Kamis, Juni 05, 2008

Tarif Angkutan Umum Sebenarnya Tidak Perlu Selalu Dinaikan

Oleh: Azas Tigor Nainggolan


Setiap kali terjadi kenaikan harga BBM selalu saja muncul perdebatan dan keinginan menaikkan ongkos atau tarif angkutan umum termasuk di Jakarta. Biasanya begitu harga BBM naik, walau belum ada keputusan resmi, para sopir angkutan umum justru berinisiatif menaikkan ongkos angkutan umum. Seperti yang terjadi sekarang ini sopir-sopir sudah menaikkan ongkos berkisar 50% hingga 100% lebih dulu. Situasi liar ini jelas merugikan warga pengguna angkutan umum. “Wah kalo keadaanya liar seperti ini susah dong buat kita-kita yang uangnya terbatas. Tidak tahu ada kenaikan ongkos, tiba-tiba ketika membayar ongkos Mikrolet, sopirnya minta dibayar Rp 3.000, - padahal sebelumnya BBM naik ongkosnya hanya Rp 2.000,-. Kasihan kalo orang yang tidak punya uang lebih pasti kaget dan marah-marah karena ongkos dinaikkan semaunya sopir,” keluh seorang warga yang biasa naik mikrolet ke tempat kerjannya setiap hari.
Perdebatannya yang muncul adalah jika harga BBM naik maka tarif angkutan umum harus naik. Apabila tarif tidak dinaikkan maka akan terjadi masalah besar seperti kehancuran atau kebangkrutan para pengusaha atau operator angkutan umum. Atau angkutan umum tidak dapat beroperasi karena biaya yang dibutuhkan dan pendapatan tidak seimbang. Saat BBM harganya dinaikkan pada tahun 2005 dan tarif angkutan umum dinaikkan, para operator tetap berteriak angka kenaikkannya kurang. Tetapi kenyataannya hingga saat ini para operator itu masih bisa dan masih mau mengoperasikan angkutannya alias tidak bangkrut. Artinya para operator ini ternyata masih baik dan memiliki daya tahan sebagai pengusaha angkutan umum.

Tetap beroperasinya angkutan umum ini jelas disertai dengan upaya menekan biaya operasional di tengah kemahalan harga-harga serta biaya extra yang harus dikeluarkan para operator dan sopirnya. Akibatnya operasional angkutan umum di Jakarta berjalan asal saja dan semrawut tanpa pembinaan atau kontrol pihak Pemprov dalam hal ini oleh Dinas Perhubungan (Dishub). Operator dan sopir terpaksa mengurangi kualitas pelayanannya karena tariff yang dinaikkan memang belum cukup. Dalam beroperasi, operator dan sopir terus harus mengeluarkan biaya tambahan atau ekstra yang sangat besar. Pengguna juga tetap dipaksa menggunakan angkutan umum dalam kondisi apa adanya, tidak aman dan tidak nyaman. Dalam soal tarif angkutan umum, pihak pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta selalu mengatakan kepada para operator, bahwa tarif yang dinaikkan sudah dihitung secara cermat sesuai kebutuhan operasional angkutan umum. Kepada pengguna angkutan umum, Pemprov mengatakan bahwa tarif yang ditentukan itu termasuk tarif yang termurah di dunia. Pertanyaannya sekarang apakah memang betul yang dikatakan Pemprov Jakarta bahwa tarif sudah dihitung seksama dan termurah di dunia?Apakah para operator dan sopir angkutan umum dapat beroperasi secara nyaman tanpa ada pemerasan dan pungli? Juga apakah memang saat ini tarif angkutan umum perlu naik?

Tarif Tidak Perlu Naik
Masalah semrawutnya angkutan umum ini sebenarnya dapat diperbaiki jika pihak Pemprov dalam hal Dinas Perhubungan mau melakukannya. Pencarian solusi dan pemecahan masalah secara cepat dapat dilakukan dengan mengurai dan menjawab langsung persoalan yang ada di lapangan. Hal itu dapat dilakukan dengan mengurai persoalan angkutan umum secara langsung, melibatkan para operator, sopir dan pengguna angkutan umum secara benar dan langsung. Misalnya saja dengan membedah pengalaman para operator dalam mengelola angkutan umum, pengalaman sopir angkutan umum dan pengalaman pengguna angkutan umum.
Lihat saja pengalaman yang sering dialami oleh para pengguna angkutan umum, selalu dipaksa mengeluarkan uang sangat besar sebagai pengeluaran biaya angkutan umum. Seringkali terjadi pengguna dibuat naik turun bus dan membayar lagi karena sopir tidak mengoperasikan bus sesuai trayeknya. Sopir terpaksa memotong rute karena trayeknya tidak strategis dan boros penegluaran. Apabila si sopir meneruskan perjalanan sesuai trayek harus menemboroskan bahan bakar karena macet, penumpangnya sepi dan banyak pungutan liar (pungli) yang dilakukan aparat Kepolisian, petugas Dishub dan preman. Terpaksa si sopir menurunkan penumpangnya di tengah jalan dan memutar balik. Sementara para penumpangnya terpaksa naik bus lain yang berarti harus membayar ongkos lagi. Kondisi ini menyebabkan para pengguna angkutan umum sering kali dan biasanya harus mengeluarkan biaya untuk penggunaan angkutan umum jadi lebih besar dari yang seharusnya.

Tidak jarang, di Jakarta ini warga pengguna angkutan umum menghabiskan 40% penghasilannya untuk anggaran pengeluaran ongkos angkutan umum. Idealnya seperti pengalaman di kota-kota negara lain, pengguna hanya menghabiskan 15% penghasilan untuk biaya penggunaan angkutan umum. Kasus Jakarta ini merupakan contoh buruk dari pengelolaan fasilitas publik, khususnya angkutan umum yang tidak pernah mau diselesaikan oleh Dishub Jakarta. Kondisi buruk tersebut dapat dilihat sebagai bukti masih buruknya sistem manajemen atau premanisme angkutan umum di Jakarta; rute atau trayek yang tumpang tindih, tidak adanya penegakkan hukum dan maraknya pungli di sektor angkutan umum.

Sebagai operator sering kali dijadikan sapi perahan atau sumber pungli yang dilakukan oleh aparat Dishub dan Kepolisian serta ormas preman. Semua persoalan ini sebenarnya sangat kelihatan dan sudah sering dikeluhkan tapi sampai sekarang belum dilakukan perubahan.
Pemerasan atau pungli pada sektor anhgkutan umum terjadi di semua lini pengurusan izin dan operasional. Bentuknya adalah beban biaya yang dibayar atau dikeluarkan oleh operator dan sopir jauh lebih besar melebihi biaya resminya. Salah satu contoh adalah pengeluaran dalam mengurus Uji KIR. Biaya resmi uji KIR satu bus sedang seperti Metromini seharusnya sekitar Rp 119.000,- hingga 170.000,-, tetapi yang terjadi di tempat uji KIR, sebuah Metromini terpaksa mengeluarkan uang hingga lebih Rp 500.000,- apabila mau lulus uji KIR. Proses uji KIRnya pun tidak cukup satu hari, sering kali operator meliburkan armadanya hingga 3 hari untuk mondar mandir uji KIR dan ini kerugian cukup besar juga. Begitu pula seorang sopir Metromini dalam sehari harus mengeluarkan uang sekitar Rp 50.000,- hingga Rp 80.000,- setiap hari untuk membayar biaya pungli di jalanan dan terminal selama beroperasi. Apabila ada 500.000 angkutan beroperasi di Jakarta, maka satu bulan ada sekitar Rp 120 milyar atau 1,44 Trilyun setahun uang pungli dari sopir masuk ke kantong Polisi, petugas Dishub dan ormas preman. Sering kali sopir angkutan umum mengatakan bahwa harga seorang petugas Dishub Rp 2.000,- dan Polisi seharga Rp 5.000,-.

Kondisi penuh pungli dan pemerasan atau premanisme dalam pengelolaan angkutan umum ini dapat menjadi pintu masuk menyelesaikan persoalan angkutan umum di Jakarta. Penghapusan pemerasan dan pungli akan memiliki pengaruh cukup besar dalam memperbaiki manajemen angkuta umum di Jakarta. Pengelolaan menjadi sangat efektif tanpa biaya ekstra sehingga tarif pun tidak perlu dulu naik walau harga BBM naik sekarang ini. Dukungan lain yang bisa diberikan pemerintah pada operator angkutan umum adalah dengan mencari lagi secara kreatif beban biaya yang bisa dikurangi. Misalnya saja adalah membantu para operator angkutan umum dengan membebaskan (menggratiskan) biaya Uji KIR, Perpanjangan Izin Trayek serta perpanjangan STNK bagi angkutan umum. Pembebasan ketiga jenis pengeluaran rutin di atas, bagi para operator sangat membantu meringakan beban biaya operasional mereka.

Penghapusan premanisme dalam pengelolaan angkutan umum seperti pemerasan atau pungli dan penghapusan biaya rutin seperti di atas oleh pemerintah dalah hal Pemprov Jakarta tentunya akan tentunya akan sangat memiliki dampak positif perbaikan pelayanan dan meringankan beban biaya warga pengguna karena ongkos tidak perlu dinaikkan. Angkutan umum dapat beroperasi secara baik, menjalani rute, menjaga kondisi armadanya dan nyaman karena tidak takut diperas lagi. Berbicara pemberian subsidi bagi kepentingan angkutan umum dari pemerintah, penghapusan pemerasan dan biaya-biaya ekstra rutin operator serta sopir adalah bentuk subsidi kreatif tetapi sangat berguna tetapi mudah dilaksanakan. Sebaiknya sebagai pemerintah, memiliki terobosan yang cerdas dan kreatif. Sudah saatnya bentuk-bentuk subsidi uang tunai ditinggalkan karena tidak mendidik, memiskinkan, membodohi dan membuka ruang korupsi lebih besar pada aparat pemerintah. Model subsidi kreatif seperti di atas lebih efektif dan lebih mendidik tetapi langsung tepat sasaran. Nah, kalau sudah begini jalan ceritanya ini semua tergantung dari pemerintah, mau atau tidak merealisasikannya. Jadi tarif angkutan tidak perlu harus naik sekarang ini. Apalagi dalam kondisi kesulitan ekonomi luar biasa seperti sekarang ini, sebaiknya pemerintah lebih mendahulukan kepentingan hidup warganya. Mari bangun tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, cerdas, profesional dan kreatif. Jangan hanya bisa menghamburkan uang rakyat dan terus menerus membebani rakyat dengan kemahalan hidup.



Jakarta, 4 Juni 2008
Penulis adalah pemilik usaha angkutan umum Metromini juga seorang advokat membuka praktek Kantor Hukum TMA dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA).
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Kalimalang (Belakang Gudang Seng), Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com, Blog:www.azastigornainggolan.blogspot.com

Tidak ada komentar: