Kamis, April 03, 2008

Dewan Transportasi Kota, Jembatan yang Belum Berfungsi (1)

Oleh: Azas Tigor Nainggolan[2]


Keinginan memiliki dan membangun sebuah Dewan Transportasi Kota bagi Jakarta awalnya muncul saat pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Transportasi di Jakarta. Beberapa orang aktivis LSM, operator angkutan umum dan anggota Komisi D DPRD Jakarta saat itu, sekitar tahun 2003 lalu seringkali bertemu membangun sebuah forum diskusi yang membicarakan atau membahas Raperda Transportasi yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta kepada DPRD. Dalam pembahasan beberapa kali tersebut, agenda besarnya adalah sebuah cita-cita perbaikan sistem lalu lintas dan transportasi di Jakarta yang pembuatannya melibatkan seluruh kelompok yang berkepentingan. Fokus pembicaraan saat itu mencoba menggali peran Pemprov, DPRD, LSM, Operator Angkutan Umum dan anggota masyarakat lainnya yang memiliki kepentingan terhadap ketersediaan sistem lalu lintas, khususnya transportasi angkutan umum. Peserta tetap forum diskusi itu akhirnya menamakan diri mereka sebagai Koalisi Warga Untuk Transportasi (KAWAT) Jakarta.

Secara simultan dan terprogram forum diskusi di Komisi D DPRD Jakarta berjalan dan mengkritisi Raperda tersebut. Pasal demi pasal coba dibedah dan didiskusikan bersama di ruangan Komisi D, berpindah di sekretariat kawan-kawan LSM bahkan hingga menginap di sebuah tempat “mengurung” perhatian peserta. Salah satu topik utama pembicaraan yang cukup menarik saat itu juga adalah pasal-pasal tentang keterlibatan masyarakat pembuatan kebijakan lalu lintas dan transportasi. Singkat cerita akhirnya forum diskusi mulai membedah secara khusus tentang Dewan Transportasi Kota (DTK). Melalui institusi DTK inilah, saat itu forum diskusi melihat dapat dijadikan media pelibatan partisipasi warga dalam penyusunan kebijakan lalu lintas dan transportasi. Atau diharapkan DTK menjadi jembatan kepentingan antara Pemprov, warga, Pebisnis dan DPRD agar terbentuk perbaikan dalam pengelolaan transportasi serta lalu lintas di Jakarta.

Pelibatan partisipasi warga serta komponen publik lainnya melalui DTK itu juga dilihat akan menjadikan pembangunan sistem transportasi dan lalu litas sesuai kepentingan publik Jakarta. Perjalanan berikutnya forum diskusi KAWAT diminta oleh Komisi D untuk mencari dan mempersiapkan usulan materi ketentuan tentang bentuk DTK yang hendak dibangun. Visi atau dasar yang disepakati dalam pembahasan saat itu adalah DTK yang akan dibentuk menjadi lembaga yang independen dan terpercaya dalam hal pengembangan kebijakan sistem transportasi yang berkelanjutan di DKI Jakarta. Untuk mewujudkan visi tersebut juga disusun misi DTK agar mendorong peran serta masyarakat dan terciptanya transparansi dalam pengembangan kebijakan sistem transportasi yang berkelanjutan.

Selain itu forum diskusi diperluas, KAWAT mengundang beberapa pakar transportasi dan perencanaan kota dan mulai menjajaki atau mencari model sejenis DTK dengan visi misi di atas melalui pengalaman di negara lain yang sudah lebih dulu memiliki institusi seperti DTK. Pengalaman negara lain yang didapat saat itu adalah pengalaman negara Singapura yang menamakan intitusi itu The Public Transport Council (PTC), yang berada di bawah Ministry of Communications & Information Technology, dengan dasar hukumnya The Public Transport Council Act (Cap 259B) yang berlaku sejak 14 Agustus 1987. Model yang dimiliki ini juga sempat dipaparkan dan didiskusikan oleh KAWAT bersama rekan-rekan Komisi D DPRD Jakarta saat membahas Raperda tentang Transportasi.

Dalam perjalanannya, forum diskusi yang diperluas tersebut secara bersama menyadari bahwa proses ini adalah sebuah pengalaman menarik antara warga, pemprov, DPRD dan operator angkutan umum (pebisnis). Model proses inilah sebenarnya yang sudah cukup lama diharapkan hadir di tengah-tengah pembuatan kebijakan bagi kota Jakarta. Forum diskusi yang berjalan cukup panjang dan terprogram saat itu merupakan sebuah terobosan luar biasa dalam hal penyusunan sebuah kebijakan yang berbentuk Raperda. Kesadaran penting serta komitmen yang terbentuk juga melalui proses itu adalah bahwa pelibatan partisipasi publik secara murni dan baik akan menghasilkan kebijakan yang sesuai kepentingan publik. Akhirnya memang setelah melalui proses diskusi bersama Raperda itu disahkan oleh DPRD dan diterima Pemprov Jakarta menjadi Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2004 mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau serta Penyeberangan di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Menariknya lagi adalah Perda tersebut mejadi dasar hukum keharusan dibentuknya DTK di Jakarta. Luar biasa memang pengalaman tersebut. Menghasilkan sebuah Perda yang cukup partisipatif pembahasannya dan dibentuknya satu organ penting yang bisa menjadi salah satu solusi memperbaiki akar masalah transportasi dan lalu lintas di Jakarta yakni melalui DTK.

Keberhasilan maksimal dari kerja bersama itu dapat dilihat dalam pasal-pasal yang diatur oleh Perda No. 12 Tahun 2004 terebut. Memang materi yang diatur Perda tersebut belum lengkap tetapi secara umum sudah jauh lebih baik isinya dan proses pembuatannya dari Perda-perda lainnya yang dihasilkan oleh DPRD dan Pemprov Jakarta. Begitu pul pasal yang mengatur tentang DTK, secara substansial yang dibahas dan diusulkan oleh forum tersebut diterima penuh dalam Perda No. 12 Tahun 2004. Perda tersebut mengatur secara khusus tentang DTK dalam Bab XII Pasal 98:
Ayat (1)
“Untuk menampung aspirasi masyarakat dan memberikan pertimbangan terhadap penyusunan kebijakan Pemerintah Daerah dalam bidang transportasi dibentuk Dewan Transportasi Kota yang unsur anggotanya terdiri dari Perguruan Tinggi, Pakar Transportasi, Dinas Perhubungan, Kepolisian, Pengusaha Angkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang transportasi, Awak Angkutan dan Masyarakat Pengguna Jasa Transportasi”
Ayat (2)
“Dewan Transportasi Kota merupakan lembaga yang berkedudukan di tingkat Propinsi”
Ayat (3)
“Organisasi, Tata Kerja dan Keanggotaan Dewan Transportasi Kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diberlakukan Peraturan Daerah ini”
Ayat (4)
“Masa bakti keanggotaan Dewan Transportasi Kota selama 2 tahun”

DTK Dalam Harapan
Pasal 98 inilah dasar hukum keberadaan DTK di kota Jakarta dan landasan kerja bagi para anggotanya dan alat kontrol warga terhadap kinerja DTK. Berpijak pada pasal 98 ini, mulailah forum diskusi itu diperluas oleh KAWAT untuk upaya mempersiapkan pembentukan DTK bersama DPRD serta Pemprov dalam hal ini Dinas Perhubungan. Tahap awal diskusi itu para peserta forum mencoba mengumpulkan harapan terhadap DTK dalam sebuah rumusan Visi DTK yakni menjadi lembaga yang independen dan terpercaya dalam hal pengembangan kebijakan sistem transportasi yang berkelanjutan di DKI Jakarta. Untuk mewujudkan visi tersebut juga dirumuskan bahwa DTK yang akan dibentuk memiliki misi sebagai pendorong peran serta masyarakat dan terciptanya transparansi dalam pengembangan kebijakan sistem transportasi yang berkelanjutan.

Berangkat dari ayat 1 pasal 89 Perda Transportasi dan visi misinya, DTK haruslah menjadi jembatan yang menyamankan warga dan Pemprov menyusun kebijakan transportasi di Jakarta. Sebagai jembatan, DTK haruslah selalu dekat dengan warga juga Pemprov agar dapat berfungsi secara baik. Dekat dalam artian bahwa DTK bagi warga adalah sebuah media yang dikenal, nyaman dan dapat akses secara mudah juga terbuka, tidak menjadi menara gading seperti sekarang. Tidak menjadi menara gading karena DTK memiliki tugas pokok sebagai media yang menumbuhkan, menerima serta mengolah aspirasi masyarakat dan memberikan bahan pertimbangan terhadap penyusunan kebijakan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dalam bidang transportasi. Tugas pokok menjadi jembatan aspirasi masyarakat itu diharapkan terwujud melalui fungsi atau kerja-kerja:
§ Menerima, menampung dan menganalisa masukan masyarakat tentang pengelolaan transportasi kota serta meneruskan hasil analisa kepada pemerintah.
§ Memberikan masukan kepada pemerintah, diminta atau tidak diminta, tentang kebijakan pengelolaan transportasi kota.
§ Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam bidang transportasi.
§ Mendorong transparansi dan peran serta masyarakat dalam penentuan kebijakan tentang pengelolaan transportasi
§ Menjadi mediator antara masyarakat dengan pemerintah dan DPRD
Untuk kelancaran pelaksanaan tugasnya, DTK dapat mengundang Gubernur, DPRD, pejabat terkait atau unsur-unsur di luar pemerintah untuk hadir dalam rapat yang diselenggarakan DTK.

Begitu pula dengan keanggotaannya DTK diatur, jenis keterwakilan serta jumlahnya pun difasilitasi agar bisa memenuhi kebutuhan menjadi jembatan yang baik tidak seperti menara gading. Penyusunan keangotaannya, diskusi saat itu merumuskan dulu kebutuhannya agar bisa menjalankan tugas serta fungsi, baru menghitung jumlahnya. Disepakati akhirnya bahwa keanggotaan DTK terdiri dari 15 orang yang dipilih dari unsur-unsur:
§ Perguruan Tinggi, dengan bidang-bidang keahlian diantaranya:
¨ Ekonomi transportasi
¨ Perencanaan sistem transportasi
¨ Sosiologi perkotaan
§ Pakar Transportasi, dengan keahlian di bidang-bidang keahlian diantaranya:
¨ Pembiayaan sistem transportasi
¨ Lingkungan perkotaan
¨ Komunikasi massa
¨ Infrastruktur
§ Dinas Perhubungan
§ Kepolisian
§ Pengusaha Angkutan
§ Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang transportasi
§ Awak angkutan
§ Masyarakat pengguna jasa transportasi

DTK Dalam Kenyataan
Melihat proses pembentukannya, DTK menerima harapan besar dari warga Jakarta agar memiliki sistem transportasi dan lalu lintas nyaman serta sesuai dengan kepentingan publik. Tidak hanya proses penyusunan tata organisasinya saja yang dikawal oleh kawan-kawan LSM, Dishub Jakarta dan Operator, termasuk juga rekruitmen perdana anggota DTK. Harapan besar terhadap DTK ini wajar karena memang dilahirkan berawal dari keinginan mendasar warga sendiri agar dapat mengakses pembangunan kotanya. Lahir dari sebuah proses kerja bersama antara warga, Pemprov dan DPRD serta para operator angkutan. Tidak dilahirkan secara kloning atau dari hubungan gelap tetapi terang benderang dan partisipatif.

Masalahnya sekarang adalah terlihat secara terang bahwa DTK setelah terbentuk dan dilantik oleh Gubernur Jakarta belum berfungsi sebagaimana harapannya. Sudah hampir setahun setelah dilantik, DTK nyaris tidak terdengar kerja nyatanya sesuai dengan yang diberikan padanya. Akhir-akhir ini, terutama setelah kenaikan harga BBM yang besar sekali pada 1 Oktober 2005 lalu, DTK baru terdengar secara publik. Pertanyaannya sekarang, kemana saja kawan-kawan DTK sebelumnya? Memang dengan kenaikan harga BBM tersebut, DTK serasa tertolong untuk muncul dengan adanya tuntutan warga berkaitan dengan tarif angkutan umum di Jakarta. Namun kemunculan itu pun juga masih belum memuaskan warga karena hanya bicara kenaikan tarif angkutan umum saja. Bukankah peran DTK dengan jenis anggota dan jumlahnya yang cukup memadai itu tidak hanya diharapkan berfungsi dalam soal tarif? Ada soal-soal lain yang harus DTK kritisi berkaitan dengan visi, misi, tugas pokok dan fungsinya jembatan menuju pembangunan sistem lalu lintas dan transportasi kota Jakarta yang berkelanjutan.

Kelemahan atau bahkan dapat dikatakan bahwa anggota DTK yang sekarang belum memahami benar fungsi mereka atau bahkan tidk memiliki orientasi kebijakan publik di bidang transportasi dan lalu lintas. Mengapa mereka, para anggota DTK sekarang hanya membatasi kapasitasnya sebatas masalah tarif atau kerja reaktif? Sulit dibayangkan apabila warga mengetahui visi, misi, tugas pokok dan fungsi DTK, sementara anggotanya pun tidak populer atau dikenal secara publik. Ketidak populeran DTK hingga saat ini tidak lepas dari masih lemahnya komitmen dan orientasi para anggotanya. Kerja ringan mensosialisasikan keberadaan DTK kepada publik saja hampir tidak terdengar atau tidak kelihatan. Sebagai sebuah media kepentingan publik, warga tidak mengetahui dimana kantor DTK. Jelas sekali tugas pokok sebagai angota tidak dapat fungsional karena warga tidak tahu mengadu kemana kantornya DTK.

Bukankah keberadaan DTK belakangan ini justru mematikan partisipasi warga yang menjadi tugas pokok mereka? Mungkin sebagai anggota dihantui ketakutan tidak siap apabila warga mengetahui hakekat yang harus dikerjakan oleh sebuah DTK? Apabila warga tahu tentang kebenaran hakekat DTK, tentu warga akan aktif memberi masukan atau pengaduan. Warga Jakarta adalah warga yang rasional dan sadar betul hak serta kewajibannya, cukup aktif berpartisipai atau mau peduli dengan kotanya. Selama ini justru partisipasi warga selalu dibuat buntu bahkan dibunuh begitu saja hingga terus dirugikan. Berangkat dari keprihatinan ini, ada baiknya para anggota DTK mulai memperbaiki diri dan kerjanya terlibat secara baik sebagai jembatan. Bersikap dan bertindak secara populer memperjuangkan kepentingan warga dan kota ini dengan menjemput warga atau mengenalkan diri pada warga. Kita masih percaya bahwa pelibatan partisipasi warga secara murni dan baik dapat menghasilkan kebijakan transportasi dan lalu lintas sesuai kepentingan bersama dan berkelanjutan.




Jakarta, 20 Oktober 2005
[1] Disampaikan untuk acara Diskusi Publik “Mewujudkan Dewan Transportasi Kota yang berpihak pada Kepentingan Publik”, diadakan oleh Koalisi Warga Untuk Transportasi (KAWAT) Jakarta, 20 Oktober 2005 di Gedung Jakarta Media Center.
[2] Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) dan Kordinator Koalisi Warga Untuk Transportasi Jakarta (KAWAT Jakarta).
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com

Tidak ada komentar: