Selasa, September 30, 2008

Pesan Vatikan untuk Idul Fitri

DEWAN KEPAUSAN UNTUK DIALOG ANTAR AGAMA

Kristen dan Muslim: Bersama untuk Martabat Keluarga

PESAN UNTUK AKHIR BULAN RAMADAN Idul Fitri 1429 H / 2008 AD

Saudara-saudari Umat Muslim,

1. Dengan semakin mendekatnya akhir bulan Ramadan, dan mengikuti tradisi yang kini sudah sangat mapan, dengan senang hati saya menyampaikan ucapan selamat dari Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama. Selama bulan ini orang-orang Kristen yang akrab dengan Anda telah turut mengambil bagian dalam pengheningan refleksi Anda dan dalam perayaan-perayaan keluarga Anda. Dialog dan persahabatan semakin diperkokoh. Puji Tuhan!

2. Sebagaimana yang terjadi di masa lampau, perjumpaan persaudaraan ini juga memberi kita suatu kesempatan untuk mengadakan refleksi bersama tentang pokok pembicaraan timbal-balik yang akan semakin memperkaya hubungan kita satu sama lain dan semakin membantu meningkatkan saling pengenalan kita, baik menyangkut nilai-nilai yang dapat kita nikmati bersama, maupun menyangkut perbedaan-perbedaan di antara kita. Tahun ini kami ingin mengangkat ikhwal Keluarga.

3. Satu dari dokumen-dokumen Konsili Vatikan Kedua, yakni Gaudium et Spes, yang mengupas perihal keberadaan Gereja di dunia modern, menegaskan: ”Keselamatan pribadi maupun masyarakat manusiawi dan Kristiani erat berhubungan dengan kesejahteraan rukun perkawinan dan keluarga. Maka umat Kristiani, bersama dengan siapa saja yang menjunjung tinggi rukun hidup itu, dengan tulus hati bergembira tentang pelbagai upaya, yang sekarang ini membantu orang-orang untuk makin mengembangkan rukun cinta-kasih itu dan menghayatinya secara nyata, dan menolong para suami-isteri serta orangtua dalam menjalankan tugas mereka yang luhur. Lagi pula mereka memang mengharapkan manfaat yang lebih besar lagi dari padanya, dan berusaha untuk meningkatkannya” (no 47).

4. Penegasan itu mengingatkan kita dengan tepat sekali, bahwa perkembangan setiap pribadi manusia dan masyarakat, sebagian besar bergantung pada sehatnya keluarga. Berapa banyak orang yang harus memikul, kadang-kadang bahkan untuk seumur hidupnya, beban berat dari luka-luka batin yang diakibatkan oleh latarbelakang keluarganya yang bermasalah atau yang penuh gejolak? Berapa banyak lelaki dan perempuan yang sekarang berada dalam jurang penderitaan karena narkoba dan kekerasan, sedang berusaha dengan sia-sia untuk sampai pada pemulihan dirinya karena trauma yang diderita pada masa kecilnya? Umat Kristiani dan Umat Muslim dapat dan harus bekerjasama untuk menjamin martabat keluarga-keluarga, baik di masa sekarang ini maupun di masa-masa yang akan datang.

5. Umat Kristiani dan Umat Muslim sama-sama menjunjung tinggi martabat keluarga-keluarga. Kita juga telah mendapat banyak kesempatan, baik di tingkat lokal maupun internasional, untuk menjalin kerjasama di bidang ini. Keluarga, di mana ada cinta dan kehidupan, di mana saling menghormati dan keramah-tamahan dijumpai dan diserahalihkan sebagai harta warisan, adalah sungguh-sungguh “sel dasar dari masyarakat”.

6. Umat Kristiani dan Umat Muslim hendaknya tidak pernah boleh ragu- ragu, bukan hanya dalam hal mengulurkan tangan membantu keluarga- keluarga yang berada dalam kesulitan, tetapi juga bekerjasama dengan siapa saja yang mempunyai keprihatinan untuk mendukung stabilitas kedudukan keluarga sebagai sebuah lembaga dan tempat diembannya tanggungjawab orangtua, khususnya di bidang pendidikan. Kiranya hanya satu saja yang ingin saya garisbawahi untuk Anda: Keluarga adalah sekolah pertama di mana seorang belajar untuk menghormati yang lain, dengan memperhatikan sepenuhnya identitas dan perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Kiranya hal itu hanya akan membawa keuntungan bagi dialog antaragama dan penghayatan kewarganegaraan kita.

7. Sahabat-sahabat yang terkasih, menjelang berakhirnya ibadat puasa Anda, saya berharap, bahwa Anda, bersama dengan keluarga Anda dan mereka semua yang karib dengan Anda, dengan mendapatkan pemurnian dan pembaharuan dari melaksanakan ibadat yang sangat dijunjung tinggi dalam agama Anda ini, sungguh akan menikmati kecerahan dan kesejahteraan dalam hidup Anda!

Semoga Allah subhanahu wa taala memenuhi Anda dengan kerahiman dan kedamaianNya.

Ketua: Jean-Louis Kardinal Tauran
Sekretaris: Uskup Agung Pier Luigi Celata

Selasa, September 23, 2008

Jakarta Dikepung Makanan Busuk

Oleh: Azas Tigor Nainggolan

“Jakarta saat ini sudah tidak aman lagi baik bagi warganya maupun para aparat pemerintahnya, sama-sama berpeluang memakan makanan yang busuk, berbahaya dan beracun“

Seperti biasa setiap bulan Ramadhan, pemerintah khususnya Pemprov Jakarta melalui pemeriksaan makanan kedaluarsa mendadak ke pasar-pasar dan pusat peradagangan. Awalan pemeriksaan itu akhirnya berkembang dan mendapatkan bukti lain, tidak hanya mendapatkan bahan makanan untuk yang kedaluarsa tetapi juga berbagai makanan busuk, beracun dan berbahaya beredar di masyarakat. Sangat mengagetkan rupanya sudah bertahun-tahun di Jakarta beredar makanan atau daging olehan dari bekas-bekas buangan sampah hotel dan restoran.

Makanan olahan sampah tersebut beredar di pasar-pasar tradisonal yang dekat dengan pemukiman miskin Jakarta. Begitu pula di pasar-pasar ditemukan penjualan daging glondongan dari luar negeri yang masuk secara ilegal ke Indonesia. Para petugas pemeriksa juga menemukan banyak makanan kedaluwarsa seperti kue-kue kering dan minuman ringan kemasan beredar dan diperdagangkan di pusat pertokoan, mal-mal bahkan di pasar swalayan di Jakarta. Jenis makanan berbahaya lainnya yang juga ditemukan beredar di publik Jakarta adalah makanan yang menggunakan bahan pengawet beracun berbahaya seperti mengandung pemutih (Klorin), pengawet Formalin dan zat kimia Arsenik yang mematikan manusia.

Belakangan petugas dari pemprov Jakarta mendapatkan sebuah pasar swalayan besar terkenal menjual daging yang sudah busuk. Beberapa informasi juga, tetapi perlu dicek kembali untuk mendapat kepastian, adanya praktek menjual daging sapi yang sudah kedaluarsa kepada para pedagang makanan yang menggunakan bahan dasar daging.Praktek jual beli makanan kedaluwarsa, busuk beracun dan berbahaya (Makanan busuk) ini memang sudah berlangsung lama tanpa ada efek jera atau kesadaran serta kemauan menghentikannya. Lihat saja pengalaman tahun 2008 ini sama seperti tahun sebelumnya, aparat pemerintah termasuk pemprov Jakarta baru dan hanya untuk melakukan pemeriksaan saat bulan Ramadhan saja.

Pelanggaran dan pejualan makanan busuk seperti terus terjadi berlangsung diulangi dan dilakukan lalu terbongkar setiap tahun. Berlangsungnya terus perdagangan makanan busuk secara sembunyi-sembunyi menunjukkan bahwa pemerintah memang tidak serius membrantasnya. Bahkan menjadikan pemeriksaan atau penyelidikan perdagangan makanan busuk sekedar sebagai ritual proyek tahunan aparatur pemerintah termasuk di kota Jakarta.Tidak seriusnya pemerintah menjalankan tugas pengawasan dan perlindungan agar warganya tidak memakan makanan busuk juga adalah kesalahan warga sendiri yang lalai, tidak peduli mengontrol pemerintahnya.

Sementara situasinya sudah sedemikian parahnya, Jakarta dikepung oleh makanan busuk dan mengandung zat kimia beracun berbahaya. Rasanya warga hampir sudah tidak punya ruang lagi untuk mendapatkan hidup sehat atau tidak punya peluang menolak makanan yang bahannya busuk dan mematikan tersebut. Warga dikepung oleh rasa was-was atau ketakutan apabila ingin memakan sesuatu, takut jangan-jangan makanannya berasal dari bahan yang busuk, beracun dan berbahya.Seolah tidak ada pilihan, mulai dari warung, pasar tradisional hingga mal atau pasar swalayan yang harusnya katanya lebih aman ternyata berkelakuan sama menjual makanan busuk. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal melindungi warganya dari makanan busuk.

Situasi ini sungguh mengerikan dan bahkan mungkin membuat orang jadi ragu atau takut makan karena semua sumbernya sudah tak ada lagi yang aman untuk dikonsumsi.Situasi ini harus dihentikan untuk keselamatan bersama. Pendekatan penyelesaian atau perubahan mungkin bisa dilakukan dengan memakai pendekatan penyelesaian seperti yang sering dinasehatkan oleh dokter kepada pasiennya. Biasanya seorang dokter selain memberikan obat juga akan merekomendasikan sebuah upaya pencegahan berulangnya penyakit yang sama dengan usulan merubah pola hidup pasiennya. Dokter langsung akan meminta pasiennya agar menjalani pola hidup sehat untuk menghindari sakit kembali. Rekomendasi yang diberikan dokter adalah agar merubah pola hidup dan pola makan agar terjaga kesehatannya.

Pola hidup yang dimaksud adalah agar si pasien menjaga perilakunya, agar memiliki perhatian dan komitmen mau menjaga serta mengontrol kesehatan tubuhnya secara baik. Biasanya si pasien dianjurkan merubah pola makannya agar memakan makanan yang sehat, bersih dan tidak yang busuk. Dalam persoalan di kepungnya Jakarta oleh makanan yang busuk, pendekatan rekomendasi dokter di atas cocok untuk digunakan. Para pihak yang berperan dan berkepentingan dalam menyelesaikan persoalan ini adalah warga sendiri dan juga pemerintah kota ini. Warga dan pemerintah sama-sama punya kepentingan dan pasti tidak mau makan daging busuk atau menelan zat kimia Arsenik lalu meninggal dunia.

Sebagai pihak yang berkepentingan, warga dan pemerintah harus merubah pola hidup atau perilakunya yang selama ini mengakibatkan makanan busuk tersebut beredar di publik bahkan mungkin sudah dimakan oleh diri sendiri.Perilaku yang dirubah, sebagai warga sangat mungkin selama ini tidak peduli dengan kotanya, tidak mau mengontrol pemerintahnya. Sebagai pemerintah nyata-nyata dengan kejadian ini membuktikan bahwa mereka tidak bekerja secara profesional dan tidak memiliki keberpihakan kepada warganya. Akibatnya adalah kota Jakarta dipenuhi makan busuk karena pemerintahnya tidak bekerja mengawasi kota dan tidak mau menjamin hak hidup warga yang harusnya dilayani sepenuh hati. Akhirnya memang perubahan baik bagi kota Jakarta memang harus dilakukan secara bersama, oleh warganya sendiri dan juga pemerintah agar bekerja sesuai kebutuhan hak seluruh warganya.

Jakarta, 22 September 2008
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) dan seorang Advokat Publik bagi Warga Miskin di Jakarta, tinggal di Jakarta. Email: azastigor@yahoo.com , http://www.azastigornainggolan.blogspot.com, Kontak:0815 9977041

Kamis, September 18, 2008

Peristiwa Pasuruan, Sebuah Potret Kegagalan Pemerintah

Oleh: Azas Tigor Nainggolan


“Jika benar jumlah orang miskin di Indonesia ini berkurang, mengapa semakin banyak orang yang mau rela mengantri memperebutkan bantuan atau zakat yang sedikit dengan mengorbankan nyawa?” (Ibu Toro, seorang warga miskin yang tinggal di Cililitan Jakarta Timur, 16 September 2008)

“Seorang ibu karena kemiskinannya terpaksa meninggalkan anak bayinya yang baru berumur 4 hari di jok belakang sebuah mobil yang sedang diparkir di Hotel Surabaya Plasa, Surabaya Jawa Timur” (Pos Kota, 18 September 2008)


Kemiskinan yang berkelanjutan hingga saat ini merupakan satu bukti tidak adanya upaya pemecahan dari pemerintah. Kesulitan hidup yang terus memberatkan masyarakat seakan menutup kesadaran ribuan perempuan miskin untuk berdesak-desakan menaruh nyawa guna mendapatkan zakat senilai Rp 20.000,- di kota Pasuruan Jawa Timur pada senin 15 September 2008. Peristiwa tersebut meminta korban nyawa meninggal 21 orang, satu orang kritis Dan 12 lainnya terluka dalam pembagian zakat di rumah seorangdi Kelurahan Purutrejo, Kecamatan Purworejo, Kota Pasuruan Jawa Timur. Sungguh pedih dan menyakitkan menyaksikan peristiwa yang diberitakan oleh berbagai media massa. Sebagai bangsa yang memiliki malu, kita seharusnya melakukan sebuah tindakan atau meminta pertanggung-jawaban pemerintah agar mengaku salah dan memperbaiki kinerjanya.

Tidak justru melakukan tindakan membela diri dan berjuang menutupi kesalahan untuk menjaga image semata demi Pemilu dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 mendatang. Melalui menteri Kominfo, pemerintah melakukan pembelaan diri bahwa peristiwa Pasuruan dengan korban 21 orang meninggal itu bukanlah masalah kemiskinan tetapi hanya karena lemahnya kepercayaan masyarakat pada lembaga zakat. Pemerintah tetap menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin saat ini tetap turun dari 16 persen menjadi 15 persen. [1]

Kejadian Pasuruan bukanlah yang baru dan satu-satunya peristiwa mengerikan saat penyaluran bantuan atau zakat yang membawa korban bahkan hingga mengorbankan nyawa manusia. Banyak peristiwa serupa, dimana pembagian zakat atau bantuan berujung pada jatuhnya korban manusia, seperti terjadi pada:[2]
a. 8 Desember 2001, pembagian zakat di Gedung DPRD Jawa Tengah di Semarang, gedung DPRD pecah dan dua orang terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Kericuhan disebabkan kurangnya persiapan panitia dalam mengantisipasi membeludaknya fakir miskin yang semula disiapkan untuk 2.000 orang tetapi didatangi 6.000 orang.
b. 29 November 2002, ribuan orang ”menyerbu” rumah kediaman Gubernur Kalimantan Selatan di Banjarmasin. Seorang petugas pembagi zakat dikejar-kejar massa karena tak segera membagikan zakat. Banyak anak-anak luka terjepit dalam peristiwa ini.
c. 7 November 2003, dii Pasar Minggu, Jakarta Selatan, empat ibu rumah tangga tewas saat berebut sedekah di rumah dermawan menjelang Idul Fitri.
d. 28 September 2007, seorang meninggal saat pembagian sedekah di Gresik, Jatim. Korban meninggal akibat terjatuh dan terinjak-injak saat mengantre untuk mendapatkan zakat.
e. 10 Oktober 2007, pembagian zakat di Bantul dan Lamongan juga ricuh akibat Bupati Bantul Jogyakarta memberikan zakat sebesar Rp 90 juta untuk 4.500 warga miskin. Tiga warga Bantul, DIY, banyak warga dibawa ke rumah sakit karena terinjak-injak dan luka serius saat pembagian zakat tersebut
d. Sedangkan di Pondok Pesantren dan Panti Asuhan Sabililah, Lamongan, Jatim, 13 orang pingsan karena kepanasan saat pembagian zakat keluarga. Warga yang mengantre harus menukarkan kupon dengan uang Rp 20.000-Rp 30.000.
e. 16 September 2003, seorang anak terjepit desakan warga Kalibaru yang antre mendapatkan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahap dua yang dibagikan di Kantor Kelurahan Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara
f. 16 Oktober 2005 pencairan BLT membawa korban. Tamsir (45) warga Desa Ledok Kulon RT 02 RW 02 meninggal dunia di RSUD Bojonegoro Jawa Timur setelah ikut berdesakan dan berebut dana bantuan tunai langsung (BLT) di kantor kecamatan Bojonegoro


Data di atas, yang baru beberapa saja ini, sudah menunjukkan dan membutikan dua hal yakni:
· Masyarakat dan bahkan pejabat pemerintah sendiri sudah tidak mempercayaai institusi pemerintah atau yang dibentuk pemerintah seperti badan penyalur zakat untuk menyampaikan zakat dari masyarakat untuk sesamanya yang miskin.
· Semua kegiatan penyaluran zakat atau bantuan menarik minat dan keinginan bahwa masyarakat yang jumlah terus banyak serta meningkat walau jumlah nominal atau bantuannya kecil.

Peristiwa Pasuruan layak dijadikan bukti atau potret kegagalan yang membiarkan dan memiskinkan rakyat oleh pemerintahnya sendiri. Bertambahnya terus jumlah warga menjadi pemburu zakat atau bantuan kemanusiaan, tidak bisa dipungkiri oleh pemerintah. Bukti bahwa memang di negeri ini masih terus berlangsung praktek pemiskinan karena jumlah warga miskinnya terus meningkat. Proses pemiskinan ini adalah akibat dari buruknya kinerja dan kemauan pemerintah untuk berpihak secara khusus kepada rakyatnya miskin. Buruknya kinerja dan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat miskin sangat jelas terang dilihat pada ketidak-mauan pemerintah mengendalikan harga kebutuhan pokok, kenaikkan harga BBM, konversi minyak tanah ke gas sebagai sebuah proyek serta penghapusan secara serius korupsi dan tidak mau membangun kebijakan yang pro rakyat. Semua ini pada proses berikutnya melahirkan masalah besar kemiskinan struktural bangsa ini.

Perilaku pemerintah yang tidak peduli, membiarkan rakyatnya miskin dan meninggal dalam kemiskinanadalah tindakan yang telah melanggar UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia, pemerintah telah gagal menghidupi dan menghormati rakyatnya sebagai ciptaan dan citra Tuhan Yang Maha Kuasa.

Berangkat dari pengalaman yang menyedihkan di Pasuruan tersebut dapat dikatakan bahwa:
1. Peristiwa Pasuruan adalah tragedi nasional yang harus dijawab dan disikapi secara arif oleh semua pihak terutama pemerintah.
2. Pihak kepolisian harus melakukan pemeriksaan pada peristiwa di pasuruan tersebut secara benar dan terbuka agar pihak penyelenggara bertanggung jawab secara hukum.
3. Kenyataan meningkatnya jumlah kaum miskin atau jumlah takyat miskin menunjukkan bahwa program-program serta kebijakan pemerintah selama ini terbukti telah gagal mengatasi meningkatkan kesejahteraan hidup rakyatnya agar keluar dari kemiskinan.
4. Pemerintah harus merubah serta menghentikan program dan kebijakan yang selama ini memiskinkan rakyat secara sistematis.

Sebagai sebuah keinginan berubah, sudah selayaknya dan sepantasnya pemerintah Republik Indonesia harus melakukan melakukan langkah-langkah konkrit untuk melindungi hak-hak asasi warga negaranya dan mensejahterakan rakyat secara jujur dan benar bukan hanya kampanye membangun image untuk pemilu serta pilpres 2009 mendatang.


Jakarta, 18 September 2008
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) dan seorang Advokat Publik bagi Warga Miskin di Jakarta, tinggal di Jakarta. Email: azastigor@yahoo.com , http://www.azastigornainggolan.blogspot.com, Kontak:0815 9977041
[1] Harian Kompas, 18 September 2008
[2] Diolah dari bebagai sumber

Rabu, September 03, 2008

Melanjutkan Pembangunan Monorel, Lebih Beresiko

Oleh: Azas Tigor Nainggolan


Perdebatan tentang Proyek Monorail Jakarta muncul kembali dipermukaan media publik. Berbagai tokoh, pakar, pejabat hingga Wakil Presiden Yusuf Kalla ikut berbicara. Semua perdebatan itu muncul karenaakhir-akhir ini pembangunan proyek Monorel kembali terhentinya. Hal itu disebabkan oleh kegagalan PT Jakarta Monorail (PTJM) sebagai pihak pembangun dan pemegang konsesi pengelolaan selama 30 tahun Monorel Jakarta tidak dapat meneruskan pembangunan infrastruktur proyek Monorel Jakarta lagi-lagi karena kekurangan dana. Menyikapi kegagalan itu, kebanyakan pendapat meminta agar proyek Monorel dilanjutkan dan dijadikan proyek pemerintah Republik Indonesia (RI) saja. Usulan pengambil-alihan itu disebabkan PTJM dinilai telah gagal menggalang investor untuk mendanai pembangunan proyek ini setelah lebih dua tahun mencoba membangun proyek bergengsi ini.

Padahal untuk proyek ini sudah banyak yang dilakukan PTJM. Membangun infrastruktur awal membangun tiang-tiang penyangga lintasan Monorel, menebangi banyak pohon dan Gubernur Jakarta Sutiyoso pun konon sudah melakukan studi banding ke Malaysia dan Jepang. Hingga tahun 2005 lalu Sutiyoso terus berkeyakinan dan ngotot bahwa proyek monorel ini layak dan menguntungkan sehingga akan banyak investor swasta menanamkan modalnya. Barulah tahun 2006 ini Sutiyoso mulai melemah tetapi tetap ngotot meneruskan pembangunan Monorel Jakarta dengan meminta tolong pada pemerintah untuk terlibat dan mengambil alih proyek ini.
Sebenarnya jauh sebelumnya sudah banyak pendapat yang mengatakan bahwa proyek ini tidak layak secara ekonomi dan tidak bisa dijadikan solusi pemecahan masalah kesemrawutan lalu lintas di Jakarta. Dua jalur Monorel yang akhirnya ditetapkan untuk dibangun itu adalah Jalur Hijau dengan rute Kuningan Senayan dan Jalur Biru dengan rute Kampung Melayu Roxy.

Termasuk penulis pada awal tahun 2005 lalu berkali-kali mengatakan bahwa Monorel adalah sekedar proyek saja bukan solusi. Sekarang barulah diakui oleh banyak pihak bahwa dua jalur itu bukanlah jalur yang menguntungkan. Apabila diteruskan proyek Monorel akan merugi karena dua jalur itu bukan rute yang banyak penumpangnya. Tidak menguntungkanya proyek inilah menjadi salah satu penyebab tidak adanya investor yang mau terlibat menanamkan modalnya. Kondisi itu membuat PTJM kembali berteriak terus minta modal pada Gubernur Sutiyoso apabila proyek Monorel Jakarta mau diteruskan.

Gubernur Sutiyoso tidak pernah mau mendengar tanggapan dan desakan yang mempertanyakan proyeknya itu. Padahal semua pertanyaan itu berkisar tentang kelayakan secara ekonomi dan dampak positifnya terhadap kebutuhan transportasi umum di Jakarta. Termasuk juga mempertanyakan kredibilitas PTJM sebagai pihak swasta yang ditunjuk. Sayangnya semua pertanyaan publik itu tidak pernah mendapat jawaban jelas dan tegas pihak Pemprov Jakarta. Begitu pula sejak awal (dan baru sekarang) beberapa pihak atau pakar baru mengatakan bahwa proyek monorel yang akan dibangun tidak layak secara ekonomi. Tetapi mengapa semua pendapat para pakar tersebut baru keluar sekarang? Mengapa tidak sejak awal saja mengatakan proyek tersebut harus dihentikan?

Sekedar untuk menyegarkan kembali ingatan tentang proyek ini. Ide awal membangun monorail pertama kali digulirkan PT Indonesian Transit Central (ITC) sebagai partner dari MTrans Malaysia pada awal 2001. Waktu itu, pihak ITC mengatakan bahwa surat dukungan terhadap investasi proyek monorail telah didapat, yaitu dari Menteri Perhubungan, Dirjen Hubungan Darat, Gubernur Jakarta (Juli 2002), Walikota Bekasi (April 2002), dan Walikota Tangerang (Mei 2002). Gagasan awal proyek monorel ini akhirnya ditunda terus dan akhirnya tenggelam karena pihak Pemprov Jakarta melihat busway dinilai lebih layak. Setelah busway koridor 1 berjalan dan diteruskan dengan pembangunan koridor 2 dan 3, barulah monorel pun dilirik kembali.

Awalnya ITC mengajukan rencana pembangunan monorel tahap pertama dengan rute Bekasi-Mega Kuningan sepanjang 22,5 kilometer dan tahap kedua akan dibangun rute Jakarta-Tangerang kemudian diteruskan Bekasi-Cikarang. Gubernur Jakarta, Sutiyoso tetap ngotot proyek ini harus dijalankan walaupun belum siap benar konsepnya. Sutiyoso terus menjajaki pembangunan monorel untuk menghubungkan Jakarta dengan Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Sebelum berangkat studi banding tentang monorel, kepada wartawan di Jakarta (25/7/2003), Sutiyoso mengatakan bahwa jika nantinya sudah tersedia tranportasi yang representatif seperti monorel, diharapkan jumlah kendaraan yang masuk ke DKI Jakarta akan berkurang. “Saya harapkan orang-orang yang sebelumnya membawa mobil ke luar kota, akan naik kendaraan itu (kereta api jalur monorail). Bayangkan saja, tiap hari kira-kira 2 juta kendaraan yang masuk ke Jakarta. Itulah yang membuat kemacetan di Jakarta,” jelas Sutiyoso saat itu.

Bahkan Sutiyoso berencana akan memasukkan rute monorel ke bandara sebagai bagian jaringan transportasi makro yang menjangkau sampai Jakarta, Bogor, Depok Tangerang dan Bekasi. Menarik sekali membaca dan memperhatikan kembali semua rencana dan mimpi Sutiyoso terhadap proyek monorel di atas. Tetapi rencana panjang rute monorel tersebut berubah total, hanya dua jalur yakni Hijau dan Biru. Setelah rencana jalur yang akan dibangun berubah, satu persatu muncul perubahan lainnya. Rute baru itu pun sejak awal sudah membuahkan persoalan dan penolakan. Saat itu jalur yang melalui Senayan sudah ditolak karena ditakutkan akan mengganggu keseimbangan kawasan Senayan sebagai kawasan terbuka untuk olah raga.
Perubahan lainnya juga terjadi pada investor yang menjadi pemegang konsesi proyek ini. PT Indonesian Transit Central (ITC) berpatner dengan MTrans Malaysia seperti rencana awal tahun 2001 pun berubah. Sebagai penggantinya saat itu ditunjuk PT Jakarta Monorel (PTJM) mengaku telah memiliki sebuah konsorsium pemodal yang akan membiayai pembangunan proyek monorail di Jakarta. Peralihan investor pelaksana proyek ini pun Sutiyoso tidak menjelaskan apa penyebabnya. Padahal saat penunjukkan awal Sutiyoso sudah menjamini PT ITC dan Mtrans sebagai konsorsium investor yang punya duit dan diakui pemerintah Malaysia.

Sekarang baru terbukti kembali bahwa rupanya PTJM sebagai investor tidak memberikan arti lebih baik dalam pembangunan proyek monorel. Termasuk juga langkah terakhir yang gagal meyakinkan pihak Bank Dubai menanamkan uang pada proyek monorel. Pihak Bank Dubai tidak mau melakukan investasi karena pemerintah RI tidak mau memberikan dukungan jaminan.
Pelaksanaannya saat ini justru semakin buruk dan tidak jelas seperti apa nasib penyelesaiannya. Menarik sepertinya mencermati penyebab penolakan pemerintah RI memberikan dukungan terhadap pembangunan Monorel. Penolakan tersebut sebenarnya jika dicermati benar-benar adalah karena Pemprov Jakarta sendiri. Pemerintah RI melihat tidak mampunya dan tidak konsistensi kinerja Pemprov Jakarta di bawah Sutiyoso sebagai Gubernur dalam menyelesaikan persoalan transportasi di Jakarta. Pemprov Jakarta dapat dinilai terus melakukan tindakan tidak konsisten terhadap rencana Pola Transportasi Makro Jakarta yang dibuatnya sendiri. Dalam Pola Transportasi itu digambarkan visinya Jakarta akan dikembangkan pada pembangunan perbaikan dengan mengarahkan pada pengembangan transportasi umum massal. Namun sering kali kebijakannya bertentangan dengan semua rencana awal.

Bukti lain tidak konsistennya Pemprov Jakarta terlihat dari rencana pembuatan enam ruas jalan tol dalam kota. Di tengah-tengah kekacauan proyek Monorel, mulai tahun ini DKI Jakarta hendak membangun enam ruas jalan tol dalam kota. Pembangunan jalan yang akan menghabiskan dana Rp. 23 triliun itu akan melewati lokasi Kemayoran-Kampung Melayu, Rawa Buaya-Sunter, Kampung Melayu – Tanah Abang, Sunter-Pulogebang, Pasar Minggu-Casablanca, Ulujami-Tanah Abang. Melihat rencana ini jelas sekali Pemprov Jakarta tidak konsisten dengan visi pola pembangunan sarana trnasportasi yang dibuatnya sendiri. Dibangunnya enam ruas jalan tol dalam kota ini jelas telah menghantam dan menabrak rencana mendukung pola trnasportasi umum dengan menekan penggunaan kendaraan pribadi. Membangun jalan apalagi jalan tol berarti kembali memberi ruang dan memanjakan pengguna kendaraan mobil pribadi. Melihat tidak konsistennya kerja Premprov Jakarta terhadap program yang telah disusunnya sendiri membuat bertambah maklum dan mendukung penolakan pemerintah RI terhadap proyek Monorel. Keberadaan enam ruas jalan tol dalam kota tersebut jelas nantinya menambah rugi dan tidak ada gunanya membangun Monorel karena mobil pribadi masih diberi ruang.

Akhirnya harus diakui bahwa semua kekacauan dalam pembangunan proyek monorel disebabkan oleh orientasi pembangunan yang terus menerus salah. Apa yang dikatakan bahwa monorel dapat memecahkan masalah kekacauan transportasi dan lalu lintas di Jakarta hanyalah omong kosong belaka. Artinya memang proyek Monorel sudah selayaknya dibatalkan dan tidak diteruskan karena akan menambah rugi serta resiko yang lebih besar. Biarlah kerugian yang selama ini sudah sempat dikeluarkan membangun infrastruktur awal untuk Monorel menjadi tanggung jawab Sutiyoso menggantinya. Tanggung jawab itu harus dipikul oleh Sutiyoso secara pribadi karena dialah yang terus memaksakan proyek tersebut. Sementara itu infrastruktur awal monorel yang sudah dibangun berupa tiang-tiang penyangga jalur dibiarkan saja dan jangan dibongkar. Biarlah tiang-tiang jalur monorel itu menjadi monumen kegagalan yang harus diingat untuk perbaikan perencanaan pembangunan kota Jakarta berikutnya. Menarikkan, tiang-tiang Monorel itu menjadi menara-menara pengingat bagi warga, perencana pembangunan dan Pemprov Jakarta, apabila di kemudian hari ingin membangun agar tidak mengulangi kesalahan proyek Monorel.

Jakarta, 10 Agustus 2006
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) dan Kordinator Koalisi Warga Untuk Transportasi Jakarta (KAWAT Jakarta).
Sekretariat: Jl. Pancawarga IV No:44, RT 003 RW 07, Cipinang Muara, Kalimalang, Jakarta Timur 13420. Telp/Fax: 021-8569008 HP: 0815 9977041, Email: azastigor@yahoo.com

Proyek LNG Tangguh dan Isu Hak Asasi Manusia

Brief Report


By Bustar Maitar2



[I] Pengantar

Proyek Tangguh LNG BP berlokasi di Berau- Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Bintuni di Papua Barat, propinsi pailing timur Indonesia. Proyek tersebut dijalankan oleh BP Indonesia yang memegang saham sebesar 37,16% dalam proyek tersebut. Proyek Tangguh mengandung 14.4 tcf cadangan gas alam. Proyek Tangguh baru-baru ini memenangkan pesanan penjualan ke Cina, Korea dan Amerika Serikat serta pemasaran juga sedang mengintip Jepang. Proyek tersebut sedang menunggu persetujuan dari BP dan para partnernya. Produksi saat ini sedang dijadwalkan untuk mulai di tahun 2008.

Dengan pengalaman buruknya di Colombia, Alaska dan berbagai wilayah lain di dunia dimana perusahan terlibat banyak pelanggaran hak asasi manusia dan juga belajar dari pengalam perusahaan pertambangan raksasa Amerika Serikat Freeport McMoran Copper and Gold, Inc. di Timika yang terimplikasi berbagai persoalan ham, BP sejak kehadirannya di Teluk Bintuni, Papua tahun 1996 dengan Proyek Tangguh LNG mengkleim dan berkampanye bahwa pihaknya mengadopsi kebijakan-kebijakan ham standar internasional dalam operasinya, mengedepankan ‘Community based Security Approach’, yakni menolak untuk meggunakan aparat keamanan Indonesia dalam mengawal operasi mereka karna tidak mau terseret dalam situasi seperti yang dialami Freeport di daerah Timika dan juga sangat menjunjung tinggi prinsip transparansi.

Tidak tanggung BP kemudian membayar konsultan-konsultan dari berbagai institusi, terutama TIAP yang diketuai oleh seorang mantan Senator berpengaruh Amerika Serikat George Mitchel. TIAP Melakukan berbagai asesmen tentang kehadiran Proyek Tangguh dan dampaknya terhadap rakyat penduduk asli di wialayah operasi mereka. Laporan TIAP kemudian disampaikan kepada BP untuk memperbaiki performancenya.

Pertanyaannya adalah apakah kebijakan-kebijakan Proyek Tangguh BP tentang Ham, ‘Community based Security Policy’ dan prinsip transparansinya benar-benar telah dilaksanakan dalam operasinya? Apakah TIAP dan berbagai konsultan lainnya telah benar-benar melakukan monitoring yang lengkap dan utuh tentang berbagai persoalan yang terjadi baik di sekitar wilayah Kontrak Karya BP? Dari field monitoring dan diskusi yang terus-menerus dengan pihak BP sangatlah jelas bahwa BP mengetahui persis tentang situasi politik di Papua yang bagaikan ‘bom waktu’ yang dapat meledak setiap saat dimana rakyat Papua akan terperangkap dalam konflik tersebut dan terjadi destabilisasi regional, mengapa BP enggan menggunakan pengaruhnya secara positif untuk mendesak Jakarta menghentikan berbagai kebijakan repressivenya di Papua Barat?

Brief report yang disiapkan Masyarakat Adat Kampung Saengga (kelompok pemilik tanah Marga Simuna, Wayuri dan Soway) dan Yayasan Perdu sebagai yang paling terkena dampak dari kehadiaran Proyek Tangguh memberikan jawaban-jawaban atas sejumlah pertanyaan sangat penting diatas.


[II] Isu-isu Hak Asasi Manusia

Pemukiman Baru Yang Tidak Menjandikan Apa-apa

Saat ini masyarakat Tanah merah lama telah menempati pemukiman baru yang diasiapkan oleh BP. Pemukiman baru tersebut tersebar di dua wilayah yaitu Kampung Onar dan Kampung Tanah Merah Baru. Lokasi kampung tanah merah lama telah di pagar keliling untuk kepentingan pembangunan kilang.

Masyarakat tanah merah lama yang dipindahkan diberikan jaminan hidup oleh BP selama kurang lebih satu tahun terhitung sejak mereka pindah pada sekitar akhir tahun 2003. Saat ini masyarakat mulai mempertanyakan bagaimana jaminan hidup mereka selanjutnya, setelah satu tahun. Masyarakat yang dipindahkan ke pemukiman baru tidak memiliki lahan pertanian yang cukup untuk bercocok tanam, sementara itu telah ada larangan bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas nelayan di laut disekitar wilayah proyek Tangguh.

Dari diskusi dengan masyarakat saengga dapat diduga bahwa rumah yang akan dibangun dan diberikan kepada masyarakat, baik masyarakat saengga maupun tanah merah tidak akan bertahan lama kepemilikannya oleh masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena sempitnya ruang kelola masyarakat yang akan berdampak ketika masyarakat sudah tidak bekerja lagi di Perusahaan, sehingga untuk mempertahankan hidup kemungkinan masyarakat akan melepas hak rumahnya yang sudah bersertifikat milik pribadi 3 kepada pendatang dari luar. Selain itu orang luar yang kemungkinan lebih bisa bertahan hidup dengan memanfaatkan peluang dari kehadiran proyek BP akan semakin meminggirkan masyarakat setempat dan akhirnya akan kembali hidup seperti semuala sebelum BP datang.


Pendatang Baru di sekitar wilayah Proyek

Saat sekitar bulan Desember 2003 ada sekitar 150 orang pendatang dari luar (paling banyak dari toraja dan makasar) yang ingin bekerja di BP lewat penerimaan lokal di saengga, dari sekitar 150 orang tersebut sekitar 100 orang telah bekerja 4. Pendatang yang masuk bekerja lewat penerimaan lokal saengga atas rekomendasi dari kepada desa dan komite pembangunan saengga dianggap sebagai orang lokal oleh BP. Oleh karena itu pendatang ini tinggal didalam kampung Saengga dan menyewa kamar-kamar yang disediakan oleh masyarakat secara “darurat“. Biaya sewa kamar di kampung saengga rata-rata sebesar Rp. 500.000,- /bulan. Setiap rekomendasi yang dikeluarkan oleh kepala desa/kampung dikenakan biaya restribusi desa, besarnya biaya restribusi desa ini bervariasi mulai dari Rp. 50.000,- hingga Rp. 1.000.000,-. Sedangkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh ketua Komite tidak dipungun biaya, namun para peminta rekomendari biasa menyediakan rokok sebagai imbalan kepada ketua komite yang jumlahnya juga bervariasi.

Dominasi pendatang di sekitar wilayah proyek mulai sangat terasa dan tidak dapat dibendung seperti proyeksi BP sebelumnya. Upaya BP untuk mendorong kawasan pertumbuhan di Sorong, Manokwari dan Fak-Fak sampai saat ini masih belum berjalan maksimal, sehingga asumsi bahwa pendatang baru dapat dihambat masuk ke lokasi proyek kemungkinan besar tidak dapat dicapai.


Upaya Infliltrasi Aparat Keamanan Ke Lokasi Proyek

Perkembangan lain yang terjadi di Saengga adalah, adanya rencana penempatan polisi dan Babinsa dan pembangunan pos Polisi di kampung saengga. Rencana ini diprakarsai oleh BP, alasan yang disampaikan BP kepada masyarakat adalah karena meningkatnya kegiatan mabuk-mabukan yang terjadi di kampung Saengga yang juga secara langsung juga mengganggu kelancaran aktivitas BP di lokasi tersebut. Rencana penempatan pos Polisi dan penempatan Babinsa ini membuat pro dan kontra di Masyarakat. Namun hampir seluruh masyarakat Saengga tidak setuju dengan rencana ini. Menurut mereka, masyarakat bisa menyelesaikan sendiri persoalan yang terjadi di kampung sehingga tidak perlu mengundang “orang luar“ untuk datang untuk mencampuri urusan kampung. Menurut masyarakat sudah beberapa kali Polisi didatangkan dari Polsek Babo untuk mengamankan masyarakat yang mabuk-mabukan di Kampung dan kemudian mengganggu aktivitas perusahaan. Polisi yang datang ke Kampung Saengga sepenuhnya di Fasilitasi oleh BP. Pada akhir tahun 2003, BP memprakarsai studibanding bagi masyarakat untuk melihat bagaimana Coomunity Police di lakukan di Jogjakarta. Menurut kepala desa Saengga studibanding tersebut diikuti oleh beberapa orang diantaranya adalah wakil dari lembaga masyarakat adat (LMA) Babo, Polsek Babo, Wakil UNIPA dan Polda Papua.

Masalah mabuk-mabukan sudah berlangsung cukup lama di desa Saengga. Sebelum BP hadir ditengah-tengah kampung Saengga, masyarakat sudah mengenal minuman keras. Namun dengan masuknya perusahaan kebiasaan mabuk tersebut terus meningkat. Hal ini dikarenakan peredaran uang yang cukup besar di masyarakat. Minuman keras yang masuk ke Saengga bersumber dari kelapa dua 5 selain dari kelapan dua minuman keras juga dibawa oleh kapal-kapal perusahaan yang masuk ke Base Camp perusahaan membawa material pembangunan perumahan. Kebiasaan mabuk juga dipicu oleh rasa ketidak puasan masyarakat kepada perusahaan dan lebih banyak didominasi dengan masalah ketegakerjaan dan juga masalah ketidakpuasan terhadap janji BP yang tidak pernah ditepati oleh BP kepada masyarakat. Masyarakat biasanya akan lebih lugas mengemukakan masalah dan keluhan mereka disaat mabuk sedangkan ketika sadar mereka cenderung diam.

Hubungan antar masyarakat di kampung Saengga masih berjalan dengan baik, walaupun tersimpan potensi konflik yang dapat menimbulkan perpecahan di kampung Saengga. Hal ini terutama diakibatkan oleh tuntuntan marga Simuna untuk penambahan jumlah rumah yang harus di bangun oleh BP terutama bagi anggota marga Simuna yang tidak terdaftar dalam sensus tahun 1999 karena waktu berada di luar Saengga. Kecemburuan masyarakat Saengga terhadap masyarakat Tanah Merah nampak sangat terasa, hal ini diakibatkan oleh perhatian yang diberikan oleh BP kepada masyarakat Tanah Merah yang berlebihan ketimbang kepada masyarakat Saengga. Situasi ini sudah barang tentu akan menimbulkan potensi konflik laten yang sangat besar diantara masyarakat.

Saat ini juga sudah ditugasakan dua orang polisi yang menjaga keamanan di Base Camp BP-Tangguh di kampung Saengga. Pos polisi yang dibangun di kampung Saengga sudah rampung, namun sampai saat ini belum di fungsikan. Dengan demikian 2 orang polisi yang ada disaengga di tempatkan di Base Camp Tangguh. Dari beberapa kasus yang terjadi di kampung saengga, kemudian masyarakat diposisikan sebagai kriminal yang memngganggu jalannya proyek dan ketertiban umum. Padahal ketika masyarakat mabuk, sangat jelas bahwa ungkapan-ungkapan yang mereka sampaikan adalah kegelisahan-kegelisahan mereka kedepan terhadap status penghidupan mereka.

Belum diketahui secara pasti apakah penembakan di kampung Meriyedi yang menewasakan 5 warga sipil merupakan upaya dalam memperkuat posisi aparat keamanan diwiyah tersebut, namun kasus tersebut telah meningkatkan konsentrasi aparat keamanan diwilayah Babo, tempat dimana proyek Tangguh akan dibangun.


Dana Abadi Yang Dipakai untuk Mengelabui Masyarakat

Pada bulan September 2003 masyarakat ditawarkan dana abadi sebesar US $ 75.000,- dana abadi ini ditawarkan untuk suku simuri yang merupakan pemilik tanah tempat pembangunan Kilang LNG Tangguh. Penawaran dana abadi ini sendiri sebenarnya merupakan tindak lanjut dari kesepakan lokakarya saengga pada tahun 2001. Dana abadi ditawarkan dengan model pengelolaannya berbentuk Yayasan dengan nama “Simuri Fund“. Namun yang anehnya “penguasa“ Yayasan tersebut adalah orang-orang yang bekerja pada BP dan merupakan pengambil keputusan terhadap proyek Tangguh. Masyarakat menolak tawaran tersebut dengan pertimbangan bahwa jumlah yang ditawarkan untuk dana abadi tidak sebanding dengan pengorbanan yang selama ini telah dikeluarkan oleh masyarakat Simuri dan juga pemilik Yayasan itu bukanlan orang-orang Simuri sendiri.


Kasus Tanah Yang tidak pernah ada upaya penyelesaian

Saat ini kasus tanah LNG tangguh mulai diangkat kembali oleh kelompok-kelompok masyarakat terutama oleh marga-marga pemilik tanah yang digunakan untuk pembangunan proyek Tangguh. Marga-marga tersebut adalah marga Simuna, Soway dan Wayuri. Ketiga marga ini sudah melakukan pertemuan bersama dan telah menunjuk wakil-wakilnya untuk menjadi wakil mereka dalam menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan kampung. Penerima mandat tersebut terdiri enam orang yang yang terdiri dari dua orang dari masing-masing marga.

Penerima mandat ketiga marga saat ini sedang melakukan konsolidasi untuk melakukan re-claiming terhadap tanah yang sudah di lepaskan kepada pihak perusahaan. Saat ini marga Sowai telah menyiapkan surat pernyataan sikap mereka tentang pengambilalihan kembali tanah seluas 50 ha yang terletak di dekat kampung Tanah Merah lama yang menurut pihak perusasaan telah diberikan secara cuma-cuma kepada pihak perusahaan. Demikian pula dengan marga-marga yang lainnya, saat ini mereka tengah menyiapkan surat untuk menggugat kembali tahah yang telah di lepaskan kepada perusahaan.

Alasan yang dikemukakan oleh masyarakat kenapa mereka melakukan gugatan terhadap tahah yang telah di “jual” dan telah di buat berita acara pelepasannya tersebut adalah, masyarakat mengganggap mereka telah di tipu oleh pihak perusahaan dan pihak-pihak lain yang memfasilitasi proses jual-beli tanah tersebut.

Dampak yang kemudian timbul dari reaksi masyarakat tersebut adalah perusahaan mulai pendekatan-pendekatan kepada pemilik tanah. Pendekatan yang dilakukan misalnya dengan mulai dicairkannya kembali dana bantuan kepada komite pembangunan kampung saengga terutama dana untuk pembayaran honor. Dana-dana bantuan tersebut telah tertahan selama tiga bulan. Pembangunan kampung saengga mulai untuk dipercepat dan usaha-usaha lainnya mengingat usaha untuk mengklaim ulang Tanah sudah mulai tercium oleh pihak perusahaan.

Ketika masyarakat menuntut BP untuk menyelesaikan kasus tanah, BP beralasan bahwa mereka hanyalah kontraktor proyek jadi tidak punya kapasitas dalam mengembil keputusan berkaitan dengan masalah tanah tersebut, namun dalam kesempatan yang lain BP juga menawarkan memberikan dana sebesar Rp. 1 Milyar secara cash kepada ketiga marga pemilim tahan yang diambil dari dana abadi dengan catatan kalau dana tersebut diberikan maka masalah tanah harus dianggap selesai, namun masyarakat menolak tawaran tersebut.


TIAP di mata masyarakat Saengga

Sejak pertama kali TIAP dibentuk sekitar awal tahun 2002, kami langsung mempertanyakan legitimisai orang-orang yang duduk di situ. Sekalipun BP mengatakan meraka independent, namun dari laporan-laporan yang TIAP buat tetap saja menunjukkan keberpihakan mereka ke BP. Kalaupun mereka menyebut masalah-masalah pada tingkat rakyat di lokasi proyek namun itu sama sekali tidak menyentuh persoalan-persoalan mendasar rakyat dan tidak mendorong untuk menyelesaikan masalah-masalah yang selama ini menjadi soal seperti, masalah tanah untuk pembangunan kilang, kematian balita di Aranday dan juga masalah ancaman terhadap lingkungan.

TIAP juga melakukan konsultasi dengan banyak stakeholder di Papua, namun sepanjang yang kami lihat itu hanyalah sebagai pemanis dan pelengkap. Apa yang diungkapkan dalam laporan mereka tetaplah pikiran-pikiran dari TIAP bukan pikiran-pikiran yang diungkapkan oleh stakeholder. Seperti laporan-laporan yang juga dihasilkan oleh BP, laporan TIAP juga tidak pernah diberikan kepada masyarakat, masyarakat tidak pernah menerima laporan dari TIAP dan kemudian merespon hasil laporan mereka.

Masyarakat melihat TIAP sama saja dengan Team-Team lainnya yang dibentuk oleh BP, dimana Team-Team tersebut datang ke masyarakat kemudian bertanya kepada mereka.. dan kemudian mereka pergi dan kemudian masyarakat tidak tau apa yang kemudian terjadi.

Menurut kami TIAP dibentuk oleh BP hanyalah sebagai pemanis dalam pertarungan memperebutkan pasar LNG di Cina ke ketika itu... dan ketika BP kalah tender Cina, maka apa pun yang dilakukan oleh BP hanya berdasarkan pada pikiran-pikiran perusahaan demi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. hal ini sangat terasa ketika kita berada di kampung... banyak janji yang yang disampaikan oleh BP baik secara resmi maupun tidak ketika masih dalam masa perebutan pasar Cina, namun ketika BP kalah... janji-janji itu mulai pudar secara perlahan. Contoh kongkritnya adalah perjanjia yang ditandatangan oleh BP dalam lokakarya di Saengga yang sampai saat ini masih banyak yang belum terwujut. (@)2005

1Brief Report Perjanan Proyek Tangguh �" BP di Teluk Bintuni - West Papua
2Regional Representative for West Papua, Indonesia Mining Advocacy Network (JATAM)
3Pensertifikasian ini di fasilitasi oleh BP dan Pemerintah setempat dan semakin mempermudah pelesapan tanah-tanah pemukinan kepada orang lain.
4Jumlah pendatang baru tersebut saat ini jauh lebih banyak karena akan dimulainya pembangun fasilitas kilang LNG tangguh
5Sebuah lokasi transmigrasi yang telah berkembang menjadi pemukiman karena adanya perusahaan kelapa sawit.