Sabtu, April 12, 2008

Bereskan Transjakarta sekarang juga

Oleh: Azas Tigor Nainggolan

Mencuatnya sengketa perbedaan patokan harga dalam pengelolaan Busway Transjakarta (Transjakarta) antara Badan Layanan Umum (BLU) dengan Konsorsium Operator Busway Koridor 4-7, menunjukkan adanya ketidak-beresan dalam pengelolaan Transjakarta. Sengketa itu berawal ketika pihak BLU selesai melakukan lelang tambahan armada bagi operator baru Transjakarta koridor 4-7 yang dimenangkan operator baru yakni Lorena dan Primajasa dengan harga sebesar Rp 9.500,- per kilometer jalan. Sementara itu sejak dioperasikannya Transjakarta koridor 4-7 patokan harga yang digunakan pihak BLU membayar Rp 12.885,- per kilometer jalan berdasarkan kesepakatan BLU dengan konsorsium operator pada awal pengoperasian koridor tersebut. Rencananya Januari 2008 lalu BLU ingin menerapkan patokan harga Rp 9.500,- secara sama selain bagi semua operator. Pemakasaan inilah yang akhirnya memulai silang pendapat dan akhir konflik antara BLU dan konsorsium operator yang menolak harga baru sebesar Rp 9.500,- serta masuknya operator baru Lorena dan Primajasa.
Kesepatakan patokan harga ini di perjalanan seharusnya disahkan sebuah Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara BLU sebagai unit pelaksana tehknis dari Dinas Perhubungan Pemprov Jakarta dengan konsorsium operator. Barulah setelah ada PKS sebagai dasar pelaksanaannya BLU menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) bagi pihak konsorsium operator. Tetapi yang terjadi sejak beroperasinya Transjakarta koridor 4-7 pada 27 Januari 2007 hingga maret 2008 ini belum pernah ada kesepakatan kerja sama antara Konsorsium Operator dan BLU yang dituangkan dalam PKS pengoperasian koridor 4-7. Operasional hanya di dasarkan pada SPK yang sudah dikeluarkan sebanyak 5 kali. Pertanyaannya sekarang, mengapa bisa Bus Transjakarta koridor 4-7 terus beroperasi tanpa ada PKS selama setahun lebih?
Kekacauan manajemen operasional tersebut bukannya tanpa sebab. Ternyata kekacauan sudah terjadi dimulai sejak awal dioperasikanya busway di Jakarta. Transjakarta selalu dimulai dengan asal jalan, begitu setiap koridornya. Tanpa sistem yang benar dan politik proyek semata, memproyekkan solusi masalah kemacetan lalu lintas serta buruknya kondisi angkutan umum di Jakarta. Jakarta dikepung kemacetan, angkutan umum buruk dan semua orang lebih memakai kendaraan pribadi. Didapatkanlah sistem angkutan massal umum berbasis Bus Rapid Transit (BRT) atau di Indonesia sering dikenal sebagai busway yang kemudian diusulkan sebagai alternatif solusi.
Sebagai sebuah sistem, Busway adalah solusi alternatif yang cukup mungkin direalisasikan bagi Jakarta. Busway dari sisi biaya lebih murah, daya angkutnya cukup besar serta lebih cepat pembangunannya dibandingkan sistem transportasi angkutan umum massal lainnya. Melalui pembangunan sistem busway bagi di Jakarta diharapkan bisa menyelesaikan bebagai persoalan yang terjadi seperti kemacetan karena penggunaan mobil pribadi berlebihan. Berkurangnya penggunaan mobil pribadi akan berdampak pada pengurangan penggunaan bahan bakar serta mengurangi pencemaran udara. Melalui busway juga diharapkan menyelesaiakan persoalan buruknya pelayanan angkutan umum di Jakarta. Artinya adalah pendekatan penyelesaian melalui sistem busway ini adalah secara menyeluruh atau berdampak bias positif hingga ke akar masalahnya.
Sistem Busway inilah akhirnya dipilih sebagai salah alternatif solusi memecahkan masalah tersebut. Mulailah pada 15 Januari 2004 kota Jakarta memiliki koridor 1 busway jurusan Kota Jakarta Barat ke Blok M Jakarta Selatan. Sambil berjalan Pemprov melengkapi target 15 koridor busway hingga sekarang. Bersamaan dengan itu mulai juga muncul atau terungkap masalah-masalah yang berkaitan dengan pengoperasian busway. Masalah yang terungkap mulai dari soal sistem tiketing yang tidak on line hingga sekarang, feeder (bus pengumpan) yang tidak ada, head way (tempo kehadiran armada bus) yang mencapai 30 menit hingga satu jam, korupsi pengadaan dalam proyek busway dan sekarang masalah belum adanya kontrak kerja sama antara Pemprov Jakarta (BLU dengan konsorsium operator busway koridor 4-7. Semua masalah atau kekacauan ini tidak lepas dari proses awal pihak pemprov saat itu yang memproyekkan busway. Upaya memproyekkan itu dilakukan dengan menjual atau mengatas-namakan kepentingan publik Jakarta yang butuh alternatif angkutan umum. Dikatakan memproyekkan karena Transjakarta katanya sebagai sistem busway tetapi yang ada hanya koridor utamanya saja atau belum lengkap sebagai sistem.
Masalah patokan harga koridor 4-7 hingga saat ini belum ada perjanjian kerja sama (PKS) dan pembayaran bagi 4 koridor dilakukan oleh BLU sekitar Rp 10-11 milyar tiap bulan pada konsorsium operator tanpa ada lelang. Pembayaran ini jelas telah melanggar hukum, ketua BLU serta Kepala Dishubnya bisa diseret oleh KPK atas tuduhan korupsi (setidaknya memperkaya orang lain yakni para operator busway) karena melakukan pembayaran diatas Rp 50 juta tanpa melalui lelang pengadaan barang sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No: 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Selain itu, pembayaran tersebut telah melanggar Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi DKI Jakarta Nomor 123 Tahun 2006 (Pergub 123/2006) tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Operator Busway di Provinsi DKI Jakarta. Menurut Pergub ini seharusnya BLU menyelesaikan PKS dengan konsorsium dalam pengoperasian Transjakarta koridor 4-7. Barulah setelah itu dapat melakukan renegosiasi terhadap perbedaan patokan harga dengan operator baru jika ada perbedaan angka harganya.
Rupanya pengoperasian Transjakarta sejak awal di tiap koridor seperti ”kejar tayang”, sistem belum siap tapi dipaksa jalan tidak hanya di koridor 4-7 saja. Penuturan beberapa operator Transjakarta diungkapkan bahwa Dishub memaksa operator mengoperasikan armada Transjakartanya walau belum ada kontrak atau PKS, Feeder atau sistem tiketingnya bahkan belum ada armada. Dishub setiap akan memulai koridor baru hanya melakukan lobby-lobby dengan pengusaha atau operator. Misalnya saja ketika hendak mengoperasikan koridor 4-7 meminjam bus dari koridor 1-3 karena konsorsium belum armadanya. Hingga saat ini pun armada di koridor 4-7 belum penuh dan baru mencapai sekitar 60%.
Model kejar tayang seperti sebelumnya rupanya akan dilakukan lagi dalam pelaksanaan Transjakarta koridor 8-10 yang masih dalam proses penyelesaian infarstrukturnya. Hingga saat ini armada seperti apa yang akan digunakan dalam koridor 8-10 belum ada kejelasan. Tidak usah soal armadanya, siapa pengusaha atau operator yang akan masuk dalam koridor 8-10 pun tidak jelas. Begitu pula bentuk konsorsium koridor 8-10 pun belum jelas bentuknya seperti apa. Semua persoalan ini belum terdengar pihak Dishub Jakarta melakukan lelang. Terdesak oleh evaluasi Gubernur, langsung saja Kepala Dishub menyatakan bahwa koridor 8-10 akan dioperasikan pada September 2008 dengan menggunakan armada bus milik operator hasil lelang koridor 4-7. Lagi-lagi Kepala Dishub mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Tentunya ini akan memunculkan berbagai masalah lagi dikemudian hari dan menjatuhkan wibawa Pemprov Jakarta di mata warga Jakarta.

Memperbaiki pola kerja atau sikap Dishub yang selalu hanya ingin mengambil keuntungan dari pengusaha angkutan umum (operator). Sikap ini akhirnya membuat publik memiliki kesan buruk terhadap Pemprov Jakarta, yakni selalu merelakan atau mengorbankan sistem untuk diproyekkan. Selalu saja Dishub berkolusi bersama pihak para operator membohongi publik, katanya membangun sistem busway padahal tidak sepenuhnya. Kesepakatan kolutif seperti ini melanggar hukum dan kedua (pejabat Dishub dan operator) bisa masuk penjara. Lebih penting lagi adalah praktek kotor seperti ini harus dihentikan untuk membangun kembali citra Pemprov dan kota Jakarta ke depan lebih baik. Ketegasan memperbaiki akan berdampak positif dalam pembangunan serta perbaikan sistem transportasi Jakarta dan bisa tegas terhadap operator yang nakal atau tidak beres. Para operator nakal ini mendapatkan lebih banyak dari aparat Dishub yang nakal sementara kritikan lebih banyak dialamatkan kepada Dishub dan Pemprov Jakarta.
Nah kondisi buruk ini ini harus disadari selain oleh dishub (karena merekalah penguasa kebijakan tehknis pemprov Jakarta) juga para operator yang saat ini sudah tergabung dalam konsorsium. Para operator tidak bisa mengklaim bahwa mereka sudah benar dibandingkan dishub atau BLU. Sama-sama melanggar hukum dan merampok uang warga karena bersepakat melakukan kebohongan publik melalui proyek busway. Mari perbaiki dan sadarkan para operator Transjakarta agar menjamin memberikan pelayanan prima paba warga Jakarta. Tidak hanya berpikir cari untung semata dan merusak sistem buseway yang telah dibangun. Begitu pula dorong Dishub dan BLU mengawal dan menjaga sistem busway berjalan secara baik hingga tuntas, bukan semata memproyekkan busway. Membangun sistem busway secara baik dan sempurna tidak hanya kejar tayang untuk mengatakan pada Jakarta bahwa sudah ada busway.


Jakarta, 10 April 2008
Penulis adalah Seorang Advokat pada Kantor Hukum TMA dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA)
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo. com,

Tidak ada komentar: