Senin, Agustus 17, 2009

Rumah Untuk Rakyat, ..... Manusia Bukanlah Sampah

Oleh: Azas Tigor Nainggolan


Pada suatu siang, saat rapat di kantor FAKTA beberapa hari lalu secara tidak sengaja saya melihat sosok laki-laki yang sangat saya kenal. Ya, saya ingat dia. Laki-laki itu adalah seorang teman pemulung yang saya kenal sejak 1990 lalu. Secara kebetulan dia lewat di depan kantor FAKTA, saya panggil dan langsung tersenyum saat kami bertatapan. Slamet namanya, dia seorang penggerak di kampungnya di Penas pinggiran Sungai Cipinang, Jakarta Timur. Saat berjuang melawan penggusuran rumahnya tahun 1991, kami sempat ditangkap dan ditahan selama 3 hari di sebuah Polsek di Cipinang. Pengalaman itu dia ceritakan lagi saat kami berbincang mengingat masa lalu itu. Hati saya mengatakan bahwa orang seperti Slamet lebih punya hati dan selalu ingat pada kawannya.

Dia mengatakan bahwa saat ini masih tinggal di sebuah pemukiman tanah garapan di Kampung Cipinang Bali Jakarta Timur. Sudah 18 tahun berlalu tetapi Slamet dan keluarganya tetap saja tinggal di lahan garapan. “Sulit sekali mendapatkan dan membeli rumah”, cerita Slamet pada saya. Sekarang dia bekerja sebagai pemulung kayu bekas dan menyebut dirinya sebagai “Rayap”. Sebutan itu dikarenakan ia menyukai dan memberi makan keluarganya dari berjualan kayu bekas. Sebagai rayap, dia akan tahu dimana ada kayu bekas yang akan dibuang atau dijual. Melihat perjalanan hidup Slamet yang selalu berpindah dari lahan garapan satu ke lahan garapan lainnya, menunjukkan bahwa sulit sekali bagi rakyat kecil memiliki rumah layak dan aman.

Jalan-jalan di Jakarta saat itu dipenuhi olah bendera serta berbagai pernik hiasan merah putih. Tandanya akan ada kembali perayaan kemerdekaan Indonesia. Seluruh bangsa ini akan merayakan hari ulang tahun kemerdekaan katanya. Sudah 64 tahun memang katanya Indonesia tetapi apakah benar bangsa ini benar-benar sudah merdeka. Apakah sudah merdeka secara merdeka yang sesungguhnya? Apakah semua anak bangsa ini sudah bisa menikmati sebagai bangsa dan manusia yang merdeka? Apakah semua bangsa ini sudah menerima dan memiliki tempat tinggal dan rumah yang layak sebagaimana mansuia? Tetapi anak bangsa ini yang miskin seperti Slamet akan selalu jadi penghuni lahan garapan sepanajng umurnya.

Pertanyaan-pertanyaan ini juga membuka pengalaman pribadi saya jauh ke belakang. Pengalaman sama dengan Slamet yakni keluarga pemulung yang juga terus tinggal di atas lahan yang tidak layak jadi tempat tinggal dan terus mengalami penggusuran. Saat itu tahun 1990, saya bertemu dengan seorang ibu pemulung tua yang biasa dipanggil mbah Siyem di Tempat Pembuangan Akhir sampah di Cakung Cilincing Jakarta Utara. Mbah Siyem bersama suaminya bernama mbah Sutar, yang juga bekerja sebagai pemulung tinggal di sebuah gubuk kecil yang dibangun mereka di atas lokasi pembuangan sampah itu sejak sekitar awal tahun 1980. Saat itu sedang dilakukan pembongkaran paksa atau penggusuran pemukiman pemulung yang berada di sepanjang jalan Cakung Cilincing oleh aparat pemerintah daerah (Pemda) DKI Jakarta.

Sambil membereskan barang-barang serta puing-puing gubuknya, mbah Sitem mengatakan pada saya bahwa mereka akan membangun rumah atau gubuk yang memakai roda. Gubuk dengan roda itu akan menyerupai gerobak besar yang bisa digeser atau dipindah-pindahkan kemana saja sesuai kebutuhan. Pilihan gubuk dengan roda itu menimbulkan pertanyaan, mengapa harus memilih cara seperti itu? Mbah Sutar menjelaskan pada saya bahwa apabila akan terjadi penggusuran mereka akan mudah dulu ke lokasi lain. Kemudian mereka akan membawa kembali gubuknya ke lokasi semula setelah pihak arapat pemda telah pergi.

Rumah bergerak memang jadi pilihan akhir agar mereka bisa bertahan, tetap memiliki tempat istirahat dan bertahan hidup seadanya. Pilihan itu terpaksa mereka lakukan karena memang hanya itu alternatif. Sebagai pemulung, warga miskin perkotaan, mbah Siyem dan mbah Sutar tidak memiliki cukup uang membeli sebidang tanah atau membangun rumah yang aman dari penggusuran. Tidak ada alternatif dan memang juga tidak ada komitmen aparat pemda saat itu memenuhi hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga miskin seperti mbah Siyem dan mbah Sutar saat itu.

Pertanyaannya sekarang, apakah hak tersebut sudah dipenuhi oleh pemerintah? Ternyata belum juga belum juga ada perubahan. Bahkan semakin parah saja. Warga miskin bertambah banyak yang tidak memiliki tempat tinggal layak. Pilihan tempat “aman dan murah” warga miskin kota seperti di Jakarta sepertinya tetap hanya di pinggir sungai, pinggir rel kereta api, kolong jembatan, di emperan toko atau di lokasi pembuangan sampah. Warga miskin dibuang dan dicampakkan begitu saja seperti sampah tak berguna.

Apa yang dibayangkan atau menjadi ide oleh mbah Siyem dan Sutar pada tahun 1990 lalu tentang gerobak rumah beroda saat ini jadi kenyataan. Banyak dipilih warga miskin terutama yang bekerja sebagai pemulung. Menjatuhkan pilihan bertempat tinggal di atas gerobak dan bergerak sungguh pengalaman dan pengorbanan luar biasa. Gerobak yang biasanya hanya sebagai alat bantu bekerja para pemulung digunakan juga sebagai tempat tinggal sehari-hari. Gerobak sebagai bangunan rumah dan langit atapnya, di mana pun berhenti di situ tempat tinggalnya. Dapur mereka dimana saja ketika berhenti istirahat. Keprihatinan akan pilihan menjadi miskin dan disingkirkan harusnya menjadi prioritas komitmen nyata pemerintah. Sadar dan berbuat nyata, tidak hanya omong membangun bagi saudara-saudara yang miskin seperti mbah Siyem dan mbah Sutar.

Sulitnya warga miskin mendapatkan haknya dan belum maunya pemerintah memberikan hak warganya sendiri, menyedihkan sekali. Begitulah juga pengalaman seorang teman pemulung di daerah Matraman, terpaksa membawa serta isteri dan 2 anaknya yang masih berusia di bawah lima tahun bekerja mencari sampah. Jauh sebelumnya saya mengenal mereka dan masih bisa mengontrak ruang pas-pasan sebagai tempat tinggal di sebuah perkampungan miskin di Matraman Jakarta Timur. Kemiskinan yang terus menerus menyelimuti kehidupannya menjadikan mereka menjadi manusia gerobak. Hidup secara bergerak tanpa alamat atau keberadaan yang jelas.

Manusia gerobak saat ini menjadi fenomena kota Jakarta, bahkan mungkin kota besar lainnya di Indonesia. Pilihan menjadi manusia gerobak itu karena kemiskinan yang menjadi nafas kehidupan warga miskin kota. Pemandangan pemulung membawa keluarganya di dalam gerobaknya di jalan-jalan berkeliling kota sebenarnya menggugat hati kemanusiaan kita. Akankah kita diamkan begitu saja penindasan ini? Tanah, rumah dan tempat tinggal yang seharusnya bernilai sosial jadi hanya bernilai ekonomis. Nilai ekonomis tanah ini membuat orang-orang byang berduit lebih menjadikan tanah sebagai investasi. Akibatnya semakin banyak warga miskin kesulitan dan tidak memiliki tempat tingaal karena mahalnya harga tanah dan rumah tinggal. Sementara itu tanah-tanah dan tempat-tempat strategis dikuasai oleh segelintir orang berduit banya.

Berubahnya nilai sosial tanah menjadi semata-mata nilai ekonomis ini juga membuat pemerintah terus lupa dan melupakan hak hidup dan hak atas tempat tinggal bagi seluruh warga negaranya. Tempat tinggal yang layak adalah hak agar warga negaranya agar dapat hidup sebagai manusia yang diingini Sang Pencipta. Lihatlah burung-burung di langit tetap memiliki rumahnya sendiri secara baik. Bahkan burung-burung yang kesulitan hidup (langka) justru mendapat mendapat perhatian lebih dan dilindungi oleh pemerintah. Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang miskin? Ternyata posisi penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak mereka jauh lebih buruk dari nasib burung-burung di langit. Bahkan sering melupakan dan menjadikan manusia bagai sampah tak berharga. Membiarkan manusia tanpa tempat tinggal layak. Menggusur tempat tinggal warga miskin sebagai manusia tanpa alternatif.

Sikap tidak berpihak pemerintah yang menjadikan mereka yang miskin terus miskin tanpa perlindungan khusus yang seharusnya diterimanya. Lihat saja pengadaan rumah-rumah yang dilakukan atau difasilitasi oleh pemerintah dengan pihak swasta lebih pada kepentingan warga yang memiliki uang. Alasannya pengadaan rumah-rumah bagi warga miskin tidak menguntungkan karena harga tanah dan bahan bangunannya mahal sekali. Sikap tidak berpihak secara nyata itu juga terlihat dari perilaku perusahaan negara Perumahan Nasional (Perumnas). Pihak PT Perumnas di Jakarta banyak menjual tanah-tanah yang seharusnya dibangun Rumah Susun bagi masyarakat miskin justru di jual pada pihak pengusaha perumahan. Akibatnya pihak pengusaha itu lebih membangun rumah-rumah dan apartemen mewah karena hanya mengejar untung. Warga miskin akhirnya terus hanya bisa gigit jari. Warga miskin hidupnya selalu dipinggirkan, tidak diurusi dan tidak diberikan hak atas tempat tinggalnya oleh pemerintah. Terus juga hidupnya lebih rendah derajatnya dari burung-burung atau hewan lainnya yang memiliki kandang hewan mewah.

Perubahan total, keberpihakan dan sikap dari pemerintahlah yang diperlukan sekarang ini. Agar semua warga negara bisa memiliki dan mendapatkan haknya atas tempat tinggal atau rumah layak. Tidak hanya lebih berpihak atau melayani pembangunan rumah bagi kepentingan warga negara yang beruntung memiliki uang banyak saja. Kondisi ini menantang kita, apabila ingin membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana di amantkan oleh Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945. Di atas semuanya itu, Sang Pencipta memberi otoritas melayani bagi pemerintah agar melindungi dan menghormati seluruh manusia mahluk ciptaanNya. Penghormatan lebih harus diberikan bagi saudara-saudara yang miskin dan tidak memiliki akses terhadap pembangunan. Manusia bukanlah sampah .... bangun rumah untuk seluruh rakyat terutama yang miskin.




Jakarta, 16 Agustus 2009
Azas Tigor Nainggolan
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Advokat Publik untuk warga miskin di Jakarta dan tinggal di Jakarta. Kontak email: azastigor@yahoo.com, telepon: 08159977041

Rabu, Agustus 05, 2009

ANAKMU

Sebuah Catatan untuk Acara Hari Anak Nasional yang diadakan Forum Warga Kota Jakarta di Taman Suropati Menteng Jakarta Pusat, 2 Agustus 2009.


Anakmu

Anakmu bukan milikmu.
Mereka putera-puteri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.

Berikan mereka kasih-sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya,

Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan.
Yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian.

Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka menyerupaimu.

Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam di masa lampau.

Kaulah busur, dan anak-anakmulah, anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian,
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.

Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat,
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap

(Dari Buku Sang Nabi, Kumpulan Puisi karya Kahlil Gibran
Diterjemahkan oleh Sri Kusdyantinah)


Puisi karya Khalil Gibran di atas yang berjudul Anakmu terus aktual dan menjadi sumber inspirasi perjuangan bagi hidup anak dan masa depannya. Membaca puisi ini kembali, terasa sangat kuat spiritnya dan tumbuh keinginan menjadikannya sebagai bahan refleksi untuk melihat kondisi hidup anak-anak Indonesia.

Sebagai orang dewasa, warga dan pemerintah yang lebih kuat dan kuasa tidak bisa berbuat semaunya, ini pesan pentingnya. Walau mereka masih anak-anak tetap memiliki hak yang sama sebagai manusia dengan kita yang dewasa atau orang pengausa sekalipun. Usia atau status sosial tidak membedakan hak seseorang karena hak seseorang bersifat universal dan mutlak.

Hari Anak Nasional terus dirayakan pada 23 Juli setiap tahun tapi terus saja penderitaan anak menjadi kenyataan. Terus saja perayaannya menggunakan thema-thema yang tidak sesuai kepentingan perlindungan hakanak. Themanya dan perayaannya sekedar ada, memaksa dan memanipulasi kehidupan anak yang sebenarnya. Tidak berkeinginan melakukan perubahan. Menipu seolah tidak ada masalah dengan kehidupan anak Indonesia. Begitulah memang perilaku orang dewasa, merasa lebih kuasa terhadap hidup anak.

Adanya panitia yang menggunakan kata-kata menipu seperti Aku Anak Indonesia Kreatif... Aku Anak Indonesia Sehat... Cerdaskan Anak Bangsa ... Atau Aku Bangga Menjadi Anak Indonesia. Thema-thema yang tidak sesuai dengan kenyataan keseluruhan kondisi anak Indonesia. Menjadi anak cerdas juga kreatif, masih mahal dan sebuah kemewahan bagi anak Indonesia. Begitu pula kesehatan dan kebanggaan anak Indonesia adalah barang langka dan sangat sulit di raih. Pendidikan dan kesehatan masih sangat tinggi di negeri ini, melambung di atas langit.

Lihat saja masih jutaan anak Indonesia yang seharusnya sekolah tetapi terpaksa berhenti sekolah. Tidak bisa sekolah karena harus bekerja membantu orang tuanya. Bagaimana bisa jadi anak yang sehat jika saat sakit ditolak oleh rumah sakit. Saat lahir disandera rumah sakit karena kemiskinan orang tua, tidak bisa mmbayar biaya kelahiran. Sedih, pahit dan memilukan warna potret kehidupan anak Indonesia. Pemerintah belum mau sungguh-sungguh melindungi anak-anak bangsanya. Pengalaman buruk anak-anak Indonesia ini bukanlan kejadian tunggal. Juga bukanlah peristiwa sesaat tetapi seperti jalan panjang seakan tak berujung.

Suatu kali pada tahun 2008 lalu di Nunukan Kalimantan Timur, saya pernah bertemu dengan seorang anak dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Sabah Malaysia hingga berumur 15 tahun tidak bisa membaca dan menulis, Tidak memiliki surat keterangan identitas yang menyatakan dirinya sebagai anak Indonesia yang lahir di Malaysia. Penindasan dan penistaan terhadap TKI oleh pemerintah Malaysia menyebabkan dia ditangkap dan dipulangkan paksa ke Indonesia dan terdampar di Nunukan Kalimantan Timur. Padahal dia tidak memiliki sanak famili di Nunukan. Akhirnya dia hidup terlunta-lunta tanpa perlindungan sebagai anak Indonesia di negerinya sendiri.

Dalam puisinya di atas, Khalil Gibran mengajak kita, yang merasa orang dewasa agar mau memfasilitasi dan memberikan (rumah) hak anak-anak agar hidup dan masa depannya bisa menghidupi dunia ini. Sebagai orang dewasa, apalagi yang lebih kuat sebagai pemerintah Indonesia seharusnya mengasihi anak-anak bangsa Indonesia sepenuh hati. Ya, harus sepenuh hati. Sebagaimana kita mengasihi diri kita sendiri begitulah pula kita harus mengasihi anak-anak masa depan Indonesia. Kita yang merasa orang dewasa atau orang tua dan pemerintah benar-benar mau menjadi alat atau busur yang baik. Mau memberikan anak panahnya, anak-anak melesat indah mencapai masa depan kehidupannya.

Masalah-masalah getir anak-anak Indonesia seperti ini harusnya tidak ada apabila semua orang dewasa, orang tua dan pemerintah mau menjadi busur yang baik. Sebagai orang dewasa, warga dan pemerintah harusnya mau bekerja sama. Bahu membahu melindungi dan memberikan yang terbaik bagi anak-anak bangsa ini. Memberikan dirinya dan membuat kebijakan yang melindungi anak-anak. Marilah pemerintah dan orang tua benar-benar mau memberikan kesempatan pada anak-anak panah bangsa ini agar dapat meliuk dan melesat indah kehidupannya sebagaimana keinginan Sang Pemanah.

Tidak ada alasan dan tidak ada pembenaran, semua anak... semua anak panah bangsa ini harus bisa melesat indah dari busur pemerintah dan orang tuanya. Penderitaan anak harus dihentikan dan menjadi keprihatinan semua orang dewasa (pemerintah dan orang tua). Keindahan hidup yang merupakan hak anak dari Sang Pencipta harus diberikan. Bangun kerja sama semua orang dewasa agar tidak ada lagi pengabaian hak anak. Hak anak bukan alat membangun citra atau alat kampanye karena itu melanggar hidup. Hak anak adalah karunia Sang Pencipta yang harus dihormati bersama oleh semua orang dewasa, orang tua dan pemerintah.


2 Agustus 2009.... Selamat Hari Anak
Azas Tigor Nainggolan
Ketua Forum Warga Kota Jakarta. Kontak di 08159977041 atau email di azastigor@yahoo.com

Selasa, Agustus 04, 2009

Ini Israel bukan Indonesia (bercanda yee)

Dia menawar perahu mau keliling2 di danau Galilea dan diberitahu pemilik perahu bahwa sewa perahu U$$ 10/jam.

"Mahal kali?!!! di danau Toba, negara saya Indonesia, sewa perahu nggak sampai separuhnya, itupun sudah puas naik perahu berkeliling !".
"Pemilik perahu menjawab, Inikan di Israel, bukan di Indonesia. Di danau inilah Tuhan Yesus berjalan diatas air...."

Mendengar jawaban pemilik perahu itu, spontan turis Batak tersebut berjalan pergi sambil merepet (ngedumel). "Oo, Oo, patut ma antoggabe mardalan pat Tuhan Yesus najolo ai sumaling do hape argani sewani solu di tao Galilea on !!!!". (Terjemahan :
"Pantaslah Tuhan Yesus berjalan diatas air waktu itu, soalnya mahal sekali sewa perahu di danau Galilea ini".