Minggu, Oktober 11, 2009

Jakarta Untuk Semua

Oleh: Azas Tigor Nainggolan



Lebaran tinggal beberapa hari lagi. Arus mudik sudah berlangsung. Kota Jakarta mulai ditinggal oleh penghuninya, para kaum urban (miskin) untuk berlebaran di kampung halaman. Begitulah ritme tahunan kota Jakarta. Setelah berjuang sepanjang tahun, saatnya kembali berkumpul dan berdoa lebaran, mensyukuri seluruh berkat bersama keluarga. Kehadiran dan perjuangan kaum urban miskin ini bukti bahwa kota Jakarta hidup dari mereka. Jakarta tidak bisa memusuhi apalagi menutup diri dari kaum urban, kota Jakarta hidup dan dihidupi oleh kaum urban (miskin).

Coba saja (mungkin mau mencoba) Jakarta menutup diri dan melarang kaum urban (miskin) masuk. Jakarta akan serasa berlebaran terus ... sepi ... lengang ... tak hidup, menjadi kota mati. Realitas hidup kaum urban miskin terus mengajak Jakarta untuk menata diri, tidak melulu mengusur dan menangkapi kaum miskin. Jalan doa terbaik baik bagi Jakarta adalah mengelola kaum urban (miskin) yg menghidupinya sebagai potensi dan sumber hidup.

Ada kebiasaan buruk dan itu sebuah pelanggaran Hak Asasi yang sering dilakukan oleh pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta pada masa-masa mudik lebaran. Saat mudik lebaran, kota Jakarta mulai sepi. Kaum urban miskin meninggalkan rumahnya di kolong jembatan atau di pinggir sungai dan gerobak tempat berjualannya akan dibongkar paksa atau dibakar petugas Trantib. Pembongkaran dan pembakaran paksa itu dilakukan dengan alasan untuk mebersihkan dan menertibkan kota Jakarta. Begitu pula saat arus balik setelah lebaran tiba, aparat pemprov akan melakukan operasi yustisi untuk melarang kaum miskin kembali ke Jakarta. Alasan yang digunakan dalam operasi yustisi adalah operasi KTP untuk mencegah warga kota lain masuk ke Jakarta.

Sebagai warga kota Jakarta tentu akan senang sekali kota tertib dan indah. Tetapi mengapa yang dijadikan sasaran penertiban atau penggusuran untuk memperindah Jakarta selalu adalah kaum miskinnya? Apakah memang kaum miskin itu selalu menjadi masalah Jakarta jadi tidak tertib dan tidak indah? Bukankah kaum miskin dan waga lainnya yang kebetulan berduit dan berjabatan adalah sama-sama manusia. Diciptakan sama tanpa perbedaan hakiki. Mengapa pada perjalanan berikutnya jadi ada pembedaan dan cap negatif (stigma) hanya pada kaum msikin saja di kota ini?

Tidak menjadikan kaum miskin sebagai musuh dan masalah kota ... tapi adalah sebagai hidup kota dan Jakarta harus berpihak untuk semua warganya. Adalah hak setiap warga negara Indonesia untuk datang dan hidup di seluruh wilayah negaranya, termasuk di Jakarta. Kebiasaan menggusur, menangkapi dan memusuhi dan melarang kaum miskin hidup di Jakarta adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kebiasaan mengancam dan menutup kota Jakarta dari kedatangan warga kota lain (kaum urban-miskin) juga adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Membongkar dan membakar tempat usaha para pedagang Kaki lima (PKL) atau tempat tinggal kaum urban miskin saat sedang mudik berlebaran adalah pelanggaran Hak Asasi Mansuia. Jadi tindakan menggusur dan membakar tempat usaha PKL setiap masa mudik lebaran setiap tahun itu harus dihentikan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) harus bisa menghentikan semua tindakan yang melanggar HAM di negeri ini, termasuk juga tindakan yang memusuhi, menilai begatif, menggusur, membakar kehidupan kaum urban miskin kota Jakarta oleh pemerintah kotanya.

Jika tindakan pelanggaran Hak Asasi ini masih berlangsung saat mudik lebaran nanti maka Komnas HAM patut dipertanyakan eksistensinya. Atau dapat dikatakan Komnas HAM tidak berguna dan tak ada gunanya untuk warga negara Indonesia. Memang kedengarannya sinis tapi memang begitulah seharusnya. Komnas HAM dibentuk dan dibiayai oleh uang warga .. rakyat Indonesia, sudah selayaknya dan seharusnya bekerja sekuat tenaga untuk melindungi Hak Asasi semua warga negara termasuk warga Jakarta. Apa lagi kejadian membongkar dan membakar saat musim mudik lebaran itu terjadi setiap tahun dan di depan mata atau di depan kantor Komnas HAM sendiri, di Jakarta. Komnas HAM tidak bisa berkata tapi atau membuat alasan untuk lari dari tanggung jawab ini. Hak Asasi adalah satu, tidak boleh ditawar-tawar. Hak Asasi adalah kehidupan yang diberikan Sang Pencipta untuk kemuliaan manusia ciptaanNya, jadi bersifat universal dan melekat di seluruh manusia.

Mari bangun dan jadikan negara ini sunguh-sungguh menghormati hak-hak warga negaranya. Juga mari jadikan kota Jakarta kota yang menghormati hak setiap warganya. Jadikan moment lebaran ini sebagai kesempatan Jakarta berubah. Tidak lagi menjadikan Jakarta kota yang memusuhi, menggusur dan menolak warganya yang miskin. Lebaran adalah doa dan kesempatan membangun komimen perubahan. Saatnya di lebaran ini Jakarta membangun komitmen baru yakni berpihak pada warganya yang miskin dan tertindas. Jadikan lebaran sebagai kesempatan membangun niat suci, Jakarta untuk semua. Misi kita adalah membantu dan menghormati hak-hak semua orang terutama hak-hak saudara kita yang miskin dan selama ini selalu ditindas serta dilupakan. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.



Jakarta, 17 Sepetmber 2009
Azas Tigor Nainggolan
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Advokat Publik untuk warga miskin di Jakarta dan tinggal di Jakarta. Kontak email: azastigor@yahoo.com, telepon: 08159977041

Sabtu, September 12, 2009

Minusnya Kemauan Pemprov Jakarta Menegakan Aturan Kawasan Dilarang Merokok

Oleh: Azas Tigor Nainggolan



Kota Jakarta sudah terlanjur parah persoalan polusi udaranya. Baik itu polusi di luar ruangan (out door) maupun di dalam ruangan (in door) agar warga Jakarta terlindung haknya untuk mendapatkan hak atas udara yang bersih. Tanpa udara yang bersih setiap orang tidak akan hidup sehat dan tidak dapat berkembang secara wajar. Persoalan pencemaran inilah yang melatar-belakangi pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No: 5 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara (PPU). Secara khusus juga untuk mengendalikan pencemaran udara di dalam ruang akibat asap rokok Pemprov Jakarta mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) nomor: 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Dilarang Merokok. Pergub ini dikeluarkan sebagai aturan pelaksana atas Perda Nomor: 5 Tahun 2005. Diharapkan melalui penerapan atau penegakan Pergub Kawasan Dilarang Merokok (KDM) ini warga Jakarta bisa terlindungi haknya agar mendapatkan hak atas udara yang bersih di dalam ruang publik.

Seperti kita ketahui bahwa asap rokok bukan saja mengganggu perokoknya saja tetapi orang-orang yang saat itu berada disekitar perokok (perokok pasif) saat merokok. Untuk itulah secara khusus di dalam Perda No: 5 tentang PPU dan Pergub No: 75 tentang KDM mengatur dan melindungi orang agar tidak menjadi perokok pasif ketika di tempat atau di ruang publik. Baik Perda No: 5 dan Pergub KDM mengatur bahwa ada 7 kawasan dilarang merokok yakni Di tempat pelayanan kesehatan, tempat belajar mengajar, tempat ibadah, tempat bermain anak, angkutan umum, tempat bekerja dan tempat umum. Diatur pula bahwa di 5 tempat pertama di atas pihak pengelola tempat atau ruang umum tidak diwajibkan menyediakan tempat merokok. Sedangkan di tempat umum dan tempat bekerja diatur bahwa pngelola kawasannya diwajibkan menyediakan tempat merokok.

Kedua aturan tentang kawasan dilarang merokok ini sudah sekitar 4 tahun usianya tetapi belum juga diberlakukan atau ditegakkan secara benar. Lihat saja di sekitar kita tetap dan terus saja semua orang bebas merokok. Para perokok tidak peduli dengan kepentingan orang di sekitarnya. Para perokok tidak peduli mencemari udara penuh dengan racun rokok. Mereka juga tidak peduli bahwa ada aturan yang membatasi agar para perokok tidak merokok di sembarang tempat. Memang buruk sekali nasib si perokok pasif, sakit, terganggu dan terus belum dilindungi. Kondisi seperti ini tentunya tidak boleh dibiarkan. Penegakan aturan untuk melindungi si perokok pasif, atau yang dikenal dengan aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), atau smoke free area harus dilindungi. Padahal regulasi, ketentuan tentang KTR atau KDM selain di akomodir atau diatur dalam Perda No: 5 dan Pergub No: 75 tahun 2005 juga telah diakomodasi oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan (Pasal 22-25). Peraturan dalam PP No: 19 ini menegaskan bahwa tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok (Pasal 22). Untuk mewujudkan kepentingan itu maka pasal 25 PP No: 19 ini juga menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib mewujudkan kawasan tanpa rokok, di daerahnya masingh-masing.

Sebenarnya kota Jakarta adalah kota atau daerah yang pertama kali mengatur tentang ketentuan KTR atau KDM melalui Perdanya No. 5 Tahun 2005 tentang PPU dan Perda No: 75 tahun 2005 tentang KDM. Tetapi dalam perjalanannya, keseriusan Pemprov DKI Jakarta untuk menegakan aturan KTR, perlu dipertanyakan. Beberapa hasil penelitian yang pernah kami dari Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) lakukan menunjukkan hasil bahwa penegakan aturan KTR atau KDM nyaris tak tidak perubahan. Berbagai ruang atau tempat publik yang merupakan KDM tetap saja para perokok bebas merokok. Hasil penelitian kami pada tahun 2006 mendapatkan 50% dari 60 mal yang disurvei masih melanggar KDM. Begitu pula pada tahun 2008 kami mendapat dalam penelitian bahwa 130 kantor Pemerintah di Jakarta (baik kantor pemerintah nasional maupun kantor Pemprov Jakarta) masih melanggar KDM. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa pelanggaran tertinggi (74%) justru dilakukan oleh pegawai negeri sipil (PNS) dari kantor-kantor itu.

Begitu pula dengan kawasan lain yang masuk dalam KDM masih terus terjadi pelanggaran. Entah itu pelanggaran yang dilakukan oleh perokoknya atau juga pihak pengelola kawasan yang tidak melakukan penegakan aturan KDM. Lihat saja di tempat belajar mengajar masih banyak orang bahkan gurunya merokok di dalam kawasan tersebut. Coba juga kita berkunjung ke ITC Kuningan Jakarta Selatan dan naik ke lantai tiganya. Semua ruangan dipenuhi perokok dan asap rokok. Tidak ada upaya dari pengelolanya untuk melarang dan menegakan aturan mal sebagai KDM. Juga di dalam kendaraan umum, para sopirnya bebas dan seenaknya merokok walau penumpangnya sudah menutup hidung serta menengurnya. Menyikap minusnya penegakan aturan dan masih banyaknya pelanggaran KDM, Pemprov Jakarta harus lebih peduli dalam penagakan aturan KDM. Setidak ada beberapa langkah penting yang dapat dilakukan pihak aparat Pemprov dalam menegakan aturan KDM atau KTR, seperti:
• Merevisi aturan yang menjadi dasar hukum kebijakan 100% atau total tanpa asap rokok di Jakarta
• Membuat pemahaman yang sebagai implementasi aturan yang ada
• Membangun penegakkan Hukum KDM yang berorientasi pada pendekatan lebih tidak efektif berdampak struktural.

Belum adanya penerapan ruang atau lingkungan total bebas asap rokok ini masih
terlihat dalam aturan yang ada. Masih ada aturan yang menetapkan bahwa pengelola tempat atau kawasan tempat umum dan tempat bekerja wajib menyediakan tempat merokok bagi perokok. Sementara itu di 5 tempat lainnya Pemprov Jakarta tidak mewajibkan pengelola ruang untuk megadakan kawasan atau tempat merokok. Ketidak-tegasan dalam membangun kawasan yang total bebas rokok ini menunjukkan bahwa pembuat kebijakan tidak memahami secara baik bahwa udara bersih itu adalah sebuah hak. Bagi para pengelola ruang atau kawasan tempat kerja yang ingin memberikan lingkungan yang sehat, total bebas asap rokok dan tidak mau menyediakan tempat merokok akan memiliki masalah. Para pengelola yang sehat dan maju seperti itu akan menjadi pesakitan hukum karena dianggap melanggar hukum , tidak menyediakan tempat merokok.

Adanya dua jenis pemahaman dan pendekatan kebijakan yang digunakan untuk membangun Jakarta bebas asap rokok seperti dia atas harus segera diselesaikan. Jika memang ingin membebaskan Jakarta dari asap rokok maka tidak perlu ada toleransi bagi perokok. Tidak perlu juga ada kewajiban menyediakan ruang bagi perokok, rokok dan perusahaan rokok di kota ini. Pihak pemerintah atau aturan yang ada seharusnya membebaskan secara total KDM dari kewajiban menyediakan tempat merokok. Artinya harus ada revisi kebijakan yang berangkat dari dua pendekatan yang berlawanan menjadi satu kebijakan. Tidak juga memberikan tafsir lain tentang KDM. Apabila memang ingin memberi udara sehat bagi warganya maka kota Jakarta tidak perlu memberi toleransi ruang bagi rokok, perokok atau iklan rokok di ruang Jakarta. Kita harus berani membangun Jakarta bebas dari asap rokok, produk rokok dan keterlibatan perusahaan rokok di Jakarta.

Begitulah dalam waktu yang singkat dapat dilakukan oleh Pemprov Jakarta adalah membangun kemauan menegakkan aturan KDM seluruh fungsinal di seluruh sektor Pemprov. Tanpa kemauan dari pihak aparatur Pemprov maka dapat diramalkan aturan KDM ini akan mandul dan membusuk, akhirnya tidak jalan sama sekali. Perkembangan saat ini saja Jakarta sebagai pionir dalam membuat kebijakan KDM tetapi terbelakang dalam pelaksanaan dan penegakannya. Dalam penegakan aturan KDM juga diperlukan keberanian menindak para pengelola atau pemilik kawasan yang masuk dalam katagori KDM. Lucu saja rasanya, ada perokok yang merokok semabarangan dan melanggar KDM. Tetapi tidak satu pun pengelola atau pemilik kawasan yang ditindak karena membiarkan perokok sembarangan di kawasannya. Kesadaran dan kemauan menegakan setiap aturan harus dimiliki semua aparatur Pemprov agar warganya terlindungi hak dan kota ini lebih sehat. Selain itu juga kita sebagai warga Jakarta perlu berperan aktif, mendorong dan melakukan kontrol publik agar Pemprov mau penegakan aturan KTR atau KDM secara konsisten.






Jakarta, 10 September 2009
Azas Tigor Nainggolan, SH, MSi
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Advokat Publik untuk warga miskin di Jakarta dan tinggal di Jakarta. Kontak email: azastigor@yahoo.com, telepon: 08159977041

Selasa, September 01, 2009

Cukuplah Sudah

Oleh: Azas Tigor Nainggolan



Luar biasa pengalamnku pagi tadi. Sangat luar biasa. Pagi-pagi benar saat aku mengantarkan anakku yang pertama ke sekolah secara tak sengaja mataku tertuju pada sebuah pemandangan di pinggir jalan. Mataku terpana sesaat melihat seorang anak kecil yang berdiri bersama ayahnya (mungkin) duduk di pinggir jalan. Terlihat sepintas anak itu baru saja bangun dari tidurnya di jalan itu. Waktu yang singkat karena motor yang saya kendarai harus terus berjalan dan pemandangan itu akhirnya terlewat. Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah anakku, pikiranku terus berpikir dan berimajinasi tentang anak yang saya baru saja lihat. Ketika di perjalanan pulang, di jalan yang sama aku melihat anak itu kembali. Masih tetap berdiri bersama ayahnya yang duduk di pinggir jalan, dari jauh aku memperhatikannya, dari atas motor.


Tiba di rumah aku sudah ditunggu untuk mengantar anakku yang kedua ke sekolahnya. Sepulang saya mengantar anakku yang kedua itu, di tengah jalan yang macet, aku bertemu dengan seorang teman pemulung. Wajahnya tersenyum melihat aku tetapi tangannya tetap terus berusaha menarik gerobaknya agar tetap berjalan. Aku melihat di dalam gerobak itu ada 2 orang anak dan isterinya duduk sambil melihat-lihat pemandangan di jalan raya. Ooh ... demikian nama panggilan kawanku pemulung itu. Saat aku menjadi pengurus Rukun Warga (RW) beberapa tahun lalu, aku meminta dia menjadi petugas pengangkut sampah di pemukiman dimana aku tinggal. Biasanya sore hari setelah berkeliling memulung, Ooh baru mengangkut atau mengambil sampah dari rumah ke rumah.


Sayang sekali setelah aku berhenti dan tidak lagi menjadi pengurus RW, Ooh pun diberhentikan dari pekerjaannya sebagai petugas pengangkut sampah. Biasanya kami, warga di pemukiman selalu memisahkan sampah-sampah yang bisa didaur ulang sebagai hadiah penghasilan tambahan untuk Ooh. Sampah-sampah itu akan diambil dan diangkut dengan gerobak oleh Ooh ke tempat penampungan sampah sementara yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari pemukiman kami. Pertemuan di tengah jalan tadi pagi itu telah memastikan bahwa Ooh beserta isteri dan anaknya sudah cukup lama hidup berkelana di atas gerobak. Setidaknya, aku masih ingat, sudah hampir 4 tahun ini mereka hidup sebagai manusia gerobak tanpa rumah dan alamat.


Masih pagi itu juga, perjalanan berikutnya sebelum aku ke kantor FAKTA adalah mengantar isteri ke tempatnya bekerja. Seperti biasa kami akan berpisah dan isteriku berhenti di bawah sebuah jembatan penyebarangan di jalan Thamrin Jakarta Selatan. Tidak seperti biasanya, pagi tadi aku melihat sebuah spanduk yang digantungkan di jembatan itu. Tulisan di spanduk itu seakan menyalahkan siapa saja yang memberikan bantuan atau ingin berbagi kepada orang lain di jalannan. Menurut tulisan di spanduk itu bahwa perbuatan tersebut akan melahirkan generasi yang malas. Spanduk tersebut merupakan salah satu bentuk yang menurut aparat pemda sebagai sosialisasi Perda Ketertiban Umum. Tak lama kemudian aku melihat ada segerombolan petugas Trantib menuruni tangga jembatan sambil memegangi seorang ibu tua yang menggendong anaknya yang masih kecil. Aku menduga, pasti ibu dan anaknya dituduh sebagai pengemis dan ditangkap oleh petugas trantib.


Sepanjang perjalanan menuju kantor FAKTA, di atas motor aku berpikir keras tentang pengalaman-pengalaman pagi tadi. Satu per satu wajah-wajah itu muncul kembali dan terus berganti. Mulai dari pengalaman melihat seorang anak yang pagi-pagi benar sudah di jalan, Ooh dan keluarga hingga ibu tua besarta anaknya yang ditangkap trantib. ”Kota ini sungguh keras dan tidak berperasaan memperlakukan warganya yang miskin. Mungkin juga bukan hanya yang miskin? Bisa jadi kepada seluruh warganya? Tapi sungguh tidak adil terutama untuk warganya yang miskin, kota ini sungguh tidak berpihak atau tidak memberikan perhatian yang benar”, pikiranku berkecamuk sepanjang jalan. Motor aku kebut kencang dan cepat, seakan takut melihat situasi berikutnya. Gedung-gedung pencakar langit, berdiri tegak dan sombong menjadi petunjuk kota Jakarta.


Petunjuk bahwa kota ini hanya untuk gedung-gedung, mobil-mobil yang memacetkan jalan dan kesombongan materi lainnya. Kota ini tidak ada ruang atau tidak memberi kesempatan bagi warga yang miskin karena dianggap manusia bodoh dan malas. Sambil berjalan kencang, di atas motor aku berpikir dan menyesali sikap kota ini yang menjadikan warga miskin sebagai sampah yang mengotori kota. Sampah yang merusak dan mencemari keindahan kota. Sayang sekali memang, pengalamanku selama ini menunjukkan bahwa kota Jakarta melihat warga yang miskin bagai sampah tak berguna. ”Entah apa indahnya kota ini? Apakah masih ada yang bisa dibanggakan dari kota yang tidak melihat warganya yang miskin?”, hatiku bertanya. Terus saja kota ini melakukan penggusuran, mengusir, menangkapi dan melempar jauh warga yang miskin keluar dari kota ini. Bukankah indah itu harus terdiri dari beraneka ragam? Ada bunga, ada pohon dan ada juga rumputnya.


Mataku memang terus mencoba menatap ke depan, konsentarasi mengendarai motor yang melaju cepat. Tanganku seakan ingin terus mempercepat laju motor. Hatiku ingin menitipkan harapan dan protes yang ada di pikiranku pada motorku yang melaju cepat. Ingin sekali semua penderitaan yang baru saja aku saksikan, berubah menjadi kebahagian. Rasanya aku tak tahan meyaksikan mereka yang harus berjuang bukan hanya untuk dirinya. ”Mereka juga berjuang untuk kota ini. Tentu mereka tidak mau mati percuma, kelaparan atau dikeroyok massa karena dituduh mencemari kota Jakarta. Sungguh mereka tidak mau menjadi berita media dalam kondisi mengenaskan. Bagi mereka harga diri adalah tetap terus berjuang walau dianiaya oleh kota yang dihidupinya”, hatiku menguatkan diriku agar tetap konsentarasi di atas motor yang melaju cepat.


Memang tidak ada yang lebih baik dan lebih berharga dalam hidup ini selain berguna bagi sesama. Sangat berguna sekali hidup ini rasanya jika si warga miskin merasa dihormati dan dihargai haknya saja. Tidak terlalu banyak yang mereka inginkan. Tidak perlu pemerintah ini memberikan mereka pekerjaan sebagai pejabat atau pegawai negeri atau jadi polisi dan tentera atau uang ratusan ribu misalnya. Ya ... bukan itu yang utama mereka inginkan. Cukuplah pemerintah tidak mengganggu pekerjaan atau kehidupan yang sudah dibangun secara baik untuk menghidupi dirinya. Cukuplah mereka diakui keberadaannya, tidak dianggap sebagai sampah yang mengotori kota. Sikap menerima dan menghargai dari pemerintah, sudah sebuah anugrah hidup bagi mereka yang miskin dalam berjuang hidup. Jika demikian memang, mudah bagi kita untuk berpihak dan membela mereka. Cukuplah sudah jika saja kita mau memberikan sikap dan dorongan kepada pemerintah agar menerima dan mengakui keberadaan mereka yang miskin. Cukuplah sudah sampai di sini pembiaran, caci-maki, penghinaan, penindasan, penggusuran dan penistaan kepada mereka yang miskin.


Akhirnya aku tiba di kantor FAKTA dengan selamat. Motor aku parkir. Masuk ke dalam ruang kerja dengan hati dan pikiranku. Terus saja masih bergulat pada mereka yang karena kemiskinannya tidak diakui oleh kota ini. ”Cukuplah sudah ...cukuplah sudah, mari kita sudahi sikap dan tindakan yang selalu menghina, menggusur dan merendahkan saudara-saudara kita yang miskin. Kemiskinan dan penindasanlah yang harus kita gusur dan enyahkan dari muka bumi bukannya saudara kita yang miskin”, bisik diriku dalam hati.







Jakarta, 31 Agustus 2009
Azas Tigor Nainggolan
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Advokat Publik untuk warga miskin di Jakarta dan tinggal di Jakarta. Kontak email: azastigor@yahoo.com, telepon: 08159977041

Senin, Agustus 17, 2009

Rumah Untuk Rakyat, ..... Manusia Bukanlah Sampah

Oleh: Azas Tigor Nainggolan


Pada suatu siang, saat rapat di kantor FAKTA beberapa hari lalu secara tidak sengaja saya melihat sosok laki-laki yang sangat saya kenal. Ya, saya ingat dia. Laki-laki itu adalah seorang teman pemulung yang saya kenal sejak 1990 lalu. Secara kebetulan dia lewat di depan kantor FAKTA, saya panggil dan langsung tersenyum saat kami bertatapan. Slamet namanya, dia seorang penggerak di kampungnya di Penas pinggiran Sungai Cipinang, Jakarta Timur. Saat berjuang melawan penggusuran rumahnya tahun 1991, kami sempat ditangkap dan ditahan selama 3 hari di sebuah Polsek di Cipinang. Pengalaman itu dia ceritakan lagi saat kami berbincang mengingat masa lalu itu. Hati saya mengatakan bahwa orang seperti Slamet lebih punya hati dan selalu ingat pada kawannya.

Dia mengatakan bahwa saat ini masih tinggal di sebuah pemukiman tanah garapan di Kampung Cipinang Bali Jakarta Timur. Sudah 18 tahun berlalu tetapi Slamet dan keluarganya tetap saja tinggal di lahan garapan. “Sulit sekali mendapatkan dan membeli rumah”, cerita Slamet pada saya. Sekarang dia bekerja sebagai pemulung kayu bekas dan menyebut dirinya sebagai “Rayap”. Sebutan itu dikarenakan ia menyukai dan memberi makan keluarganya dari berjualan kayu bekas. Sebagai rayap, dia akan tahu dimana ada kayu bekas yang akan dibuang atau dijual. Melihat perjalanan hidup Slamet yang selalu berpindah dari lahan garapan satu ke lahan garapan lainnya, menunjukkan bahwa sulit sekali bagi rakyat kecil memiliki rumah layak dan aman.

Jalan-jalan di Jakarta saat itu dipenuhi olah bendera serta berbagai pernik hiasan merah putih. Tandanya akan ada kembali perayaan kemerdekaan Indonesia. Seluruh bangsa ini akan merayakan hari ulang tahun kemerdekaan katanya. Sudah 64 tahun memang katanya Indonesia tetapi apakah benar bangsa ini benar-benar sudah merdeka. Apakah sudah merdeka secara merdeka yang sesungguhnya? Apakah semua anak bangsa ini sudah bisa menikmati sebagai bangsa dan manusia yang merdeka? Apakah semua bangsa ini sudah menerima dan memiliki tempat tinggal dan rumah yang layak sebagaimana mansuia? Tetapi anak bangsa ini yang miskin seperti Slamet akan selalu jadi penghuni lahan garapan sepanajng umurnya.

Pertanyaan-pertanyaan ini juga membuka pengalaman pribadi saya jauh ke belakang. Pengalaman sama dengan Slamet yakni keluarga pemulung yang juga terus tinggal di atas lahan yang tidak layak jadi tempat tinggal dan terus mengalami penggusuran. Saat itu tahun 1990, saya bertemu dengan seorang ibu pemulung tua yang biasa dipanggil mbah Siyem di Tempat Pembuangan Akhir sampah di Cakung Cilincing Jakarta Utara. Mbah Siyem bersama suaminya bernama mbah Sutar, yang juga bekerja sebagai pemulung tinggal di sebuah gubuk kecil yang dibangun mereka di atas lokasi pembuangan sampah itu sejak sekitar awal tahun 1980. Saat itu sedang dilakukan pembongkaran paksa atau penggusuran pemukiman pemulung yang berada di sepanjang jalan Cakung Cilincing oleh aparat pemerintah daerah (Pemda) DKI Jakarta.

Sambil membereskan barang-barang serta puing-puing gubuknya, mbah Sitem mengatakan pada saya bahwa mereka akan membangun rumah atau gubuk yang memakai roda. Gubuk dengan roda itu akan menyerupai gerobak besar yang bisa digeser atau dipindah-pindahkan kemana saja sesuai kebutuhan. Pilihan gubuk dengan roda itu menimbulkan pertanyaan, mengapa harus memilih cara seperti itu? Mbah Sutar menjelaskan pada saya bahwa apabila akan terjadi penggusuran mereka akan mudah dulu ke lokasi lain. Kemudian mereka akan membawa kembali gubuknya ke lokasi semula setelah pihak arapat pemda telah pergi.

Rumah bergerak memang jadi pilihan akhir agar mereka bisa bertahan, tetap memiliki tempat istirahat dan bertahan hidup seadanya. Pilihan itu terpaksa mereka lakukan karena memang hanya itu alternatif. Sebagai pemulung, warga miskin perkotaan, mbah Siyem dan mbah Sutar tidak memiliki cukup uang membeli sebidang tanah atau membangun rumah yang aman dari penggusuran. Tidak ada alternatif dan memang juga tidak ada komitmen aparat pemda saat itu memenuhi hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga miskin seperti mbah Siyem dan mbah Sutar saat itu.

Pertanyaannya sekarang, apakah hak tersebut sudah dipenuhi oleh pemerintah? Ternyata belum juga belum juga ada perubahan. Bahkan semakin parah saja. Warga miskin bertambah banyak yang tidak memiliki tempat tinggal layak. Pilihan tempat “aman dan murah” warga miskin kota seperti di Jakarta sepertinya tetap hanya di pinggir sungai, pinggir rel kereta api, kolong jembatan, di emperan toko atau di lokasi pembuangan sampah. Warga miskin dibuang dan dicampakkan begitu saja seperti sampah tak berguna.

Apa yang dibayangkan atau menjadi ide oleh mbah Siyem dan Sutar pada tahun 1990 lalu tentang gerobak rumah beroda saat ini jadi kenyataan. Banyak dipilih warga miskin terutama yang bekerja sebagai pemulung. Menjatuhkan pilihan bertempat tinggal di atas gerobak dan bergerak sungguh pengalaman dan pengorbanan luar biasa. Gerobak yang biasanya hanya sebagai alat bantu bekerja para pemulung digunakan juga sebagai tempat tinggal sehari-hari. Gerobak sebagai bangunan rumah dan langit atapnya, di mana pun berhenti di situ tempat tinggalnya. Dapur mereka dimana saja ketika berhenti istirahat. Keprihatinan akan pilihan menjadi miskin dan disingkirkan harusnya menjadi prioritas komitmen nyata pemerintah. Sadar dan berbuat nyata, tidak hanya omong membangun bagi saudara-saudara yang miskin seperti mbah Siyem dan mbah Sutar.

Sulitnya warga miskin mendapatkan haknya dan belum maunya pemerintah memberikan hak warganya sendiri, menyedihkan sekali. Begitulah juga pengalaman seorang teman pemulung di daerah Matraman, terpaksa membawa serta isteri dan 2 anaknya yang masih berusia di bawah lima tahun bekerja mencari sampah. Jauh sebelumnya saya mengenal mereka dan masih bisa mengontrak ruang pas-pasan sebagai tempat tinggal di sebuah perkampungan miskin di Matraman Jakarta Timur. Kemiskinan yang terus menerus menyelimuti kehidupannya menjadikan mereka menjadi manusia gerobak. Hidup secara bergerak tanpa alamat atau keberadaan yang jelas.

Manusia gerobak saat ini menjadi fenomena kota Jakarta, bahkan mungkin kota besar lainnya di Indonesia. Pilihan menjadi manusia gerobak itu karena kemiskinan yang menjadi nafas kehidupan warga miskin kota. Pemandangan pemulung membawa keluarganya di dalam gerobaknya di jalan-jalan berkeliling kota sebenarnya menggugat hati kemanusiaan kita. Akankah kita diamkan begitu saja penindasan ini? Tanah, rumah dan tempat tinggal yang seharusnya bernilai sosial jadi hanya bernilai ekonomis. Nilai ekonomis tanah ini membuat orang-orang byang berduit lebih menjadikan tanah sebagai investasi. Akibatnya semakin banyak warga miskin kesulitan dan tidak memiliki tempat tingaal karena mahalnya harga tanah dan rumah tinggal. Sementara itu tanah-tanah dan tempat-tempat strategis dikuasai oleh segelintir orang berduit banya.

Berubahnya nilai sosial tanah menjadi semata-mata nilai ekonomis ini juga membuat pemerintah terus lupa dan melupakan hak hidup dan hak atas tempat tinggal bagi seluruh warga negaranya. Tempat tinggal yang layak adalah hak agar warga negaranya agar dapat hidup sebagai manusia yang diingini Sang Pencipta. Lihatlah burung-burung di langit tetap memiliki rumahnya sendiri secara baik. Bahkan burung-burung yang kesulitan hidup (langka) justru mendapat mendapat perhatian lebih dan dilindungi oleh pemerintah. Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang miskin? Ternyata posisi penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak mereka jauh lebih buruk dari nasib burung-burung di langit. Bahkan sering melupakan dan menjadikan manusia bagai sampah tak berharga. Membiarkan manusia tanpa tempat tinggal layak. Menggusur tempat tinggal warga miskin sebagai manusia tanpa alternatif.

Sikap tidak berpihak pemerintah yang menjadikan mereka yang miskin terus miskin tanpa perlindungan khusus yang seharusnya diterimanya. Lihat saja pengadaan rumah-rumah yang dilakukan atau difasilitasi oleh pemerintah dengan pihak swasta lebih pada kepentingan warga yang memiliki uang. Alasannya pengadaan rumah-rumah bagi warga miskin tidak menguntungkan karena harga tanah dan bahan bangunannya mahal sekali. Sikap tidak berpihak secara nyata itu juga terlihat dari perilaku perusahaan negara Perumahan Nasional (Perumnas). Pihak PT Perumnas di Jakarta banyak menjual tanah-tanah yang seharusnya dibangun Rumah Susun bagi masyarakat miskin justru di jual pada pihak pengusaha perumahan. Akibatnya pihak pengusaha itu lebih membangun rumah-rumah dan apartemen mewah karena hanya mengejar untung. Warga miskin akhirnya terus hanya bisa gigit jari. Warga miskin hidupnya selalu dipinggirkan, tidak diurusi dan tidak diberikan hak atas tempat tinggalnya oleh pemerintah. Terus juga hidupnya lebih rendah derajatnya dari burung-burung atau hewan lainnya yang memiliki kandang hewan mewah.

Perubahan total, keberpihakan dan sikap dari pemerintahlah yang diperlukan sekarang ini. Agar semua warga negara bisa memiliki dan mendapatkan haknya atas tempat tinggal atau rumah layak. Tidak hanya lebih berpihak atau melayani pembangunan rumah bagi kepentingan warga negara yang beruntung memiliki uang banyak saja. Kondisi ini menantang kita, apabila ingin membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana di amantkan oleh Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945. Di atas semuanya itu, Sang Pencipta memberi otoritas melayani bagi pemerintah agar melindungi dan menghormati seluruh manusia mahluk ciptaanNya. Penghormatan lebih harus diberikan bagi saudara-saudara yang miskin dan tidak memiliki akses terhadap pembangunan. Manusia bukanlah sampah .... bangun rumah untuk seluruh rakyat terutama yang miskin.




Jakarta, 16 Agustus 2009
Azas Tigor Nainggolan
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Advokat Publik untuk warga miskin di Jakarta dan tinggal di Jakarta. Kontak email: azastigor@yahoo.com, telepon: 08159977041

Rabu, Agustus 05, 2009

ANAKMU

Sebuah Catatan untuk Acara Hari Anak Nasional yang diadakan Forum Warga Kota Jakarta di Taman Suropati Menteng Jakarta Pusat, 2 Agustus 2009.


Anakmu

Anakmu bukan milikmu.
Mereka putera-puteri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.

Berikan mereka kasih-sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya,

Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan.
Yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian.

Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu.

Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.

Kaulah busur, dan anak-anakmulah, anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian,
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.

Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap

(Dari Buku Sang Nabi, Kumpulan Puisi karya Kahlil Gibran
Diterjemahkan oleh Sri Kusdyantinah)


Puisi karya Khalil Gibran di atas yang berjudul Anakmu terus aktual dan menjadi sumber inspirasi perjuangan bagi hidup anak dan masa depannya. Membaca puisi ini kembali, terasa sangat kuat spiritnya dan tumbuh keinginan menjadikannya sebagai bahan refleksi untuk melihat kondisi hidup anak-anak Indonesia.

Sebagai orang dewasa, warga dan pemerintah yang lebih kuat dan kuasa tidak bisa berbuat semaunya, ini pesan pentingnya. Walau mereka masih anak-anak tetap memiliki hak yang sama sebagai manusia dengan kita yang dewasa atau orang pengausa sekalipun. Usia atau status sosial tidak membedakan hak seseorang karena hak seseorang bersifat universal dan mutlak.

Hari Anak Nasional terus dirayakan pada 23 Juli setiap tahun tapi terus saja penderitaan anak menjadi kenyataan. Terus saja perayaannya menggunakan thema-thema yang tidak sesuai kepentingan perlindungan hakanak. Themanya dan perayaannya sekedar ada, memaksa dan memanipulasi kehidupan anak yang sebenarnya. Tidak berkeinginan melakukan perubahan. Menipu seolah tidak ada masalah dengan kehidupan anak Indonesia. Begitulah memang perilaku orang dewasa, merasa lebih kuasa terhadap hidup anak.

Adanya panitia yang menggunakan kata-kata menipu seperti Aku Anak Indonesia Kreatif... Aku Anak Indonesia Sehat... Cerdaskan Anak Bangsa ... Atau Aku Bangga Menjadi Anak Indonesia. Thema-thema yang tidak sesuai dengan kenyataan keseluruhan kondisi anak Indonesia. Menjadi anak cerdas juga kreatif, masih mahal dan sebuah kemewahan bagi anak Indonesia. Begitu pula kesehatan dan kebanggaan anak Indonesia adalah barang langka dan sangat sulit di raih. Pendidikan dan kesehatan masih sangat tinggi di negeri ini, melambung di atas langit.

Lihat saja masih jutaan anak Indonesia yang seharusnya sekolah tetapi terpaksa berhenti sekolah. Tidak bisa sekolah karena harus bekerja membantu orang tuanya. Bagaimana bisa jadi anak yang sehat jika saat sakit ditolak oleh rumah sakit. Saat lahir disandera rumah sakit karena kemiskinan orang tua, tidak bisa mmbayar biaya kelahiran. Sedih, pahit dan memilukan warna potret kehidupan anak Indonesia. Pemerintah belum mau sungguh-sungguh melindungi anak-anak bangsanya. Pengalaman buruk anak-anak Indonesia ini bukanlan kejadian tunggal. Juga bukanlah peristiwa sesaat tetapi seperti jalan panjang seakan tak berujung.

Suatu kali pada tahun 2008 lalu di Nunukan Kalimantan Timur, saya pernah bertemu dengan seorang anak dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Sabah Malaysia hingga berumur 15 tahun tidak bisa membaca dan menulis, Tidak memiliki surat keterangan identitas yang menyatakan dirinya sebagai anak Indonesia yang lahir di Malaysia. Penindasan dan penistaan terhadap TKI oleh pemerintah Malaysia menyebabkan dia ditangkap dan dipulangkan paksa ke Indonesia dan terdampar di Nunukan Kalimantan Timur. Padahal dia tidak memiliki sanak famili di Nunukan. Akhirnya dia hidup terlunta-lunta tanpa perlindungan sebagai anak Indonesia di negerinya sendiri.

Dalam puisinya di atas, Khalil Gibran mengajak kita, yang merasa orang dewasa agar mau memfasilitasi dan memberikan (rumah) hak anak-anak agar hidup dan masa depannya bisa menghidupi dunia ini. Sebagai orang dewasa, apalagi yang lebih kuat sebagai pemerintah Indonesia seharusnya mengasihi anak-anak bangsa Indonesia sepenuh hati. Ya, harus sepenuh hati. Sebagaimana kita mengasihi diri kita sendiri begitulah pula kita harus mengasihi anak-anak masa depan Indonesia. Kita yang merasa orang dewasa atau orang tua dan pemerintah benar-benar mau menjadi alat atau busur yang baik. Mau memberikan anak panahnya, anak-anak melesat indah mencapai masa depan kehidupannya.

Masalah-masalah getir anak-anak Indonesia seperti ini harusnya tidak ada apabila semua orang dewasa, orang tua dan pemerintah mau menjadi busur yang baik. Sebagai orang dewasa, warga dan pemerintah harusnya mau bekerja sama. Bahu membahu melindungi dan memberikan yang terbaik bagi anak-anak bangsa ini. Memberikan dirinya dan membuat kebijakan yang melindungi anak-anak. Marilah pemerintah dan orang tua benar-benar mau memberikan kesempatan pada anak-anak panah bangsa ini agar dapat meliuk dan melesat indah kehidupannya sebagaimana keinginan Sang Pemanah.

Tidak ada alasan dan tidak ada pembenaran, semua anak... semua anak panah bangsa ini harus bisa melesat indah dari busur pemerintah dan orang tuanya. Penderitaan anak harus dihentikan dan menjadi keprihatinan semua orang dewasa (pemerintah dan orang tua). Keindahan hidup yang merupakan hak anak dari Sang Pencipta harus diberikan. Bangun kerja sama semua orang dewasa agar tidak ada lagi pengabaian hak anak. Hak anak bukan alat membangun citra atau alat kampanye karena itu melanggar hidup. Hak anak adalah karunia Sang Pencipta yang harus dihormati bersama oleh semua orang dewasa, orang tua dan pemerintah.


2 Agustus 2009.... Selamat Hari Anak
Azas Tigor Nainggolan
Ketua Forum Warga Kota Jakarta. Kontak di 08159977041 atau email di azastigor@yahoo.com

Selasa, Agustus 04, 2009

Ini Israel bukan Indonesia (bercanda yee)

Dia menawar perahu mau keliling2 di danau Galilea dan diberitahu pemilik perahu bahwa sewa perahu U$$ 10/jam.

"Mahal kali?!!! di danau Toba, negara saya Indonesia, sewa perahu nggak sampai separuhnya, itupun sudah puas naik perahu berkeliling !".
"Pemilik perahu menjawab, Inikan di Israel, bukan di Indonesia. Di danau inilah Tuhan Yesus berjalan diatas air...."

Mendengar jawaban pemilik perahu itu, spontan turis Batak tersebut berjalan pergi sambil merepet (ngedumel). "Oo, Oo, patut ma antoggabe mardalan pat Tuhan Yesus najolo ai sumaling do hape argani sewani solu di tao Galilea on !!!!". (Terjemahan :
"Pantaslah Tuhan Yesus berjalan diatas air waktu itu, soalnya mahal sekali sewa perahu di danau Galilea ini".

Kamis, Juli 23, 2009

Omong Kosong (Iklan) Sekolah Gratis

Oleh: Azas Tigor Nainggolan



Hidup kadang tak adil, demikian tulisan pembuka iklan layanan publik Sekolah Gratis. Dalam iklan tersebut selanjutnya digambarkan seorang anak yang awalnya sedih menjadi gembira setelah mendengar pengumuman pemerintah di radio yang mengatakan bahwa tahun 2009 anak-anak Indonesia sekolah di sekolah negeri gratis. Selanjutnya muncul wajah menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo yang mengatakan bahwa mulai tahun 2009 kebijakan pemerintah secara nasional bahwa sekolah di sekolah negeri gratis. Akhirnya iklan tersebut ditutup oleh tampilan anak yang sedih sudah gembira karena sudah bisa bersekolah kembali.


Iklan memang menarik, memang itulah fungsi iklan walau sering juga digunakan untuk menipu atau menyiarkan omong kosong belaka. Ya menipu, atau setidaknya memang omong kosong belakang menutupi kelalaian atau ketidak-mauan. Atau juga menina-bobokan warga negara agar tidak kritis, tidak mau berpikir lebih lanjut agar menerima dan melakukan keinginan si pembuat iklan. Isi iklan bisa juga dijadikan alat membuat proyek yakni memanipulasi dan menjual penderitaan publik atau penderitaan anak-anak yang tidak bisa sekolah. Menjual dan membuka persoalan bukan berarti memiliki keprihatinan tetapi untuk dasar membuat proyek yang bisa dikorupsi seeprti terjadi korupsi di dunia pendidikan selama ini. Penyalah-gunaan iklan ini marak sekali dilakukan terutama oleh pihak-pihak yang ingin membangun citra dirinya semata atau sebuah produk. Iklan yang sekedar membangun citra tanpa kualitas yang benar tentu itu sebuah kebohongan dan pembodohan publik. Biasanya iklan bohong dan pembodohan diisi atau menggunakan artis atau tokoh populer sebagai simbol pelaku dalam iklan agar publik terjebak.


Begitu pula dengan iklan layanan publik tentang Sekolah Gratis lainnya yang menggunakan seorang artis yang pernah populer dengan perannya sebagai ibu guru pada film Laskar Pelangi. Artis tersebut ditampilkan berdialog dan memberi keyakinan pada seorang sopir Angkot yang mengeluh tentang biaya sekolah mahal. Menjawab keluhan si sopir, artis ibu guru tersebut mengatakan bahwa pemerintah saat ini melaksanakan program Sekolah Gratis agar semua anak Indonesia bisa sekolah. Artis guru itu juga mengatakan bahwa walaupun bapaknya sopir angkot ... anaknya bisa jadi pilot atau juga walaupun bapaknya loper koran ... anaknya bisa jadi wartawan. Indah, meneduhkan dan menjanjikan sekali cerita dalam iklan Sekolah Gratis tersebut.
Andaikan memang benar isi-isi iklan-iklan publik di atas atau iklan sejenis lainnya dapat terlaksana atau dilakukan oleh pemerintah untuk warga negaranya, itu luar biasa. Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara, setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan terbaik bagi kehidupannya. Kewajiban pemerintah adalah memenuhi atau memberikan kepada setiap anak Indonesia agar bisa sekolah dan diberikan gratis sekolah di SD dan SMP Negeri (wajib belajar 9 tahun). Untuk mewujudkan mimpi semua anak Indonesia bisa sekolah gratis, pemerintah nasional membuat persentase anggaran pendidikan sebesar 20% dari total anggaran APBN.


Persentase anggaran pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara. Sehingga anggaran pendidikan dalam UU Nomor 41/2008 tentang APBN 2009 adalah sebesar Rp 207.413.531.763.000,00 yang merupakan perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara sebesar Rp 1.037.067.338.120.000,00. Pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 persen tersebut disamping untuk memenuhi amanat Pasal 31 Ayat (a) UUD 1945, juga dalam rangka memenuhi Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Agustus 2008 Nomor 13/PUU-VI I 2008. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengamanatkan selambat-lambatnya dalam UU APBN Tahun Anggaran 2009, Pemerintah dan DPR harus telah memenuhi kewajiban konstitusionalnya untuk menyediakan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen untuk pendidikan. Putusan Mahkamah Konstitusi itu menunjukkan bahwa penyediaan hak atas pendidikan adalah kewajiban pemerintah. Hak atas pendidikan bukanlah barang dagangan atau alat kampanye citra diri penguasa.


Lain iklan, lain anggaran yang disediakan dan lain pula dengan kenyataan yang terjadi tengah-tengah kehidupan keseharian warga negara atau kebijakan. Kesempatan memperolah pendidikan baik dan bermutu jadi barang mewah dan barang dagangan kekuasaan. Akibatnya warga miskin sulit menggapai pendidikan yang baik sebagai mana diamanatkan oleh konstitusi negara. Meraih cita-cita dan kesempatan masuk sekolah jadi sangat sulit bagi anak-anak Indonesia yang keluarganya miskin. Seperti yang dialami misalnya oleh seorang kawan warga miskin yang tinggal di perkampungan miskin Halim Jakarta Timur bernama Ibu Purwanti. Semangat dan kemauan anaknya bersekolah di SMP Negeri tidak difasilitasi secara baik oleh negara dan pemerintah.
Apalagi bagi sosok Ibu Purwanti yang seorang janda dan sehari-hari hanya berjualan mie ayam keliling. Sulit bagi ibu Purwanti untuk mewujudkan keinginan anaknya yang nomor dua, bernama Hari agar masuk sekolah di SMP Negeri. Ibu baik ini bercerita pada saya bahwa dia ingin sekali menyekolahkan anak-anaknya hingga tamat SMA. Saudara Hari yang lainnya bernama Yolanda ternyata juga hanya bisa masuk SMP Swasta. Nilai hasil ujian nasional Hari padahal cukup baik tetapi Hari tidak bisa masuk ke SMP Negeri dengan alasan kursi di sekolah yang dituju sudah penuh. Belakangan ibu Purwanti mengetahui bahwa sebenarnya ada beberapa murid yang nilainya lebih rendah dari nilai Hari tetapi bisa masuk pada sekolah negeri tersebut. Informasi yang didapat para orang tua itu membayar sejumlah uang yang diminta pihak sekolah.


Jika demikian kenyataanya, apakah iklan Sekolah Gratis yg sering ditayangkan di TV itu benar atau bohong? Persoalan membayar lebih atau masih adanya pungutan saat masuk SD dan SMP Negeri di Jakarta adalah peristiwa yang terus terjadi. Kejadian adanya orang tua siswa yang tetap saja dimintai uang saat masuk ke SD atau SMP Negeri terus terjadi setiap tahun masa penerimaan siswa baru. Adanya saja bentuk pungutan yang dibebankan pada orang tua siswa. Tagihan atau pungutan uang tambahan saat pendaftaran itu berupa uang perbaikan pagar, WC Guru, uang untuk AC ruang Kepala Sekolah, uang bimbingan belajar, uang seragam, uang tambahan buku pelajaran, uang makan Komite Sekolah dan lainnya yang jumlahnya ratusan ribu rupiah bahkan hingga jutaan rupiah.


Pungutan liar atau pemerasan sekolah terhadap orang tua siswa saat ini di Jakarta sudah jauh lebih maju dan menarik. Pungutan tambahan dilakukan dengan alasan untuk penambahan atau peningkatan mutu pendidikan. Beban peningkatan mutu sesuai dengan label sekolah itu menjadi tanggungan orang tua siswa. Sebagaimana terlihat saat ini di Jakarta banyak sekolah-sekolah negeri berbondong-bondong memasang label akredasi Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) atau Sekolah Berstandar Internasional. Status atau label tambahan itulah yang dijadikan alasan untuk meminta uang tambahan saat pendaftaran siswa baru. Label akreditasi itu dijual para guru agar orang tua siswa yang mau sekolah tersebut bisa diperas. Sebagai sekolah unggulan atau berlabel hebat itu butuh sarana atau kualitas guru tambahan. Misalnya saja perlu uang untuk pasang rawat AC ruang kelas, tambahan lampu, tambahan alat peraga sekolah, pembangunan dan pengadaan buku perpustakaan atau juga tambahan guru bahasa Inggris atau guru lain. Pihak sekolah berkelit dari pertanyaan orang tua siswa bahwa semua tambahan fasilitas itu tidak dibiayai oleh pemerintah atau tidak ada anggarannya dalam APBD Jakarta.


Sekarang ini sekolah-sekolah negeri di Jakarta yang memakai predikat unggulan macam-macam itu ramai-ramai memasang tarif masuknya sebesar Rp 20 juta – Rp 30 juta. Beberapa keluhan yang kami terima tentang sekolah berlabel unggulan itu bahkan memungut uang tambahan pendaftaran hingga puluhan juta rupiah. Seorang teman, dalam emailnya mengatakan bahwa keponakannya yang diterima di SMA Negeri standar Internasional di Jakarta harus membayar uang masuk Rp 32 juta. Selain itu keponakannya harus membayar uang pungutan tahunannya sebesar Rp 25 juta. Jika demikian keadaannya, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana saudara-saudara kita yang miskin bisa sekolah di sekolah dengan isi pendidikan bermutu bagus? Sementara untuk masuk saja harus membayar biasa luar biasa besarnya. Tidak usah masuk ke sekolah Negeri unggulan, untuk masuk sekolah negeri biasa-biasa tanpa label “rasa” unggulan saja sudah tidak bisa masuk. Membayar uang masuk atau pungutan liar di sekolah negeri biasa saja, para orang tua yang miskin sudah tidak mampu bagaimana masuk sekolah negeri dengan laber rasa internasional? Model sekolah berlabe atau dengan citra rasa macam-macam ini bukan hanya milik Jakarta tetapi juga sudah mulai di daerah lain. Katanya pemerintah mau mengalokasikan persentase anggaran sebesar 20% untuk pendidikan tapi mengapa masih banyak sekolah yang roboh, tidak ada kursinya atau dijual untuk dibangun pusat perdagangan?


Lihat saja kejadian baru lalu yakni anak-anak sebuah SD Negeri di Jawa Timur berebut kursi kelas dengan pihak kontraktor karena pihak pemerintah daerah belum melunasi bayarannya. Masih di Jawa Timur, sekolah dasar negeri yang lainnya terpaksa siswa-siswinya di tahun ajaran baru belajar tanpa kursi kelas karena belum ada anggaran membelinya. Kelas dan siswa belajar di hari pertama juga terjadi di sebuah SD Negeri di Tangerang karena penyebab yang sama, belum dibeli kursi dan meja belajarnya. Penjualan sekolah atau pengalihan tanah sekolah kepada pihak swasta juga mulai marak kembali. Beberapa tahun lalu pernah terjadi terhadap SMP Negeri 56 Jakarta lahannya ditukarkan kepada pihak perusahaan. Lokasi awal SMP Negeri 56 Jakarta itu terletak di kawasan bisni Blok M Jakarta Selatan. Selanjutnya pihak swasta menukarkan tanah sekolah SMP Negeri 56 ini ke lokasi yang lebih jauh di pinggiran Jakarta Selatan di daerah Jeruk Purut. Kejadian serupa beberapa hari lalu terjadi di Pematang Siantar Sumatera Utara. Lahan SMA Negeri 4 dan salah satu SD Negeri di Pematang Siantar lahannya dijual kepada pihak swasta. Penjualan itu dilakukan karena lahan kedua sekolah itu terletak di kawasan bisnis yang strategis sehingga harganya mahal.


Banyaknya pungutan liar, beralihnya atau dijualnya lahan sekolah ke pihak swasta dan pemasangan label sekolah unggulan menunjukkan bahwa sekolah tidak untuk semua anak atau belum untuk semua warga negara, belum menjadi haknya semua anak Indonesia. Iklan Sekolah Gratis dan Sekolah Bisa rupanya hanya alat kampanye dan omong kosong belaka. Sekolah atau pendidikan masih jadi barang langka atau barang mewah dan tidak mungkin bisa diraih anak-anak miskin. “Biar bapaknya loper Koran, anaknya bisa jadi wartawan … biar bapaknya sopir angkot, anaknya bisa jadi pilot … uang untuk biaya sekolahnya dari mana?


Hentikan omong kosong (iklan) Sekolah Gratis tersebut karena itu pembohongan publik dan omong kosong pencitraan penguasa. Hentikan juga iklan-iklan pembodohan dan membohongi publik pendidikan yang serupa lainnya. Terutama hentikan omong kosong penguasa yang selalu membodohi dan membohongi warga negaranya sendiri. Pendidikan adalah hak dan pemerintah berkewajiban memenuhinya. Sebagai sebuah hak setiap warga negara maka pendidikan tidak boleh dijadikan iklan untuk meraih kekuasaan. Siapa pun presidennya, siapa pun gubernurnya, siapa pun walikotanya, siapa pun bupatinya dan siapa pun DPRnya, pendidikan bermutu dan gratis harus ada tanpa (iklan) omong kosong.


Jakarta, 16 Juli 2009
Penulis adalah Advokat Publik untuk warga miskin Jakarta dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) tinggal di Jakarta. Kontak: 08159977041, email: azastigor@yahoo.com, blog: www.azastigornainggolan.blogspot.com

Selasa, Juni 16, 2009

Kampanye dengan Spanduk dan Iklan Politik, Kampanye yang Tidak Mendidik dan Tidak Berbudaya

Jakarta kembali penuh spanduk2 para calon presiden calon wakil presiden (capres cawapres) peserta pemilu 2009. Sayang sekali dana pembuatannya, dibuang percuma hanya untuk bikin spanduk yang mengotori kota. Kenapa dananya tidak digunakan untuk pemberdayaan warga saja di tengah krisis ekonomi? Para tim sukses hanya bisa pasang spanduk tetapi tidak bisa mendekati meyakinkan warga karena tidak memiliki basis massa yang jelas. Mereka, para tim sukses hanya bisa berpikir bahwa dengan memasang spanduk akan bisa meyakinkan dan menarik dukungan dan membeli suara warga. Cara berpikir ini jelas salah besar.


Aneh saja jika jaman seperti sekarang masih ada tim sukses kampanye capres dan cawapres berpikir bahwa spanduk sangat berpengaruh bagi suara warga terhadap pasangan yang diusung. Setelah 2 minggu berjalan masa kampanye pemilu capres cawapres memang memberi dampak nyata yakni semua jembatan, jalan dan pohon-pohon dirusak atau dikotori spanduk. Selain itu juga di media massa cetak dan terutama elektronik sekarang ini dikuasai oleh iklan para capres dan cawapres. Pilihan mengandalkan pemasangan spanduk atau iklan di media massa menandakan bahwa partai politik, tim sukses atau pasangan capres cawapres yang bersangkutan tidak memiliki basis massa yang jelas juga tidak cerdas.


Lihat saja, sudah 2 minggu berjalan masa kampanye pemilu capres cawapres 2009-2014, minim sekali upaya atau kegiatan ikampanye kreatif dan mendekatkan diir serta kepentingannya kepada warga pemilih. Para capres cawapres, partai politik dan tim sukses pengusung sedikit sekali, nyaris tidak ada yang melakukan komunikasi langsung atau berdialog dengan warga secara benar serta tidak manipulatif. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa memang mereka itu takut bertemu dan berdialog secara langsung dengan warga. Memang ada beberapa kegiatan turun langsung yang dilakukan para capres cawapres bertemu dengan warga. Tetapi kegiatan turun langsung itu sudah penuh dengan manipulasi dan spontan. Sepertinya juga capres cawapres atau tim suksesnya tidak berani melakukan dialog atau berkomunikasi dengan warga sebagai calon pemilih mereka tentang masalah nyata.


Dalam beberapa acara dialog di media elektronik terlihat jawaban yang diberikan kepada warga, menghindari kepentingan atau hak warga yang selama ini belum dipenuhi bahkan dilanggar oleh pemerintah. Sepertinya para capres cawapres atau tim sukses akan menghindar dengan berbagai cara apabila warga mengangkat hal yang nyata. Capres cawapres atau tim sukses di hadapan warga hanya berani bicara tentang masalah-masalah yang abstrak dan tidak dapat diukur pencapaiannya. Dapat diartikan juga bahwa para capres cawapres atau tim suksesnya tidak memiliki kesadaran atau kemauan menggunakan masa kampanye sebagai ajang pendidik politik bagi mereka juga warga pemilihnya.


Kampanye sebenarnya secara sederhana dapat berguna sebagai pengenalan, media belajar atau pendidikan politik bagi peserta pemilu dan warga pemilihnya. Jika dilakukan secara benar seperti turun bertemu dan berdialog langsung dengan warga, para capres cawapres akan mengetahui kondisi nyata yang dialami warganya. Pengelana ini akan membuat capres cawapres dan tim suksesnya tidak akan terlalu banyak membual atau berbicara bohong karena akan langsung ditanggapi warga pendukungnya. Begitu pula warga akan memiliki kesempatan mempelajari dan mengenali betul calon yang akan dipilihnya. Warga akan mengenal betul sosok capres cawapres mana yang sesuai dan mau memperjuangkan kepentinganya.


Bertemu dan berdialog secara langsung para capres cawapres sebagai peserta pemilu dan warga pemilih juga akan menunbuhkan tingkat partisipasi politik yang baik. Pertemuan atau dialog langsung akan membangun kedekatan kepentingan, baik kepentingan para capres cawapres itu sendiri dan warga pemilihnya juga. Warga sebagai pemilih akan merasakan bahwa mereka memiliki kedekatan kepentingan atau kepentingan langsung terhadap pemilu dan capres cawapres yang bertarung. Model atau pilihan kampanye yang langsung bertemu dan berdialog inilah yang seharusnya dilakukan para capres cawapres, partai politik dan tim sukses pengusungnya. Kampanye yang hanya mengandalkan pemasangan spanduk dan pemasangan iklan politik secara membabi buta adalah tindakan tidak memdidik dan tidak berbudaya.


Kampanye dengan spanduk dan iklan politik hanya akan mengenalkan sosok luar capres cawapres yang sebanarnya warga pemilih sudah mengetahuinya. Tidak mungkin para capres atau cawapres sosok orang yang baru dan tidak dikenal warga pemilih. Warga pemilih saat ini lebih ingin mengenal lebih dalam dan lebih dekat lagi para capres cawapres yang akan dipilihnya. Sebenarnya banyak bentuk kegiatan yang dapat dilakukan utnuk membangun kegiatan berdialog dalam pemilu bersama warga pemilih. Kegiatan tersebut akan lebih kreatif dan bermanfaat dengan menggunakan dana yang dimiliki secara baik. Dana yang dimiliki sebaiknya tidak dihabiskan hanya untuk membuat spanduk dan iklan politik saja tetapi membangun kegiatan kreatif yang populis.


Para capres cawapres atau tim sukses dan partai politik pengusungnya seharus kreatif membangun bentuk kegiatan nyata di lapangan. Misalnya melakukan kerja bakti bersama, bakti sosial atau dialog-dialog kreatif tanpa kepalsuan langsung dengan warga calon pemilih. Kampanye dengan spanduk dan iklan politik hanya akan menghasilkan slogan-slogan kekanak-kanakan, tidak kreatif, tidak efektif, pengecut dan hanya menganggap warga bodoh. Capres cawapres yang juga berani turun langsung dan berdialog langsung dengan warga pemilihnya yang akan menjadi pemenang karena mendapat dukungan nyata. Caranya adalah menggunakan anggaran kampanye yang dimiliki capres cawapres lebih untuk kegiatan-kagiatan bermanfaat bagi banyak orang dalam jangka waktu yang cukup panjang. Pilihan bentuk kegiatannya juga tidak sesaat, tidak membodohi seperti membeli suara warga atau tidak merusak lingkungan.


Coba bayangkan dana sekitar Rp 1 juta yang digunakan untuk membuat spanduk di sebuah kampong ditukar sebagai anggaran untuk kerja bakti membersihkan sampah dan berdialog di kampung itu. Tentu hasilnya akan lebih baik untuk warga itu karena kampungnya akan lebih bersih. Para tim sukses bisa juga memilih kegiatan kampanye dengan melakuka penghijauan dan berkomunikasi politik dengan warga tentang lingkungan hidup. Atau juga misalnya uang untuk bikin kampanye itu ditukar dengan membikin seragam atau membeli buku-buku sekolah yang dibagikan anak-anak dari komunitas warga miskin yang tidak mampu membeli seragam atau buku sekolah. Membantu memberi seragam atau buku pelajaran sekolah itu hanya alat mengumpulkan warga untuk capres cawapres atau tim suksesnya berdialog dengan warga soal kemiskinan dan pendidikan. Bahkan dana kampanye yang terbuang hanya berbentuk spanduk dan iklan politik itu jadi menarik dan bermanfaat apabila dibelikan mobil untuk perpustakan keliling atau mobil pelayanan kesehatan keliling. Bahkan jika dikumpulkan, dana kampanye percuma itu uangnya mampu digunakan untuk membangun rumah sakit untuk menolong warga miskin berobat.


Luar biasa rupanya dana kampanye itu, baik besar atau pun manfaatnya jika digunakan kepada hal-hal yang lebih bermanfaat bagi banyak orang terutama menolong sesama yang menderita dan miskin. Tindakan atau pilihan kreatif itu tentunya akan sangat membantu mempopulerkan capres cawapres yang diusung. Bagi si capres cawapres atau partai politik dan tim sukses pengusung perlu meninjau ulang model atau media kampanye yang dipilihnya. Pilihan ulang perlu dilakukan dengan pertimbangan agar lebih efektif, jelas dukungan dan keberhasilan kampanyenya. Pertimbangan itu didasari oleh hasil yang lebih bermanfaat dan popular membantu serta mendidik sesama. Jadi mari tinggalkan pola kampanye spanduk dan iklan politik karena itu tidak mendidik dan tidak berbudaya karena hanya, menghambur-hamburkan uang di tengah warga yang sedang menderita. Jangan lagi berpikir bahwa warga pemilih akan dapat dibohongi oleh spanduk atau iklan politik. Pilihan model dan bentuk kegiatan akan mencerminkan capres atau cawapres yang diusung. Jangan tolak uang sogokan dari capres cawapres tetapi jangan pilih mereka memberi uang sogokan. Mari memilih calon yang sesuai dengan kepentingan kita.



Jakarta, 16 Juni 2009
Azas Tigor Nainggolan
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) dan seorang Advokat Publik bagi warga miskin kota Jakarta serta aktif dalam advokasi kemerdekaan informasi dan berekspresi, kontak: azastigor@yahoo.com atau 08159977041

Jumat, Mei 29, 2009

Jargon SBY Berbudi diganti, kenapa?

Mengapa Jargon SBY Berbudi diganti? Mau tau?

Ternyata alasan “Mengapa Jargon SBY Berbudi diganti” sangatlah menarik. Coba Anda simak penjelasan berikut di bwah ini :

Tim sukses SBY sdg pusing mengadakan pembenahan di Palembang, alasannya :

Ketika mereka mengajukan jargon “SBY berbudi”, mereka tidak memikirkan kalo di palembang arti kata Budi = Menipu/berbohong

Jadi artinya SBY berbudi = SBY berbohong … sehingga slogan2 di
Palembang yg naik cetak harus di batalkan semua! Jika itu terjadi SBY bisa mengubah Tim Sukses-nya menjadi Tim Suksesi! Gawatkan?!

Oleh karena itulah org Palembang lebih suka SBY berpasangan dgn Hata
Rajasa agar jargonnya jadi “SBY berjasa”!

Tetapi masih untung SBY tdk berpasangan dgn Salahudin krn jargonnya
jadi “SBY bersalah”!

Dan juga PAN tdk mengajukan ketumnya Sutrisno Bahir karena jadi “SBY berahir”!

Tapi siapapun “ber sama nya, tetap SBY depannya” ….

termasuk Rani kalo jadi cawapres menjadi SBY berani.

Tapi ada sedikit perubahan dalam slogannya SBY, yang selama ini
menggunakan jargon ‘LANJUTKAN’ ternyata sejak JK hilang berubah
menjadi ‘LANUTAN’…….

Demikian sekilas info!

Selasa, Mei 26, 2009

Azas Tigor Nainggolan

Oleh: Hotman J Lumban Gaol
19 Mei 2009.

Azas Tigor Nainggolan, biasa dipanggil kawan-kawan biasa memanggil saya dengan Tigor, ada juga yang memanggil Jambul atau ada juga yang memanggil Astina. Saya dilahirkan di kota Medan pada 9 Pebruari 1965. Isteri saya bernama Maria Agatha Tiarlin Apridawati Sibuea. Anak saya sudah dua, nomor satu bernama Ignatius Stefanus Manogi Kevin Azas Nainggolan (6 Maret 1997) dan nomor dua Yoseph Madeliano Tua Gabe Azas Nainggolan (9 Pebruari 2002. Sehari-hari, selain aktif di Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), saya bekerja dan membuka praktek sebagai Advokat Publik bersama beberapa rekan lainnya. Kawan-kawan bisa mengontak saya melalui email azastigor@yahoo.com atau HP: 08159977041
1. Nama: Azas Tigor Nainggolan, SH, MSi
2. Tempat dan Tanggal Lahir: Medan, 9 Pebruari 1965
3. Alamat tempat tinggal: Jl. Bunga Dalam II No:4, Matraman,
Jakarta Timur 13140,
Mobile Phone: 08159977041,
email: azastigor@yahoo.com,
4. Jenis kelamin: Laki-laki
5. Status perkawinan: Sudah kawin
6. Pekerjaan: Advokat di Kantor Hukum TMA dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA)
7. Riwayat Pendidikan:
• S1 Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Jurusan Hukum Internasional Universitas Kristen Indonesia pada tahun 1989
• Master Ilmu Politik dari Universitas Nasional, Jakarta, 2004.
8. Riwayat Pekerjaan:
• Tahun 1989-2003, bekerja di Institut Sosial Jakarta (ISJ), mulai dari menjadi pendamping lapangan, Kordinator Biro Penggorganisasian, Kordinator Presidium Pengurus ISJ hingga ISJ dibubarkan.
9. Pengalaman Organisasi:
• Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Tahun 2000-Sekarang
• Kordinator Koalisi Warga Untuk Transportasi (KAWAT) Jakarta, Tahun 2003-Sekarang
• Kordinator Komite Pembela Kebebasan Pers (KPKP), Tahun 2000 sampai sekarang
• Kordinator Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta Tahun 1998-2002
• Kordinator Divisi Advokasi Tim Relawan untuk Kemanusiaa (TRuK), Tahun 1996-2001
• Pendiri Lembaga Debt Watch Indonesia
• Pendiri Aliansi Aktivis Lingkungan Hidup Indonesia (ALIANSI)
• Pendiri dan anggota Badan Pembina Public Interest Enviromental Lawyers (PIELs) atau Asosiasi Advokat Publik berperspektif Lingkungan, Tahun 2003-Sekarang
• Pendiri dan Advokat di Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Tahun 2003-Sekarang
• Anggota Tim Penyusunan Konsep dan Tata Organisasi Dewan Transportasi Kota (DTK) Jakarta, Tahun 2004
• Anggota Badan Pengawas LBH Pers, Tahun 2004-2007
• Ketua DPD Perguruan Karate GOKASI Jakarta, Tahun 2005-2009
• Menjadi anggota di Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) sejak tahun 2004
• Bendahara Eksekutif Board INFID, 2005-2008
• Menjadi Pengurus pada Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Perantau Konfrensi Wali Gereja di Indonesia (KPMP KWI) tahun 2006 hingga sekarang
• Menjadi Wakil Ketua Tim Seleksi Anggota Dewan Transportasi Jakarta (DTK-J) tahun 2007
• Menjadi Kordinator Jaringan Masyarakat Indonesia untuk Perubahan Iklim, sejak Juni 2008 hingga sekarang


10. Aktivitas lain:
• Menulis tentang masalah-masalah Perkotaan, Transportasi dan Hak Azasi Manusia di berbagai Media Massa di Jakarta serta Majalah Ilmiah
• Melakukan penelitian tentang Hubungan Rasa Aman dan Tingkat Keinginan Memperbaiki Pemukiman Warga Miskin di Pemukiman Warga Miskin Penas Tanggul, Jakarta Timur, 1996
• Menjadi peneliti dan penulis pada pembuatan buku Konflik Pertanahan Pada Kasus Lingkungan di Indonesia, 1997
• Menjadi salah satu anggota Tim Investigasi Kasus Pelanggaran HAM masyarakat tambang di Kalimantan Timur, 1999-2000
• Menjadi salah satu penulis dalam buku berjudul “Penggusuran Pemukiman Miskin, Sebuah Potret Konflik Pertanahan di Jakarta” yang diterbitkan oleh Institut Sosial Jakarta, 2002
• Menjadi salah satu penulis dalam buku berjudul “Bunga Trotoar, Sebuah Potret Kehidupan Pedagang Kaki Lima di Jakarta”, diterbitkan oleh Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), 2003
• Menjadi salah satu penulis buku tentang Alternatif Penyelesaian Kasus Penggusuran di Jakarta, studi kasus di Kemayoran Jakarta Pusat, diterbitkan oleh Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), 2005
• Melakukan Penelitian tentang Pendapatan Parkir On Street Jakarta bersama FAKTA, 2006
• Memberikan dan menjadi fasilitator pada berbagai Pelatihan Analisa Sosial dan Advokasi Hak Azasi Manusia
• Menjadi salah satu nara-sumber pada acara Roundtable Discussion Peluncuran Laporan Regional Commission on Legal Empowerment of the Poor (CLEP) yang diadakan di Kantor Sekretariat ASEAN tanggal 3 Juli 2008.
• Menjadi salah satu nara-sumber pada acara Lokakarya Hak Azasi Manusia yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia pada 8-11 Juli 2008 di Jakarta dengan tema “10 Tahun Reformasi: Quo Vadis Pemajuan dan Penegakan HAM di Indonesia”.
• Pada tahun 2009 Menulis Buku “Bubernur Bela Warga: Hasil Survey Persepsi Warga Jakarta Terhadap Kinerja Gubernur DKI Jakarta Tahun 2008”

Tigor: Teguh Membela yang Tersingkirkan
Bagi Azas Tigor Nainggolan, 44 tahun, Jakarta belum menjadi kota yang nyaman bagi warganya. Tiap hari terjadi pengusuran. Terjadi perang antara pemerintah kota dengan warganya sendiri. Cara apa pun ditempuh oleh pemerintah kota untuk menggusur warganya yang miskin. Tidak ada ruang untuk orang miskin di Jakarta. Inilah potret buram Ibu Kota Republik ini.
Untuk mewujudkan Jakarta yang adil bagi warganya, terutama mereka yang tersingkirkan dari kehidupan yang layak, Tigor bersama teman-temanya, pengacara publik, mendirikan FAKTA (Forum Warga Kota Jakarta). ”Jakarta harus dibangun seperti membangunan Samosir sana,” katanya di ruang kantornya yang terletak di Kalimalang. Dia menjadi nakhoda organisasi nirlaba ini sejak berdiri tahun 2000. Lembaga non-pemerintah tersebut memberikan perhatian pada nasib masyarakat miskin kota, dan berkeinginan untuk mengawasi pemerintah kota dalam menjalankan kebijakan.
”Sejak zaman Belanda, Jakarta hanya untuk mencari keuntungan semata, tidak berpikir untuk membangun kota. Warga miskin tak bisa menikmati Sungai Ciliwung dan tidak boleh berada di tengah kota. Sekarang itu juga yang terjadi. Orang miskin tidak pernah bisa menikmati Jakarta,” katanya.
Pada usia sembilan tahun, FAKTA telah banyak melakukan advokasi untuk membela warga kota, dalam bentuk gugatan publik, gugatan legal standing, gugatan kekerasan terhadap wartawan yang ditujukan terhadap Gubernur Jakarta. Pernaha melancarkan gugatan class action berkaitan dengan banjir Jakarta tahun 2002 terhadap Gubernur Jakarta dan beberapa lagi yang lain, yang berpihak terhadap mereka yang secara kasat mata dirugikan.
FAKTA tidak cukup hanya dengan kata-kata keras dalam membela yang tersingkir. Dia dilengkapi dengan radio komunitas bernama Radio Suara Warga Jakarta, disikangkat SWJ, mengudara di gelombang 96,9 FM. Radio yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan dikelola oleh masyarakat. Radio ini bekerja mulai dari pukul 11 pagi hingga pukul 18 sore. Selain itu, FAKTA juga mendirikan perpustakaan mobil baca yang diperuntukkan bagi penduduk kampung miskin Rorotan, Jakarta Utara.
Bagi pria kelahiran Medan, 9 Pebruari 1965, ini hidup adalah pengabdian demi kota Jakarta yang lebih baik, lebih memperhatikan mereka yang kurang beruntung. Tigor! Begitulah teman-temannya biasa memanggilnya. Panggilan itu diucapkandengan hangat, karena mereka sadar bahwa nama itu berarti lurus tidak bengkok. Namum, ada juga yang memanggilnya dengan intim, Jambul, atau yang terdengar agak romantis, Astina, singkatan dari Azas Tigor Nainggolan.


Dia pernah mengenyam pendidikan di Universitas Kristen Indonesia dan Universitas Nasional untuk bidang hukum dan politik. Dia memulai debutnya di Institut Sosial Jakarta (ISJ) sebagai pendamping lapangan, kemudian koordinator biro penggorganisasian, dan duduk sebagai koordinator Presidium Pengurus ISJ. Ketika masih remaja, dia pernah manjadi ketua Karang Taruna di Palmeriam, Jakarta Timur. Tigor menikah dengan Maria Agatha Tiarlin Apridawati Sibuea, dan Tuhan menganugerahkan dua anak laki-laki bagi pasangan ini, Ignatius Stefanus Manogi Kevin Azas Nainggolan, 12 tahun, dan Yoseph Madeliano Tua Gabe Azas Nainggolan, 7 tahun.
Tidak Sekedar Mengkritik


”Jakarta ini banyak persoalan. Transfortasi Jakarta juga salah urus. Kita tidak memaki, mengkritik, tetapi menawarkan solusi. Orang Jakarta terlalu banyak yang mengkritik, tetapi tidak banyak yang memberikan solusi. Seharusnya kita aktif sebagai warga Jakarta, harus berperan mengontrol. Mengkritik perlu, tetapi juga harus memberikan solusi. Di Jakarta sangat banyak warga tidak punya akte kelahiran. Kita bekerja sama dengan pemerintah kota untuk membuat akte kelahiran,” katanya menjelaskan.


“Jakarta memang sudah tidak sehat, kota sepadat Jakarta seharunya memiliki 30 persen ruang hijau. Sekarang ruang hijaunya tinggal 7,2 persen. Biaya operasional pemerintah 80 persen, sementara buat pembangunan masyarakat cuma 20 persen. Itu pun buat rakyat miskin tinggal beberapa persen saja,” Tigor mengeluh.
Selain masalah kemacatan, banjir, dan tata ruang yang amburadul, masih banyak masalah lain yang membebani Jakarta. “Megamal Pluit,” katanya mengambil satu contoh. ”Itu dulu daerah resapan air. Begitu juga Mal Taman Anggrek, Plaza Senayan, Cibubur Junction, dan Tamini Square. Dampaknya bukan cuma pada lingkungan, tapi juga banyak pedagang kecil yang kehilangan penghasilan,” katanya membela orang-orang yang sudah dia niatkan untuk dibela.


Di banyak kota di Amerika Latin, katanya mengambil contoh, yang kondisinya mirip dengan Jakarta, warganya dilibatkan dalam penyusunan anggaran pemerintah. ”Dalam anggaran itu, 60 persen biaya pembangunan langsung ke masyarakat dan 40 persen untuk operasional.”


Dia juga melancarkan kritik terhadap peraturan daerah yang tidak tegas pelaksanaannya. Katanya, pemerintah DKI tidak sepenuh hati menerapkan peraturan tentang peraturan larangan merokok. Padahal, saat ini komnsumsi rokok masyarakat Indonesia sangat tinggi, mencapai 220 miliar dalam setahun. Tak tahan melihat peraturan yang tidak jalan, Tigor Nainggolan menggugat pemerintah dan DPR di pengadilan negeri (PN) Jakarta Pusat. Gugatan tersebut diajukan bersama empat organisasi, yakni Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Forum Warga Kota Jakarta, Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), dan Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS).


Pembiaran kejahatan rokok merugikan masyarakat. Memang, dari rokok, negara mendapat uang pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPH) sebesar Rp 32 triliun per tahun. Tetapi, akibat dampak rokok, negara mengeluarkan biaya pengobatan sangat besar, Rp 127 triliun per tahun.


Menurut Tigor, sesuai data survei yang mereka lakukan, dampak merokok bagi kesehatan dan kesejahteraan rumah tangga Indonesia sangat memprihatinkan. Masyarakat yang berpenghasilan rendah membelanjakan sekitar 12 persen pendapatannya untuk membeli rokok, bahkan dua per tiga penerima bantuan langsung tunai (BLT) membelanjakan lebih besar untuk membeli rokok.


Masalah yustisi juga tidak luput dari perhatiannya. Berdasarkan Perda DKI No 4/2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, pendatang yang melanggar izin kependudukan akan dikenakan sanksi pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp5 juta.
Setiap tahun setelah lebaran biasanya pemda DKI Jakarta memberlakukan Operasi Yustisi Kependudukan (OYK), di tempat-tempat pintu masuk kedatangan, seperti terminal atau stasiun dan juga tempat lainnya, termasuk apartemen, rumah kontrakan atau tempat kos.


Soal kemacatan lalulintas katanya, kerugian yang diakibatkannya mencapai Rp 43 triliun setahun, lebih besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah DKI Jakarta tahun 2007, yang hanya sekitar Rp 20 triliun.
Belum lagi masalah busway yang sejak awal disiapkan untuk membantu mengatasi kemacatan nyatanya justru semakin membuat lalu-lintas tersendat-sendat. Tak jarang berhenti sama sekali selama lebih dari satu jam, terutama di jam-jam sibuk. Busway juga tak berhasil mengajak orang yang berkendaraan pribadi untuk beralih naik angkutan umum. “Satu-satunya moda tranfortasi yang layak adalah busway. Tetapi, sekarang tidak layak lagi, orang harus berduyun-duyun sampai satu jam di halte. Padahal dulu hanya 15 menit. Sekarang busway tidak layak lagi,” ujar Tigor. Dari sekian banyak kedudukan yang dijabatrnya, Tigor adalah juga Wakil Ketua Tim Seleksi Anggota Dewan Transportasi Jakarta.


“Pada jam sibuk, busway selalu penuh dan datangnya tak tentu, padahal janjinya dulu akan selalu ada setiap lima sampai sepuluh menit,” katanya..
Tahun 2003, dia diundang satu lembaga swadaya masyarakat di Amerika Serikat untuk melakukan studi tentang busway di Bogota, Kolumbia. Rupayanya Kolombia yang menjadi refrensi Jakarta untuk membangun busway.


Tigor juga ikut mendirikan Aliansi Aktivis Lingkungan Hidup Indonesia (ALIANSI), dia juga anggota Badan Pembina Publik Interest Enviromental Lawyers (PIELs) atau Asosiasi Advokat Publik berperspektif Lingkungan, sejak tahun 2003 hingga sekarang.
Untuk menyeimbangkan kehidupan rohani dan jasmani, dia menjadi pengurus pada Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Perantau Konfrensi Wali Gereja di Indonesia (KPMP KWI) sejak tahun 2006 hingga sekarang. Dia juga aktif dalam pengurusan olahraga belahdiri sebagai Ketua DPD Perguruan Karate GOKASI Jakarta.


Mendirikan LBH Pers
Dia selalu terdepan dalam membela kaum tertindas. Termasuk media yang mendapat tekanan karena pemberitaan menjadi perhatian Tigor. Dan itulah mendorongnya mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), dan juga menjadi advokat. Selain itu, dia juga anggota Tim Penyusunan Konsep dan Tata Organisasi Dewan Transportasi Kota (DTK) Jakarta, Anggota Badan Pengawas LBH Pers, tahun 2004-2007.
Sebagai orang yang telah mengabdikan dirinya pada dunia LSM, Tigor kerapkali memberikan pendampingan pada kaum tertindas, dan menjadi fasilitator pada berbagai pelatihan analisa sosial dan advokasi hak-hak asasi manusia. ”Saya selalu membela kaum tertindas di Jakarta. Ada kepuasan tersendiri,” ujar anggota Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), ini.


Tigor tidak hanya seorang aktivis LSM, tetapi orang yang selalu belajar setiap saat. Kadar intelektualnya diasah dengan membaca. Di ruang kerjanya, ratusan buku tersusun rapi.


Tak jarang dia diundang sebagai narasumber dari berbagai hal. Salah satu adalah nara-sumber pada acara lokakarya Hak-hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia dengan tema “10 Tahun Reformasi: Quo Vadis Pemajuan dan Penegakan HAM di Indonesia.”


Kepedualiannya terhadap HAM mendorongnya ingin menjadi anggota Komnas HAM. Saat pergantian pengurus di tubuh Komnas HAM. A 176 calon yang mengajukan diri menjadi anggota Komnas HAM untuk periode 2007-2012, Tigor bersaing dengan Adrianus Eliasta Meliala, yang selama ini dikenal sebagai kriminolog, dan Johnson Panjaitan, temannya satu alumni di Fakultas Hukum UKI. Sayang, Tigor Nainggolan belum terpilih menjadi anggota Komnas HAM.


Disela-sela kesibukannya memimpin FAKTA, Tigor juga masih sempat menulis buku. Sudah lima buku ditulisnya terkait masalah Jakarta berjudul ”Konflik Pertanahan Pada Kasus Lingkungan di Indonesia,” dan satu lagi mengenai perparkiran. Tigor juga menulis buku mengenai penggusuran pemukiman miskin dan kaitannya dengan konflik pertanahan di Jakarta, diterbitkan oleh Institut Sosial Jakarta.


Membela Miskin Kota
Saat ini warga miskin Jakarta berjumlah 60% dari total jumlah penduduk. Bagi Tigor, pemerintah harus mengimplementasikan semua hak masyarakat yang terdapat dalam Kovenan Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia, untuk mengatasi kemiskinan.


Tigor menilai, pemerintah belum mengeluarkan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat dalam memberikan jaminan sosial.Katanya, bantuan langsung tunai yang diberikan kepada masyarakat miskin sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak, bukan memberikan solusi.
Untuk semua perhatian dan pengabdiannya terhadap Jakarta, Tigor tidak mendapat dukungan, malah diganjar masuk bui. Teror tidak membuatnya jera. ”Istriku sudah biasa menerima hal itu sebagai resiko dari pilihan hidup. Berjuang untuk orang lain itu perlu pengorbanan.”


Katanya mengisahkan perjalanan hidupnya: ”Saat itu kami demo anti militerisme, di Sarinah, tahun 1999. Saya ditembak. Pantat dan tangan kena. Tetapi, tidak membuat saya trauma. Saya terus berjuang untuk orang miskin. Di tangkap sudah sering, juga ditahan dan dipenjarakan. Di Cianjur, ditangkap karena membela petani. Karena melaporkan Sutiyoso, saya dijebloskan ke penjara,” ujarnya tanpa menunjukkan penyesalan. *** Hotman J Lumban Gaol

Senin, April 27, 2009

Awas Bahaya Laten Orde Baru

Kiriman seorang teman jurnalis KBR 68H untuk anggota Jaringan Green Radio, baik sekali menjadi masukan untuk kita yang akan memilih presiden di pilpres 8 juni 2009 mendatang

Sikap Redaksi KBR68H
Ditulis : Santoso

Bagi anda pengguna facebook, pekan ini mungkin akan menemui gejala berbeda. Ada banyak teman anda yang tiba-tiba memasang gambar profil serupa. Dan gambar itu, sama sekali bukan wajah mereka. Orang-orang kini memasang poster merah, bertuliskan Awas. Pembunuh di Sekitar Kita . Facebook bukan sekedar sarana nampang, atau bergaul sesama teman. Tetapi juga media kampanye.

Awas. Pembunuh di Sekitar Kita. Pesan itu bukan untuk menakuti Anda tentang meningkatnya kriminalitas di sekitar rumah. Tetapi, pesan supaya kita waspada tentang kembalinya tokoh politik yang di masa lalu banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Pesan itu menjadi lebih jelas, kalau kita perhatikan tulisan lebih kecil di bawahnya, Kita ingat mereka yang diculik dan dibunuh

Riwayat Orde Soeharto memang penuh dengan pelanggaran HAM. Di akhir masa kekuasaannya, penculikan mahasiswa dan aktifis pro demokrasi marak terjadi. Dua puluh dua orang hilang diculik, hanya sembilan yang kembali dalam keadaan hidup. Besar kemungkinan korban yang lain itu sudah meninggal. Mungkin sengaja dibunuh untuk melenyapkan bukti-bukti. Peristiwa penculikan itu, menyeret sejumlah anggota Kopasus ke pengadilan.

Sampai sekarang orang orang seperti Widji Tukul atau Herman Hendrawan, tidak jelas keberadaannya. Tim Mawar, pelaku penculikan, memang sudah diadili. Tetapi pertanggung-jawaban politik yang lebih tinggi, tak efektif berjalan. Prabowo sempat dipecat dan karir militernya terhenti. Tetapi, ia tak pernah diadili. Sekarang dia bisa membangun partai dan memperoleh dukungan suara lumayan. Dengan bekal dana yang sangat besar, Prabowo kemungkinan juga akan menjadi calon wakil presiden yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Paket Mega-Prabowo, dianggap bisa menandingi popularitas SBY yang sampai sekarang belum menentukan calon wakil presidennya.

Inilah dilema transisi demokrasi yang tidak menyelesaikan masa lalunya dengan baik. Berbeda dengan Afrika Selatan yang tegas membuat rekonsiliasi nasional, kita membiarkan masa lalu mengendap sendiri. Tanpa penyelesaian. Dan sekarang, kita dikejutkan oleh munculnya tokoh masa lalu, seperti Prabowo dan Wiranto. Sebuah gejala yang secara hukum tak bisa diabaikan lagi. Karena partai mereka dipilih oleh rakyat, dan kemungkinan besar akan berkiprah di parlemen.

Kita paham maksud orang orang memasang profil serupa di facebook mereka. Meski secara hukum semua orang punya hak politik yang sama, kita perlu ingat masa lalu tokoh- tokoh yang sekarang tampil di publik dan berniat duduk di kekuasaan.

Kita ingat mereka yang diculik dan dibunuh.

Minggu, April 12, 2009

Bunga Kejujuran

Bunga Sang Kaisar

Pada suatu waktu di Cina hiduplah seorang pria muda bernama Chang. Ia cerdas dan tulus. Lebih dari segalanya, ia mencintai bunga. Tidak ada yang lebih menyenangkannya daripada melihat bunga lilac, lili, dan peony ketika mereka mekar di musim semi. Di musim dingin ia menanti-nantikan munculnya bunga narcissus yang indah. Ia tidak bisa memilih sebuah bunga favorit, karena ia menyukai bunga morning glory dan evening glory, bunga delima, bunga peach, dan bunga teratai yang mengapung di kolam. Ia menikmati bunga mawar yang wangi, seruni yang kokoh, dan dahlia yang menakjubkan.

Chang mengagumi kaisar karena ia pernah mendengar bahwa kaisar juga mencintai bunga dan mengawasi kebun indah di taman istana.

Sekarang kaisar sudah berusia lanjut. Ia tidak mempunyai putera, sehingga ia tidak mempunyai calon penggantinya. Selama bertahun-tahun ia memikirkan cara memilih seorang pria yang bisa ia angkat sebagai kaisar berikutnya. Kemudian, pada suatu hari di awal musim semi ketika ia berjalan-jalan di tamannya, ia mendapat gagasan yang sangat bagus.

Hari berikutnya, kaisar mengumumkan kepada semua pria muda di negeri itu bahwa di akhir minggu ia akan memberikan biji-biji kepada siapapun yang ingin menanam bunga. Kaisar mengatakan, "Siapapun yang menumbuhkan bunga terindah yang dibawa ke hadapanku akan menjadi penggantiku."

Ketika Chang mendengar berita itu, ia mengisi sebuah pot biru terang dengan lumut dan kompos, tanah subur dan pasir. Puas bahwa tanahnya subur dan lembab, ia membawanya ke istana. Di sana ia berdiri di dalam antrian bersama ratusan orang lain. Setiap pria muda memegang sebuah pot: ada yang besar, ada yang kecil, ada yang bulat, ada yang tinggi, ada yang ramping. Setiap orang menerima sebuah biji dari tangan kaisar sendiri.

Chang menekan biji itu ke dalam tanah di pot dan dengan berhati-hati menutupnya dengan kain tipis untuk menjaganya agar tetap hangat. Kemudian ia bergegas pulang.

Di rumah, Chang memelihara biji dari kaisar itu dengan pengabdian yang sama seperti yang ia berikan ke semua tanamannya. Ia berhati-hati untuk tidak memberi terlalu banyak atau terlalu sedikit air. Pada saat yang tepat ia memberi pupuk, dan sangat berhati-hati dalam melindunginya dari serangga, debu dan jamur, seperti semua tanaman lainnya.

Berbulan-bulan berlalu, tanaman lainnya telah menembus tanah dan mulai tumbuh, tetapi Chang kecewa karena tida ada tunas yang tumbuh di pot birunya. "Ini aneh," katanya. "Mungkin biji ini tidak membutuhkan banyak matahari." Jadi, ia memindahkan pot ke ruangan lain, tetapi juga tidak terjadi apapun. "Mungkin ruangan ini terlalu dingin," katanya, dan ia memindahkan pot birunya ke ruangan yang lebih hangat. Masih juga tak terjadi apapun.

Sekarang waktu untuk menghadap kaisar sudah mendekat, dan pot biru Chang masih kosong. Setiap kali memandanginya, ia dipenuhi rasa putus asa. "Apa yang salah?" pikirnya. Ia mengunjungi setiap ahli perkebunan yang ia kenal, dan kepada setiap orang menceritakan kisah bijinya. Mereka semua menggelengkan kepala. Tak ada yang tahu dimana letak kesalahannya.

Beberapa orang mengatakan bahwa jelas ia tidak dimaksudkan untuk menjadi kaisar. Beberapa orang lainnya mengatakan ia harus menambah tanah, atau menambah air, atau mengurangi pupuk. Beberapa orang lain mengatakan untuk melupakan keinginannya menjadi kaisar.

Tetapi orang tua Chang mendengarkan kekuatiran anaknya dan hanya tersenyum. "Jangan kuatir, nak. Kamu sudah melakukan hal yang terbaik," kata orang tua yang bijaksana itu. "Hanya itu yang dapat kau lakukan."

"Tetapi aku telah gagal," keluh Chang ketika memandangi tanah kosong di potnya. "Sudah waktunya untuk menemui kaisar, dan aku sudah mengecewakannya."

"Katakan saja apa yang telah terjadi," kata ayahnya. "Kewajibanmu hanyalah mengatakan kebenaran."

Pada hari yang telah ditentukan beberapa waktu kemudian, dengan hati putus asa karena kecewa, Chang berjalan ke istana. Ketika tiba, air matanya mengalir, karena di depannya, lautan pria muda berdiri, masing-masing memegang bunga yang lebih indah dari pada orang di depannya. Bunga-bunga anggrek yang anggun, bunga lili yang halus, bunga peony yang berwarna-warni. Pemiliknya memeganginya dengan bangga. "Lihat punyaku!" teriak mereka sambil memegangi tanamannya tinggi-tinggi ketika kaisar berjalan melewati kerumunan. Ia mengangguk senang sambil berlalu, memperhatikan bunga bell, bunga forget-me-not, bunga foxglove, bunga dari setiap warna pelangi.

Chang belum pernah melihat pemandangan yang begitu indah, dan kesedihannya menguap untuk sementara waktu ketika ia menghirup aroma bunga-bungaan dan mengagumi ukuran dan bentuk bervariasi dari bunga-bunga itu.

Akhirnya kaisar sampai juga di hadapan Chang. Chang membungkukkan kepalanya. "Di mana bungamu, pria muda?" tanya kaisar.

Chang melihat cahaya di mata kaisar yang membuatnya terkejut. "Baginda, hamba telah mengecewakan baginda," katanya dengan sedih. "Hamba telah merawat biji yang baginda berikan, tetapi seperti baginda lihat, hamba tak mampu menumbuhkan bunga untuk baginda. Hamba berharap baginda memaafkan hamba."

Tetapi wajah kaisar bersinar dengan senyum yang lebih cerah dari pada semua bunga yang ada di sekelilingnya. "Kamulah penggantiku," kata kaisar menggenggam tangan Chang.

"Tetapi, baginda, hamba adalah satu-satunya orang yang gagal,"

Kaisar menggelengkan kepalanya. "Sebaliknya," jelasnya, "kamu tahu, aku telah merebus biji-biji ini sebelum aku membagikannya. Tidak satupun dari biji-biji itu yang akan tumbuh, tetapi semua orang muda lain begitu menginginkan kedudukanku sehingga mereka hanya ingin menyenangkan aku dengan keindahan bunga mereka dan dengan demikian mereka berharap mendapatkan tahtaku. Mereka tidak peduli pada kejujuran, pada kebenaran. Hanya kamu yang telah membuktikan bahwa kamu adalah pemimpin yang layak."

Dan begitulah, pria muda dengan pot kosong itu menjadi pengganti kaisar Cina.

Tuhan bergaul karib dengan orang jujur. . . .




Sumber: Media Kawasa

Selasa, April 07, 2009

Buddha Bar

Cagar Budaya itu bernama Buddha Bar
Oleh: Azas Tigor Nainggolan



Rupanya kontroversi masalah cafe Buddha Bar Jakarta yang menghebohkan itu ternyata belum juga hilang. Masih bertahannya isu ini dapat dilihat di beberapa jaringan internet beredar email (surat elektronik) tentang masalah cafe yang menempati gedung eks kantor Imigrasi. Dulu gedung ini dikenal sebagai Gedung Kunstkring terletak di daerah permukiman Menteng dan sempat dijual ke pihak swasta. Rencananya setelah dibeli kembali akan dijadikan sebagai bangunan cagar budaya. Email-email itu menyebutkan bahwa gedung eks kantor Imigrasi sempat dibeli oleh perusahaannya Tommy Soeharto. Banyak pihak yang mempertanyaan saat itu, kenapa gedung eks Imigrasi itu bisa dibeli perusahaan Tommy Soeharto? Akhirnya pemerintah provinsi (Pemprov) Jakarta saat itu didorong oleh publik untuk membeli kembali gedung Kunstkring agar bisa diselamatkan sebagai bangunan cagar budaya.

Bagian akhir salah satu email juga mempertanyakan, mengapa gedung tua tersebut setelah dibeli dari perusahaannya Tommy Soeharto dan direnovasi dengan uang warga Jakarta tetapi digunakan oleh swasta? Ditanyakan pula bahwa mengapa peruntukannya bukan sebagai cagar budaya? Sebagaimana diberitakan banyak media massa beberapa waktu lalu, gedung Kunstkring yang terletak di jalan Cut Nya Dien, Teuku Umar Jakarta Pusat direnovasi dan digunakan sebagai Cafe Buddha Bar. Sebenarnya pada tahun 1993 gedung eks kantor Imigrasi ini sempat dihargai Rp 9 miliar dan ditukar guling (ruilslag) dengan sebuah gedung kepunyaan PT Mandala Griya Cipta milik Tommy Soeharto (Koran Warta Kota, 22 November 2008). Selanjutnya sebagai gantinya, Departemen Kehakiman mendapatkan kantor baru di daerah Kemayoran Jakarta Pusat. Namun kemudian pada sekitar tahun 1999, kondisi bangunan yang dilindungi dan berklasifikasi A ini berantakan. Kusen, daun pintu dan jendela lenyap. Pagar seng menutupi sekeliling bangunan. Tahun 2002, Pemprov DKI membeli gedung ini kembali. Setahun kemudian diadakan sayembara konsep pemanfaatan gedung Kunstkring ini dan kemudian pemugaran dimulai.

Rencana awal Pemprov Jakarta ketika itu bersama komunitas warga pecinta bangunan tua, akan menjadikan gedung Kunstkring sebagai ruang publik untuk berkesenian dan berkebudayaan. Data mencatat bahwa Dastin Hillery, Suci Mayang Sari, dan Agus Surja Sadana, tercatat sebagai tiga pemenang sayembara konsep penggunaan dan pengelolaan bangunan cagar budaya gedung Kunstkring. Dastin, juara pertama, mengusulkan agar gedung Kunstkring digunakan sebagai pengembangan seni dan budaya di Jakarta seperti fungsi masa lalu. Ruang bagian lantai dasar dari gedung berlantai dua diusulkan sebagai ruang pamer utama. Lantai dua digunakan sebagai ruangan untuk kuliah umum, bincang-bincang, diskusi serta toko buku seni dan arsitektur. Sementara itu Mayang Sari, juara kedua, mengusulkan agar gedung itu digunakan untuk kepentingan komunitas seni arsitektur Jakarta. Sementara Agus Sadana, juara tiga, mengusulkan agar gedung dimanfaatkan sebagai resto bernuansa tempo dulu.

Usulan pemenang pertama, Dastin Hillery ini sesuai dengan sejarah keberadaan gedung Kunstkring yang dituliskan oleh Adolf Heuken dalam bukunya yang berjudul Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia. Dalam bukunya itu, Adolf Heuken menuliskan bahwa gedung dengan dua menara tersebut merupakan awal sejarah arsitektur Indonesia. Semula gedung itu milik Nederlandsch Indische Kunstkring (Lingkar Seni Hindia Belanda), sebuah perkumpulan (kelompok) yang membangkitkan apresiasi warga Batavia terhadap seni dan budaya. Gedung dibangun tahun 1913 di atas sebidang tanah sumbangan NV De Bouwpleg pada tahun 1912. Adolf Heuken dalam bukunya itu juga menuliskan bahwa di gedung Kunstkring sering diadakan pameran lukisan, pertunjukan musik dan ceramah. Bertempat di gedung bersejarahnya ini juga pernah ada sebuah perpustakaan berisi buku tentang kesenian. Begitu pula pada tahun 1936 di gedung ini pernah dibuka pameran lukisan karya van Gogh dan Picasso yang dipinjam dari museum di Eropa serta lukisan tentang Oud Batavia.

Sejarah panjang berkesenian dan berkebudayaan gedung ini seakan tidak memiliki pengaruh. Belakangan terdengar gedung Kunstkring rancangan PAJ Moojen ini telah disewa menjadi cafe Buddha Bar. Cafe yang dibawa oleh Raymond Visan dari Perancis ini pengelolaannya dipegang PT Nireta Vista Creative (PT NVC) selama lima tahun. Sewa menyewa seperti ini merupakan baru kali pertama dilakukan terhadap sebuah bangunan cagar budaya yang dipugar kemudian difungsikan kembali dan dikelola oleh pihak swasta. Pihak swasta yang mengelola cafe Buddha Bar ini kepada Pemprov DKI yang masih menjadi pemilik sah gedung itu selama lima tahun dengan nilai sekitar Rp 4 miliar atau Rp 800 juta/tahun. Menyewakan gedung dan mengganti peruntukannya secara bertentangan dengan tujuan atau eksistensi sebagai cagar budaya adalah sebuah pelanggaran hukum.

Pelanggaran itu jelas terlihat, membeli atau mengambil alih dari pihak swasta yang sebelumnya membelinya (PT Mandala Griya Cipta ) dengan uang warga dari APBD dan atas nama penyelamatan cagar budaya. Terdapat sebuah permainan lucu (jika tidak mau mengatakannya sebagai penggelapan uang APBD Jakarta) dalam penguasaan gedung Kunstkring. Akhirnya menyewakannya menjadi sebuah cafe yang tidak ada hubungannya dengan pengelolaan sebuah cagar budaya. Padahal penguasaan kembali, membeli kembali, membuat sayembara dan merenovasi gedung Kunstkring menggunakan uang dari APBD Jakarta atas nama kepentingan cagar budaya. Justru gedung yang bersejarah itu akhirnya hanya dijadikan tempat dugem (hiburan) atau sejenisnya, sebagai sebuah cafe semata.

Jika memang peruntukan menjadi Buddha Bar tidak sesuai dengan peruntukan awal maka perlu ada tindakan publik dari arga Jakarta pemerhati cagar budaya agar gedung Kunstkring kembali menjadi cagar budaya. Tindakan yang dapat dilakukan, pertama adalah mempertanyakan perubahan tersebut kepada Pemprov Jakarta. Tindakan kedua yang dapat dilakukan kemudian adalah membawa persoalan ini ke pengadilan dengan gugatan publik secara Class Action atau Legal Standing atau Citizen Lawsuit. Perubahan yang sangat bertolak belakang itu menunjukkan adanya indikasi (kemungkinan) penyelewengan (praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau KKN) dalam penyewaan Kunstkring kepada pihak swasta. Ketika pembelian kembali gedung Kunstkring pada tahun 2002 dari PT Mandala Griya Cipta oleh Pemprov Jakarta (saat itu gubernurnya Sutiyoso). Beredar informasi bahwa pemegang saham pengelola Buddha Bar di Jakarta ini adalah orang-orang yang dekat dengan Sutiyoso yakni Reni (putri Sutiyoso), Puan Maharani (putri Megawati dan Djan Faridz. Informasi ini bisa diklarifikasi dengan melihat akta pendirian badan usaha perusahaan pengelolanya.

Reni Sutiyoso dan Puan Maharani memang sudah mengklarifikasi bahwa mereka bukan bukan pemegang saham cafe Buddha Bar Jakarta. Tetapi mereka perlu membuktikan klarifikasi tersebut dengan menujukkan akta badan hukum perusahaan pengelola Buddha Bar Jakarta. Jika memang ada nama-nama tersebut di atas sebagai pemegang saham maka sudah sangat jelas permainan KKNnya dalam pengelolaan gedung Kunstkring menjadi cagar budaya Buddha Bar ini. Artinya ada upaya terselubung penyelewengan dilakukan untuk kepentingan pribadi atau sekelompok orang termasuk di dalamnya adalah Sutiyoso sendiri. Masalah penyimpangan ini merupakan salah satu bentuk parktek KKN, memperkaya diri sendiri juga orang lain yang dikagorikan tindak pidana korupsi. Proses dan indikasi tersebut dapat dijadikan informasi awal untuk publik melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Upaya ini tidak lain adalah untuk mengembalikan peruntukan gedung Kunstkring sebagai cagar budaya bukan tempat dugem atau cafe.




Jakarta, 1 April 2009
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) dan seorang Advokat Publik bagi Warga Miskin di Jakarta, tinggal di Jakarta. Kontak: 08159977041, email: azastigor@yahoo.com, blog: www.azastigornainggolan.blogspot.com

Minggu, April 05, 2009

Orang Batak

Alboin Sitorus dan "Anak Nanimiahan"
Tulisan : Suhunan Situmorang, awal April 2009



SAMA sekali aku tak mengenal dirinya. Peristiwa yang menimpanya pun aku tahu dari sebuah koran langganan pada pagi dua hari lalu. Lelaki 43 tahun itu, diberitakan meninggal dunia saat mengemudi bus Transjakarta di lintasan Jalan Sudirman. Ia tiba-tiba terduduk lemas saat menyetir dan bus yang dikemudikannya sempat oleng ke kiri dan kanan jalan—membuat puluhan penumpang keheranan dan cemas. Diduga kuat, tiba-tiba ia diserang penyakit jantung.

Kematiannya itu, walau tak seorang pun yang menyangka dan tentu saja telah menyebabkan duka yang amat dalam bagi orang-orang terdekatnya, termasuk kematian yang "normal" sebetulnya. Kebetulan saja terjadi pada seorang pengendara kendaraan umum di jalan raya utama Jakarta yang pagi itu telah disesaki berbagai jenis kendaraan dan manusia pekerja.

Kemungkinan besar, ia memiliki istri dan anak. Tapi, mungkin pula tak. Bisa jadi pula, ayah-ibunya masih ada, entah di mana. Yang dikutip media, hanya suara seorang abang kandungnya di RS Cikini: almarhum Alboin Sitorus, sopir bus yang wafat saat bertugas itu, sebelumnya tak pernah mengeluh atau diketahui mengidap gangguan jantung.

Aku mendesahkan nafas panjang seusai membaca, lalu berpindah ke judul-judul berita lain. Alboin, ternyata, terus mengikuti pikiranku. Coba kualihkan dengan melihat judul berita terdepan sebuah koran lain yang kubeli di persimpangan jalan saat mengantar anak sulungku ke sekolah, dan kemudian berpindah ke halaman dalam.

Ditulis koran itu, Presiden SBY menyesalkan sikap seorang anggota DPR yang juga caleg Partai Demokrat karena tak memenuhi panggilan KPK. Keterangan sang caleg diperlukan KPK untuk membongkar siapa saja pihak yang terlibat kasus korupsi untuk pembangunan infrastruktur perhubungan di wilayah Indonesia Timur—di mana dua pelakunya telah ditangkap petugas KPK (juga) di sisi Jalan Sudirman saat transaksi.

Anggota DPR bernisial JAM yang tengah disorot itu, aku kenal betul. Ia teman sekampung, bahkan sempat satu SD denganku di Pangururan. Memang, di antara puluhan teman dekat asal Pangururan yang kini tersebar di berbagai wilayah, ia tak termasuk. Terakhir kami jumpa dan cuma saling melempar senyum pada akhir Desember 2001, tatkala jalan raya menuju lokasi wisata Aek Rangat Pangururan mendadak macet disebabkan membludaknya pengunjung. Kendaraan kami masing-masing terjebak dan akhirnya sama-sama turun mengatur lalu-lintas yang cukup mendebarkan karena sisi jalan yang sempit bersisian dengan Danau Toba—yang bila terpeleset sedikit akan berguling belasan meter ke bawah.

***
ALBOIN dan JAM, tentulah sama-sama pekerja keras di Jakarta, walau derajat profesi mereka berbeda bagai bumi dan langit. Juga sama-sama andalan keluarga mereka, dengan porsi dan ekspektasi yang tak sama. Yang satu harus lebih keras berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat marjinal, sementara yang satu lagi gigih bergiat untuk menambah pundi-pundi keuangan yang tentulah sudah banyak. Alboin (dan keluarganya) hanya bisa mengagumi kemilau Jakarta dari pinggiran, sementara JAM (serta keluarganya) sudah terbiasa ”dinner” di hotel bintang lima dan belanja di mall-mall mahal.

Sebagai manusia-manusia Batak diaspora, semangat dan impian mereka, pastilah tak jauh beda. Jakarta harus ditaklukkan dengan segala upaya, keberhasilan mesti direngkuh untuk kehidupan yang lebih indah. Perantauan ke tanah Jawa, bukanlah sekadar penggantian bumi pijakan. Ada harapan besar yang terus dibangun, ada sejumlah impian yang terus mengembang.

Tapi, nasib seseorang, tak seorangpun yang bisa menentukan. Alboin dan JAM yang merantau dengan bekal doa yang sama banyak, juga semangat dan harap yang pastilah sama besar, akhirnya berselisih jalan hidup. Alboin tertatih-tatih menelusuri jalan yang penuh rintangan, JAM melangkah mulus di jalan yang cuma berkerikil. Setamat kuliah di IPB Bogor, JAM menjadi dokter hewan dan kemudian meniti karir di KB Ragunan (jabatan terakhir: direktur). Ia terjun ke politik setelah era reformasi membuka kemudahan bagi siapa saja menjadi penggiat partai di negeri ini. Sejak 2004, namanya tercatat sebagai anggota legislator dan akses ke pusaran kekuasaan pun menjadi mudah ia terobos—apalagi partai pilihannya mampu melahirkan seorang eks menteri menjadi Presiden RI.

JAM termasuk cerdik dan ditopang peruntungan. Begitu banyak sarjana di negeri ini, begitu banyak pula yang telah menghabiskan ratusan juta dan bahkan milyar rupiah untuk menjadi legislator, tapi tak berhasil. Aku bahkan mengetahui seorang praktisi hukum yang sebelumnya kaya raya namun akhirnya merana setelah tak terpilih jadi anggota DPR, sementara uangnya sudah banyak ludas untuk membangun karir politiknya di sebuah parpol yang tengah naik daun.

Nasib dan peruntungan seseorang, memang begitu misterius. Putra-putri dan cucu-cucu Soeharto, misalnya, tak perlu berlelah-lelah, nyatanya bisa menjadi orang-orang super kaya di negara ini. Para pemulung di Bantar Gebang pastilah sering memimpikan kehidupan lain yang terjauh dari sergapan bau sengit ribuan ton sampah yang menyesakkan dada namun tiap hari harus terus mengais-ngais sampah demi sepiring nasi, dan hingga umur mereka berujung pun tetap berkutat di situ.

***
ORANG Batak mengenal istilah ”anak nanimiahan” atau yang dilimpahi berkat (harta dan kuasa), sementara orang-orang yang sepanjang hidupnya terkurung nestapa kemiskinan—padahal sudah bekerja keras siang malam—hanya bisa mempertahankan angan-angan dan kadang sudah dilupakan orang-orang di sekitar mereka sebab dianggap ”bukan siapa-siapa.”

Memang, kecuali Tuhan, siapapun tak kuasa mengetahui nasib seseorang secara akurat, sehingga tak ada jaminan bahwa atas tindakan-tindakan yang telah dan atau ditempuh seseorang, ia akan terpilih menjadi ”anak nanimiahan.” Kehidupan dan nasib seseorang, terlalu pekat diselubungi kabut ketidaktahuan—dan karena itulah kehidupan yang paling susah pun masih tetap menyisakan gairah dan harapan.

Sayangnya, untuk menjadi ”nanimiahan” dan menggapai puja-puji itu, orang-orang jadi kerap mengabaikan makna kehidupan dan keberartian diri, kemudian tergoda melakukan apa saja untuk mempertahankan yang sudah diraih atau hendak dicapai. Orang-orang pun kian tak peduli lagi menyoal dari manakah sumber kemakmuran seseorang dan seakan-akan yang terutama adalah: seberapa besar keberhasilannya, yang ironisnya lebih menitikberatkan timbangan atas kepemilikan materi atau jabatan daripada cara atau perjuangannya untuk mendapatkan.

Siapapun tak bisa menafikan pentingnya harta dan kuasa. Tapi, akan sangat mengerikan akibatnya bila untuk mendapatkan keduanya kita sudi melakukan apa saja dan mengamini segala cara—termasuk perbuatan yang paling nista. Siapapun ia taklah mungkin menyangkal perlunya uang dan materi, bahkan seorang pertapa pun masih tetap butuh dana untuk membeli keperluan tapa semisal dupa dan wewangian.

***
DI jalan yang berbeda dan nasib yang tak sama, Alboin dan JAM sudah berusaha keras untuk menggapai impian dan ambisi mereka. Alboin, memang masih terus berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan primer diri atau keluarganya, sebagaimana perjuangan puluhan juta orang seperti dirinya; sementara JAM telah melambung tinggi dan tiba di lingkaran kaum elite yang hanya nol koma sekian persen dari keseluruhan penduduk Indonesia.

Tapi Alboin, betapapun mungkin memiliki kepribadian yang baik dan selama hidupnya berupaya melakukan perbuatan yang terpuji, pastilah belum pernah mendapat julukan ”anak nanimiahan” itu. Ia pun mungkin jarang diharapkan kedatangannya dalam hajatan-hajatan adat dan marga dan termasuk orang-orang yang dilupakan.

Begitupun, ketika kabar kematiannya saat menjalankan tugas mengemudi bus Transjakarta dimuat koran-koran Jakarta, ada yang langsung membekas di pikiranku: ia mati secara terhormat. Telah ia antar dan jemput ribuan atau puluhan ribu orang Jakarta mencari nafkah, di tengah kelelahan, tuntutan pemenuhan nafkah, dan sejumlah pikiran yang membebaninya. Meski ”cuma” sopir buskota, aku mengagumi dirinya.

Karenanya, bagiku, ia pun layak mendapat julukan ”anak nanimiahan” itu, sebab telah terpilih sebagai pengemudi bus Transjakarta yang seleksinya terbilang ketat, sudah menjalankan pekerjaannya dengan profesional, dan setidaknya, hingga hayatnya berakhir, tak ikut mengisi halaman media-media cetak Jakarta dengan perbuatan yang memalukan orang Batak.

Aku turut berduka atas kepergiannya, sebagaimana orang-orang yang amat mengasihinya.***