Oleh: Azas Tigor Nainggolan
Pada suatu siang, saat rapat di kantor FAKTA beberapa hari lalu secara tidak sengaja saya melihat sosok laki-laki yang sangat saya kenal. Ya, saya ingat dia. Laki-laki itu adalah seorang teman pemulung yang saya kenal sejak 1990 lalu. Secara kebetulan dia lewat di depan kantor FAKTA, saya panggil dan langsung tersenyum saat kami bertatapan. Slamet namanya, dia seorang penggerak di kampungnya di Penas pinggiran Sungai Cipinang, Jakarta Timur. Saat berjuang melawan penggusuran rumahnya tahun 1991, kami sempat ditangkap dan ditahan selama 3 hari di sebuah Polsek di Cipinang. Pengalaman itu dia ceritakan lagi saat kami berbincang mengingat masa lalu itu. Hati saya mengatakan bahwa orang seperti Slamet lebih punya hati dan selalu ingat pada kawannya.
Dia mengatakan bahwa saat ini masih tinggal di sebuah pemukiman tanah garapan di Kampung Cipinang Bali Jakarta Timur. Sudah 18 tahun berlalu tetapi Slamet dan keluarganya tetap saja tinggal di lahan garapan. “Sulit sekali mendapatkan dan membeli rumah”, cerita Slamet pada saya. Sekarang dia bekerja sebagai pemulung kayu bekas dan menyebut dirinya sebagai “Rayap”. Sebutan itu dikarenakan ia menyukai dan memberi makan keluarganya dari berjualan kayu bekas. Sebagai rayap, dia akan tahu dimana ada kayu bekas yang akan dibuang atau dijual. Melihat perjalanan hidup Slamet yang selalu berpindah dari lahan garapan satu ke lahan garapan lainnya, menunjukkan bahwa sulit sekali bagi rakyat kecil memiliki rumah layak dan aman.
Jalan-jalan di Jakarta saat itu dipenuhi olah bendera serta berbagai pernik hiasan merah putih. Tandanya akan ada kembali perayaan kemerdekaan Indonesia. Seluruh bangsa ini akan merayakan hari ulang tahun kemerdekaan katanya. Sudah 64 tahun memang katanya Indonesia tetapi apakah benar bangsa ini benar-benar sudah merdeka. Apakah sudah merdeka secara merdeka yang sesungguhnya? Apakah semua anak bangsa ini sudah bisa menikmati sebagai bangsa dan manusia yang merdeka? Apakah semua bangsa ini sudah menerima dan memiliki tempat tinggal dan rumah yang layak sebagaimana mansuia? Tetapi anak bangsa ini yang miskin seperti Slamet akan selalu jadi penghuni lahan garapan sepanajng umurnya.
Pertanyaan-pertanyaan ini juga membuka pengalaman pribadi saya jauh ke belakang. Pengalaman sama dengan Slamet yakni keluarga pemulung yang juga terus tinggal di atas lahan yang tidak layak jadi tempat tinggal dan terus mengalami penggusuran. Saat itu tahun 1990, saya bertemu dengan seorang ibu pemulung tua yang biasa dipanggil mbah Siyem di Tempat Pembuangan Akhir sampah di Cakung Cilincing Jakarta Utara. Mbah Siyem bersama suaminya bernama mbah Sutar, yang juga bekerja sebagai pemulung tinggal di sebuah gubuk kecil yang dibangun mereka di atas lokasi pembuangan sampah itu sejak sekitar awal tahun 1980. Saat itu sedang dilakukan pembongkaran paksa atau penggusuran pemukiman pemulung yang berada di sepanjang jalan Cakung Cilincing oleh aparat pemerintah daerah (Pemda) DKI Jakarta.
Sambil membereskan barang-barang serta puing-puing gubuknya, mbah Sitem mengatakan pada saya bahwa mereka akan membangun rumah atau gubuk yang memakai roda. Gubuk dengan roda itu akan menyerupai gerobak besar yang bisa digeser atau dipindah-pindahkan kemana saja sesuai kebutuhan. Pilihan gubuk dengan roda itu menimbulkan pertanyaan, mengapa harus memilih cara seperti itu? Mbah Sutar menjelaskan pada saya bahwa apabila akan terjadi penggusuran mereka akan mudah dulu ke lokasi lain. Kemudian mereka akan membawa kembali gubuknya ke lokasi semula setelah pihak arapat pemda telah pergi.
Rumah bergerak memang jadi pilihan akhir agar mereka bisa bertahan, tetap memiliki tempat istirahat dan bertahan hidup seadanya. Pilihan itu terpaksa mereka lakukan karena memang hanya itu alternatif. Sebagai pemulung, warga miskin perkotaan, mbah Siyem dan mbah Sutar tidak memiliki cukup uang membeli sebidang tanah atau membangun rumah yang aman dari penggusuran. Tidak ada alternatif dan memang juga tidak ada komitmen aparat pemda saat itu memenuhi hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga miskin seperti mbah Siyem dan mbah Sutar saat itu.
Pertanyaannya sekarang, apakah hak tersebut sudah dipenuhi oleh pemerintah? Ternyata belum juga belum juga ada perubahan. Bahkan semakin parah saja. Warga miskin bertambah banyak yang tidak memiliki tempat tinggal layak. Pilihan tempat “aman dan murah” warga miskin kota seperti di Jakarta sepertinya tetap hanya di pinggir sungai, pinggir rel kereta api, kolong jembatan, di emperan toko atau di lokasi pembuangan sampah. Warga miskin dibuang dan dicampakkan begitu saja seperti sampah tak berguna.
Apa yang dibayangkan atau menjadi ide oleh mbah Siyem dan Sutar pada tahun 1990 lalu tentang gerobak rumah beroda saat ini jadi kenyataan. Banyak dipilih warga miskin terutama yang bekerja sebagai pemulung. Menjatuhkan pilihan bertempat tinggal di atas gerobak dan bergerak sungguh pengalaman dan pengorbanan luar biasa. Gerobak yang biasanya hanya sebagai alat bantu bekerja para pemulung digunakan juga sebagai tempat tinggal sehari-hari. Gerobak sebagai bangunan rumah dan langit atapnya, di mana pun berhenti di situ tempat tinggalnya. Dapur mereka dimana saja ketika berhenti istirahat. Keprihatinan akan pilihan menjadi miskin dan disingkirkan harusnya menjadi prioritas komitmen nyata pemerintah. Sadar dan berbuat nyata, tidak hanya omong membangun bagi saudara-saudara yang miskin seperti mbah Siyem dan mbah Sutar.
Sulitnya warga miskin mendapatkan haknya dan belum maunya pemerintah memberikan hak warganya sendiri, menyedihkan sekali. Begitulah juga pengalaman seorang teman pemulung di daerah Matraman, terpaksa membawa serta isteri dan 2 anaknya yang masih berusia di bawah lima tahun bekerja mencari sampah. Jauh sebelumnya saya mengenal mereka dan masih bisa mengontrak ruang pas-pasan sebagai tempat tinggal di sebuah perkampungan miskin di Matraman Jakarta Timur. Kemiskinan yang terus menerus menyelimuti kehidupannya menjadikan mereka menjadi manusia gerobak. Hidup secara bergerak tanpa alamat atau keberadaan yang jelas.
Manusia gerobak saat ini menjadi fenomena kota Jakarta, bahkan mungkin kota besar lainnya di Indonesia. Pilihan menjadi manusia gerobak itu karena kemiskinan yang menjadi nafas kehidupan warga miskin kota. Pemandangan pemulung membawa keluarganya di dalam gerobaknya di jalan-jalan berkeliling kota sebenarnya menggugat hati kemanusiaan kita. Akankah kita diamkan begitu saja penindasan ini? Tanah, rumah dan tempat tinggal yang seharusnya bernilai sosial jadi hanya bernilai ekonomis. Nilai ekonomis tanah ini membuat orang-orang byang berduit lebih menjadikan tanah sebagai investasi. Akibatnya semakin banyak warga miskin kesulitan dan tidak memiliki tempat tingaal karena mahalnya harga tanah dan rumah tinggal. Sementara itu tanah-tanah dan tempat-tempat strategis dikuasai oleh segelintir orang berduit banya.
Berubahnya nilai sosial tanah menjadi semata-mata nilai ekonomis ini juga membuat pemerintah terus lupa dan melupakan hak hidup dan hak atas tempat tinggal bagi seluruh warga negaranya. Tempat tinggal yang layak adalah hak agar warga negaranya agar dapat hidup sebagai manusia yang diingini Sang Pencipta. Lihatlah burung-burung di langit tetap memiliki rumahnya sendiri secara baik. Bahkan burung-burung yang kesulitan hidup (langka) justru mendapat mendapat perhatian lebih dan dilindungi oleh pemerintah. Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang miskin? Ternyata posisi penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak mereka jauh lebih buruk dari nasib burung-burung di langit. Bahkan sering melupakan dan menjadikan manusia bagai sampah tak berharga. Membiarkan manusia tanpa tempat tinggal layak. Menggusur tempat tinggal warga miskin sebagai manusia tanpa alternatif.
Sikap tidak berpihak pemerintah yang menjadikan mereka yang miskin terus miskin tanpa perlindungan khusus yang seharusnya diterimanya. Lihat saja pengadaan rumah-rumah yang dilakukan atau difasilitasi oleh pemerintah dengan pihak swasta lebih pada kepentingan warga yang memiliki uang. Alasannya pengadaan rumah-rumah bagi warga miskin tidak menguntungkan karena harga tanah dan bahan bangunannya mahal sekali. Sikap tidak berpihak secara nyata itu juga terlihat dari perilaku perusahaan negara Perumahan Nasional (Perumnas). Pihak PT Perumnas di Jakarta banyak menjual tanah-tanah yang seharusnya dibangun Rumah Susun bagi masyarakat miskin justru di jual pada pihak pengusaha perumahan. Akibatnya pihak pengusaha itu lebih membangun rumah-rumah dan apartemen mewah karena hanya mengejar untung. Warga miskin akhirnya terus hanya bisa gigit jari. Warga miskin hidupnya selalu dipinggirkan, tidak diurusi dan tidak diberikan hak atas tempat tinggalnya oleh pemerintah. Terus juga hidupnya lebih rendah derajatnya dari burung-burung atau hewan lainnya yang memiliki kandang hewan mewah.
Perubahan total, keberpihakan dan sikap dari pemerintahlah yang diperlukan sekarang ini. Agar semua warga negara bisa memiliki dan mendapatkan haknya atas tempat tinggal atau rumah layak. Tidak hanya lebih berpihak atau melayani pembangunan rumah bagi kepentingan warga negara yang beruntung memiliki uang banyak saja. Kondisi ini menantang kita, apabila ingin membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana di amantkan oleh Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945. Di atas semuanya itu, Sang Pencipta memberi otoritas melayani bagi pemerintah agar melindungi dan menghormati seluruh manusia mahluk ciptaanNya. Penghormatan lebih harus diberikan bagi saudara-saudara yang miskin dan tidak memiliki akses terhadap pembangunan. Manusia bukanlah sampah .... bangun rumah untuk seluruh rakyat terutama yang miskin.
Jakarta, 16 Agustus 2009
Azas Tigor Nainggolan
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Advokat Publik untuk warga miskin di Jakarta dan tinggal di Jakarta. Kontak email: azastigor@yahoo.com, telepon: 08159977041
Senin, Agustus 17, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar