Senin, Oktober 20, 2008

Peduli Kaum Lemah

Kebangkitan Nasional dan
Kepedulian kepada Kaum Lemah
Oleh: Azas Tigor Nainggolan



Pertengahan September 2008 lalu saya mendapatkan pengalaman menggugah kesadaran serta semangat melayani. Seorang kawan relawan di kantor FAKTA bernama Juma bercerita bahwa Heri, teman pemulung kami telah sekarat ketika ditemukan di depan stasiun Pondok Jati Matraman suatu sore. Langsung saja dia mengajak beberapa kawan lain untuk bersamanya membawa Heri ke sebuah rumah sakit terdekat. Langkah cepat itu dia ambil karena Heri terlihat sudah nyaris tak bergerak lagi dan suaranyanya pun lirih tak terdengar. Untuk menyelamatkan nyawa Heri, Juma dan kawan-kawan rela mengantar cukup jauh untuk mendapatkan sebuah rumah sakit gratis yang dikelola oleh sekelompok aktivis partai islam.

Juma sejauh yang saya kenal adalah seorang muslim yang cukup terbuka serta toleran dan bukan anggota partai muslim. Sebagai seorang muslim, Juma mengungkapkan kekagumannnya terhadap pelayanan yang sangat manusiawi dari petugas rumah sakit tersebut. Sebenarnya Juma selalu bersikap kritis terhadap organisasi atau partai yang berbasis agama termasuk seperti partai politik yang mengelola rumah sakit tersebut. Ketika menolong Heri, dia hanya berpikir langkah penyelamatan nyawa manusia. “Saya tidak peduli bang, rumah sakit itu punya partai Islam, yang penting bagi saya bisa selamatkan si Heri. Kasihan sekali dia, sepertinya Heri sudah tidak makan berhari-hari”, cerita Juma.

Masih banyak sebenarnya cerita atau pengalaman menarik, menggerakkan dan inspiratif yang saya dapatkan selama bekerja bersama warga di kantor FAKTA. Cerita dan pengalaman Juma juga termasuk yang membangkitkan serta meneguhkan semangatnya untuk terus mencoba bertahan bekerja sama dengan warga. Di ujung cerita, Juma bertanya pada saya. “Apa selanjutnya yang dapat saya lakukan agar Heri sembuh kembali dari penyakit Maag dan TBC yang sudah parah?” Juma selanjutnya bertanya kepada kepada saya. “Kamu sudah berbuat yang luar biasa dan mengagumkan saya. Kita coba hubungi petugas atau perawat serta dokter yang merawat Heri,” kata saya walau tidak menjawab pertanyaan Juma karena tidak tahu lagi akan harapan hidup Heri. “Juga mari kita ajak beberapa teman lain untuk membantu Heri agar bisa pulang ke kampungnya apabila sembuh,” ajak Juma kepada saya dengan semangat. Padahal setelah beberapa hari kemudian informasinya Heri semakin parah dan sulit untuk tertolong karena beratnya penyakit yang dideritanya.

Sungguh menggugah hati pengalaman Juma tersebut karena saya mengenal dan mengetahui siapa dia sebelum aktif sebagai relawan di FAKTA. Juma adalah seorang anak muda asli Jakarta yang hidup miskin ditinggal meninggal dunia kedua orang tuanya. Sebelum aktif menjadi relawan di FAKTA, Juma sempat ikut menjadi pengedar narkoba karena tidak memiliki pekerjaan dan usaha Lapaknya (penampung barang bekas dari Pemulung) bangkrut Setelah kakak iparnya tertangkap dan dipenjara, Juma berhenti menjadi pengedar dan sudah 3 tahun ini ikut bersama saya menjadi relawan di FAKTA.

Sungguh pengalaman Juma itu menyadarkan dan mempertegas bahwa solidaritas dan kemanusiaan itu tidak banyak bertanya formalitas dan tidak disekat oleh agama, tingkat ekonomi, pendidikan, suku dan bangsa. Pengalaman itu juga mengingatkan pada refleksi saya saat saat saya mendamping para keluarga penderita Kusta pada tahun 1989-1992 di RS Kusta Sitanala Tangerang. Refleksi saya saat itu mengatakan bahwa orang kecil-lah yang lebih punya hati bagi orang kecil. Satu pengalaman saya dapati ketika mengenal serta melihat sosok ibu Sri seorang mantan penderita kusta, perawat di IGD RS Kusta Sitanala saat itu. Setiap kali ada pasien kusta baru, ibu Sri inilah lebih dulu yang membersihkan dan mengobati luka-luka kusta di tubuh pasien. Setelah si pasien bersih diberi obat serta tidak bau amis kusta lagi barulah para perawat lain dan dokter menangani pasien tersebut.

Sebagai seorang mantan penderita kusta saya pernah melihat, betapa ibu Sri cukup sigap dan sepenuh hati menolong penderita kusta yang masuk ke RS Sitanala. Hampir tak ada luka atau lendir atau nanah tersisa, semua diberihkan dan diobati oleh ibu Sri sebelum dikirim ke ruang dokter atau perawatan selanjutnya. “Sebagai mantan penderita kusta saya tahu dan sangat merasakan perasaan si penderita kusta ketika baru masuk RS. Sama seperti yang saya alami ketika pertama kali masuk ke RS Sitanala. Kala itu saya sakit dan malu sekali dengan penyakit yang saya derita. Kusta adalah penyakit yang dicela, dihina dan dianggap kutukan oleh sekitar kita. Rasa terima kasih atas kebaikan Tuhanlah, saya mau mengerjakan pekerjaan ini walau saya digaji kecil dan tidak pernah diangkat menjadi pegawai tetap apalagi menjadi pegawai negeri,” cerita ibu Sri kepada saya sekitar tahun 1990 lalu di Tangerang.

Pengalaman kedua kawan, Juma dan ibu Sri mungkin juga akan mengerakkan pribadi kita ketika melihat orang lain yang perlu ditolong, dibela atau diperjuangkan karena mereka hidup dalam pemiskinan dan penderitaan. Ketika saya dihubungi oleh panitia acara ini, spontan yang ada dibenak saya adalah sosok ibu Maria yang mau merendahkan dirinya, spontan, melayani dan memberikan hidupnya menjadi, seorang ibu biasa dan menerima saja penugasan yang diberikan oleh Allah. Juga jawaban Maria, Aku ini hamba Tuhan, Jadilah padaku menurut perkataanMu (Bdk Luk 1: 38), ketika dia disapa oleh Allah, tidak menolak, justru menjawab terjadilah padaku apa yang menjadi kehendakNya. Jawaban luar biasa.

Kerendahan hati yang luar biasa dahsyatnya, ibu Maria mengetahui benar apa yang akan menimpa dan mencabik-cabik dirinya apabila menerima bapak Yoseph sebagai suami dan Yesus sebagai Putranya. Sebagai ibu yang mengandung serta melahirkanYesus, ibu Maria kemudian harus relakan Putranya Yesus disiksa dan disalib serta dibunuh di depan matanya sendiri. Luar biasa dahsyatnya kerendahan hati ibu Maria. Bisa dibayangkan, jika kita berada pada posisi ibu Maria sekarang ini. Sementara sekeliling dipenuhi tawaran materi, kebanggaan pribadi dan kenikmatan dunia. Mana mungkin kita mau relakan anak satu-satunya diambil, disiksa dan dibunuh orang lain? Mungkin jika ada ibu atau bapak seperti ini bisa jadi dikatakan orang tua yang kurang waras.

Melalui pengalaman kedua kawan, Juma dan ibu Sri, mereka sebagai manusia biasa walau miskin tetap bersedia membantu orang lain yang sama-sama mislin dan lemah, tanpa banyak bertanya formalitas atau administratif. Begitu pula pengalaman ibu Maria sendiri yang tidak banyak bertanya atau menawar kemungkinan ketika diminta menjadi ibu Yesus. Semangat kerendahan hati atau mau merendahkan hati sebagaimana dijalankan serta dihidupi ibu Maria ternyata telah menembus kemanusiaan biasa dirinya sehingga dia pantas menjadi santa dan ibu Yesus. Ibu Maria telah keluar dari kediriannya dan melepaskan kemauan badan agar penyelematan manusia bisa terjadi.

Begitu pula semangat kedua rekan saya, Juma dan ibu Sri telah menunjukkan dan mengungkapkan bahwa memang orang kecil yang lebih punya hati untuk orang kecil itu sendiri. Sebagai orang kecil kedua teman itu sadar betul bahwa yang dialami oleh teman-teman senasib seperti mereka, membutuhkan bantuan agar bisa terselamatkan. Baik pengalaman Juma dan ibu Sri di atas menunjukkan juga bahwa saat ini manusia sebagai citra Allah telah dirusak dan dibiarkan hancur martabat kemanusiaannya. Manusia sebagai citra Allah telah dihancurkan oleh kebijakan-kebijakan atau sikap-sikap pemerintah yang tidak berpihak dan tidak menghormati rakyatnya sebagai citra Allah. Ibu Maria sebagai teladan menunjukkan pada kita bahwa berpihak pada yang lemah, miskin dan menderita tidak cukup hanya dengan berkata kasihan, memberi uang atau baju bekas. Maria menunjukkan bahwa dia memberikan dirinya dan hidupnya bagi penyelamatan serta agenda pembebasan Tuhan Allah dengan menjadi ibu Yesus.

Kondisi rusaknya wajah Allah dialami rakyat sebagai korban pemiskinan, penindasan dan penggusuran yang sering terjadi di depan mata kita. Pengalaman korban ini seharusnya menggerakkan semangat kita untuk berkorban dan berjuang bersama para korban itu sendiri. Sebagai bagian dari rakyat yang menanti perubahan dan kesempatan bangkit dari kemiskinan dan keterpurukan tentunya kita yang berkesempatan lebih baik akan lebih mampu memimpin gerakannya. Sadar betul, bangsa ini sedang sakit dan tidak memiliki pemerintah yang peduli dengan rakyatnya yang menderita, kelaparan dan miskin, apakah kita sanggup dan tega diam saja? Atau bisakah kita hanya hidup secara ekslusif untuk diri dan kelompok kita semata? Sementara di depan mata kita banyak sesama yang mati kelaparan, mati kedinginan, tidak bisa sekolah atau rumahnya digusur, kita hanya diam dan tenang bisa makan serta berdoa sendirian?

Semangat dan kemauan merubah penghancuran martabat manusia semoga menjadi semangat perubahan yang bisa kita dalami dari kesetiaan dan kerendahan ibu Maria. Sebagai seorang pribadi, ibu Maria telah relah memilih jalan Allah dan “menjadi miskin dan lemah” seperti manusia lainnya sehingga bisa merasakan penderitaan si miskin dan lemah agar bisa ikut dalam rencana Allah. Bersikap dan menghayati seperti orang miskin dan lemah memungkin kita merasakan serta akan peduli dengan penderitaan sesama yang miskin, lemah tertindas di sekitar kita. Semoga. Amin



Jakarta, 20 Oktober 2008
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) dan seorang Advokat Publik bagi Warga Miskin di Jakarta, tinggal di Jakarta. Email: azastigor@yahoo.com , http://www.azastigornainggolan.blogspot.com/, Kontak:0815 9977041

Tidak ada komentar: