Kamis, April 03, 2008

Kerja Advokasi Dalam Isu Publik



Udara bersih atau lingkungan yang nyaman, siapa yang menolak? Pernyataan ini sederhana tetapi berat sekali rasanya untuk diwujudkan. Rasanya semua orang terutama di Jakarta sangat merindukan dapat menghirup udara bersih atau hidup secara nyaman. Seakan sudah tidak ada dan tidak terbeli lagi ruang yang dapat memberikan ruang gerak atau hidup nyaman saat ini di Jakarta. Keprihatinan ini sepertinya berjalan sendiri di balik keinginan warga Jakarta yang kehidupannya diselimuti oleh udara kotor setiap saat. Warga akhirnya melakukan upaya perlindungan serta pemenuhan secara individu yang berujung dengan merampas dan bahkan menabrak haknya sendiri atau warga lainnya.

Misalnya saja mengurung atau “membungkus” dirinya dengan berbagai cara karena pemerintah sepertinya tidak sanggup. Ruang dibungkus sedemikian rupa, dilengkapi berbagai kebutuhan seperti membuat steril ruang dengan berbagai kebutuhannya. Padahal tindakan itu jelas selain merugikan dirinya sendiri tetapi juga terhadap warga lainnya. Benturan kepentingan ini menunjukkan bahwa seharusnya pemerintah sebagai fasilitator melakukan kebijakan belum berfungsi secara baik. Atau mungkin saja terjadi keadaan dimana pembuat kebijakan tidak bekerja secara kordinatif dan tidak menguasai masalah. Akibatnya adalah kepentingan warga yang seharusnya dilindungi dengan tegaknya aturan tidak berjalan.

Kekacauan-kekacauan di atas menunjukkan pada kenyataan bahwa dibutuhkan sebuah kerja secara sistematis terorganisir agar terjadi sebuah perubahan sikap dan kebijakan. Apapun bentuk kebutuhan perubahannya, perlu dilakukan dengan pendekatan seluruh stakeholder isu yang bersangkutan. Pendekatan semacam ini yang lazim dilakukan dalam gerak LSM sering disebut sebagai kerja Advokasi terpadu. Advokasi berasal dari Advocacy (bahasa Inggris) yang berarti membela atau Advocare (bahasa Latin) yang berarti melayani. Dalam kerja advokasi terpadu ini yang menjadi tujuan adalah terjadinya sebuah perubahan kebijakan atau juga perubahan perilaku. Kerja advokasi ini dilakukan dengan pengandaian adanya sebuah intervensi sekelompok masyarakat yang biasanya digambarkan oleh kehadiran Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai agen atau fasilitator terjadinya perubahan.

Konsep tentang faktor adanya intervensi kerja agen KSM atau LSM ini dapat dilihat secara kerja terorganisir advokasi bersama warga. Kerja advokasi ini akan berjalan secara baik dan berhasil apabila disertai upaya penumbuhan:
· Partisipasi warga
· Kedekatan isu dengan kepentingan warga atau pembuat kebijakan
· Keterbukaan pembuat kebijakan dan warga

Partisipasi atau sikap aktif warga dalam memperjuangkan terjadinya perubahan sangat penting karena wargalah yang akan mendapatkan keuntungan pertama. Bersama partisipasi warga inilah KSM atau LSM membangun dan menyusun upaya secara terorganisir agar terjadi perubahan perilaku atau kebijakan. Upaya tersebut dalam kerja advokasi didekati dengan melakukan pendidikan serta penyadaran politik terhadap warga dan pembuat kebijakan.
Upaya penyadaran dan penumbuhan sikap kritis ini, biasanya dilakukan pihak LSM dengan menggunakan beberapa media atau cara dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai baru atau kesadaran baru terhadap sebuah komunitas masyarakat. Pengertian Advokasi menurut Mansour Fakih, adalah upaya yang ditujukan agar terjadinya sebuah perubahan sosial melalui semua saluran dan piranti demokrasi perwakilan, proses-proses politik dan legislasi yang terdapat dalam sistem yang berlaku.[2] Dikatakan juga oleh Mansour Fakih dalam tulisannya itu, bahwa advokasi merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadi perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap maju.[3] Sebagai sebuah usaha sistematis, advokasi di kalangan LSM atau Ornop biasa dijalankan melalui program-program yang berbentuk kegiatan kampanye, pendampingan dan pengorganisasian komunitas masyarakat korban kebijakan (Commuinity Organizing), pendidikan dan pelatihan serta pembelaan.

Dalam sebuah proses advokasi, para aktivis KSM atau LSM menempatkan warga dan pembuat kebijakan sebagai subjek utama. Penempatan posisi warga dan pembuat kebijakan sebagai subjek ini didasari pemikiran bahwa warga dan pembuat kebijakan adalah pelaku utama dalam sebuah perubahan. Proses yang menuju pada sebuah perubahan tidak akan terjadi dengan baik jika tidak lahir dari dalam diri atau tidak adanya keinginan berubah dari para warga dan pembuat kebijakan itu sendiri. Metode atau model pendekatan dan pengembangan kesadaran baru ini banyak dipakai oleh LSM untuk membangkitkan kembali keinginan dan partisipasi masyarakat serta keterbukaan pembuat kebijakan. Partisipasi dan keterbukaan itu bisa dalam rangka menuntut pembentukan kebijakan, merubah kebijakan yang sudah ada sebelumnya atau mendukung kebijakan-kebijakan yang sudah ada tetapi belum dijalankan dengan benar.

Uraian singkat di atas memperlihatkan bahwa sasaran dari advokasi adalah terjadinya perubahan kebijakan publik yang dibuat karena telah merugikan kepentingan masyarakat. Kegiatan advokasi haruslah merupakan sebuah proses kegiatan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis, dirancang untuk mendesakkan terjadinya perubahan baik dalam isi, tata-laksana maupun budaya hukum yang berlaku.[4] Selanjutnya juga dikatakan oleh Topatimasang, bahwa untuk membangun upaya advokasi diperlukan sebuah proses penumbuhan kesadaran masyarakat untuk memperjuangkan perubahan kehidupannya sendiri.[5] Penguatan kesadaran dan perjuangan perubahan kebijakan publik yang dilakukan oleh LSM memakai beberapa media atau sarana. Kebanyakan LSM yang berorientasi pada kerja-kerja advokasi memilih bentuk-bentuk media sarana sosialisasi politik seperti:[6]
a. Pengorganisasian dan pendidikan, kerja sarana ini diarahkan terbentuk dan kuatnya kesadaran baru agar masyarakat miskin atau korban kebijakan publik dapat melakukan upaya-upaya advokasi. Media pengorganisasian dan pendidikan ini dilakukan atau diadakan di tempat tinggal atau tempat kerja komunitas masyarakat miskin atau korban kebijakan publik. Bentuk dari media adalah berupa pendampingan atau kunjungan rutin para pekerja LSM, pertemuan warga, pembuatan selebaran informasi, training-training kontekstual dengan kebutuhan advokasi masyarakat korban. Fungsi atau pengaruh yang diharapkan terbangun adalah masyarakat korban mendapatkan informasi, nilai-nilai, pemahaman dan akhirnya adalah tumbuhnya partisipasi warga korban sendiri untuk melakukan advokasi (perjuangan) perubahan kebijakan publik yang telah merugikan mereka.
b. Lobby-lobby terhadap pembuat kebijakan (pemerintah), setelah masyarakat membangun kesadaran barunya, mereka melakukan beberapa upaya advokasi berupa aksi unjuk rasa atau melakukan lobby-lobby (kontak-kontak) politik kepada pemerintah atau pembuat kebijakan agar mau merubah kebijakan publiknya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Topatimasang bahwa proses penumbuhan kesadaran dan advokasi dilakukan melalui tiga proses yakni:[7]
a. proses legislasi dan juridiksi, proses ini meliputi seluruh proses
penyusunan rancangan undang-undang dan peraturan sesuai dengan konstitusi dan sistem ketatanegaraan yang berlaku.
b. proses politik dan birokrasi, proses ini meliputi konsolidasi organisasi pemerintahan, seleksi, rekruitmen dan induksi para aparat pemerintahan dengan cara lobby, mediasi, negosiasi, tawar-menawar dan kolaborasi
c. proses sosialisasi dan mobilisasi, proses ini meliputi semua bentuk penumbuhan kesadaran dan pendapat umum serta tekanan massa terorganisir seperti penggalangan pendapat dan dukungan hingga berbentuk unjuk rasa, mogok dan boikot.

Jika dilihat dari pendekatan tiga proses di atas maka dapat dilihat juga bahwa keberadaan sosialisasi atau komunikasi publik menjadi pendukung penting dalam melakukan kegiatan advokasi. Setidaknya berdasarkan pengalaman menunjukkan, bahwa penggunaan media komunikasi sebagai pendidikan di tempat bekerja atau tempat tinggal dan media lobby oleh banyak LSM didasari kebutuhan agar sasaran proses advokasi berjalan baik. Kedua bentuk media sosialisasi atau komunikasi di atas ternyata cukup efektif membangun terjadinya perubahan sikap atau kebijakan publik. Pilihan model ini didasari pertimbangan adanya keterbatasan pendidikan atau informasi warga dan pembuat kebijakan, bahkan kemiskinan ekonomi yang melingkupi hidup warga. Sehingga dua sarana di atas jadi sangat relevan untuk dipilih sebagai alat meningkatkan partisipasi dan keterbukaan warga atau pembuat kebijakan dalam melakukan advokasi perubahan kebijakan serta perilaku.
Selanjutnya dapat dikatakan, bahwa pengertian Advokasi merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang ditujukan untuk terjadinya sebuah perubahan sosial atas kebijakan dan perilaku yang ada. Apabila itu berkaitan dengan kebijakan atau perilaku pemerintah serta pembuat kebijakan publik maka upaya ini dapat dilakukan melalui saluran dan sarana demokrasi perwakilan, proses-proses politik dan legislasi yang terdapat dalam sebuah sistem atau tatanan masyarakat. Sebuah upaya dapat dikatagorikan sebuah advokasi jika itu merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi atau mendesakkan terjadi perubahan dalam kebijakan atau perilaku secara bertahap maju. Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa intervensi agen KSM atau LSM didefinisikan sebagai kerja menumbuhkan partisipasi dan keterbukaan warga atau pembuat kebijakan ke arah perubahan.

Jakarta, 27 September 2005
Azas Tigor Nainggolan
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA).
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com

[1] Disampaikan dalam Lokakarya IV, Peluang dan Tantangan Stakeholder Dalam Menurunkan Pncemaran Udara di Jakarta, diselenggarakan oleh CAP Swisscontact bekerja sama dengan Yayasan Orang Indonesia, di Hotel Ibis Tamarin Jakarta, 28 September 2005
[2] Mansour Fakih, Memahami Advokasi, dalam Roem Topatimasang dkk (Penyunting), Merubah Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, h. iii.
[3] Ibid.
[4] Roem Topatimasang, Advokasi Kebijakan Publik: Ke Arah Suatu Kerangka Kerja Terpadu, dalam Roem Topatimasang dkk (Penyunting), Op Cit, h. 40-41.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid, h. 43-45

Tidak ada komentar: