Menjadikan Parkir untuk Mengelola Kebutuhan Transportasi
Oleh: Azas Tigor Nainggolan
Masalah pengelolaan parkir di Jakarta terus saja menuai kritik warga. Ada saja masalahnya, mulai dari kenyamanan, prinsip parkir hingga pada pengelolaan keuangan. Kritik warga itu beralasan, di depan mata dapat dilihat bahwa mengelola parkir tidak akan rugi. Tetapi pihak pengelola parkir, Badan Peneglola Perparkiran Jakarta (BP Parkir) setiap tahun berteriak rugi dalam mengelola parkir on street di Jakarta. “Ah mana mungkin rugi. Lihat saja tempat parkir di jalan-jalan terus penuh 24 jam. Kok teriak rugi?”, ungkap seorang warga Jakarta saat diminta pendapatnya tentang pengelolaan parkir di Jakarta. Sejak bulan Pebruari lalu pengelolaan parkir on street di Jakarta dialihkan dari Badan Pengelola Perparkiran Jakarta (BP Parkir) kepada Unit Pelayanan Tehnis Perparkiran (UPT Parkir). Saat di bawah BP Parkir pertanggung jawabannya langsung kepada Gubernur dan sekarang pengelolaannya diberikan kepada UPT Parkir di bawah pengelolaan Dinas Perhubungan Pemprov Jakarta. Perpindahan pengelolaan parkir ini di bawah UPT Parkir menjadikan jalan panjang pengelolaan parkir di Jakarta. Jauh sebelum pada masa penjajahan Belanda dulu di Jakarta telah ada pengelolaan parkir yang namanya Jaga Oto. Masa itu pengelolaan parkir lahir dan tumbuh secara swadaya dari warga lokal dan dikelola secara premanisme.
Pengelolaan secara premanisme itu dilakukan di bawah kekuasaan para Jawara yang merupakan orang kuat lokal hingga sekitar tahun 1950an. Para juru parkir (Jukir) dipaksa menyetor sejumlah uang tertentu sesuai kemauan para jawara. Penghitungamn setoran tersebut tidak memiliki sistem penghitungan tertentu tetapi hanya didasarkan penglihatan si jawara atas ramai atau tidaknya kendaraan yang parkir ketika itu setiap harinya. Mulai pada tahun 1955-1968 pengelolaan mulai diatur karena melihat potensi pendapatannya maka parkir dikelola oleh Dinas PU Propinsi DKI Jakarta. Penataan pengelolaan yang berdasarkan potensi pendapatan itu berjalan terus hingga akhirnya di bawah BP Parkir. Sejak tahun 1979 dibentuk Badan Pengelolaan Perparkiran (BP Perparkiran) berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi DKI Jakarta Nomor 531 Tahun 1979 tentang Penetapan Badan Pengelola Perparkiran Pemerintah DKI Jakarta serta Susunan dan Tatakerjanya.
Pengelolaan parkir tersebutr akhirnya dipindahkan lagi dan tidak bertanggung jawab pada Gubenur tetapi pada Kepala Dinas Perhubungan dengan UPT Parkir sejak bulan Pebrurari 2008 lalu. Perpindahan ke bawah Dinas Perhubungan ini sebenarnya menandakan Pemprov Jakarta ingin pengelolaan parkir tidak hanya melihat potensi pendapatan semata tetapi juga sebagai bagian dari sistem transportasi. Rekomendasi penelitian parkir on street oleh Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) meminta agar pengelolaan parkir dipindahkan menjadi di bawah Dinas Perhubungan. Pemindahan ini diusulkan agar pengelolaan parkir tidak hanya untuk mendapatkan pemasukan anggaran saja tetapi juga bagian sistem transportasi.
Dalam rekomendasi itu juga dikatakan agar tujuannya tercapai maka pemindahan terlebih dahukan dengan pembicaraan bersama para kelompok atau instansi berkepentingan dengan pengelolaan parkir. Tidak seperti sekarang, Dinas Perhubungan sebagai pengelola dan membawahi UPT Parkir tidak pernah sekalipiun meminta ayau mengajak publik yang berkepentingan dengan pengelolaan parkir bicara. Sebenarnya hingga saat Paradigma pengelolaan parkir yang berkembang adalah pertama sebagai bagian dari sistem transportasi yakni untuk kepentingan mengelola kebutuhan tarnsportasi (Transport Demand Management atau TDM). Kedua sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) bisa dikombinasikan untuk pengelolaan kebutuhan transportasi transportasi (TDM). Ketiga adalah sebagai bagian dari management sistem public service yakni hanya menginginkan management fee saja bukan untuk cari untung.
Melihat perjalanan pengelolaan parkir yang ada hingga saat ini hanya bergerak pada satu sisi pemikiran yakni mengenjot pendapatan bagi kas daerah semata. Dilihat dari potensinya memang sebenarnya sektor perparkiran di Jakarta seharusnya dapat memberi kontribusi yang signifikan bagi sisi penerimaan di APBD Propinsi DKI Jakarta. Tetapi yang terjadi justru sektor ini tidak memberi kontribusi sama sekali. Bahkan dalam beberapa tahun terus menerus membebani APBD itu sendiri dari sisi belanja rutinnya. Lihat saja pendapatannya dari tahun 1999 hingga 2008 pengelolaan parkir on street terus ditomboki oleh ABPD setidaknya Rp 1 milyar hingga 4 milyar setiap tahun. Begitu pula dari pendapat restribusinya pendapatan pengelolaan parkir on street tidak pernah mencapai angka yang ditargetkan sendiri oleh pengelolanya. Melihat ditombokinya terus menerus pengelolaan parkir on street ini menunjukkan ada kerja yang yang tidak beres dan tidak sehat. Padahal dari sisi potensi dan peluangnya sebenarnya bisa memberi pendapatan yang besar bagi APBD.
Anggaran Pendapatan Restribusi dan Belanja Parkir Jakarta
Tahun Anggaran Retribusi Belanja Selisih
Target Realisasi Target Realisasi
1999/2000 7,578 5,566 10,760 9,853 - 4,623
2000 16,000 10,011 9,223 8,884 1,213
2001 14,000 14,106 13,798 11,875 2,244
2002 32,000 14,765 25,600 17,517 - 2,729
2003 32,000 15,464 20,000 15,797 - 329
2004 15,000 14,155 16,307 15,089 - 933
2005 20,000 14,4 17,708 - -
2006 20,5 14
2007 45,79 14
2008 20 18
Forum Warga Kota Jakarta (Fakta): dilolah dari berbagai sumber
Jika pengelolaan pendapatan saja sudah tidak beres, bagaimana dengan sisi parkir sebagai bagian sistem transportasi, yakni untuk mengelola kebutuhan kebutuhan transportasi (MKT)? Studi parkir yang telah penulis lakukan terhadap sejarah pengelolaan parkir Jakarta hingga saat ini belum pernah menempatkan visi pengelolaan parkir sebagai bagian dari sistem transportasi. Pengelolaan parkir sejak Jakarta tempo dulu sekitar tahun 1950an hingga sekarang dibawah sebuah institusi pengelolaan pemerintah daerah hanya terfokus pada sektor pendapatan atau restribusi saja. Terpakunya pada satu model pemikiran pendapatan itu terlihat dari perjalanan perubahan pengelolaan parkir yang hanya berdasarkan peningkatan pendapatan yang tidak pernah tercapai.
Perkembangan pemikiran mulai ada ketika pengelolaan parkir di bawah BP Parkir pada pada bulan Pebruari 2008 lalu di pindahkan menjadi Unit Pelayanan Tehnis (UPT) Perparkiran di bawah Dinas Perhubungan. Pemindahan yang dilakukan oleh gubernur menunjukkan adanya perubahan paradigma dalam pengelolaan parkir on street sebagai sumber pendapatan daerah dan bagian dari sistem transportasi. Sayangnya maksud dan pemikiran langkah gubernur tersebut tidak ditangkap baik oleh pejabat Dinas Perhubungan dan Kepala UPT Perparkiran yang sekarang. Para pejabat yang Dinas Perhubungan masih belum menyadari atau mungkin tidak menangkap maksud dan pemikiran gubernur agar parkir tidak hanya dikelola untuk pendapatan kas daerah tetapi juga sebagai bagian sistem transportasi. Pengelolaan parkir di bawah UPT Perpakiran yang sudah hampir setahun masih berkutat dan tidak jelas pendapatannya. Jangankan diharapkan bisa mendukung sistem transportasi, menghasilkan saja tidak dan selalu berteriak rugi.
Apabila memang mau menempatkan parkir sebagai bagian dari sistem transport maka pengelolaanya harus merupakan jawaban dari persoalan yang ada. Persoalan yang saat ini adalah untuk melakukan pengaturan sistem mengelola kebutuhan transportasi (MKT). Kebutuhan mengelola transportasi dalam hal bukanlah untuk mendapatkan uang dari pilihan solusi persoalannya yakni kemacetan karena penggunaan mobil pribadi yang berlebihan. Pengelolaan parkir yang benar seharusnya bisa untuk keduanya, yakni sebagai sumber pendapatkan kas daerah dan terutama juga untuk mengelola kebutuhan transportasi (TDM). Sebuah sistem TDM bertujuan untuk untuk menjawab soal kemacetan dan mengurangi penggunaan mobil pribadi. Sebenarnya banyak cara atau tindakan pilihan lain yang merupakan turunan dari TDM, misalnya saja adalah Road Pricing. Penerapan pembayaran pada jalan-jalan tertentu (Road Pricing) ini juga dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan atau masuknya mobil pribadi pada jalan tertentu yang seringkali macet.
Biasanya negara-negara atau kota-kota besar yang awalnya memiliki masalah dengan kemacetan akut (berat) seperti Jakarta memulai sistem TDMnya dengan pengaturan pembatasan ruang parkir bagi kendaraan bermotor pribadi seperti mobil pribadi. Setelah kebijakan TDM melalui penegakan kebijakan parkir ini berjalan kemudian dilanjutkan secara bersama dengan kebijakan Road Pricing. Perbaikan kebijakan parkir yang dilakukan adalah dengan membatasi ruang untuk parkir serta menerapkan tarif parkir mahal bagi mobil pribadi. Penerapan perbaikan aturan parkir ini sering dipilih untuk dilakukan pada tahap awal kebijakan TDM karena:
1. Lebih mudah dan murah untuk dijalankan dibandingkan dengan bentuk TDM lainnya.
2. Akan mendapatkan dukungan lebih banyak pihak yang merupakan pengguna angkutan umum.
3. Lebih memungkinkan dan cepat terwujud hasilnya
4. Lebih dipahami dan mudah ditangkap maksudnya oleh publik
5. Memiliki dampak positif bagi persoalan lain seperti tata ruang, keindahan kota, pencemaran udara dan ekonomi
Sementara itu jika pilihanya pada Road Pricing maka dibutuhkan anggaran yang lumayan besar untuk membangun infrastrukturnya. Memulai dengan perbaikan sistem parkir tidak perlu banyak kerepotan, hanya sosialisasi dan mengurangi ruang serta infrastrukturnya sudah ada.
Pilihan atau hasil cepat inilah yang perlu dilakukan untuk kota Jakarta, kemacetan sudah masuk pada fase parah dan ketegasan. Diperlukan kemauan pemerintah kota Jakarta untuk mau memakai strategi sedikit menekan dan memaksa kesadaran baru para pengguna mobil pribadi agar mau meninggalkan mobilnya di rumah dan beralih pada angkutan umum. Begitu pula aparat pemerintah daerah khususnya Dinas Perhubungan perlu belajar betul mengenai maksud gubernur memindahkan pengelolaan parkir menjadi unit dibawahnya yakni UPT Perparkiran Jakarta. Pemahaman yang benar itu dibutuhkan agar pengelolaan parkir bukan lagi untuk memanjakan para pemakai mobil pribadi. Tidak ada lagi program pengelolaan parkir bonus seperti yang diluncurkan pada awal Pebruari lalu yakni parkir lima kali mendapat bonus parkir gratis satu kali. Tidak lagi membuat aturan baru atau lokasi parkir on street baru seperti yang sekarang ini marak dilakukanoleh Dinas Perhubungan dan UPT Perparkiran.
Begitu pula perlu dibangun kesadaran baru pengguna jalan bahwa kota ini dibangun untuk membuat jalan raya sebanyak-banyak. Membangu jalan untuk mengatasi kemacetan adalah salah besar dan tidak manusiawi. Kota ini dibangun untuk wrganya, untuk manusia agar warganya bisa hiudp secara mansuiawi. Penggunaan mobil pribadi bukanlah sebuah hak dasar melainkan hanya sebuah kebutuhan yang tidak mematikan. Tanpa menggunakan mobil pribadi bukan berarti warga meninggal dunia karena masih ada pilihan lain. Kota ini akan sangat melanggar hak dasar warganya apabila mendahulukan pembangunan jalan sementara warganya tidak memiliki rumah, banyak yang belum bisa makan layak dan pelayanan publik yang kurang.
Jakarta, 12 Maret 2009
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) dan seorang Advokat Publik bagi Warga Miskin di Jakarta, tinggal di Jakarta. Kontak: 08159977041, email: azastigor@yahoo.com
Kamis, April 02, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar