Kamis, April 03, 2008

Bunuh Diri Kaum Miskin

Oleh: Azas Tigor Nainggolan

Mengerikan sekali hidup di kota Jakarta. Sedih dan ingin marah rasanya saya setelah membaca pemberitaan media massa tentang tindakan bunuh diri seorang ibu bersama 2 orang anaknya karena kesulitan hidup atau kemiskinan yang melilit mereka. Keputusan itu diambil oleh seorang ibu bernama Jasih, melakukan bunuh diri bersama 2 anaknya yakni Galang (7 tahun) dan Galuh (4 tahun). Bunuh diri itu dilakukan dengan membakar diri di rumahnya di daerah Koja Jakarta Utara pada tanggal 15 Desember 2004. Menurut isi surat yang ditulis dan ditinggalkan pada suaminya Mahfud, Jasih mengungkapkan, bahwa dia sudah tidak tahan lagi menanggung kemiskinan hidup dan tidak tahan melihat penderitaan anak mereka, Galuh yang menderita kanker otak.

Mengerikan dan menyayat hati membaca keputusan yang diambil oleh si ibu, sementara dia pun saat itu sedang hamil. Peristiwa menyakitkan itu ditambah lagi, diaman saat tetangga korban membawa Galang yang badannya penuh dengan luka bakar, ditolak oleh sebuah rumah sakit. Penolakan itu menurut cerita tetangga korban dikarenakan tidak ada uang jaminan yang diminta oleh pihak rumah sakit. Saat mengetahui informasi itu, saya tidak bisa membayangkan ada orang, entah itu petugas atau perawat entah dokternya, bisa menolak seorang anak yang penuh luka bakar bakar hanya alasan uang jaminan. Tidakkah mereka harusnya sebagai pekerja di rumah sakit sadar bahwa mereka bekerja untuk menolong manusia dan menempatkan keselamatan kehidupan sesamanya lebih dulu ketimbang uang.

Kejadian ini bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Banyak kasus seperti ini terjadi dan terjadi terus hingga hari ini. Belum hilang dari ingatan kita tentunya, kejadian pada tahun 2003 lalu, dimana seorang pelajar di Bandung terpaksa mencoba melakukan upaya bunuh diri dengan gantung diri karena masalah biaya sekolah. Upaya bunuh diri itu dilakukan setalah si pelajar tidak mendapat uang sebesar Rp 3.000 untuk membayar biaya ekstra kurikuler di sekolah. Ketika itu orang tuanya memang sedang tidak punya uang, hingga terpaksa menolak permintaan sang anak. Takut mendapatkan masalah di sekolah, sang anak akhirnya mencoba bunuh diri namun berhasil digagalkan. Walaupun demikian karena sempat tergantung beberapa lama, kejadian tersebut saat ini meninggalkan dampak kejiwaan yang sangat buruk bagi si anak.
Begitu pula beberapa bulan lalu juga, kita dibuat tegang karena seorang suami meminta izin pada pengadilan agar diberi izin melakukan tindakan euthanasia (bunuh diri) dengan cara menghentikan upaya medis terhadap isterinya yang diopname karena sudah tidak mampu lagi membiayai tagihan biaya rumah sakit. Sang suami saat diwawancara oleh sebuah stasiun televisi swasta mengatakan, bahwa permintaan izin ini terpaksa dilakukan karena dia sudah tidak punya biaya dan negara atau pemerintah tidak mau membantu. Dikatakan juga desakan meminta izin upaya euthanasia itu semakin kuat karena pihak rumah sakit tetap saja menagih biaya pengobatan walau dia sudah mengatakan tidak punya uang lagi membiayai pengobatan isterinya tersebut.

Jalan pintas dengan bunuh diri untuk lepas dari kemiskinan yang melilit kehidupan warga Jakarta lainnya juga dilakukan oleh seorang pedagang kaki lima (PKL) pada tangga 26 Mei 2004 lalu. Peristiwa bunuh diri pasti terpaksa dilakukan oleh Binsar Sianipar (28 tahun) yang sehari-hari berjualan VCD, secara nekat mengikat lehernya dengan menggantung dirinya memakai sebuah spanduk di dalam kamar kontrakannya yang sederhana di daerah Ciracas Jakarta Timur. Menurut cerita seorang temannya dikatakan bahwa ada kemungkinan disebabkan karena putus asa sebagai pedagang kaki lima (PKL) tidak berkembang.

Temannya itu menuturkan, bahwa mereka sebelumnya sama-sama berjualan di daerah Pasar Rebo Jakarta. Sebagai PKL, barang dagangan mereka berdua diceritakan sering menjadi sasaran empuk penggusuran atau dirazia oleh petugas ketentaraman dan ketertiban (Trantib) pemda. Situasi ini memaksa Sianipar pindah berjualan di daerah Glodok Jakarta Barat yang sebenarnya juga tidak membawa perkembangan karena terlalu banyak saingan. Kesulitan hidup di Jakarta inilah yang menurut kawannya itu membuat Sianipar putus asa dan memutuskan bunuh diri. Mengerikan sekali hidup di Jakarta ini, miskin tanpa ada bantuan atau perhatian dari pemerintahnya dan terpaksa bunuh diri untuk menghentikan penderitaan.

Kejadian lain sejenis juga dialami oleh sebuah keluarga miskin di daeran Halim Jakarta Timur pada November 2004 lalu. Seorang ibu bernama Rosmawati (32 tahun) terpaksa meninggal dunia pada tanggal 18 November 2004 karena menderita infeksi dan tumor di kandungan. Kemiskinan keluarganya membuat Romawati terpaksa dibawa ke “pengobatan alternatif”, tidak berobat ke rumaha sakit karena biaya pengobatan sangat mahal tetapi pergi. Tindakan ini justru membuat penyakit Rosmawati semakin parah dan mengalami infeksi pada kandungannya karena tindakan pada pengobatan alternatif itu steril. Saat kritis, pihak keluarga mencoba kembali membawa Rosmawati ke sebuah rumah sakit umum daerah dan diminta biaya Rp 50 juta walau keluarga sudah menyertakan Surat Keterangan bahwa mereka adalah keluarga miskin.

Tindakan memilih cara non medis untuk penyakit serius yang dialami oleh Rosmawati karena mahal berobat ke rumah sakit, juga merupakan sebuah bentuk upya bunuh diri secara perlahan. Memilih cara pengobatan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara medis tetapi dipilih karena tidak ada pilihan guna menyiasati kesulitan keuangan. Beberapa media ibukota memberitakan juga banyak kejadian bunuh diri lain sepanjang tahun 2004 ini, yang dilakukan warga Jakarta karena sudah tidak tahan lagi dengan kemiskinan yang melilit mereka. Semua kejadian bunuh diri mengubur janji-janji pemerintah dan khususnya pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta yang katanya akan memberikan kesejahteraan pada warganya yang miskin.
Pemprov Jakarta selalu bicara, bahwa mereka memiliki program untuk membantu kehidupan warga miskin misalnya saja Program Pengentasan Warga Miskin Kota (PPMK) atau jaminan pelayanan kesehatan gratis keluarga miskin. Beberapa kasus kematian akibat bunuh diri di atas sudah cukup memberikan bukti pada kita, bahwa program-program yang dijanjikan Pemprov Jakarta hanya omong kosong belaka. Kasus kematian Binsar di atas menunjukkan, bahwa kebijakan Pemprov Jakarta secara sistematis telah mendorong dibuatnya keputusan bunuh diri. Akibat sering digusur oleh Pempro Jakarta terus menerus dan hidup semakin sulit maka Binsar memutuskan gantung diri. Selain itu juga, kebijakan menggusur yang dilakukan oleh Pemprov Jakarta adalah pembunuhan karena telah menghilangkan sumber kehidupan warganya.

Demikian pula dengan beberapa kejadian bunuh diri akibat kesulitan biaya pengobatan yang dialami keluarga Mahfud dan Rosmawati membuktikan, bahwa janji pengobatan gratis tidak jalan dan tidak dapat dijangkau oleh para keluarga miskin. Tidak terjangkaunya program itu oleh korban tidak lain merupakan akibat dari rusaknya dan korupnya para aparat di jajaran Pemprov Jakarta. Rusaknya lagi, para akhir-akhir ini anggota DPRD Jakarta justru sibuk dan ngotot minta mobil dinas serta rumah dinas, gubernur dan wakilnya minta jatah baju dinas. Sementara warganya gantung diri atau membakar dirinya karena hidup miskin dan digusur terus menerus.

Cukup kiranya bukti-bukti bagi kita untuk mengatakan bahwa elit kota ini, Pemprov dan DPRD Jakarta telah gagal bekerja sebagai pelayanan warga. Mereka yang seharusnya memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak warga untuk hidup, bekerja secara bebas dan mendapatkan pelayanan kesehatan, malah sibuk bagi-bagi jatah uang dan menggelapkan dana yang seharusnya menjadi hak warga untuk kepentingan pribadi mereka. Akhirnya haruslah diakui, bahwa banyak kematian bunuh diri para warga miskin ini, tanggung jawab utama berada di tangan Pemprov dan DPRD Jakarta. Tindakan mereka yang selama ini main gusur dan mengkorupsi berbagai dana proyek bantuan keluarga miskin merupakan cara-cara sistematis membunuh warganya sendiri. Jika Pemprov tidak main gusur dan tidak koruptif, besar kemungkinan Binsar atau Jasih akan memiliki alternatif pilihan lain yang tidak mematikan diri mereka sendiri.


Jakarta, 17 Desember 2004
Penulis adalah Ketua Forum Warga Jakarta (FAKTA)
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No: 44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Jakarta Timur.
Telp/Fax: 021 8569008, HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com

1 komentar:

Bung Imam mengatakan...

Salam kenal Abang,
Kenalkan saya Imam Shofwan, wartawan pantau. Saya ketemu tulisan ini karena sedang membantu kawan liputan soal kenaikan bbm. Postingan ini menarik dan banyak membantu liputan tersebut. Thanks a lof.

Tabik,
Imam S
www.bungimam.blogspot.com