Minggu, Februari 15, 2009

Rancangan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Tanggapan dan Usul terhadap
Pembahasan RUU LLAJ



Pendahuluan
Adanya wacana dan rencana merevisi UU Lalu lintas nomor: 14 tahun 1992 adalah sudah selayaknya dilakukan karena situasi dan perkembangan masyarakat sudah jauh berubah. Tentu sudah jauh berubah situasi dan masalah lalu linta saat tahun 1992 dengan masa sekarang 2009 tentunya jauh sekali berbeda. Revisi yang perlu dilakukan adalah menjawab kebutuhan lapangan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan profesionalitas kerja di bidang lalu lintas. Artinya adalah revisi dilakukan dengan visi peningkatan kapasitas dan profesionalitas bukannya semata-mata pengalihan atau perubahan, mengganggu kinerja baik yang sudah berjalan selama ini. Selama ini UU Lalu Lintas Nomor: 12 tahun 1992 sudah cukup memberikan dampak pelayanan dan pendidikan baik bagi masyarakat. Jadi revisi atau perubahan yang butuhkan saat ini adalah untuk lebih menyesuaikan dan memperhitungkan kinerja serta konteks lapangan yang ada atau kepentingan masyarakat.


Belakanga seiring dengan rencana revisi tersebut berkembang informasi atau wacana akan adanya pengalihan pelayanan atau tanggung jawab serta wewenang dalam menjalankan UU Lalu Lintas nantinya. Pengalihan itu misalnya tentang wewenang pengelolaan administrasi kendaraan bermotor atau berkaitan dengan urusan lalu lintas seperti pengurusan SIM dan pendaftaran kendaraan bermotor dari Kepolisian kepada Departemen Perhubungan melalui Dinas-dinas perhubungan di daerah-daerah. Pengalihan seperti ini tentunya harus memperhitungkan peraturan perundangan lain terkait dengan rencana atau keinginan tersebut. Pengalihan pada Departemen Perhubungan tidak berarti akan langsung bisa kordinasikan ke Dinas Perhubungan di daerah. Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah saat ini masing-masing daerah memiliki otonomi dalam mengelola urusan daerahnya dan tidak semuanya bisa berada langsung pada kepentingan Departemen sejenis dengan Dinas.


Begitu pula urusan lalu lintas sebagaimana dalam UU Pemerintah Daerah mengatur bahwa tidak masuk dalam urusan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota. Pertimbangan lain yang harus dihitung juga adalah kapasitas yang ada saat ini karena jangan sampai pengalihan itu justru memperburuk situasi yang sudah baik. Tidak bisa begitu saja sebuah sistem yang sudah berjalan cukup baik dialihkan pada pihak lain yang belum teruji atau belum memiliki kapasitas untuk tanggung jawab pada wewenang tersebut. Misalnya saja seorang anak yang baru di tingkat Sekolah Dasar diberikan tanggung jawab untuk mahasiswa perguruan tinggi. Tentunya pengalihan tanggung jawab yang tidak memperhitungkan kondisi lapangan akan memperburuk keadaan. Berangkat dari pengalaman Dinas Perhubungan Jakarta misalnya dalam pengurusan Uji Kendaraan Bermotor (Uji KIR) yang masih banyak kekurangan bahkan pelanggaran. Jika akan diberikan lagi tanggung jawab lain yang lebih berat seperti pendaftaran kendaraan bermotor tentunya itu akan menuai masalah dan kekacauan karena belum tentu siap.

Pengalihan wewenang dan penambahan birokrasi
Perubahan atau pengalihan itu juga sebagaimana diuraikan di atas, agar jangan sampai melanggar atau bertentangan dengan UU lain terkait seperti UU Pemerintah Daerah. Tidak hanya soal keterkaitan dengan peraturan perundangan lainnya tetapi juga dan perkembangan situasi sosial juga perlu diperhitungkan dalam merumuskan substansi Rancangan Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hal ini diperlukan agar substansi UU hasil revisi tidak bertentangan dengan peraturan lain atau nilai-nilai serta kondisi sosial yang ada dan berkembang di masyarakat. Memperhitungkan perkembangan sosial atau kondisi masyarakat juga perlu dilakukan saat adanya keinginan RUU LLAJ ini akan mengatur soal pendaftaran bagi kendaraan tidak bermotor. Dalam pasal 55 RUU LLAJ ingin diatur bahwa kendaraan tidak bermotor yang digunakan sebagai angkutan umum wajib didaftarkan. Pengaturan seperti ini tentunya akan banyak bersinggungan, agak sedikit bertentangan dengan semangat hemat energi dan pengembangan model angkutan alternatif atau bahkan menimbulkan penolakan masyarakat.


Dalam kehidupan sehari-hari, kendaraan tidak bermotor yang menjadi angkutan umum berbentuk gerobak, becak gerobak dan dokar. Keberadaan angkutan atau kendaraan tidak bermotor secara langsung akan mempersulit atau membuat masalah baru bagi masyarakat yang sekarang sudah memakai dan menempatkan itu sebagai angkutan alternatif. Padahal dari sisi jumlahnya saja angkutan umum yang berasal kendaraan tidak bermotor tidak banyak. Seperti terlihat di banyak pasar di Jakarta kendaraan tidak bermotor seperti gerobak atau becak gerobak sebagai alat angkut altenatif yang ramah lingkungan dan kmurah. Selain itu juga profesi sebagai pengemudi gerobak atau becak gerobak merupakan profesi yang mudah, murah dan menjadi tumpuan hidup masyarakat miskin di perkotaan seperti Jakarta atau daerah lainnya. Pengaturan atau kewajiban pendaftaran kendaraan tidak bermotor tentu juga akan menyulitkan dan membebani masyarakat yang bekerja sebagai pengangkut barang dengan gerobak-gerobak roda biasa.


Pertanyaannya adalah apakah ada urgensi keamanan, politik atau hukum untuk mewajibkan gerobak-gerobak itu didaftarkan atau diatur dalam undang-undang. Sesuatu yang ada dan sudah baik belum tentu akan jadi lebih baik dan berkembang apabila diatur secara formal. Bisa pengaturan formal bagi kendaraan gerobak atau dokar jika diatur dengan undang-undang akan jadi lucu karena hal itu bisa ditangani oleh kebijakan di tingkat peraturan daerah saja sudah cukup. Jadi pengaturan atau penanganan kendaran tidak bermotor cukup ditangani atau menjadi tanggung jawab pemerintah daerah bersangkutan agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.


Pengaturan lebih atau penambahan prosedur dalam tanggung jawab sebagai pengguna jalan atau tata tertib lalu lintas sebaiknya seminimal mungkin kesulitannya. Janganlah menimbulkan kesan terlalu panjang, berat dan sulit sehingga menjadikan alasan bagi masyarakat untuk melanggar atau tidak memenuhi kewajibannya. Keringanan tersebut juga bukan berarti meniadakan kualitas substansi kepentingannya. Sepertinya juga tidak berarti membuat masyarakat mudah sekali mendapatkan SIM sehingga akan menimbulkan bahaya lalu lintas di jalan. Pengaturan sebaiknya ditempatkan pada posisi di tengah, diantara sulit dan tidak sulit tetapi kualitas substansinya tetap terjaga sesuai kebutuhan kemanan di berlalu lintas di jalan.


Ketatnya pengaturan bukan berarti menjadi tambah beban bagi masyarakat karena sulitnya proses dan banyak birokrasi yang akan menambah biaya bagi masyarakat. Misalnya masyarakat yang berprofesi sebagai sopir angkutan umum bus atau angkutan telah melalui 2 tahap proses ketika mereka hendak mendapatkan SIM Umum. Sebagai sopir, awalnya mereka tidak bisa langsung beroperasi mengemudi angkutan umum karena baru memiliki SIM biasa. Barulah setelah beberapa lama masyarakat yang ingin menjadi sopir angkutan umum atau barang bisa mengurus menjadikan SIMnya yang biasa menjadi SIM Umum. Seperti kita ketahui yang ingin menjadi sopir angkutan umum adalah masyarakat yang hidupnya sulit atau miskin atau pas-pasan.


Bagi mereka yang miskin, kebutuhan waktu untuk mengurus dan uang memiliki pengaruh besar, dapat mempengaguhi semangat untuk mencari kehidupan. Apabila pengurusan sebuah pembuatan SIM Umum jadi sulit maka mereka akan mebayangkan biaya yang mahal. Tahapan pengurusan mendapatkan SIM bagi kendaraan angkutan umum dan angkutan barang dalam RUU LLAJ ini diatur harus melalui proses mendapatkan Sertifikat Pengemudi Angkutan Umum (SPAU) atau Sertifikat Pengemudi Angkutan Barang (SPAB). Sekarang ini masyarakat yang mendapatkan SIM A Umum misalnya terlebih dulu harus memiliki dan menggunakan SIM A biasa setidaknya dalam waktu 12 bulan. Para sopir ini tentunya juga saat mendapatkan SIM Umum harus melalui pendidikan dan ujian yang lebih berat dari pemakai SIM biasa. Dalam pasal 57 RUU LLAJ ditetapkan bahwa pengemudi sebelumnya harus mendapatkan sertifikat pengemudi angkutan umum (SPAU). Jika dilihat dari makna pengaturan harus mendapatkan SPAU lebih dulu berarti si sopir harus mengikuti pendidikan dan test khusus. Sebenarnya pendidikan dan test khusus bagi calon pemegang SIM Umum yang akan menjadi sopir angkutan umum sudah termaksud dalam program test atau ujian saat mengurus SIM Umum. Ketentuan baru yang diusulkan dalam RUU LLAJ dengan SPAU atau SPAB jelas memberatkan masyarakat karena menambah satu proses baru yang sebenarnya tidak perlu karena sudah ada dalam proses yang sudah berjalan selama ini.


Bukankah sebuah pengaturan atau kebijakan sebaiknya dibuat menarik dan mudah, sehingga masyarakat mau memenuhinya dan tidak keberatan untuk dapat diberikan pendidikan mengenai aturan tersebut? Apabila masyarakat merasa aturan itu ”mudah atau menarik” dan mau mengurus maka akan jadi mempermudah pemerintah untuk memberikan pendidikan atau penyadaran tentang tata cara atau perilaku baik dalam lalu lintas? Melalui proses yang dilihat mudah dan menarik itu masyarakat akan mudah juga dididik dan diajak atau ditingkatkan kesadarannya tentang penegakan peraturan karena dirasakan bukan sebagai beban lagi. Sebaiknya pengaturan tentang tertib lalu lintas dalam RUU LLAJ ini memperhitunbgkan juga strategi ini, agar masyarakat mau mendekat dan mau taat pada peraturan yang ada.


Termasuk juga pengaturan bagi pengemudi yang akan mendapatkan SIM, pada tahap awal hanya mendapatkan SIM yang sementara sifatnya selama enam bulan. Bentuk pengaturan baru seperti ini dibuat untuk mencapai perubahan apa? Jika tidak jelas tujuan dan pencapaiannya maka masyarakat akan melihat ini hanya sekedar akal-akalan pemerintah untuk mempersulit dan menambah birokrasi pengurusan SIM saja. Situasi pandangan seperti itu membuat masyarakat justru akan mencari-mencari peluang yang sifatnya melanggar untuk sebuah kemudahan dari sesuatu yang dirasanya menyulitkan. Sudah merupakan karakter dan juga pemandangan umum di masyarakat yang selama ini hidup dalam lilitan birokrasi, bahwa dimana ada peraturan yang birokratis maka ada ruang atau peluang untuk melanggarnya.


Penambahan birokrasi pengurusan syarat seperti SPAU, SPAB, SIM Sementara atau juga Pendaftaran bagi pengemudi kendaraan tidak bermotor memberi kesan bahwa peraturan itu menyulitkan sesuatu yang mudah dan sudah tertib. Termasuk juga pengalihan tugas atau kewenangan pengurusan SIM, Pendaftaran Kendaraan Bermotor yang selama ini sudah berjalan baik di kepolisian. Perlu dipikirkan secara baik dan jelas semua dampaknya secara sosial dan politik di masyarakat. Selama ini masyarakat sudah taat dan berpikir panjang jika ingin memalsukan data kendaraan bermotornya atau SIMnya karena begitu ketat dan terkontrol sistem yang sudah berjalan. Sementara saat ini situasi dan kapasitas aparatur Dinas Perhubungan yang akan diberikan tanggung jawab oleh Departemen Perhubungan masih belum memenuhi syarat dan masih banyak bolong-bolongnya. Masyarakat belum taat sepenuhnya karena perilaku buruk oknum aparat pemerintah daerah yang masih kurang profesional. Lihat saja pengalaman pengurusan KTP, Izin Trayek atau pengelolaan angkutan umum di daerah-daerah masih banyak persoalan dan pemalsuan yang terus terjadi.

Pemanfaatan jalan
Kondisi masa depan juga perlu diperhitungkan dan dijawab secara substansial oleh UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang baru. Isu penting lain yang berdampak jangka panjang adalah penggunaan jalan (badan jalan). Saat ini berpikirnya masih belum menyiapkan koridor pengaturan sunguh-sungguh berdasarkan kepentingan dan keselamatan pengguna jalam dalam lalu lintas. Misalnya saja perlu diatur dan dihormati pengembangan sikap berlalu lintas yang baik di jalan dan difasilitasinya pengguna jalan seluruhnya. Memang harus diatur bahwa berlalu lintas secara nasional yakni menggunakan jalur jalan sebelah kiri dan lainnya (usul kesepakatan pada pasal 46). Tetapi juga harus difasilitasi sebagai penghormatan (azas keadilan ruang) bagi pejalan kaki dimana perlu pengaturan bahwa pembangunan jalan (badan jalan) harus mengadakan fasilitas trotoar (Pedestarian) bagi pejalan kaki dan jalur kendaraan tidak bermotor.


Selama ini keberadaan trotoar sebagai kepentingan pejalan kaki hanya ada dalam pelajaran dan materi tertib lalu lintas tetapi jarang sekali dipenuhi dalam pembangunan jalan. Jarang sekali kita dapatkan ada jalan yang memiliki fasilitas trotoar yang layak, aman bagi pejalan kaki dan jalur bagi kendaraan tidak bermotor. Tidak usah jauh-jauh, lihat saja jalan-jalan di Jakarta minim sekali memiliki trotoar dan jalur bagi kendaraan tidak bermotor, apalagi di daerah. Sebagai langkah maju dan penghormatan terhadap tertib lalu lintas yang benar-benar baik adalah perlu diatur secara jelas bahwa jalan juga termasuk fasilitas trotoar dan jalur kendaraan tidak bermotor di dalamnya wajib ada. Kewajiban ini harus menjadi kebijakan yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai syarat keselamatan di jalan dan bisa dipersoalkan secara hukum oleh masyarakat apabila pemerintah tidak memenuhinya.


Pada masa lalu, jika hendak berlalu lintas di beberapa kota termasuk di Jakarta ada peraturan dan ditegakkan secara baik yakni aturan tidak boleh berhenti dan parkir di sembarang jalan. Pengalaman sekarang, seperti di Jakarta dapat dilihat bahwa kendaraan bermotor pribadi atau bahkan angkutan umum bisa seenaknya berhenti di sembarang tempat. Bahkan cara berhenti dan pengambilan tempatnya pun seeenaknya, sering membahayakan serta menimbulkan kecelakaan. Sepertinya aturan itu sudah tidak ada lagi, para pengguna jalan seakan bebas, semaunya berhenti dan memarkir kendaraannya dimana mereka mau tanpa aturan. Sudah seharusnya aturan tersebut ditegakkan karena itu bagian penting dalam berlalu lintas yang baik dan aman bagi pengguna jalan.


Sebagai bagian dari sistem transportasi, pengelolaan parkir harus menjadi bagian yang mendukung untuk kepentingan transportasi dan lalu lintas. Selama ini yang banyak berkembang pengelolaan parkir hanya dilihat sebagai bagian dari cara meningkatkan atau menambah penghasilan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal itu terlihat dalam cara pengelolaan parkir yang memakai habis-habisan badan jalan sebagai tempat parkir (parkir on street) oleh pemerintah daerah. Cara ini harus dihentikan, jalan perlu dikembalikan fungsinya bukan sebagai tempat parkir, diatur secara jelas dalan revisi UU LLAJ yang baru nantinya. Seringkali kemacetan lalu lintas yang terjadi banyak disebabkan oleh keberadaan parkir on street dan kemudahan lahan parkir bagi kendaraan bermotor pribadi. Masa depan penanganan kemacetan dapat dilakukan salah satunya adalah dengan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Pengurangan penggunaan kendaraan bermotor pribadi dapat dilakukan dengan mengurangi ruang parkir, khususnya parkir di badan jalan (parkir on street).
Menekan pengguna kendaraan bermotor pribadi, tidak memanjakan mereka adalah kepentingan utama berlalu lintas yang baik agar tidak selalu mudah menggunakan kendaraan bermotor pribadi. Cara berpikir lebih maju saat ini adalah bukan berpergian dengan kendaraan bermotor pribadi tetapi dengan angkutan umum atau kendaraan tidak bermotor atau berjalan kaki. Pengaturan secara khusus tentang larangan (setidak dibatasi secara ketat) menggunakan badan jalan sebagai tempat parkir ini sangat diperlukan untuk mengembalikan fungsi jalan yang sebanarnya (usul kesepakatan pada pasal 47). Pengaturan yang sudah dipikirkan dan ditingkatkan pembatasan secara ketat tentang aturan jalan sebagai tempat berhenti dan tempat parkir.

Peningkatan kesadaran berlalu lintas
Pentingnya masyarakat memiliki kesadaran yang baik terhadap kegiatan berlalu lintas yang baik adalah bagian penting pendidikan atau penyadaran yang harus dilakukan oleh pemerintah. Penyadaran itu dapat dilakukan dengan pelibatan masyarakat dalam upaya atau proses perencanaan, pembangunan serta pengawasan kebijakan dalam lalu lintas. Bentuk pelibatannya itu sendiri harus dilakukan oleh pemerintah secara benar, bukan sekedar seperti penyuluhan atau penerangan semata. Masyarakat dapat ditingkatkan kesadarannya dengan mengajak berdialog atau berkomunikasi dua arah sejak awal hingga kontrol penegakan hukumnya.
Beberapa cara pelibatan yang dapat dilakukan misalnya saja mengatur kebijakan adanya mekansime analisis dampak lalu lintas (Amdalintas) dalam pembangunan di daerah-daerah serta mengadakan Dewan Transportasi Kota (DTK) seperti di Jakarta. Dalam 2 bentuk mekanisme tersebut, memberi ruang secara khusus bagi masyarakat yang menjadi pihak yang berkepentingan dengan aktivitas lalu lintas serta penggunaan jalan. Misalnya saja dengan DTK, pengelolaan transportasi, lalu lintas atau angkutan jalan selain pemerintah juga melibatkan DTK sebagai partner rekomendator kebijakan yang akan dibuat. Keanggotan DTK di Jakarta itu sendiri ada dua jenis yakni secara otomatis dan yang direkrut melalui sebuah proses seleksi publik. Anggota yang secara otomatis yakni utusan dari pihak Pemda (Dinas Perhubungan) dan Kepolisian Daerah sedangkan yang dipilih melalui mekanisme rekruitmen untuk mendapatkan wakil yang berasal dari unsur Pakar, Perguruan Tinggi, LSM, Pengguna Angkutan Umum, Awak Angkutan Umum serta Pengusaha Angkutan Umum.


Pelibatan dan penyediaan ruang partisipasi masyarakat seperti di atas akan memberi pendidikan dan penegakan hukum secara partisipatif. Begitu pula dengan mekanisme Analisis Dampak Lalu Lintas yang dapat dijadikan kewajiban dilakukan oleh para pengembang atau pemilik usaha yang akan membangun kantor atau unit usahanya di sebuah tempat. Analisis Dampak Lalu Lintas ini dilakukan untuk melihat dan mengantisipasi kemungkinan terjadi kemacetan apabila gedung atau bangunan tersebut selesai dibangun dan beroperasi. Proses analisis ini juga dilakukan dengan melibatkan bara pihak berkepentingan termasuk masyarakat, kepolisian dan Pemda. Akhirnya kebijakan yang dibuat dan diambil akan memperhitungkan secara menyeluruh kepentingan masyarakat. Proses selanjutnya adalah peningkatan kesadaran akan dapat dihasilkan kontekstual dan mendapat dukungan nyata dari masyarakat.


Sebagai catatan akhir, ada baiknya juga dalam revisi UU ini diatur bahwa UU LLAJ sebaiknya dirubah atau direvisi kembali setiap kali dalam 5 tahun atau 10 tahun. Revisi berkala ini ditujukan agar substansi UU akan lebih dekat dengan kepentingan lapangan dan masyarakatnya itu sendiri. Latar belakang revisi berkala ini juga adalah cepatnya perkembangan sosial, politik dan ekonomi masyarakat serta tehknologi kendaraan bermotor juga lalu lintas. Sehingga revisi berkala ini akan menghasilkan peraturan yang tidak ketinggalan jaman.


Jakarta, 30 Januari 2009
Azas Tigor Nainggolan
Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA)

Tidak ada komentar: