menyerahkan kepada Badan Arbitrase Nasional. Biarlah pada akhirnya keputusan patokan harga yang akan digunakan diputuskan secara hukum melalui Badan Arbitrase Nasional agar BLU dan Konsosrsium memiliki patokan harga yang akan dijadikan pegangan.

Negosiasi ulang harus dilakukan agar perbedaan bisa diselesaikan secara ramah dan pelayanan publik bisa terjamin berjalan dengan kualitas baik. Melakukan negosiasi ulang dan mencari titik temu sudah tepat dan susai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 7 ayat 3 Pergub No. 123/2006 yang mengatur dilakukannya negosiasi ulang apabila terjadi perbedaan patokan harga hasil negosiasi ulang dengan hasil lelang. Keputusan ini harus dipilih agar tidak ada pelanggaran hukum atau pemaksaan kehendak yang akan merusak sistem yang sudah dibangun dengan biaya mahal. Semoga pengalaman ini menjadi pelajaran bagi pelayanan lebih baik di kemudian hari.


Jakarta, 2 Maret 2008
Penulis adalah Seorang Advokat pada Kantor Hukum TMA dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA)
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com

1 komentar:

Indiana Jones & The 4WD Toys mengatakan...

Bang Tigor,

Saya kebetulan menyaksikan dengan cukup seksama apa yang dinyatakan oleh Blog Bang Tigor.
Menurut saya, jalan keluarnya hanyalah satu cara, yaitu menilik apakah Lelang tersebut sudah dilaksanakan dengan benar? Apabila Lelang dan Parameter-nya sudah benar, maka Konsorsium juga harus belajar untuk "efisiensi" yang ditentukan dalam lelang.
Tapi, kalau Bang Tigor baca Parameter lelang BLU, Bang Tigor pasti sepakat bahwa lelang itu hanya untuk "menyetir" harga, karena semua asumsinya sudah dikunci, ada 2 hal penting yang membuat mereka (BLU) mengatur harga, yaitu: Asumsi kilometer tempuh setiap bus setiap hari yang dinyatakan 300 kilometer dan nilai residu bus adalah 20% dari harga perolehan (ketika masa kerja sama berakhir yaitu 7 tahun).
Konsorsium yang ada sudah tahu, de facto tidak mungkin setiap bus menempuh 300 kilometer perhari, maksimal dilevel 250 kilometer perhari. Lah, Hitung-hitungan dasar yang bodoh saja sudah jelas bahwa akan timbul perbedaan signifikan dengan hal ini. BLU berdalih macam-macam tanpa dasar untuk hal ini (please check PKS versi pemenang lelang).
Nilai Residu 20%, BLU menjadikan hal ini sebagai parameter lelang yang non negotiable. Misalnya harga bus Rp. 1 Milyar, maka pada masa akhir kerjasama (7 Tahun) Bus akan diasumsikan berharga Rp. 200 juta. BLU disini hanya menyatakan "punya hak opsi" untuk membeli di harga residu yang sudah dipatok. Nah, karena konsorsium pendekatan hanyalah komersial, kalau bus tidak laku dipasar seharga Rp. 200 juta setelah 7 tahun pakai, siapa yang akan menanggung kerugiannya? De facto, bus solar yang harganya kurang lebih sama dan suku cadangnya relatif banyak, harga nilai residu setelah 7 tahun pakai sebagai kendaraan umum tidak akan mencapai nilai Rp. 100 juta. Apalagi Bus BBG dengan karoseri khusus?
Bang Tigor, seharusnya, KPK atau Kejaksaan atau BPK, juga membuat hukuman bagi pejabat negara yang bertindak bodoh seperti yang dilakukan dalam lelang ini, mereka tidak memperkaya orang lain seperti kriteria korupsi tapi menyengsarakan semua orang, operator, konsorsium, pengguna jasa dengan mewajibkan menanggung kerugian?
Sementara ITDP sebagai konsultan, hanya mau bicara tanpa ada kewajiban hukum menyatakan ini adalah konsep Bogota... Bogota yang mana??? Tidak harus ke Bogota-pun kita dengan mengunduh di internet kita bisa lihat ini adalah konsep bodoh yang dilakukan oleh pejabat negara dengan mencari harga murah tanpa mempertimbangkan kelangsungan jalannya sutau proyek, padahal sudah banyak sekali pengguna jalan dirugikan dengan menyempitnya fasilitas jalan karena proyek busway ini.

Akhirulkalam, saya hanya berharap bahwa semua orang yang digaji oleh negara untuk lebih profesional, buka hanya sekedar takut KPK, tapi mau bertanggung jawab-lah sebagai pejabat agar pelayanan publik dapat terselenggara dengan baik.

Terima kasih