Kamis, Juli 24, 2008

Keadilan Untuk Semua? (1)

Oleh: Azas Tigor Nainggolan[2]

"Apakah bapak-bapak dibayar atau tidak, dan siapa yang bayar?", tanya seorang warga kepada serombongan orang dari Tim Studi Amdal. "Menurut bapak, apakah benar tindakan pengembang yang sudah melakukan penanaman tiang panjang dan pengurukan di lokasi, sementara studi amdalnya belum ada?", tanya warga lagi. Pertanyaan-pertanyaan di atas dilontarkan warga Kelapa Gading saat berdialog dengan tim dari Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Hidup dari Universitas Indonesia (PPSML-UI) yang menjadi pelaksana studi Amdal pada proyek di atas tanah fasilitas sosial di Kelapa Gading Jakarta Utara. Dialog ini terjadi sekitar tahun 2004 saat kami mendampingi warga yang aktif memperjuangkan haknya memiliki lahan untuk fasilitas sosial. Saat itu Pemprov DKI Jakarta dan Yayasan Dharma Bakti Mahaka akhirnya berhasil merubah peruntukan lahan fasilitas sosial (fasos) seluas 2,62 Ha di Kelapa Gading Jakarta Utara itu menjadi sebuah mal yang sekarang kita kenal dengan Sportmal. Padahal menurut peraturan yang dibuat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta, lahan fasos itu adalah diperuntukan sebagai lahan bagi bangunan kantor pemerintah dan sekolah.

Situasi dan usaha berjuang ini pernah saya dapatkan juga semangatnya di suatu sore pada akhir tahun 2003, ketika bersama beberapa orang rekan terjebak macet di perempatan jalan Pramuka Jakarta Timur. Hari itu hujan lebat sekali, kami bertemu dengan 3 orang anak kecil kakak beradik sedang menghitung uang hasil mengamen di jalanan. Ketiga anak itu tidak peduli asap kendaraan dan air hujan deras membasahi tubuh mereka yang masih kecil-kecil. Spontan saya berkata saat itu:”gila Jakarta ini”. Semangat berjuang itu juga saya saya alami di tempat lain, ketika berjumpa 2 orang anak di lokasi penggusuran Tanjung Duren Jakarta Barat pada tahun 2003 juga. Ketika itu saya berjumpa dengan Yuli Agustin yang baru berusia 40 hari dan Aldey 7 bulan tetapi sudah menjadi korban penggusuran yang dilakukan aparat Pemprov Jakarta serta aparat kepolisian. Terpikir oleh saya, apakah saat menggusur aparat Pemprov Jakarta memperhitungkan betul hak-hak warganya terutama anak-anak itu?

Tahun 2003 ini menurut catatan yang kami, adalah pengalaman paling mengerikan jumlah penggusurannya. Catatan kami, Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) kumpulkan terdapat penggusuran di Jakarta terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) sebanyak 49 kali, Becak dan Gerobak (kendaraan non motor) sebanyak 13 kali. Secara khusus jumlah korban penggusuran di Jakarta selama tahun 2003 itu adalah untuk 30 kali penggusuran pemukiman rakyat miskin tercatat korban sekitar 11.471 KK (60.000 jiwa) kehilangan tempat tinggal, meninggal dunia 4 orang, diperkosa 1 orang, sekolah digusur 3 buah dan 1 buah mesjid, 15.112 PKL serta 135 pengemudi becak digusur haknya untuk memiliki pekerjaan. Sebuah tindakan yang sangat tidak manusiawi mengorbankan kepentingan dan membunuh warga negara sendiri hanya karena untuk memberikan kemudahan dan pelayanan bagi kepentingan pemodal dan bangsa lain.

Penggusuran-penggusuran ini bukan hanya menghilangkan tempat tinggal atau kesempatan bekerja saja tetapi juga akan membunuh perlahan-lahan para korbannya. Setiap kali penggusuran juga seringkali menggunakan teror, kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para korban gusuran. Secara khusus juga dalam penggusuran ini kita akan dihadapkan pada persoalan bagaimana kehidupan pendidikan dan perkembangan hidup anak-anak para korban penggusuran. Sudah pasti penggusuran ini akan menghilangkan dan memiliki dampak serius terhadap matinya hak-hak dasar warga negara. Melihat data-data di atas jelas sekali kebijakan penggusuran yang diambil oleh Propinsi DKI Jakarta terhadap warga kotanya yang miskin adalah perbuatan yang sangat tidak manusiawi dan melanggar Hak-hak dasar manusia. Perlindungan terhadap hak-hak dasar berupa hak atas tempat tinggal, hak atas pekerjaan dan hak untuk melilih pekerjaan, hak atas pendidikan dan berkembang dengan layak sebagai anak-anak dan hak atas hidup yang aman serta bebas dari rasa takut telah diatur oleh banyak ketentuan internasional maupun perundangan-undangan nasional.

Penggusuran itu adalah pembunuhan hak dasar warga, rupanya masih terus berlangsung hingga saat ini di tahun 2008. Lihat saja para pedagang yang sudah puluhan tahun menempati lahan di jalan Barito Jakarta Selatan digusur secara paksa kembali oleh aparat Pemprov Jakarta didukukng oleh ratusan aparat kepolisian. Juga puluhan pedagang yang menempati lahan di jalan Rawasari Jakarta Pusat digusur begitu oleh aparat Pemprov Jakarta tanpa pengganti atau alternatif tempat berjualan yang baru. Kedua kasus penggsuran yang terjadi di awal tahun 2008 itu dilakukan dengan alasan pihak Pemprov Jakarta akan merefungsi lahan tersebut menjadi Ruang Terbuka Hijau.

Banyak sudah kritik dan gugatan hukum yang dilakukan oleh warga dan LSM untuk menghentikan penggusuran sewenang-wenang itu tetapi Pemerintah tetap saja berjalan dengan pikirannya, menggusur adalah jalan satu-satunya untuk membangun kota ini. Semua upaya meniadakan atau mengenyampingkan kritik dan gugata warga itu menunjukkan pemerintah masih saja memakai kekuasaan untuk membodohi, menekan, membohongi bahkan membenarkan pembunuhan bangsanya sendiri. Menjadikan bangsa ini atau warga negaranya yang manusia adalah citra dari PenciptaNya sendiri ini seperti sampah tak berguna. Seharusnya difasilitasi hak-hak dasarnya untuk mendapatkan tempat tinggal agar hidup sebagaimana rencana Sang Pencipta menghidupkan para manusia.


Tantangan Kita

Gambaran suasana dan persoalan di atas hanyalah beberapa contoh tantangan yang harus kita hadapi ke depan. Masih banyak contoh atau pengalaman pahit atau berjuang atas hak dasar yang tetap digilas oleh arogansi kekuasaan bisa ditunjukkan. Mudahnya mengalahkan kebenaran dan keadilan, membunuh kemanusiaan, bersikap tidak berpihak warga atau kemanusiaan. Seakan keadilan sebagai sesuatu yang utopis bagi rakyat miskin atau harus diperjuangkan terus menerus dan sulit terwujud. Akibatnya banyak masyarakat kita yang putus asa, sudah tidak peduli karena merasa terus kalah, akibat dari berbagai macam penindasan yang mereka alami sendiri tanpa henti. Begitu pula saat ini orang-orang atau lembaga yang benar-benar peduli dengan ketidak-adilan semakin berkurang jumlahnya. Sulit dan semakin sulit saja situasinya sekarang. Inilah tantangan keras yang harus kita hadapi.

Rakyat terus tetap menderita dan tidak jelas masa depannya, hak-haknya terus dirampas, dibakar, dibongkar paksa dan dibunuh. Rakyat terus dijadikan korban dan harus berhadapan dengan penguasa yang lalim dan pemodal yang rakus. Situasi ini jelas tidak sebanding dan pasti rakyat akan terus kalah serta terus menjadi korban tanpa pembelaan dan perlindungan. Hukum yang seharusnya bisa digunakan sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan bagi terlindunginya hak warga, ternyata sudah dijual, mudah dibeli oleh yang berduit, memiliki modal lebih besar. Hukum yang hakekatnya harus mudah diakses semua warganya, ternyata dibangun oleh penguasa atau pemerintah sebagai barang yang mahal, sulit dan jauh dari jangkauan warga rakyat kecil. Akibatnya juga adalah keadilan menjadi barang yang sama dengan keberadaan dari hukum itu sendiri, tidak berpihak dan tidak bisa diakses warga rakyat kecil.

Situasi ini terus berlangsung hingga sekarang karena masih banyak para aparat pemerintah menjadi penguasa negeri ini lebih berpihak pada orang yang besedia membayar mahal kekuasaannya. Penegakan hukum dan keadilan hanya jadi sekedar sebuah jargon politik atau tipu-tipu (obat bius) para politisi serta aparat hukum kepada rakyat kecil. Tanpa rasa malu sama sekali, para penguasa ini membangun hukum menjadi hamba kekuasaan dan kepentingan modal. Para aparat pemerintah juga semakin tidak jelas dan tidak bisa lagi membedakan dirinya, antara sebagai pihak yang harusnya membantu, justru mengambil manfaat secara keji.
Mengajak dan menghidupkan terus upaya perlindungan hak dasar warga adalah sebuah awal dari perubahan pencapaian keadilan. Semangat ini pulalah yang memberikan nyala harapan akan adanya masa mendatang lebih baik, agar keadilan dapat diraih bagi semua, terutama si miskin dan tertindas. Menjadikan hak dasar sebagai alat ukur nyata bagi kases keadilan dan penegakkan hukum bagi rakyat kecil yang selama ini selalu ditindas dan dibunuh terus menerus. Mungkin saja bagi pemodal, hukum dan aparat pro terhadap rakyat miskin adalah sebuah langkah yang tidak populer dan tidak mudah untuk dikerjakan karena tidak memiliki nilai ekonomi modal. Pasti akan banyak hambatan dan tantangan jika kita menyuarakan yang sebenarnya, memberi dan melindungi warga agar memiliki kembali hak dasarnya.
Sebagai manusia warga seharusnya minimal hidup layak dengan tempat tinggal layak sebagai manusia, tidak digusur-gusur atau dijadikan objek pemerasan untuk dapat hidup layak. Perlu keberanian dan orang-orang yang bersemangat menyimpang dari arus utama penindasan sekarang ini. Menyimpang dari keinginan menindas dan menggusur seperti banyak dimiliki para aparat pemerintah dan pemodal yang selalu menggunakan hakum untuk kepentingan sendiri. Diperlukan orang-orang yang berani membangun sistem hukum yang adil bagi semua warga, khususnya yang miskin agar dapat mengakses keadilan.

Rakyat korban tentunya memiliki kebijakan dan kekuatan yang selama ini terus menghidupi sebuah harapan yang tidak pernah hilang. Keberadaan mereka janganlah dianggap sepele ata diremehkan begitu saja. Hidup perjuangan mereka yang miskin dan tidak lagi punya pilihan itu justru memberi kita semangat untuk mengisi ruang-ruang harapan para korban lainnya. Walau diterpa berbagai penderitaan dan penindasan, rakyat akan tetap memiliki ruang harapan akan terjadinya sebuah perubahan. Ruang inilah yang merupakan tempat kita untuk membangun kebenaran dan keadilan. Harapan ke depan agar membuka kebungkaman dan kebisuan yang selama ini menutupi hidup para korban. Mengungkap kebenaran dan membangun keadilan bersama para korban. Semoga.


Jakarta, 28 Juni 2008
Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) adalah sebuah Forum Warga Kota Jakarta yang memiliki keprihatinan dan aktivitas advokasi pada persoalan-persoalan kota Jakarta, khususnya masalah yang dihadapi kaum miskin kota Jakarta. Saat ini FAKTA sedang membangun dan mendampingi berbagai kelompok masyarakat miskin di Jakarta dan mengembangkan kegiatan Radio Komunitas Warga yang bernama Radio Suara Warga Jakarta
Sekretariat: Jalan Pancawarga IV No:44, RT:003 RW:07, Cipinang Muara, Jakarta Timur 13420,
Telp:021-8569008

[1] Tulisan ini disampaikan pada Roundtable Discussion Peluncuran Laporan Regional Commission on Legal Empowerment of the Poor (CLEP) yang rencananya akan diadakan di Kantor Sekretariat ASEAN tanggal 3 Juli 2008.
[2] Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) dan seorang Advokat Publik bagi Warga Miskin di Jakarta, tinggal di Jakarta. Email: azastigor@yahoo.com ,
Kontak:0815 9977041

Tidak ada komentar: