Kamis, April 03, 2008

Jakarta Bukan Untuk Orang Miskin

Azas Tigor Nainggolan*

Selama bulan Juni 2003 ini Jakarta merayakan ulang tahunnya yang ke 476 selama bulan penuh. Jauh hari sebelumnya berita tentang keceriaan perayan ulang tahun itu sudah memenuhi pemberitaan media massa. Jakarta dipenuhi oleh pengumuman acara-acara hiburan serta program obral murah dan puja puji tentang keberhasilan tipu-tipu senangnya Sutiyoso. Semua menyulap sepertinya Jakarta tidak ada masalah dan baik sekali pada warganya. Suasanan ini membuat saya muak dan kesal. Mengapa semua orang mau begitu saja tunduk dan takut jika berkata lain dengan Sutiyoso, Sang Gubernur Jenderal Jakarta. Pada malam puncak perayaan ulang tahun tersebut, sekitar jam 22.00 saya sedang berada di tengah kemacetan di sekitar terminal busKampung Rambutan, Jakarta Timur.

Malam minggu menjelang tanggal 22 Juni itu saya baru pulang mengunjungi seorang teman pedagang kaki lima buah-buahan yang baru digusur. Tempat berjualan teman saya itu digusur oleh Pemprov Jakarta yang ingin membangun jembatan layang (fly over). Sambil menungguantrian kemacetan, iba-tiba mata saya menangkap sebuah pemandangan yang sungguh menyedihkan. Seorang ibu dengan tergopoh-gopoh menarik anaknya yang masih mengenakan seragam sekolah mengejar sebuah. Namun bis tersebut melongos kencang meninggalkan seakan tak sudi dinaiki ibu dan anaknya itu.

Pemandangan ini membuat pikiran dan perasaan saya dipenuhi oleh kemarahan dan protes tentang betapa berat dan kejamnya kehidupan di Jakarta. "Kejam dan kejam sekali kota ini", keluh saya saat itu juga. "Apa saja yang dikerjakan elit kota ini ?" tanya saya pada diri sendiri. Kepedihan, penderitaan, penindasan, kesemrawutan, penggusuran dan kemiskinan terus memenuhi ibu kota Jakarta. Selanjutnya selepas kemacetan, pikiran saya teringat pada engalaman lain yang sama menyedihkannya.

Salah satunya adalah pengalaman saya beberapa hari sebelumnya yang bertemu dengan kawan lama saya seorang ibu yang setiap hari duduk meninta-minta dengan anaknya yang berumur belum genap 1 tahun di pinggir jalan Gajah Mada Jakarta Pusat. Perkenalan kamiberawal ketika saya beberapa teman pada awal tahun 2000 lalu melalui jalan pojok jalan tempat mereka berdua beroperasi. Sepanjang tahun 2000 itu kami harus mengkuti sidang gugatan Class Action banjir sebagai pengacara warga Jakarta. Suatu ketika diperjalanan kembali ke kantor, sepulang sidang kami melihat seorang ibu yang sedang hamil duduk meminta-minta dipinggir jalan Gajah Mada Jakarta Pusat. Ibu itu duduk tanpa payung di tengah terik matahari sambil menengadahkan tangan pada mobil yang lewat di depannya.

Ada rasa kagum bercampur sedih terungkap dalam pembicaraan tentang ibu yang baru kami lewati. Pengalaman itu akhirnya membuat mata kami selalu mengarah pada posisi ibu hamil tersebut setiap pulang sidang. Akhirnya suatu ketika selesai sidang dan di perjalanan menuju kantor, ibu hamil yang biasa kami lihat sudah menggendong seorang bayi merah. Ibu danbayinya itu duduk pada posisi yang sama tetap tanpa payung walaupun sinar matahari panas sekali. "Oh, ibu itu sudah melahirkan": kata saya pada teman-teman yang pulang bersama saya.
Beberapa cerita pengalaman kemiskinan dan kepiluan yang dialami oleh semua kawan kita di atas hanyalah beberapa contoh dari jutaan potret kekejaman hidup di kota yang dikatakan Metropolitan ini. Sudah 39 tahun saya hidup di Jakarta tapi rasanya potret pemiskinan, penyingkiran dan penindasan terhadap kaum miskin seperti tidak pernah berkurang bahkan bertambah. Sebagaimana potret perjalanan hidup seorang pedagang bakso yang biasa berjualan di depan rumah orang tua saya di Matraman, Jakarta Timur. Pertama kali saya mengenalnya saat saya baru berumur 5 tahun. Hingga sekarang penjual baso itu tetap saja berjualan dengan gerobak dorong. Potret lainnya adalah pengalaman hidup seorang kawan yang sudah 20 tahun hingga sekarang masih menarik becak di pinggiran kota Jakarta. Perkenalan saya denga kawan pengemudi becak itu awalnya pada tahun 1989 ketika Jakarta mulai mencanangkan larangan becak beroperasi di Jakarta.

Mungkin kita akan mengatakan bahwa kawan-kawan saya itu masih beruntung tetap bisa berjualan atau mengoperasikan becak walau tetap dikejar-kejar dan dilarang. Penilaian seperti ini jelas salah l dan sangat merendahkan kemanusiaan. Coba kita bandingkan, apakah nilai mata uang Rp 10. 000 sepuluh tahun lalu dengan sekarang? Luar biasa sekali, hampir 25 tahun hanya bisa menjual bakso tanpa ada perkembangan dan bahkan sekarang sering dikejar aparat Trantib (petugaskemanan dan ketertiban) Pemprov. Jelas ini adalah kemunduran bukan kemajuan. Akankah potret-potret seperti ini terus menghiasi album kenangan kota Jakarta sebagai Ibukota Negara. Tanpa rasa bersalah dan perasaan kasihan atas penderitaan dan kemiskinan warganya sendiri. Terus menggusur dan tidak mau memberi ruang pada warganya yang miskin dengan alasandan selalu mengatakan bahwa mereka bukan warga Jakarta karena tidak memiliki KTP Jakarta. Padahal kita tahu warga miskin tersebut bukanlah pendatang baru, mereka banyak yang sudah puluhan tahun tinggal di Jakarta tanpa diberi KTP. Jika memang kenyataannya seperti ini siapa yang salah sebenarnya?

Entah mengapa? Padahal kita tahu di Jakarta ada jutaan orang pintar, ahli, pakar dan para doctor. Tetapi Jakarta tetap saja dipenuhi persoalan kesulitan hidup, penggusuran dan penistaan terhadap warganya miskin. Apa saja yang dikerjakan orang-orang pintar itu selama hidup di Jakarta? Beberapa waktu lalu semua media massa hampir tiap hari memberitakan perdebatan tentang Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Disertai dengan aksi-aksipuluhan ribu orang di depan gedung DPR RI yang mewakili gerombolan pro dan kontra RUU tersebut. Tapi mengapa tokoh-tokoh yang terlibat dalam aksi RUU Sisdiknas tersebut tidak pernah terlibat perhatiannya jika ada warga digusur rumah atau tempat bekerjanya di Jakarta. Mengaku tokoh pendidikan nasional tapi hanya berpikir dan berjuang untuk kepentingan diri dan kelompoknya sendiri? Kita tahu benar di Jakarta ini hidup semua agama dan ribuan LSM yang selalu bicara dan mengajarkan tentang kebaikan dan keberpihakan pada orang miskin (optionfor the poor). Ada ribuan ulama, pendeta, pastor, tokoh agama, dan tokoh LSM yang sering tampil pada diskusi-diskusi masalah pelanggaran Hak Azasi Manusia di tempat lain yang jauh dari Jakarta. Kemana larinya mereka ketika elit kota ini melakukan penggusuran dan penindasan? Termasuk juga Komisi Nasional (Komnas) Hak Azasi Manusia (HAM) yang berkantor di Jakarta,tidak berbuat apa-apa untuk membantu warga Teluk Gong Jakarta Utara yang sepanjang tahun 2002 saja mengalami penggusuran 20 kali. Mungkin kita merasa cukup puas bila sudah membicarakan "keberpihakan pada orang miskin" berbusa-busa sebagai bahan kotbah di rumahibadah atau diskusi di hotel dan sekedar menjadi bahan bacaan atau riset semata.

Jakarta pada ulang tahunnya ke 476, 22 Juni 2003

* Azas Tigor Nainggolan, Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta)
HP: 0815 99 77 041

Tidak ada komentar: