Kamis, Juli 10, 2008

Manusia Bukan Sampah

Oleh: Azas Tigor Nainggolan

Masih ingatkah kita dengan beberapa kejadian menyedihkan sekaligus mengerikan yang menimpa warga miskin terpaksa memilih jalan pintas bunuh diri karena kesulitan yang dihadapinya? Kasus bunuh diri seorang ibu bersama 2 orang anaknya karena kesulitan hidup atau kemiskinan yang melilit mereka. Keputusan itu diambil oleh seorang ibu bernama Jasih, melakukan bunuh diri bersama 2 anaknya yakni Galang (7 tahun) dan Galuh (4 tahun). Bunuh diri itu dilakukan dengan membakar diri di rumahnya di daerah Koja Jakarta Utara pada tanggal 15 Desember 2004. Menurut isi surat yang ditulis dan ditinggalkan pada suaminya Mahfud, sang isteri Jasih mengungkapkan, bahwa dia sudah tidak tahan lagi menanggung kemiskinan hidup dan tidak tahan melihat penderitaan anak mereka, Galuh yang menderita kanker otak.

Menyedihkan dan menyayat hati membaca keputusan yang diambil oleh si ibu, sementara dia pun saat itu sedang hamil. Peristiwa menyakitkan itu ditambah lagi, diamana saat tetangga korban membawa Galang yang badannya penuh dengan luka bakar, ditolak oleh sebuah rumah sakit. Penolakan itu menurut cerita tetangga korban dikarenakan tidak ada uang jaminan yang diminta oleh pihak rumah sakit. Saat mengetahui informasi itu, saya tidak bisa membayangkan ada orang, entah itu petugas atau perawat entah dokternya, bisa menolak seorang anak yang penuh luka bakar bakar hanya alasan uang jaminan. Tidakkah mereka harusnya sebagai pekerja di rumah sakit sadar bahwa mereka bekerja untuk menolong manusia dan menempatkan keselamatan kehidupan sesamanya lebih dulu ketimbang uang.

Kejadian ini bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Banyak kasus lain seperti di atas terjadi dan terjadi terus hingga hari ini. Belum hilang dari ingatan kita tentunya, kejadian pada tahun 2003 lalu, dimana seorang pelajar di Bandung terpaksa mencoba melakukan upaya bunuh diri dengan gantung diri karena masalah biaya sekolah. Upaya bunuh diri itu dilakukan setalah si pelajar tidak mendapat uang sebesar Rp 3.000 untuk membayar biaya ekstra kurikuler di sekolah. Ketika itu orang tuanya memang sedang tidak punya uang, hingga terpaksa menolak permintaan sang anak. Takut mendapatkan masalah di sekolah, sang anak akhirnya mencoba bunuh diri namun berhasil digagalkan. Walaupun demikian karena sempat tergantung beberapa lama, kejadian tersebut saat ini meninggalkan dampak kejiwaan yang sangat buruk bagi si anak.
Pernah juga kita dibuat tegang dengan sebuah kasus seorang suami meminta pengadilan agar diberi izin melakukan tindakan euthanasia (bunuh diri) terhadap isterinya. Upaya itu diminta terhadap isterinya yang diopname dan dia sudah tidak mampu lagi membiayai tagihan biaya rumah sakit. Sang suami saat diwawancara oleh sebuah stasiun televisi swasta mengatakan, bahwa permintaan izin ini terpaksa dilakukan karena dia sudah tidak punya biaya dan negara atau pemerintah tidak mau membantu. Dikatakan juga desakan meminta izin upaya euthanasia itu semakin kuat karena pihak rumah sakit tetap saja menagih biaya pengobatan walau dia sudah mengatakan tidak punya uang lagi membiayai pengobatan isterinya tersebut.

Jalan pintas bunuh diri untuk lepas dari kemiskinan yang melilit kehidupan warga Jakarta lainnya juga dilakukan oleh seorang pedagang kaki lima (PKL) pada tangga 26 Mei 2004 lalu. Cara ini terpaksa dilakukan oleh Binsar Sianipar (28 tahun) yang sehari-hari berjualan VCD, secara nekat mengikat lehernya dan menggantung dirinya memakai sebuah spanduk di dalam kamar kontrakannya yang sederhana di daerah Ciracas Jakarta Timur. Menurut cerita seorang temannya dikatakan bahwa ada kemungkinan Sianipar putus asa sebagai pedagang kaki lima (PKL) tidak berkembang.

Temannya itu menuturkan, bahwa mereka sebelumnya sama-sama berjualan di daerah Pasar Rebo Jakarta. Sebagai PKL, barang dagangan mereka berdua diceritakan sering menjadi sasaran empuk penggusuran atau dirazia oleh petugas ketentaraman dan ketertiban (Trantib) pemda. Situasi ini memaksa Sianipar pindah berjualan di daerah Glodok Jakarta Barat yang sebenarnya juga tidak membawa perkembangan karena terlalu banyak saingan. Kesulitan hidup di Jakarta inilah yang menurut kawannya itu membuat Sianipar putus asa dan memutuskan bunuh diri. Mengerikan sekali hidup di Jakarta ini, miskin tanpa ada bantuan atau perhatian dari pemerintahnya dan terpaksa bunuh diri untuk menghentikan penderitaan.

Kejadian lain sejenis juga dialami oleh sebuah keluarga miskin di daerah Halim Jakarta Timur pada November 2004 lalu. Seorang ibu bernama Rosmawati (32 tahun) terpaksa meninggal dunia pada tanggal 18 November 2004 karena menderita infeksi dan tumor di kandungan. Kemiskinan keluarganya membuat Romawati terpaksa dibawa ke “pengobatan alternatif”, tidak berobat ke rumah sakit karena biaya pengobatan sangat mahal. Tindakan ini justru membuat penyakit Rosmawati semakin parah dan mengalami infeksi pada kandungannya karena tindakan pada pengobatan alternatif itu steril. Saat kritis, pihak keluarga mencoba kembali membawa Rosmawati ke sebuah rumah sakit umum daerah dan diminta biaya Rp 50 juta walau keluarga sudah menyertakan Surat Keterangan bahwa mereka adalah keluarga miskin.

Begitu pula penggusuran tempat tinggal yang di alami oleh sekitar 200 keluarga pemulung di bawah jembatan Kampung Melayu Jakarta Timur. Seharusnya ketika itu mereka sedang menyiapkan hari Raya Lebaran. Tetapi beberapa hari sebelumnya pada tanggal 10 Oktober 2007 mereka harus berhadapan dengan penggusuran paksa yang dilakukan oleh aparat Trantib dari Pemkodya Jakarta Timur. Semua yang dijanjikan Pemprov Jakarta akan memberikan tempat tinggal di rumah susun sebagai alternatif atau uang pindah sebesar Rp 1 juta tiap keluarga yang kembali ke kampung, rupanya isapan jempol belaka. Para pemulung itu akhirnya digusur begitu saja tanpa ada rumah susun atau uang pindah ke kampung halaman.
Beberapa hari lalu saya kedatangan seorang kawan warga bernama ibu Purwanti, tinggal di kawasan tanah garapan Halim Jakarta Timur. Sepeninggal wafat suaminya, ibu Purwanti berusaha seorang diri membiaya hidup keluarganya dengan 3 anak masih sekolah dengan berjualan Mie Ayam. Anaknya yang nomor satu bernama Heri Purwanto tahun sempat putus sekolah setamat SD karena kesulitan ekonomi dan terpaksa bekerja sebagai calo angkutan umum di dekat rumahnya. Belakangan anaknya tersebut merengek-rengek minta meneruskan sekolah ke SMP karena dia sudah bosan menganggur di rumah, cerita ibunya. Atas dorongan rengekan anaknya itulah dia bersama ankanya itu sudah menjajaki sebuah sekolah swasta di dekat rumahnya. Ketika mereka bertanya tentang biaya masuknya ternyata biaya cukup mahal mencapai sekitar Rp 2 juta untuk uang masuk, uang membeli seragam dan buku-buku. Sebagai pedagang mie ayam, tentu penghasilannya tidak cukup membiayai masuk sekolah. Apalagi hari-hari ini dia sering tidak berjualan karena lokasi berjualan ditutup oleh aparat Satuan Polisi Pamong Praja.

Semua kejadian bunuh diri dan penderitaan berlatar belakang kemiskinan ini membuktikan pemerintah negara ini telah gagal total melindungi hak-hak dasar semua warga negaranya, agar mendapat pelayanan kesehatan, mendapat pendidikan, tempat tinggal yang layak dan dapat bekerja secara manusiawi semua warga negaranya agar hidup layak. Pemerintah atau Negara ini menempatkan warga Negaranya yang miskin, yang manusia itu seperti sampah saja, diperlakukan sesukanya, dibuang atau dibakar semaunya. Manusia dicipkan oleh penciptanya sebagai citra atau gambaran dari keberadaan sang PenciptaNya itu sendiri. Sang Pencipta sangat menginginkan manusia citaannya sejajar hidupnya denganNya sehingga memberikan hak-hakNya kepada manusia ciptaanNya itu. Artinya hak-hak dasar yang dimiliki dan diberikan pada manusia itu adalah juga hak-hak dasar yang melekat dalam keberadaan Sang PenciptaNya. Membunuh, menggusur, menganiaya dan membiarkan manusia dibunuh atau atau digusur adalah bukan hanya pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia tetapi juga pelanggaran terhadap hak-hak Sang Pencipta.

Indonesia sebagai salah satu Negara yang katanya beragama, beradab dan berdemokrasi sudah merativikasi Kovenan Intemasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, tahun 1966 (menjadi UU 11/2005). Pikiran sederhana warga, berharap dengan diratifikasinya Kovenan hak Ekosob akan memberikan perubahan perilaku pemerintah. Kesadaran bahwa manusia itu bukan sampah itu ternyata lebih hidup di dalam diri para korban itu sendiri ketimbang para pelaku dan pembiaran pelanggaran hak azasi manusia itu sendiri. Sebagai korban, itu awalnya dan selanjutnya mereka sadar dan bangkit menjadi pejuang hak azasi manusia itu sendiri. Secara sadar mereka menggunakan pengalaman dan diri mereka sebagai korban menjadi contoh bagi perlawanan guna penegakan hak-hak dasar sebagai manusia. Sebagai korban sekaligus pejuang, selama ini mereka berupaya menghentikan pelanggaran hak azasi manusia dengan melakukan:
· Mengorganisir diri dan sesama korban itu berjuang bersama
· Membangun jaring-jaring perjuangan lintas kepentingan untuk memperluas dampak
bagi lainnya
· Melakukan gugatan-gugatan hukum di pengadilan publik bertema penegakan hak-hak
dibidang Ekosob sebagai langkah penegakan dan pendidikan publik
· Menerbitkan dan menyebar luaskan hasil pengalaman perjuangan warga
· Melakukan pelatihan-pelatihan bersama warga tentang advokasi dan Hak Azasi manusia
bagi warga yang selama ini menjadi korban

Sebagai contoh berkaitan dengan upaya perjuangan warga akan haknya itu pernah beberapa kali melakukan gugatan publik di pengadilan. Gugatan tersebut antara lain 2 kali dilakukan Gugatan Publik Legal Standing Banjir Jakarta terhadap Presiden dan Pemda Jakarta serta 1 kali menggugat Komnas HAM dalam kasus Penggusuran Jakarta. Gugatan ini bukan bermaksud sekedar untuk menang di pengadilan melainkan sebagai langkah kampanye dan pendidikan politik tentang Hak Azasi Manusia bagi warga, pemerintah, pengusaha serta para pelaku perjuangan hak lainnya. Melalui gugatan ini warga bertambah peluang mengorganisir dirinya serta sesama, mengekspresikan kepeduliaannya terhadap hak sesama dan perjuangan dengan pendidikan publik.

Ratifikasi seharusnya berarti pemerintah akan membuat kebijakan yang menghormati dan melindungi hak-hak warganya, begitu harapan warga. Melakukan pembangunan atas dasar pemenuhan hak-hak di bidang Ekosob sebagai tolok ukurnya. Tidak lagi membangun hanya sekedar memake-up sebuah kota atau wilayah untuk kepentingan tanpa tujuan atau suka-suka saja, tidak semata kemauan aparat pemerintah dan kepentingan dagang pemodal. Perubahan itu juga diharapkan disertai upaya atau langkag-langkah nyata membangun sebuah sistem pemerintahan yang menghormati dan melindungi hak-hak dasar di bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Langkah tersebut misalnya:
· membangun rincian atau tolok ukur pencapaian perlindungan bagi hak Ekosob agar
memilik visi kemanusian dalam pembangunan
· sosialisasi hak-hak ekosob dan tolok ukur pencapaiannya
· mengevaluasi dan mengaudit sistem dan peraturan yang sudah ada berdasarkan indikator
pencapaiannya hak-hak Ekosob.

Setidaknya juga, apabila Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Hak Ekosob ini sudah tergambar dalam pelaksanaan keseharian pemerintahannya. Hal yang paling nyata untuk itu adalah bertambahnya atau meningkatnya kesadaran warga terutama aparat pemerintah yang mengetahui dan menyadari tentang perlindungan hak-hak dasar di bidang Ekosob jug. Warga berharap dan membayangkan tidak ada lagi penggusuran, kesulitan bekerja, sekolah berobat atau kelaparan dan pendek kata berkurangnya tindakan-tindakan menghina serta melanggar hak-hak Ekosob di negeri Pancasila ini.

Banyak kritik yang disampaikan warga dan berbagai kalangan lain terhadap perilaku aparat pemerintah yang main gusur, memanipulasi peraturan pelayanan publik serta memperdagangkan perizinan bagi warga ini menunjukkan bahwa belum adanya kemauan dan rendahnya pemahaman mereka terhadap perlindungan hak-hak Ekosob. Pemerintah bisa saja berkampanye bahwa ratifikasi ini adalah sebuah prestasi tetapi warga tidak bisa dibohongi begitu saja. Kenyataan dalam praktik sehari-hari justru di bidang hak ekonomi, sosial, dan budaya hingga kini berkata bahwa belum ada perubahan maju. Fakta menyatakan perubahan yang diharapkan ternyata masih jauh dipenuhinya hak-hak warga di bidang ini. Hal ini dapat dilihat dengan masih berlangsungnya penggusuran, banyak warga meninggal dunia karena kelaparan atau tidak mampu berobat ke rumah sakit dan banyak anak dan ibu mati karena miskin serta anak-anak tidak sekolah karena kemiskinan orang tuanya. Semua pengalaman memalukan sebagai bangsa karena pemerintahnya tidak mau memenuhi hak warga negaranya. Situasi gagal ini juga menunjukkan bahwa perjuangan warga selama ini masih belum kuat dan belum menggerakkan banyak pihak lainnya untuk memperjuangkan hak hidup sejahtera dengan dipenuhinya hak-hak di bidang Ekosob.

Berangkat dari pengalaman memalukan di atas, kami mengajak seluruh warga, parat pemerintah dan khususnya Komnas HAM untuk melakukan tugas penegakan Hak Asasi warga negara sesuai amanat konstitusi dan perundang-undangan. Komnas HAM di mata warga atau public sebenarnya sudah sangat dikenal sebagai lembaga yang bias dijadikan teman perjuangan hak-hak azasi. Pengenalan public ini adalah modal besar bagi Komnas karena diterima dan akan didukung apabila bekerja sesuai mandate eksistensinya. Secara khusus kami berharap agar Komnas HAM ke depan jauh lebih baik dari yang sebelumnya. Tidak lagi mendiamkan apalagi mendukung terjadi penggusuran atau penindasan terhadap hak-hak Ekosob warga seperti yang dilakukan beberapa anggota Komnas HAM periode sebelumnya. Mendiamkan adalah juga pelanggaran, sehingga kami berharap ada perubahan perilaku anggota Komnas HAM sekarang menjadi lebih berani, berpihak, sensitive, cerdas dan kreatif dalam memperjuangkan penegakan dan melindungi hak warga. Jangan sampai lagi Komnas HAM digugat seperti kami menggugatnya ketika maraknya penggusuran di Jakarta tetapi Komnas HAM diam saja, seakan kalah sebelum berperang.

Jakarta, 1 Juli 2008
Tulisan ini disampaikan untuk Lokakarya Hak Azasi Manusia yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia pada 8-11 Juli 2008 di Jakarta dengan tema “10 Tahun Reformasi: Quo Vadis Pemajuan dan Penegakan HAM di Indonesia.
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) dan seorang Advokat Publik bagi Warga Miskin di Jakarta, tinggal di Jakarta. Email: azastigor@yahoo.com , http://www.azastigornainggolan.blogspot.com, Kontak:0815 9977041


Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) adalah sebuah Forum Warga Kota Jakarta yang memiliki keprihatinan dan aktivitas advokasi pada persoalan-persoalan kota Jakarta, khususnya masalah yang dihadapi kaum miskin kota Jakarta. Saat ini FAKTA sedang membangun dan mendampingi berbagai kelompok masyarakat miskin di Jakarta dan mengembangkan kegiatan Radio Komunitas Warga yang bernama Radio Suara Warga Jakarta
Sekretariat: Jalan Pancawarga IV No:44, RT:003 RW:07, Cipinang Muara, Jakarta Timur 13420,
Telp:021-8569008

2 komentar:

Helga Jil mengatakan...

aku ngasih komentar deh bang,
kok gua ga kebagian buku dan kaosnya?
hehehe...

bukunya bisa minjem romo, tapi kaos? masa minjem juga, bau ah..

Anonim mengatakan...

Blog yang bagus....
Semoga sukses....