Alboin Sitorus dan "Anak Nanimiahan"
Tulisan : Suhunan Situmorang, awal April 2009
SAMA sekali aku tak mengenal dirinya. Peristiwa yang menimpanya pun aku tahu dari sebuah koran langganan pada pagi dua hari lalu. Lelaki 43 tahun itu, diberitakan meninggal dunia saat mengemudi bus Transjakarta di lintasan Jalan Sudirman. Ia tiba-tiba terduduk lemas saat menyetir dan bus yang dikemudikannya sempat oleng ke kiri dan kanan jalan—membuat puluhan penumpang keheranan dan cemas. Diduga kuat, tiba-tiba ia diserang penyakit jantung.
Kematiannya itu, walau tak seorang pun yang menyangka dan tentu saja telah menyebabkan duka yang amat dalam bagi orang-orang terdekatnya, termasuk kematian yang "normal" sebetulnya. Kebetulan saja terjadi pada seorang pengendara kendaraan umum di jalan raya utama Jakarta yang pagi itu telah disesaki berbagai jenis kendaraan dan manusia pekerja.
Kemungkinan besar, ia memiliki istri dan anak. Tapi, mungkin pula tak. Bisa jadi pula, ayah-ibunya masih ada, entah di mana. Yang dikutip media, hanya suara seorang abang kandungnya di RS Cikini: almarhum Alboin Sitorus, sopir bus yang wafat saat bertugas itu, sebelumnya tak pernah mengeluh atau diketahui mengidap gangguan jantung.
Aku mendesahkan nafas panjang seusai membaca, lalu berpindah ke judul-judul berita lain. Alboin, ternyata, terus mengikuti pikiranku. Coba kualihkan dengan melihat judul berita terdepan sebuah koran lain yang kubeli di persimpangan jalan saat mengantar anak sulungku ke sekolah, dan kemudian berpindah ke halaman dalam.
Ditulis koran itu, Presiden SBY menyesalkan sikap seorang anggota DPR yang juga caleg Partai Demokrat karena tak memenuhi panggilan KPK. Keterangan sang caleg diperlukan KPK untuk membongkar siapa saja pihak yang terlibat kasus korupsi untuk pembangunan infrastruktur perhubungan di wilayah Indonesia Timur—di mana dua pelakunya telah ditangkap petugas KPK (juga) di sisi Jalan Sudirman saat transaksi.
Anggota DPR bernisial JAM yang tengah disorot itu, aku kenal betul. Ia teman sekampung, bahkan sempat satu SD denganku di Pangururan. Memang, di antara puluhan teman dekat asal Pangururan yang kini tersebar di berbagai wilayah, ia tak termasuk. Terakhir kami jumpa dan cuma saling melempar senyum pada akhir Desember 2001, tatkala jalan raya menuju lokasi wisata Aek Rangat Pangururan mendadak macet disebabkan membludaknya pengunjung. Kendaraan kami masing-masing terjebak dan akhirnya sama-sama turun mengatur lalu-lintas yang cukup mendebarkan karena sisi jalan yang sempit bersisian dengan Danau Toba—yang bila terpeleset sedikit akan berguling belasan meter ke bawah.
***
ALBOIN dan JAM, tentulah sama-sama pekerja keras di Jakarta, walau derajat profesi mereka berbeda bagai bumi dan langit. Juga sama-sama andalan keluarga mereka, dengan porsi dan ekspektasi yang tak sama. Yang satu harus lebih keras berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat marjinal, sementara yang satu lagi gigih bergiat untuk menambah pundi-pundi keuangan yang tentulah sudah banyak. Alboin (dan keluarganya) hanya bisa mengagumi kemilau Jakarta dari pinggiran, sementara JAM (serta keluarganya) sudah terbiasa ”dinner” di hotel bintang lima dan belanja di mall-mall mahal.
Sebagai manusia-manusia Batak diaspora, semangat dan impian mereka, pastilah tak jauh beda. Jakarta harus ditaklukkan dengan segala upaya, keberhasilan mesti direngkuh untuk kehidupan yang lebih indah. Perantauan ke tanah Jawa, bukanlah sekadar penggantian bumi pijakan. Ada harapan besar yang terus dibangun, ada sejumlah impian yang terus mengembang.
Tapi, nasib seseorang, tak seorangpun yang bisa menentukan. Alboin dan JAM yang merantau dengan bekal doa yang sama banyak, juga semangat dan harap yang pastilah sama besar, akhirnya berselisih jalan hidup. Alboin tertatih-tatih menelusuri jalan yang penuh rintangan, JAM melangkah mulus di jalan yang cuma berkerikil. Setamat kuliah di IPB Bogor, JAM menjadi dokter hewan dan kemudian meniti karir di KB Ragunan (jabatan terakhir: direktur). Ia terjun ke politik setelah era reformasi membuka kemudahan bagi siapa saja menjadi penggiat partai di negeri ini. Sejak 2004, namanya tercatat sebagai anggota legislator dan akses ke pusaran kekuasaan pun menjadi mudah ia terobos—apalagi partai pilihannya mampu melahirkan seorang eks menteri menjadi Presiden RI.
JAM termasuk cerdik dan ditopang peruntungan. Begitu banyak sarjana di negeri ini, begitu banyak pula yang telah menghabiskan ratusan juta dan bahkan milyar rupiah untuk menjadi legislator, tapi tak berhasil. Aku bahkan mengetahui seorang praktisi hukum yang sebelumnya kaya raya namun akhirnya merana setelah tak terpilih jadi anggota DPR, sementara uangnya sudah banyak ludas untuk membangun karir politiknya di sebuah parpol yang tengah naik daun.
Nasib dan peruntungan seseorang, memang begitu misterius. Putra-putri dan cucu-cucu Soeharto, misalnya, tak perlu berlelah-lelah, nyatanya bisa menjadi orang-orang super kaya di negara ini. Para pemulung di Bantar Gebang pastilah sering memimpikan kehidupan lain yang terjauh dari sergapan bau sengit ribuan ton sampah yang menyesakkan dada namun tiap hari harus terus mengais-ngais sampah demi sepiring nasi, dan hingga umur mereka berujung pun tetap berkutat di situ.
***
ORANG Batak mengenal istilah ”anak nanimiahan” atau yang dilimpahi berkat (harta dan kuasa), sementara orang-orang yang sepanjang hidupnya terkurung nestapa kemiskinan—padahal sudah bekerja keras siang malam—hanya bisa mempertahankan angan-angan dan kadang sudah dilupakan orang-orang di sekitar mereka sebab dianggap ”bukan siapa-siapa.”
Memang, kecuali Tuhan, siapapun tak kuasa mengetahui nasib seseorang secara akurat, sehingga tak ada jaminan bahwa atas tindakan-tindakan yang telah dan atau ditempuh seseorang, ia akan terpilih menjadi ”anak nanimiahan.” Kehidupan dan nasib seseorang, terlalu pekat diselubungi kabut ketidaktahuan—dan karena itulah kehidupan yang paling susah pun masih tetap menyisakan gairah dan harapan.
Sayangnya, untuk menjadi ”nanimiahan” dan menggapai puja-puji itu, orang-orang jadi kerap mengabaikan makna kehidupan dan keberartian diri, kemudian tergoda melakukan apa saja untuk mempertahankan yang sudah diraih atau hendak dicapai. Orang-orang pun kian tak peduli lagi menyoal dari manakah sumber kemakmuran seseorang dan seakan-akan yang terutama adalah: seberapa besar keberhasilannya, yang ironisnya lebih menitikberatkan timbangan atas kepemilikan materi atau jabatan daripada cara atau perjuangannya untuk mendapatkan.
Siapapun tak bisa menafikan pentingnya harta dan kuasa. Tapi, akan sangat mengerikan akibatnya bila untuk mendapatkan keduanya kita sudi melakukan apa saja dan mengamini segala cara—termasuk perbuatan yang paling nista. Siapapun ia taklah mungkin menyangkal perlunya uang dan materi, bahkan seorang pertapa pun masih tetap butuh dana untuk membeli keperluan tapa semisal dupa dan wewangian.
***
DI jalan yang berbeda dan nasib yang tak sama, Alboin dan JAM sudah berusaha keras untuk menggapai impian dan ambisi mereka. Alboin, memang masih terus berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan primer diri atau keluarganya, sebagaimana perjuangan puluhan juta orang seperti dirinya; sementara JAM telah melambung tinggi dan tiba di lingkaran kaum elite yang hanya nol koma sekian persen dari keseluruhan penduduk Indonesia.
Tapi Alboin, betapapun mungkin memiliki kepribadian yang baik dan selama hidupnya berupaya melakukan perbuatan yang terpuji, pastilah belum pernah mendapat julukan ”anak nanimiahan” itu. Ia pun mungkin jarang diharapkan kedatangannya dalam hajatan-hajatan adat dan marga dan termasuk orang-orang yang dilupakan.
Begitupun, ketika kabar kematiannya saat menjalankan tugas mengemudi bus Transjakarta dimuat koran-koran Jakarta, ada yang langsung membekas di pikiranku: ia mati secara terhormat. Telah ia antar dan jemput ribuan atau puluhan ribu orang Jakarta mencari nafkah, di tengah kelelahan, tuntutan pemenuhan nafkah, dan sejumlah pikiran yang membebaninya. Meski ”cuma” sopir buskota, aku mengagumi dirinya.
Karenanya, bagiku, ia pun layak mendapat julukan ”anak nanimiahan” itu, sebab telah terpilih sebagai pengemudi bus Transjakarta yang seleksinya terbilang ketat, sudah menjalankan pekerjaannya dengan profesional, dan setidaknya, hingga hayatnya berakhir, tak ikut mengisi halaman media-media cetak Jakarta dengan perbuatan yang memalukan orang Batak.
Aku turut berduka atas kepergiannya, sebagaimana orang-orang yang amat mengasihinya.***
Minggu, April 05, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar