Kamis, Juli 24, 2008

Hari Anak Nasional 2008

AKU BERCERITA TENTANG DIRIKU DAN LINGKUNGANKU[1]


Anak adalah masa depan kota ini, kota Jakarta. Dalam rangka merayakan Hari Ulang Tahun Jakarta ke-481 dan Hari Anak Nasional, FAKTA dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada hari ini mengadakan sebuah acara Panggung Anak Jakarta. Anak dan Kota adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Kota adalah tempat tumbuh kembang anak bagi masa depannya. Begitu pula masa depan kota ada di dalam kehidupan anak itu sendiri.

Adalah keindahan apabila anak dan kota bisa bersama-sama berkembang secara alami dan baik. Salah satu harapan adalah kota yang memiliki lingkungan hidup sejuk, suasana bersahabat dan sehat bagi pertumbuhan anak. Sehingga kita, para orang dewasa harus memberikan anak ruang baginya dan lingkungannya secara utuh. Anak bisa bercerita tentang dirinya tanpa ada kekerasan, kemiskinan, kesakitan dan putus sekolah. Anak berkembang dan hidup dengan lingkungan hidup yang sehat, hijau dan tanpa polusi.

Juga penting bagi anak, sejak dini didekatkan dirinya dengan lingkungannya. Salah satu cara yang sederhana namun hidup adalah dengan mengajak anak menghidupi lingkungannya. Untuk itu pada kesempatan ini FAKTA dan Pemprov DKI Jakarta memulai kegiatan menghijaukan Jakarta dengan program Satu Anak Satu Pohon. Melalui program ini, kita orang dewasa diajak bercermin pada anak-anak tetapi peduli dan aktif menghidupi lingkungan hidup kota Jakarta. Semoga kita mau sadar dan tidak malu belajar dari kepolosan dan kejujuran anak-anak kita. Selamat Ulang Tahun Jakarta dan Selamat Hari Anak.

Jakarta, 20 Juli 2008
Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA)
Ketua



Azas Tigor Nainggolan, SH, MSi


[1] Disampaikan untuk acara Merayakan Hari Anak Nasional dan HUT Jakarta 481 oleh FAKTA pada tanggal 20 Juli 2008 di Taman Suropati, Jl Imam Bonjol Jakarta Pusat

Jakarta Di Mata Orang Asing

Jakarta: In Need of Improvements

Andre VitchekWorldpress.org

contributing editorJuly 26, 2007

Today, high-rises dot the skyline, hundreds of thousands of vehicles belch fumes on congested traffic arteries and super-malls have become the cultural centers of gravity in Jakarta , the fourth largest city in the world. In between towering super-structures, humble kampongs house the majority of the city dwellers, who often have no access to basic sanitation, running water or waste management.
Pada saat ini, gedung pencakar langit, jalanan macet dipadati oleh ratusan ribu kendaraan, dan mal-mal raksasa telah menjadi pusat kebudayaan Jakarta , yang notabene merupakan kota terbesar ke-4 di dunia. Terjepit diantara gedung tinggi, terhampar perkampungan dimana bermukim sebagian besar penduduk Jakarta yang tidak memiliki akses sanitasi dasar, air bersih atau pengelolaan limbah.

While almost all major capitals in the Southeast Asian region are investing heavily in public transportation, parks, playgrounds, sidewalks and cultural institutions like museums, concert halls and convention centers, Jakarta remains brutally and determinately 'pro-market' profit-driven and openly indifferent to the plight of a majority of its citizens who are poor.
Disaat hampir semua kota-kota utama lain di Asia Tenggara menginvestasikan dana besar-besaran untuk tr ansportasi publik, taman kota, taman bermain, trotoar besar, dan lembaga kebudayaan seperti museum, gedung konser, dan pusat pameran, Jakarta tumbuh secara BRUTAL dengan berpihak hanya pada PEMILIK MODAL dan TIDAK PEDULI akan nasib mayoritas penduduknya yang MISKIN.

Most Jakartans have never left Indonesia , so they cannot compare their capital with Kuala Lumpur or Singapore ; with Hanoi or Bangkok . Comparative statistics and reports hardly make it into the local media. Despite the fact that the Indonesian capital is for many foreign visitors a 'hell on earth,' the local media describes Jakarta as "modern," "cosmopolitan, " and "a sprawling metropolis."
Kebanyakan penduduk Jakarta belum pernah pergi ke luar negeri, sehingga mereka tidak dapat membandingkan kota Jakarta dengan Kuala Lumpur atau Singapura, Hanoi atau Bangkok . Liputan dan statistik pembanding juga jarang ditampilkan oleh media massa setempat. Meskipun bagi para wisatawan asing Jakarta merupakan NERAKA DUNIA, media massa setempat menggambarkan Jakarta sebagai kota "modern", "kosmopolitan" , dan "metropolis" .

