Rabu, September 03, 2008

Proyek LNG Tangguh dan Isu Hak Asasi Manusia

Brief Report


By Bustar Maitar2



[I] Pengantar

Proyek Tangguh LNG BP berlokasi di Berau- Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Bintuni di Papua Barat, propinsi pailing timur Indonesia. Proyek tersebut dijalankan oleh BP Indonesia yang memegang saham sebesar 37,16% dalam proyek tersebut. Proyek Tangguh mengandung 14.4 tcf cadangan gas alam. Proyek Tangguh baru-baru ini memenangkan pesanan penjualan ke Cina, Korea dan Amerika Serikat serta pemasaran juga sedang mengintip Jepang. Proyek tersebut sedang menunggu persetujuan dari BP dan para partnernya. Produksi saat ini sedang dijadwalkan untuk mulai di tahun 2008.

Dengan pengalaman buruknya di Colombia, Alaska dan berbagai wilayah lain di dunia dimana perusahan terlibat banyak pelanggaran hak asasi manusia dan juga belajar dari pengalam perusahaan pertambangan raksasa Amerika Serikat Freeport McMoran Copper and Gold, Inc. di Timika yang terimplikasi berbagai persoalan ham, BP sejak kehadirannya di Teluk Bintuni, Papua tahun 1996 dengan Proyek Tangguh LNG mengkleim dan berkampanye bahwa pihaknya mengadopsi kebijakan-kebijakan ham standar internasional dalam operasinya, mengedepankan ‘Community based Security Approach’, yakni menolak untuk meggunakan aparat keamanan Indonesia dalam mengawal operasi mereka karna tidak mau terseret dalam situasi seperti yang dialami Freeport di daerah Timika dan juga sangat menjunjung tinggi prinsip transparansi.

Tidak tanggung BP kemudian membayar konsultan-konsultan dari berbagai institusi, terutama TIAP yang diketuai oleh seorang mantan Senator berpengaruh Amerika Serikat George Mitchel. TIAP Melakukan berbagai asesmen tentang kehadiran Proyek Tangguh dan dampaknya terhadap rakyat penduduk asli di wialayah operasi mereka. Laporan TIAP kemudian disampaikan kepada BP untuk memperbaiki performancenya.

Pertanyaannya adalah apakah kebijakan-kebijakan Proyek Tangguh BP tentang Ham, ‘Community based Security Policy’ dan prinsip transparansinya benar-benar telah dilaksanakan dalam operasinya? Apakah TIAP dan berbagai konsultan lainnya telah benar-benar melakukan monitoring yang lengkap dan utuh tentang berbagai persoalan yang terjadi baik di sekitar wilayah Kontrak Karya BP? Dari field monitoring dan diskusi yang terus-menerus dengan pihak BP sangatlah jelas bahwa BP mengetahui persis tentang situasi politik di Papua yang bagaikan ‘bom waktu’ yang dapat meledak setiap saat dimana rakyat Papua akan terperangkap dalam konflik tersebut dan terjadi destabilisasi regional, mengapa BP enggan menggunakan pengaruhnya secara positif untuk mendesak Jakarta menghentikan berbagai kebijakan repressivenya di Papua Barat?

Brief report yang disiapkan Masyarakat Adat Kampung Saengga (kelompok pemilik tanah Marga Simuna, Wayuri dan Soway) dan Yayasan Perdu sebagai yang paling terkena dampak dari kehadiaran Proyek Tangguh memberikan jawaban-jawaban atas sejumlah pertanyaan sangat penting diatas.


[II] Isu-isu Hak Asasi Manusia

Pemukiman Baru Yang Tidak Menjandikan Apa-apa

Saat ini masyarakat Tanah merah lama telah menempati pemukiman baru yang diasiapkan oleh BP. Pemukiman baru tersebut tersebar di dua wilayah yaitu Kampung Onar dan Kampung Tanah Merah Baru. Lokasi kampung tanah merah lama telah di pagar keliling untuk kepentingan pembangunan kilang.

Masyarakat tanah merah lama yang dipindahkan diberikan jaminan hidup oleh BP selama kurang lebih satu tahun terhitung sejak mereka pindah pada sekitar akhir tahun 2003. Saat ini masyarakat mulai mempertanyakan bagaimana jaminan hidup mereka selanjutnya, setelah satu tahun. Masyarakat yang dipindahkan ke pemukiman baru tidak memiliki lahan pertanian yang cukup untuk bercocok tanam, sementara itu telah ada larangan bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas nelayan di laut disekitar wilayah proyek Tangguh.

Dari diskusi dengan masyarakat saengga dapat diduga bahwa rumah yang akan dibangun dan diberikan kepada masyarakat, baik masyarakat saengga maupun tanah merah tidak akan bertahan lama kepemilikannya oleh masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sempitnya ruang kelola masyarakat yang akan berdampak ketika masyarakat sudah tidak bekerja lagi di Perusahaan, sehingga untuk mempertahankan hidup kemungkinan masyarakat akan melepas hak rumahnya yang sudah bersertifikat milik pribadi 3 kepada pendatang dari luar. Selain itu orang luar yang kemungkinan lebih bisa bertahan hidup dengan memanfaatkan peluang dari kehadiran proyek BP akan semakin meminggirkan masyarakat setempat dan akhirnya akan kembali hidup seperti semuala sebelum BP datang.


Pendatang Baru di sekitar wilayah Proyek

Saat sekitar bulan Desember 2003 ada sekitar 150 orang pendatang dari luar (paling banyak dari toraja dan makasar) yang ingin bekerja di BP lewat penerimaan lokal di saengga, dari sekitar 150 orang tersebut sekitar 100 orang telah bekerja 4. Pendatang yang masuk bekerja lewat penerimaan lokal saengga atas rekomendasi dari kepada desa dan komite pembangunan saengga dianggap sebagai orang lokal oleh BP. Oleh karena itu pendatang ini tinggal didalam kampung Saengga dan menyewa kamar-kamar yang disediakan oleh masyarakat secara “darurat“. Biaya sewa kamar di kampung saengga rata-rata sebesar Rp. 500.000,- /bulan. Setiap rekomendasi yang dikeluarkan oleh kepala desa/kampung dikenakan biaya restribusi desa, besarnya biaya restribusi desa ini bervariasi mulai dari Rp. 50.000,- hingga Rp. 1.000.000,-. Sedangkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh ketua Komite tidak dipungun biaya, namun para peminta rekomendari biasa menyediakan rokok sebagai imbalan kepada ketua komite yang jumlahnya juga bervariasi.

Dominasi pendatang di sekitar wilayah proyek mulai sangat terasa dan tidak dapat dibendung seperti proyeksi BP sebelumnya. Upaya BP untuk mendorong kawasan pertumbuhan di Sorong, Manokwari dan Fak-Fak sampai saat ini masih belum berjalan maksimal, sehingga asumsi bahwa pendatang baru dapat dihambat masuk ke lokasi proyek kemungkinan besar tidak dapat dicapai.


Upaya Infliltrasi Aparat Keamanan Ke Lokasi Proyek

Perkembangan lain yang terjadi di Saengga adalah, adanya rencana penempatan polisi dan Babinsa dan pembangunan pos Polisi di kampung saengga. Rencana ini diprakarsai oleh BP, alasan yang disampaikan BP kepada masyarakat adalah karena meningkatnya kegiatan mabuk-mabukan yang terjadi di kampung Saengga yang juga secara langsung juga mengganggu kelancaran aktivitas BP di lokasi tersebut. Rencana penempatan pos Polisi dan penempatan Babinsa ini membuat pro dan kontra di Masyarakat. Namun hampir seluruh masyarakat Saengga tidak setuju dengan rencana ini. Menurut mereka, masyarakat bisa menyelesaikan sendiri persoalan yang terjadi di kampung sehingga tidak perlu mengundang “orang luar“ untuk datang untuk mencampuri urusan kampung. Menurut masyarakat sudah beberapa kali Polisi didatangkan dari Polsek Babo untuk mengamankan masyarakat yang mabuk-mabukan di Kampung dan kemudian mengganggu aktivitas perusahaan. Polisi yang datang ke Kampung Saengga sepenuhnya di Fasilitasi oleh BP. Pada akhir tahun 2003, BP memprakarsai studibanding bagi masyarakat untuk melihat bagaimana Coomunity Police di lakukan di Jogjakarta. Menurut kepala desa Saengga studibanding tersebut diikuti oleh beberapa orang diantaranya adalah wakil dari lembaga masyarakat adat (LMA) Babo, Polsek Babo, Wakil UNIPA dan Polda Papua.

Masalah mabuk-mabukan sudah berlangsung cukup lama di desa Saengga. Sebelum BP hadir ditengah-tengah kampung Saengga, masyarakat sudah mengenal minuman keras. Namun dengan masuknya perusahaan kebiasaan mabuk tersebut terus meningkat. Hal ini dikarenakan peredaran uang yang cukup besar di masyarakat. Minuman keras yang masuk ke Saengga bersumber dari kelapa dua 5 selain dari kelapan dua minuman keras juga dibawa oleh kapal-kapal perusahaan yang masuk ke Base Camp perusahaan membawa material pembangunan perumahan. Kebiasaan mabuk juga dipicu oleh rasa ketidak puasan masyarakat kepada perusahaan dan lebih banyak didominasi dengan masalah ketegakerjaan dan juga masalah ketidakpuasan terhadap janji BP yang tidak pernah ditepati oleh BP kepada masyarakat. Masyarakat biasanya akan lebih lugas mengemukakan masalah dan keluhan mereka disaat mabuk sedangkan ketika sadar mereka cenderung diam.

Hubungan antar masyarakat di kampung Saengga masih berjalan dengan baik, walaupun tersimpan potensi konflik yang dapat menimbulkan perpecahan di kampung Saengga. Hal ini terutama diakibatkan oleh tuntuntan marga Simuna untuk penambahan jumlah rumah yang harus di bangun oleh BP terutama bagi anggota marga Simuna yang tidak terdaftar dalam sensus tahun 1999 karena waktu berada di luar Saengga. Kecemburuan masyarakat Saengga terhadap masyarakat Tanah Merah nampak sangat terasa, hal ini diakibatkan oleh perhatian yang diberikan oleh BP kepada masyarakat Tanah Merah yang berlebihan ketimbang kepada masyarakat Saengga. Situasi ini sudah barang tentu akan menimbulkan potensi konflik laten yang sangat besar diantara masyarakat.

Saat ini juga sudah ditugasakan dua orang polisi yang menjaga keamanan di Base Camp BP-Tangguh di kampung Saengga. Pos polisi yang dibangun di kampung Saengga sudah rampung, namun sampai saat ini belum di fungsikan. Dengan demikian 2 orang polisi yang ada disaengga di tempatkan di Base Camp Tangguh. Dari beberapa kasus yang terjadi di kampung saengga, kemudian masyarakat diposisikan sebagai kriminal yang memngganggu jalannya proyek dan ketertiban umum. Padahal ketika masyarakat mabuk, sangat jelas bahwa ungkapan-ungkapan yang mereka sampaikan adalah kegelisahan-kegelisahan mereka kedepan terhadap status penghidupan mereka.

Belum diketahui secara pasti apakah penembakan di kampung Meriyedi yang menewasakan 5 warga sipil merupakan upaya dalam memperkuat posisi aparat keamanan diwiyah tersebut, namun kasus tersebut telah meningkatkan konsentrasi aparat keamanan diwilayah Babo, tempat dimana proyek Tangguh akan dibangun.


Dana Abadi Yang Dipakai untuk Mengelabui Masyarakat

Pada bulan September 2003 masyarakat ditawarkan dana abadi sebesar US $ 75.000,- dana abadi ini ditawarkan untuk suku simuri yang merupakan pemilik tanah tempat pembangunan Kilang LNG Tangguh. Penawaran dana abadi ini sendiri sebenarnya merupakan tindak lanjut dari kesepakan lokakarya saengga pada tahun 2001. Dana abadi ditawarkan dengan model pengelolaannya berbentuk Yayasan dengan nama “Simuri Fund“. Namun yang anehnya “penguasa“ Yayasan tersebut adalah orang-orang yang bekerja pada BP dan merupakan pengambil keputusan terhadap proyek Tangguh. Masyarakat menolak tawaran tersebut dengan pertimbangan bahwa jumlah yang ditawarkan untuk dana abadi tidak sebanding dengan pengorbanan yang selama ini telah dikeluarkan oleh masyarakat Simuri dan juga pemilik Yayasan itu bukanlan orang-orang Simuri sendiri.


Kasus Tanah Yang tidak pernah ada upaya penyelesaian

Saat ini kasus tanah LNG tangguh mulai diangkat kembali oleh kelompok-kelompok masyarakat terutama oleh marga-marga pemilik tanah yang digunakan untuk pembangunan proyek Tangguh. Marga-marga tersebut adalah marga Simuna, Soway dan Wayuri. Ketiga marga ini sudah melakukan pertemuan bersama dan telah menunjuk wakil-wakilnya untuk menjadi wakil mereka dalam menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan kampung. Penerima mandat tersebut terdiri enam orang yang yang terdiri dari dua orang dari masing-masing marga.

Penerima mandat ketiga marga saat ini sedang melakukan konsolidasi untuk melakukan re-claiming terhadap tanah yang sudah di lepaskan kepada pihak perusahaan. Saat ini marga Sowai telah menyiapkan surat pernyataan sikap mereka tentang pengambilalihan kembali tanah seluas 50 ha yang terletak di dekat kampung Tanah Merah lama yang menurut pihak perusasaan telah diberikan secara cuma-cuma kepada pihak perusahaan. Demikian pula dengan marga-marga yang lainnya, saat ini mereka tengah menyiapkan surat untuk menggugat kembali tahah yang telah di lepaskan kepada perusahaan.

Alasan yang dikemukakan oleh masyarakat kenapa mereka melakukan gugatan terhadap tahah yang telah di “jual” dan telah di buat berita acara pelepasannya tersebut adalah, masyarakat mengganggap mereka telah di tipu oleh pihak perusahaan dan pihak-pihak lain yang memfasilitasi proses jual-beli tanah tersebut.

Dampak yang kemudian timbul dari reaksi masyarakat tersebut adalah perusahaan mulai pendekatan-pendekatan kepada pemilik tanah. Pendekatan yang dilakukan misalnya dengan mulai dicairkannya kembali dana bantuan kepada komite pembangunan kampung saengga terutama dana untuk pembayaran honor. Dana-dana bantuan tersebut telah tertahan selama tiga bulan. Pembangunan kampung saengga mulai untuk dipercepat dan usaha-usaha lainnya mengingat usaha untuk mengklaim ulang Tanah sudah mulai tercium oleh pihak perusahaan.

Ketika masyarakat menuntut BP untuk menyelesaikan kasus tanah, BP beralasan bahwa mereka hanyalah kontraktor proyek jadi tidak punya kapasitas dalam mengembil keputusan berkaitan dengan masalah tanah tersebut, namun dalam kesempatan yang lain BP juga menawarkan memberikan dana sebesar Rp. 1 Milyar secara cash kepada ketiga marga pemilim tahan yang diambil dari dana abadi dengan catatan kalau dana tersebut diberikan maka masalah tanah harus dianggap selesai, namun masyarakat menolak tawaran tersebut.


TIAP di mata masyarakat Saengga

Sejak pertama kali TIAP dibentuk sekitar awal tahun 2002, kami langsung mempertanyakan legitimisai orang-orang yang duduk di situ. Sekalipun BP mengatakan meraka independent, namun dari laporan-laporan yang TIAP buat tetap saja menunjukkan keberpihakan mereka ke BP. Kalaupun mereka menyebut masalah-masalah pada tingkat rakyat di lokasi proyek namun itu sama sekali tidak menyentuh persoalan-persoalan mendasar rakyat dan tidak mendorong untuk menyelesaikan masalah-masalah yang selama ini menjadi soal seperti, masalah tanah untuk pembangunan kilang, kematian balita di Aranday dan juga masalah ancaman terhadap lingkungan.

TIAP juga melakukan konsultasi dengan banyak stakeholder di Papua, namun sepanjang yang kami lihat itu hanyalah sebagai pemanis dan pelengkap. Apa yang diungkapkan dalam laporan mereka tetaplah pikiran-pikiran dari TIAP bukan pikiran-pikiran yang diungkapkan oleh stakeholder. Seperti laporan-laporan yang juga dihasilkan oleh BP, laporan TIAP juga tidak pernah diberikan kepada masyarakat, masyarakat tidak pernah menerima laporan dari TIAP dan kemudian merespon hasil laporan mereka.

Masyarakat melihat TIAP sama saja dengan Team-Team lainnya yang dibentuk oleh BP, dimana Team-Team tersebut datang ke masyarakat kemudian bertanya kepada mereka.. dan kemudian mereka pergi dan kemudian masyarakat tidak tau apa yang kemudian terjadi.

Menurut kami TIAP dibentuk oleh BP hanyalah sebagai pemanis dalam pertarungan memperebutkan pasar LNG di Cina ke ketika itu... dan ketika BP kalah tender Cina, maka apa pun yang dilakukan oleh BP hanya berdasarkan pada pikiran-pikiran perusahaan demi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. hal ini sangat terasa ketika kita berada di kampung... banyak janji yang yang disampaikan oleh BP baik secara resmi maupun tidak ketika masih dalam masa perebutan pasar Cina, namun ketika BP kalah... janji-janji itu mulai pudar secara perlahan. Contoh kongkritnya adalah perjanjia yang ditandatangan oleh BP dalam lokakarya di Saengga yang sampai saat ini masih banyak yang belum terwujut. (@)2005

1Brief Report Perjanan Proyek Tangguh �" BP di Teluk Bintuni - West Papua
2Regional Representative for West Papua, Indonesia Mining Advocacy Network (JATAM)
3Pensertifikasian ini di fasilitasi oleh BP dan Pemerintah setempat dan semakin mempermudah pelesapan tanah-tanah pemukinan kepada orang lain.
4Jumlah pendatang baru tersebut saat ini jauh lebih banyak karena akan dimulainya pembangun fasilitas kilang LNG tangguh
5Sebuah lokasi transmigrasi yang telah berkembang menjadi pemukiman karena adanya perusahaan kelapa sawit.

Tidak ada komentar: