Kamis, Agustus 07, 2008

Kejar Tayang ala Busway Transjakarta

Oleh: Azas Tigor Nainggolan


Masih ingat dengan sengketa atau konflik patokan harga atau tarif Rp/Km jalan pengelolaan Busway Transjakarta (Transjakarta) antara Badan Layanan Umum (BLU) dengan Konsorsium Operator Busway Koridor 4-7 beberapa waktu lalu? menunjukkan adanya ketidak-beresan dalam pengelolaan Transjakarta. Sengketa itu berawal ketika pihak BLU ingin begitu saja memberlakukan hasil lelang pengelolaan Transjakarta dengan harga Rp 9.500/Km jalan di koridor 4-7. Lelang dimenangkan oleh 2 operator pendatang baru (non eksisting) di angkutan dalam kota Jakarta yakni Lorena dan Primajasa. Padahal sejak awal koridor 4-7 dioperasikan hingga saat ini pihak BLU telah bekerja sama dengan konsorsium operator dengan harga Rp 12.885/Km jalan dan BLU selalu mengulur waktu untuk menerbitkan ada Perjanjian Kerja Sama (PKS). Tarif Rp. 12.885/km ditetapkan oleh Biro Perlengkapan melalui SK No. 2550/073.532, Tanggal 21 Juni 2007 setelah melalui pengkajian oleh Konsultan yang ditunjuk oleh BLU serta proses Negosiasi dengan Konsorsium yang diikuti oleh Instansi terkait seperti Dewan Transportasi Kota, Bawasda, Biro ASP, Dinas Perhubungan.

Sejak beroperasinya Transjakarta koridor 4-7 pada 27 Januari 2007 hingga Maret 2008 ini belum pernah ada PKS antara Konsorsium Operator dan BLU yang dituangkan dalam PKS pengoperasian koridor 4-7. Operasionalisasi Transjakarta hanya di dasarkan pada Surat Perintah Kerja (SPK) yang terus diperpanjang tiap bulan hingga sekarang. Pertanyaannya sekarang, mengapa Dinas Perhubungan dalam hal ini BLU Transjakarta bisa mendiamkan ketiadaan PKS bagi operasionalisasi busway koridor 4-7 hampir 2 tahun? Sepertinya proyek busway ini dilakukan dengan semangat kejar tayang seperti sinetron?

Sebelum sebuah koridor busway dioperasikan secara sederhana dilakukan dulu survey kebutuhan armada, lalu operator eksisting (yang mempunyai trayek bus besar yang rutenya berhimpit dengan rute busway) wajib mendapatkan prioritas menjadi operator busway (Penunjukkan). Kenapa Prioritas? Karena nantinya trayek bus kota tersebut akan digusur dari rute busway. Hanya dengan model peremajaan tersebut maka keberlangsungan usaha transportasi (yang menjadi gantungan hidup ribuan sopir, kenek, karyawan, tukang cuci bus dll dapat terselamatkan. Dasar pengoperasian dan pembayaran pengelolaan harga yang dibayar oleh BLU pada konsorsium operator dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) yang berlaku untuk 1-3 bulan berjalan. Sambil berjalan, mungkin bisa dilakukan evaluasi pengelolaan untuk meningkatkan pelayanan bagi kenyamanan pengguna.

PKS belum ada, tiba-tiba Januari 2008 lalu BLU ingin menerapkan patokan harga Rp 9.500,- secara sama bagi semua operator di koridor 4-7. Penerapan secara paksa ini memunculkan konflik atau sengketa antara BLU dan konsorsium operator yang sudah. Konsorsium juga menolak apabila saat ini koridor 4-7 kekurangan armada sehingga penumpang tidak nyaman, berdesak-desakan di dalam bus Transjakarta. Kondisi tersebut terjadi karena pihak BLU Transjakarta menahan Bus di Pool, di terminal Awal dan IRTI/Monas serta dilakukannya pemulangan bus sebelum jam 22.00 WIB serta terbatasnya jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas yang sering bermasalah. Jadi perlu ditegaskan kembali kesan ketidaknyamanan penumpang karena berdesakan karena faktor internal BLU dan keterbatasan SPBG Yang sering rusak.

Sengketa ini dicoba ditengahi dengan membentuk Kelompok Kerja yang menegosiasikan penyelesaian antara Dinas Perhubungan (Dishub), BLU dan konsorsium operator. Rupanya sengketa ini belum berakhir dan Kelompok Kerja yang semula dibentuk sejak bulan April 2008 lalu ternyata mengalami kebuntuan perundingan, hingga sekarang tidak ada kabar lagi.

Rupanya model pengoperasian Transjakarta yang seperti kejar tayang itu tidak hanya koridor 4-7 saja tetapi selalu dilakukan sejak awal pengoperasian busway di tiap koridornya termasuk koridor 1-3. Model kejar tayang seperti ini terungkap dari penuturan beberapa operator Transjakarta, yang mengatakan bahwa Dishub selalu memaksa operator mengoperasikan armada Transjakartanya walau belum ada kontrak atau PKS, Feeder atau sistem tiketingnya.

Model kejar tayang ini rupanya akan kembali dilakukan terhadap pengoperasian Transjakarta koridor 8-10 yang masih dalam proses penyelesaian infarstrukturnya. Hingga saat ini pihak Dishub melalui BLU belum menuntaskan penunjukkan Konsorsium (yang berasal dari operator eksisting bus kota). Belum adanya operator pengelola koridor, berarti juga kepastian armada yang akan dioperasikan dalam koridor 8-10 belum ada kejelasan. Terdesak oleh evaluasi Gubernur pada bulan april 2008 lalu, langsung saja Kepala Dishub saat itu (Nurahman) menyatakan bahwa koridor 8-10 akan dioperasikan pada September 2008 dengan menggunakan armada bus milik operator hasil lelang koridor 4-7 yakni dari Lorena serta Primajasa. Nurahman sebagai Kadishub saat itu, sudah terlampau berani, selalu melakukan pembohongan dan pembodohan publik yang akibatnya akan memunculkan masalah dan ketidak-percayaan publik – dunia usaha dan menjatuhkan wibawa Pemprov Jakarta.

Lagi-lagi beberapa hari lalu Dishub kembali mengatakan bahwa koridor 8-10 akan dioperasikan pada bulan September 2008 dengan menggunakan armada bus milik operator peserta lelang yang semula diperuntukan koridor 4-7. Cara memindahkan persoalan dari koridor 4-7 ke koridor 8-10 tidak menyelesaikan masalah. Bus Busway dari Lorena dan Primajasa yang legal -formalnya merupakan hasil lelang di koridor 4-7 akan dipaksakan untuk dioperasikan di koridor 8-10 adalah sebuah kesalahan. Apa pun alasannya, memindahkan masalah dan bukan menyelesaiakan masalah akan menimbulkan masalah hukum baru berikutnya.


Memperbaiki pola kerja atau sikap Dishub yang selalu kejar tayang dalam pengoperasian busway sudah sangat mendesak agar masalah transportasi angkutan umum di Jakarta bisa diselesaikan secara berwibawa dan benar. Tidak hanya cari muka dan bekerja jika dikejar publik dan Gubernur saja, serta hanya ingin mengambil keuntungan pribadi dengan mengorbankan dan menjual kepentingan publik. Perbaikan sikap ini akhirnya akan memberi kesan positif publik terhadap Pemprov Jakarta. Tidak hanya dan terus menerus dicap atau dikritik selalu merelakan atau mengorbankan sistem untuk diproyekkan, katanya membangun sistem busway padahal tidak sepenuhnya. Lebih penting lagi adalah praktek kotor seperti ini harus segera dihentikan, untuk membangun kembali citra Pemprov dan kota Jakarta ke depan yang lebih baik. Ketegasan memperbaiki akan berdampak positif dalam pembangunan serta perbaikan sistem transportasi Jakarta. Jika Pemprov berwibawa maka akan bisa tegas dan mengkontrol kinerja operator yang agar tidak nakal atau tidak beres.

Nah kondisi buruk ini harus segera disadari untuk diselesaikan oleh Dishub (karena merekalah penguasa kebijakan tehknis pemprov Jakarta). Perbaikan perilaku kebijakan dan kesadaran para operator serta BLU Transjakarta akan berdampak positif, memberikan pelayanan terbaik pada warga Jakarta sebagai pengguna. Mari perbaiki dan bangun sistem busway sekarang sudah ada agar benar-benar sebuah sistem angkutan umum massal yang baik bukan sebuah proyek semata seperti sebelumnya. Secara baik dan terencana, tidak hanya kejar tayang untuk mengatakan pada Jakarta bahwa sudah ada busway.


Jakarta, 6 Agustus 2008
Penulis adalah Kordinator Koalisi Warga untuk Transportasi (KAWAT) Jakarta dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), sehari-hari membuka praktek advokat di Kantor Hukum TMA
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com, Blog: azastigornainggolan.blogspot.com

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sangat riskan sekali kalau selalu kejar tayang terus. perlu memperhatikan kualitas dari kejar tayang itu sendiri...