Newcomers are often puzzled by Jakarta 's lack of public amenities. Bangkok , not exactly known as a user-friendly city, still has several beautiful parks. Even cash-strapped Port Moresby , capital of Papua New Guinea , boasts wide promenades, playgrounds, long stretches of beach and sea walks. Singapore and Kuala Lumpur compete with each other in building wide sidewalks, green areas as well as cultural establishments. Manila , another city without a glowing reputation for its public amenities, has succeeded in constructing an impressive sea promenade dotted with countless cafes and entertainment venues while preserving its World Heritage Site at In tramuros. Hanoi repaved its wide sidewalks and turned a park around Huan-Kiem Lake into an open-air sculpture museum.
Para pendatang/wisatawan seringkali terheran-heran dengan kondisi Jakarta yang tidak memiliki taman rekreasi publik. Bangkok, yang tidak dikenal sebagai kota yang ramah publik, masih memiliki beberapa taman yang menawan. Bahkan, Port Moresby, ibukota Papua Nugini, yang miskin, terkenal akan taman bermain yang besar, pantai dan jalan setapak di pinggir laut yang indah.

But in Jakarta , there is a fee for everything. Many green spaces have been converted to golf courses for the exclusive use of the rich. The approximately one square kilometer of Monas seems to be the only real public area in a city of more than 10 million. Despite being a maritime city, Jakarta has been separated from the sea, with the only focal point being Ancol, with a tiny, mostly decrepit walkway along the dirty beach dotted with private businesses.Di Jakarta kita perlu biaya untuk segala sesuatu.
Banyak lahan hijau diubah menjadi lapangan golf demi kepentingan orang kaya. Kawasan Monas seluas kurang lebih 1 km persegi bisa jadi merupakan satu-satunya kawasan publik di kota berpenduduk lebih dari 10 juta ini. Meskipun menyandang predikat kota maritim, Jakarta telah terpisah dari laut dengan Ancol menjadi satu-satunya lokasi rekreasi yang sebenarnya hanya berupa pantai kotor.

Even to take a walk in Ancol, a family of four has to spend approximately $4.50 (40,000 Indonesian Rupiahs) in entrance fees, something unthinkable anywhere else in the world. The few tiny public parks which survived privatization are in desperate condition and mostly unsafe to use.
Bahkan kalau mau jalan-jalan ke Ancol, satu keluarga dengan 4 orang anggota keluarga harus mengeluarkan uang Rp 40.000 untuk tiket masuk, satu hal yang tak masuk akal di belahan lain dunia. Beberapa taman publik kecil kondisinya menyedihkan dan tidak aman.

There are no sidewalks in the entire city, if one applies international standards to the word "sidewalk." Almost anywhere in the world (with the striking exception of some cities in the United State , like Houston and Los Angeles ) the cities themselves belong to pedestrians. Cars are increasingly discouraged from travelling in the city centres. Wide sidewalks are understood to be the most ecological, healthy and efficient forms of short-distance public transportation in areas with high concentrations of people.
Sama sekali tidak ditemui tempat pejalan kaki di seluruh penjuru kota (tempat pejalan kaki yang dimaksud adalah sesuai dengan standar "internasional" ). Nyaris seluruh kota-kota di dunia (kecuali beberapa kota di AS, seperti Houston dan LA) ramah terhadap pejalan kaki. Mobil seringkali tidak diperkenankan berkeliaran di pusat kota . Trotoar yang lebar merupakan sarana tr ansportasi publik jarak pendek yang paling efisien, sehat, dan ramah lingkungan di daerah yang padat penduduk.

In Jakarta , there are hardly any benches for people to sit and relax, and no free drinking water fountains or public toilets. It is these small, but important, 'details' that are symbols of urban life anywhere else in the world.
Di Jakarta, nyaris tidak dijumpai bangku untuk duduk dan rileks, tidak ada keran air minum gratis atau toilet umum. Ini memang remeh, tapi sangat penting, merupakan suatu detil yang menjadi simbol kehidupan perkotaan di bagian lain dunia.

Most world cities, including those in the region, want to be visited and remembered for their culture. Singapore is managing to change its 'shop-till-you- drop' image to that of the centre of Southeast Asian arts. The monumental Esplanade Theatre has reshaped the skyline, offering first-rate international concerts in classical music, opera, ballet, and also featuring performances from some of the leading contemporary artists from the region. Many performances are subsidized and are either free or cheap, relative to the high incomes in the city-state.
Sebagian besar kota-kota dunia, ingin dikunjungi dan dikenang akan kebudayaannya. Singapura sedang berupaya mengubah ci tr a kota belanjanya menjadi jantung kesenian Asia Tenggara. Esplanade Thea tr e yang monumental telah mengubah wajah kota Singapura, dimana ia menawarkan konser musik klasik, balet, dan opera internasional kelas satu, disamping pertunjukan artis kontemporer kawasan. Banyak pertunjukan yang disubsidi dan seringkali gratis atau murah, bila dibandingkan dengan pendapatan warga kota yang relatif tinggi.

Kuala Lumpur spent $100 million on its philharmonic concert hall, which is located right under the Petronas Towers , among the tallest buildings in the world. This impressive and prestigious concert hall hosts local orches tr a companies as well top international performers. The city is currently spending further millions to refurbish its museums and galleries, from the National Museum to the National Art Gallery .
Kuala Lumpur menghabiskan $100 juta untuk membangun balai konser philharmonic yang terletak persis dibawah Pe tr onas Tower , salah satu gedung tertinggi di dunia. Balai konser prestisius dan impresif ini mempertunjukkan grup orkes tr a lokal dan internasional. Kuala Lumpur juga sedang menginvestasikan beberapa juta dolar untuk memugar museum dan galeri, dari Museum Nasional hingga Galeri Seni Nasional.

Hanoi is proud of its culture and arts, which are promoted as its major at tr action millions of visitors flock into the city to visit countless galleries stocked with canvases, which can be easily described as some of the best in Southeast Asia . Its beautifully restored Opera House regularly offers Western and Asian music treats.
Hanoi bangga akan budaya dan seninya, yang dipromosikan guna menarik jutaan turis untuk mengunjungi galeri-galeri lukisan yang tak terhitung jumlahnya, dimana lukisan tersebut merupakan salah satu yang terbaik di Asia Tenggara. Gedung Operanya yang dipugar secara reguler mempertunjukkan pagelaran musik Asia dan Barat.

Bangkok's colossal temples and palaces coexist with ex tr emely cosmopolitan fare international theater and film festivals, countless performances, jazz clubs with local and foreign artists on the bill, as well as authentic culinary delights from all corners of the world. When it comes to music, live performances and nightlife, there is no city in Southeast Asia as vibrant as Manila .
Candi-candi dan istana kolosal di Bangkok eksis berdampingan dengan teater dan festival film internasional, klub jazz yang tak terhitung jumlahnya, dan juga pilihan kuliner otentik dari segala penjuru dunia. Kalau bicara musik dan kehidupan malam, tak ada kota di Asia Tenggara yang semeriah Manila .

Now back to Jakarta . Those who have ever visited the city's 'public libraries' or National Archives building will know the difference. No wonder; in Indonesia education, culture and arts are not considered to be 'profitable' (with the exception of pop music), and are therefore made absolutely irrelevant. The country spends the third lowest amount in the world on education (according to The Economist, only1.2 percent of its GDP) after Equatorial Guinea and Ecuador (there the situation is now rapidly improving with the new progressive government).
Nah, sekarang balik ke Jakarta . Siapapun yang bernah berkunjung ke "perpustakaan umum" atau gedung Arsip Nasional pasti tahu bedanya. Tak heran, dalam pendidikan Indonesia, budaya dan seni tidak dianggap "menguntungkan" (kecuali musik pop), sehingga menjadi tidak relevan. Indonesia merupakan negara dengan ANGGARAN PENDIDIKAN TERENDAH nomor 3 di dunia - Masya Alloh! (pent.) - (menurut The Economist, hanya 1,2% dari PDB) setelah Guyana Khatulistiwa dan Ekuador (di kedua negara tersebut keadaan sekarang berkembang cepat berkat pemerintahan baru yang progresif)

Museums in Jakarta are in appalling condition, offering absolutely no important international exhibitions. They look like they fell on the city from a different era and no wonder the Dutch built almost all of them. Not only are their collections poorly kept, but they lack elements of modernity there are no elegant cafes, museum shops, bookstores or even public archives. It appears that the individuals running them are without vision and creativity. However, even if they did have inspired ideas, there would be no funding to carry them out.
Museum di Jakarta berada dalam kondisi memprihatinkan, sama sekali tidak menawarkan eksibisi internasional. Museum tersebut terlihat seperti berasal dari zaman baheula dan tak heran kalau Belanda yang membangun kesemuanya. Tidak hanya koleksinya yang tak terawat, tapi juga ketiadaan unsur-unsur modern seperti kafe, toko cinderamata, toko buku atau perpustakaan publik. Kelihatannya manajemen museum tidak punya visi atau kreativitas. Bahkan, meskipun mereka punya visi atau kreativitas, pasti akan terkendala dengan ketiadaan dana.

It seems that Jakarta has no city planners, only private developers that have no respect for the majority of its inhabitants who are poor (the great majority, no matter what the understated and manipulated government statistics say). The city abandoned itself to the private sector, which now controls almost everything, from residential housing to what were once public areas.
Sepertinya Jakarta tidak punya perencana kota, hanya ada pengembang swasta yang tidak punya respek atau kepedulian akan mayoritas penduduk yang miskin (mayoritas besar, tak peduli apa yang dikatakan oleh data statistik yang seringkali DIMANIPULIR pemerintah). Kota Jakarta praktis menyerahkan dirinya ke sektor swasta, yang kini nyaris mengendalikan semua hal, mulai dari perumahan hingga ke area publik.



While Singapore decades ago, and Kuala Lumpur recently, managed to fully eradicate poor, unsanitary and depressing kampongs from their urban areas, Jakarta is unable or unwilling to offer its citizens subsidized, affordable housing equipped with running water, electricity, a sewage system, wastewater tr eatment facilities, playgrounds, parks, sidewalks and a mass public transportation system.
Sedangkan beberapa dekade yang lalu di Singapura, dan baru-baru ini di Kualalumpur, mereka berhasil menghilangkan total perkampungan kumuh dari wilayah kota, namun Jakarta tidak mampu atau tidak mau memberikan warganya perumahan bersubsidi dengan harga terjangkau yang dilengkapi dengan air ledeng, listrik, sistem pembuangan limbah, taman bermain, tr otoar dan sistem tr ansportasi massal.

Rich Singapore aside, Kuala Lumpur with only 2 million inhabitants boasts one metroline (Putra Line), one monorail, several efficient Star LRT lines, suburban tr ain links and high-speed rail system connecting the city with its new capital Putrajaya. The "Rapid" system counts on hundreds of modern, clean and air-conditioned buses. Transit is subsidized; a bus ticket on "Rapid" costs only $.60 (2 Malaysian Ringgits) for unlimited day use on the same line. Heavily discounted daily and monthly passes are also available.
Selain Singapura, Kualalumpur dengan berpenduduk hanya 2 juta jiwa memiliki satu jalur Me tr o (Pu tr a Line), satu monorail, beberapa jalur LRT Star yang efisien, dan jaringan keretaapi kecepatan tinggi yang menghubungkan kota dengan ibu kota baru Pu tr ajaya. Sistem "RApid" memiliki ratusan bus modern, bersih, dan ber-AC. Tarifnya disubsidi, tiket bus Rapid hanya sekitar 2 Ringgit (kuranglebih Rp 4600) untuk penggunaan tak terbatas sepanjang hari di jalur yang sama. Tiket abonemen bulanan dan harian yang sangat murah juga tersedia.

Bangkok contracted German firm Siemens to build two long "Sky Train" lines and one me tr o line. It is also utilizing its river and channels as both public transportation and as a tourist attraction. Despite this enormous progress, the Bangkok city administration claims that it is building an additional 50 miles (80 kilometers) of tracks for these systems in order to convince citizens to leave their cars at home and use public transportation. Polluting pre-historic buses are being banned from Hanoi , Singapore , Kuala Lumpur and gradually from Bangkok . Jakarta , thanks to corruption and phlegmatic officials, is in its own league even in this field.
Bangkok menunjuk kon tr aktor Siemens dari Jerman untuk membangun 2 jalur panjang "Sky Train" dan satu jalur me tr o. Bangkok juga memanfaatkan sungai dan kanal sebagai tr ansportasi publik dan objek wisata. Pemerintahan kota Bangkok juga mengklaim bahwa mereka sedang membangun jalur tambahan sepanjang 80 km untuk sistem tersebut guna meyakinkan penduduk untuk meninggalkan mobil mereka di rumah dan memanfaatkan tr ansportasi umum. Bus-bus kuno yang berpolusi sudah sepenuhnya dilarang beroperasi di Hanoi , Singapura, Kualalumpur, dan Bangkok . Jakarta ? Berkat korupsi dan pejabat pemerintahan yang tak kompeten, Jakarta tenggelam dalam kondisi yang berkebalikan dengan kota-kota tersebut.

Mercer Human Resource Consulting, in its reports covering quality of life, places Jakarta repeatedly on the level of poor African and South Asian cities, below metropolises like Nairobi and Medellin.
Mercer Human Resource Consulting, dalam laporannya tentang kualitas hidup, menempatkan Jakarta di posisi setara dengan kota-kota miskin di Afrika dan Asia Selatan, bahkan dibawah kota Nairobi dan Medellin

Considering that it is in the league with some of the poorest capitals of the world, Jakarta is not cheap. According to the Mercer Human Resource Consulting 2006 Survey, Jakarta ranked as the 48th most expensive city in the world for expatriate employees, well above Berlin (72nd), Melbourne (74th) and Washington D.C. (83rd). And if it is expensive for expa tr iates, how is it for local people with a GDP per capita below $1,000?Walaupun Jakarta menjadi salah satu ibukota terburuk di dunia, hidup disana tidaklah murah.
Menurut Survey Mercer Human Resource Consulting tahun 2006, Jakarta menduduki peringkat 48 kota termahal di dunia untuk ekspa tr iat, jauh diatas Berlin (peringkat 72), Melbourne (74) dan Washington DC (83). Nah, kalau untuk ekspa tr iat saja mahal, apalagi buat penduduk lokal yang pendapatan perkapita DIBAWAH $1000??


Curiously, Jakartans are silent. They have become inured to appalling air quality just as they have gotten used to the sight of children begging, even selling themselves at the major intersections; to entire communities living under elevated highways and in slums on the shores of canals turned into toxic waste dumps; to the hours-long commutes; to floods and rats.
Anehnya, orang Jakarta diam seribu bahasa. Mereka pasrah akan kualitas udara yang jelek, terbiasa dengan pemandangan pengemis di perempatan jalan, dengan kampung kumuh di bawah jalan layang dan di pinggir sungai yang kotor dan penuh limbah beracun, dengan kemacetan berjam-jam, dengan banjir dan tikus.

But if there is to be any hope, the truth has to eventually be told, and the sooner the better. Only a realistic and brutal diagnosis can lead to treatment and a cure. As painful as the truth can be, it is always better than self-deceptions and lies. Jakarta has fallen decades behind capitals in the neighbouring countries in aesthetics, housing, urban planning, standard of living, quality of life, health, education, culture, transportation, food quality and hygiene. It has to swallow its pride and learn from Kuala Lumpur , Singapore , Brisbane and even in some instances from its poorer neighbours like Port Moresby , Manila and Hanoi .
Kalau saja ada sedikit harapan, kebenaran pasti akan terucap, dan semakin cepat semakin baik. Hanya diagnosis kejam dan realistis yang bisa mengarah pada obat. Betapapun pahitnya kebenaran, tetap saja lebih baik ketimbang dusta dan penipuan. Jakarta telah tertinggal jauh dibelakang ibukota lain negara tetangga dalam hal estetika, pemukiman, kebudayaan, tr ansportasi, dan kualitas dan higiene makanan. Sekarang Jakarta telah kehilangan kebanggaan dan mesti belajar dari Kualalumpur, Singapura, Brisbane, dan bahkan dalam beberapa hal dari tetangganya yang lebih miskin seperti Port Moresby, Manila, dan Hanoi.

Comparative statistics have to be transparent and widely available. Citizens have to learn how to ask questions again, and how to demand answers and accountability. Only if they understand to what depths their city has sunk can there be any hope of change. "We have to watch out," said a concerned Malaysian filmmaker during New Year's Eve celebrations in Kuala Lumpur . " Malaysia suddenly has too many problems. If we are not careful, Kuala Lumpur could end up in 20 or 30 years like Jakarta !"
Data statistik harus tr ansparan dan tersedia luas. Warga harus belajar bertanya dan bagaimana untuk memperoleh jawaban dan akuntabilitas. Hanya kalau mereka memahami seberapa dalamnya kota mereka telah terperosok, maka barulah ada harapan. "Kita harus berhati-hati" kata produser film Malaysia dalam perayaan tahun baru di Kualalumpur. " Malaysia punya banyak masalah. Kalau kita tidak hati-hati, dalam 20-30 tahun Kualalumpur akan bernasib sama seperti Jakarta !"

Could this statement be reversed? Can Jakarta find the strength and solidarity to mobilize in time catch up with Kuala Lumpur ? Can decency overcome greed? Can corruption be eradicated and replaced by creativity? Can private villas shrink in size and green spaces, public housing, playgrounds, libraries, schools and hospitals expand?
Dapatkah pernyataan ini dibalik? Mampukah Jakarta menemukan kekuatan dan solidaritas untuk mobilisasi sehingga dapat menyaingi Kualalumpur? Mampukah kecukupan mengatasi keserakahan? Dapatkah korupsi diberantas dan diganti dengan kreatifitas? Akankah ukuran vila pribadi mengecil, dan kawasan hijau, perumahan publik, taman bermain, perpustakaan, sekolah dan rumah sakit berkembang pesat?

An outsider like me can observe, tell the story and ask questions. Only the people of Jakarta can offer the answers and solutions.
Orang luar seperti saya hanya dapat mengamati, bercerita, dan bertanya. Dan hanya masyarakat Jakarta yang punya jawaban dan solusinya

Keadilan Untuk Semua? (1)

Oleh: Azas Tigor Nainggolan[2]

"Apakah bapak-bapak dibayar atau tidak, dan siapa yang bayar?", tanya seorang warga kepada serombongan orang dari Tim Studi Amdal. "Menurut bapak, apakah benar tindakan pengembang yang sudah melakukan penanaman tiang panjang dan pengurukan di lokasi, sementara studi amdalnya belum ada?", tanya warga lagi. Pertanyaan-pertanyaan di atas dilontarkan warga Kelapa Gading saat berdialog dengan tim dari Pusat Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Hidup dari Universitas Indonesia (PPSML-UI) yang menjadi pelaksana studi Amdal pada proyek di atas tanah fasilitas sosial di Kelapa Gading Jakarta Utara. Dialog ini terjadi sekitar tahun 2004 saat kami mendampingi warga yang aktif memperjuangkan haknya memiliki lahan untuk fasilitas sosial. Saat itu Pemprov DKI Jakarta dan Yayasan Dharma Bakti Mahaka akhirnya berhasil merubah peruntukan lahan fasilitas sosial (fasos) seluas 2,62 Ha di Kelapa Gading Jakarta Utara itu menjadi sebuah mal yang sekarang kita kenal dengan Sportmal. Padahal menurut peraturan yang dibuat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta, lahan fasos itu adalah diperuntukan sebagai lahan bagi bangunan kantor pemerintah dan sekolah.

Situasi dan usaha berjuang ini pernah saya dapatkan juga semangatnya di suatu sore pada akhir tahun 2003, ketika bersama beberapa orang rekan terjebak macet di perempatan jalan Pramuka Jakarta Timur. Hari itu hujan lebat sekali, kami bertemu dengan 3 orang anak kecil kakak beradik sedang menghitung uang hasil mengamen di jalanan. Ketiga anak itu tidak peduli asap kendaraan dan air hujan deras membasahi tubuh mereka yang masih kecil-kecil. Spontan saya berkata saat itu:”gila Jakarta ini”. Semangat berjuang itu juga saya saya alami di tempat lain, ketika berjumpa 2 orang anak di lokasi penggusuran Tanjung Duren Jakarta Barat pada tahun 2003 juga. Ketika itu saya berjumpa dengan Yuli Agustin yang baru berusia 40 hari dan Aldey 7 bulan tetapi sudah menjadi korban penggusuran yang dilakukan aparat Pemprov Jakarta serta aparat kepolisian. Terpikir oleh saya, apakah saat menggusur aparat Pemprov Jakarta memperhitungkan betul hak-hak warganya terutama anak-anak itu?

Tahun 2003 ini menurut catatan yang kami, adalah pengalaman paling mengerikan jumlah penggusurannya. Catatan kami, Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) kumpulkan terdapat penggusuran di Jakarta terhadap Pedagang Kaki Lima (PKL) sebanyak 49 kali, Becak dan Gerobak (kendaraan non motor) sebanyak 13 kali. Secara khusus jumlah korban penggusuran di Jakarta selama tahun 2003 itu adalah untuk 30 kali penggusuran pemukiman rakyat miskin tercatat korban sekitar 11.471 KK (60.000 jiwa) kehilangan tempat tinggal, meninggal dunia 4 orang, diperkosa 1 orang, sekolah digusur 3 buah dan 1 buah mesjid, 15.112 PKL serta 135 pengemudi becak digusur haknya untuk memiliki pekerjaan. Sebuah tindakan yang sangat tidak manusiawi mengorbankan kepentingan dan membunuh warga negara sendiri hanya karena untuk memberikan kemudahan dan pelayanan bagi kepentingan pemodal dan bangsa lain.

Penggusuran-penggusuran ini bukan hanya menghilangkan tempat tinggal atau kesempatan bekerja saja tetapi juga akan membunuh perlahan-lahan para korbannya. Setiap kali penggusuran juga seringkali menggunakan teror, kekerasan dan pelecehan seksual terhadap para korban gusuran. Secara khusus juga dalam penggusuran ini kita akan dihadapkan pada persoalan bagaimana kehidupan pendidikan dan perkembangan hidup anak-anak para korban penggusuran. Sudah pasti penggusuran ini akan menghilangkan dan memiliki dampak serius terhadap matinya hak-hak dasar warga negara. Melihat data-data di atas jelas sekali kebijakan penggusuran yang diambil oleh Propinsi DKI Jakarta terhadap warga kotanya yang miskin adalah perbuatan yang sangat tidak manusiawi dan melanggar Hak-hak dasar manusia. Perlindungan terhadap hak-hak dasar berupa hak atas tempat tinggal, hak atas pekerjaan dan hak untuk melilih pekerjaan, hak atas pendidikan dan berkembang dengan layak sebagai anak-anak dan hak atas hidup yang aman serta bebas dari rasa takut telah diatur oleh banyak ketentuan internasional maupun perundangan-undangan nasional.

Penggusuran itu adalah pembunuhan hak dasar warga, rupanya masih terus berlangsung hingga saat ini di tahun 2008. Lihat saja para pedagang yang sudah puluhan tahun menempati lahan di jalan Barito Jakarta Selatan digusur secara paksa kembali oleh aparat Pemprov Jakarta didukukng oleh ratusan aparat kepolisian. Juga puluhan pedagang yang menempati lahan di jalan Rawasari Jakarta Pusat digusur begitu oleh aparat Pemprov Jakarta tanpa pengganti atau alternatif tempat berjualan yang baru. Kedua kasus penggsuran yang terjadi di awal tahun 2008 itu dilakukan dengan alasan pihak Pemprov Jakarta akan merefungsi lahan tersebut menjadi Ruang Terbuka Hijau.

Banyak sudah kritik dan gugatan hukum yang dilakukan oleh warga dan LSM untuk menghentikan penggusuran sewenang-wenang itu tetapi Pemerintah tetap saja berjalan dengan pikirannya, menggusur adalah jalan satu-satunya untuk membangun kota ini. Semua upaya meniadakan atau mengenyampingkan kritik dan gugata warga itu menunjukkan pemerintah masih saja memakai kekuasaan untuk membodohi, menekan, membohongi bahkan membenarkan pembunuhan bangsanya sendiri. Menjadikan bangsa ini atau warga negaranya yang manusia adalah citra dari PenciptaNya sendiri ini seperti sampah tak berguna. Seharusnya difasilitasi hak-hak dasarnya untuk mendapatkan tempat tinggal agar hidup sebagaimana rencana Sang Pencipta menghidupkan para manusia.


Tantangan Kita

Gambaran suasana dan persoalan di atas hanyalah beberapa contoh tantangan yang harus kita hadapi ke depan. Masih banyak contoh atau pengalaman pahit atau berjuang atas hak dasar yang tetap digilas oleh arogansi kekuasaan bisa ditunjukkan. Mudahnya mengalahkan kebenaran dan keadilan, membunuh kemanusiaan, bersikap tidak berpihak warga atau kemanusiaan. Seakan keadilan sebagai sesuatu yang utopis bagi rakyat miskin atau harus diperjuangkan terus menerus dan sulit terwujud. Akibatnya banyak masyarakat kita yang putus asa, sudah tidak peduli karena merasa terus kalah, akibat dari berbagai macam penindasan yang mereka alami sendiri tanpa henti. Begitu pula saat ini orang-orang atau lembaga yang benar-benar peduli dengan ketidak-adilan semakin berkurang jumlahnya. Sulit dan semakin sulit saja situasinya sekarang. Inilah tantangan keras yang harus kita hadapi.

Rakyat terus tetap menderita dan tidak jelas masa depannya, hak-haknya terus dirampas, dibakar, dibongkar paksa dan dibunuh. Rakyat terus dijadikan korban dan harus berhadapan dengan penguasa yang lalim dan pemodal yang rakus. Situasi ini jelas tidak sebanding dan pasti rakyat akan terus kalah serta terus menjadi korban tanpa pembelaan dan perlindungan. Hukum yang seharusnya bisa digunakan sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan bagi terlindunginya hak warga, ternyata sudah dijual, mudah dibeli oleh yang berduit, memiliki modal lebih besar. Hukum yang hakekatnya harus mudah diakses semua warganya, ternyata dibangun oleh penguasa atau pemerintah sebagai barang yang mahal, sulit dan jauh dari jangkauan warga rakyat kecil. Akibatnya juga adalah keadilan menjadi barang yang sama dengan keberadaan dari hukum itu sendiri, tidak berpihak dan tidak bisa diakses warga rakyat kecil.

Situasi ini terus berlangsung hingga sekarang karena masih banyak para aparat pemerintah menjadi penguasa negeri ini lebih berpihak pada orang yang besedia membayar mahal kekuasaannya. Penegakan hukum dan keadilan hanya jadi sekedar sebuah jargon politik atau tipu-tipu (obat bius) para politisi serta aparat hukum kepada rakyat kecil. Tanpa rasa malu sama sekali, para penguasa ini membangun hukum menjadi hamba kekuasaan dan kepentingan modal. Para aparat pemerintah juga semakin tidak jelas dan tidak bisa lagi membedakan dirinya, antara sebagai pihak yang harusnya membantu, justru mengambil manfaat secara keji.
Mengajak dan menghidupkan terus upaya perlindungan hak dasar warga adalah sebuah awal dari perubahan pencapaian keadilan. Semangat ini pulalah yang memberikan nyala harapan akan adanya masa mendatang lebih baik, agar keadilan dapat diraih bagi semua, terutama si miskin dan tertindas. Menjadikan hak dasar sebagai alat ukur nyata bagi kases keadilan dan penegakkan hukum bagi rakyat kecil yang selama ini selalu ditindas dan dibunuh terus menerus. Mungkin saja bagi pemodal, hukum dan aparat pro terhadap rakyat miskin adalah sebuah langkah yang tidak populer dan tidak mudah untuk dikerjakan karena tidak memiliki nilai ekonomi modal. Pasti akan banyak hambatan dan tantangan jika kita menyuarakan yang sebenarnya, memberi dan melindungi warga agar memiliki kembali hak dasarnya.
Sebagai manusia warga seharusnya minimal hidup layak dengan tempat tinggal layak sebagai manusia, tidak digusur-gusur atau dijadikan objek pemerasan untuk dapat hidup layak. Perlu keberanian dan orang-orang yang bersemangat menyimpang dari arus utama penindasan sekarang ini. Menyimpang dari keinginan menindas dan menggusur seperti banyak dimiliki para aparat pemerintah dan pemodal yang selalu menggunakan hakum untuk kepentingan sendiri. Diperlukan orang-orang yang berani membangun sistem hukum yang adil bagi semua warga, khususnya yang miskin agar dapat mengakses keadilan.

Rakyat korban tentunya memiliki kebijakan dan kekuatan yang selama ini terus menghidupi sebuah harapan yang tidak pernah hilang. Keberadaan mereka janganlah dianggap sepele ata diremehkan begitu saja. Hidup perjuangan mereka yang miskin dan tidak lagi punya pilihan itu justru memberi kita semangat untuk mengisi ruang-ruang harapan para korban lainnya. Walau diterpa berbagai penderitaan dan penindasan, rakyat akan tetap memiliki ruang harapan akan terjadinya sebuah perubahan. Ruang inilah yang merupakan tempat kita untuk membangun kebenaran dan keadilan. Harapan ke depan agar membuka kebungkaman dan kebisuan yang selama ini menutupi hidup para korban. Mengungkap kebenaran dan membangun keadilan bersama para korban. Semoga.


Jakarta, 28 Juni 2008
Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) adalah sebuah Forum Warga Kota Jakarta yang memiliki keprihatinan dan aktivitas advokasi pada persoalan-persoalan kota Jakarta, khususnya masalah yang dihadapi kaum miskin kota Jakarta. Saat ini FAKTA sedang membangun dan mendampingi berbagai kelompok masyarakat miskin di Jakarta dan mengembangkan kegiatan Radio Komunitas Warga yang bernama Radio Suara Warga Jakarta
Sekretariat: Jalan Pancawarga IV No:44, RT:003 RW:07, Cipinang Muara, Jakarta Timur 13420,
Telp:021-8569008

[1] Tulisan ini disampaikan pada Roundtable Discussion Peluncuran Laporan Regional Commission on Legal Empowerment of the Poor (CLEP) yang rencananya akan diadakan di Kantor Sekretariat ASEAN tanggal 3 Juli 2008.
[2] Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) dan seorang Advokat Publik bagi Warga Miskin di Jakarta, tinggal di Jakarta. Email: azastigor@yahoo.com ,
Kontak:0815 9977041

Kamis, Juli 10, 2008

Manusia Bukan Sampah

Oleh: Azas Tigor Nainggolan

Masih ingatkah kita dengan beberapa kejadian menyedihkan sekaligus mengerikan yang menimpa warga miskin terpaksa memilih jalan pintas bunuh diri karena kesulitan yang dihadapinya? Kasus bunuh diri seorang ibu bersama 2 orang anaknya karena kesulitan hidup atau kemiskinan yang melilit mereka. Keputusan itu diambil oleh seorang ibu bernama Jasih, melakukan bunuh diri bersama 2 anaknya yakni Galang (7 tahun) dan Galuh (4 tahun). Bunuh diri itu dilakukan dengan membakar diri di rumahnya di daerah Koja Jakarta Utara pada tanggal 15 Desember 2004. Menurut isi surat yang ditulis dan ditinggalkan pada suaminya Mahfud, sang isteri Jasih mengungkapkan, bahwa dia sudah tidak tahan lagi menanggung kemiskinan hidup dan tidak tahan melihat penderitaan anak mereka, Galuh yang menderita kanker otak.

Menyedihkan dan menyayat hati membaca keputusan yang diambil oleh si ibu, sementara dia pun saat itu sedang hamil. Peristiwa menyakitkan itu ditambah lagi, diamana saat tetangga korban membawa Galang yang badannya penuh dengan luka bakar, ditolak oleh sebuah rumah sakit. Penolakan itu menurut cerita tetangga korban dikarenakan tidak ada uang jaminan yang diminta oleh pihak rumah sakit. Saat mengetahui informasi itu, saya tidak bisa membayangkan ada orang, entah itu petugas atau perawat entah dokternya, bisa menolak seorang anak yang penuh luka bakar bakar hanya alasan uang jaminan. Tidakkah mereka harusnya sebagai pekerja di rumah sakit sadar bahwa mereka bekerja untuk menolong manusia dan menempatkan keselamatan kehidupan sesamanya lebih dulu ketimbang uang.

Kejadian ini bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Banyak kasus lain seperti di atas terjadi dan terjadi terus hingga hari ini. Belum hilang dari ingatan kita tentunya, kejadian pada tahun 2003 lalu, dimana seorang pelajar di Bandung terpaksa mencoba melakukan upaya bunuh diri dengan gantung diri karena masalah biaya sekolah. Upaya bunuh diri itu dilakukan setalah si pelajar tidak mendapat uang sebesar Rp 3.000 untuk membayar biaya ekstra kurikuler di sekolah. Ketika itu orang tuanya memang sedang tidak punya uang, hingga terpaksa menolak permintaan sang anak. Takut mendapatkan masalah di sekolah, sang anak akhirnya mencoba bunuh diri namun berhasil digagalkan. Walaupun demikian karena sempat tergantung beberapa lama, kejadian tersebut saat ini meninggalkan dampak kejiwaan yang sangat buruk bagi si anak.
Pernah juga kita dibuat tegang dengan sebuah kasus seorang suami meminta pengadilan agar diberi izin melakukan tindakan euthanasia (bunuh diri) terhadap isterinya. Upaya itu diminta terhadap isterinya yang diopname dan dia sudah tidak mampu lagi membiayai tagihan biaya rumah sakit. Sang suami saat diwawancara oleh sebuah stasiun televisi swasta mengatakan, bahwa permintaan izin ini terpaksa dilakukan karena dia sudah tidak punya biaya dan negara atau pemerintah tidak mau membantu. Dikatakan juga desakan meminta izin upaya euthanasia itu semakin kuat karena pihak rumah sakit tetap saja menagih biaya pengobatan walau dia sudah mengatakan tidak punya uang lagi membiayai pengobatan isterinya tersebut.

Jalan pintas bunuh diri untuk lepas dari kemiskinan yang melilit kehidupan warga Jakarta lainnya juga dilakukan oleh seorang pedagang kaki lima (PKL) pada tangga 26 Mei 2004 lalu. Cara ini terpaksa dilakukan oleh Binsar Sianipar (28 tahun) yang sehari-hari berjualan VCD, secara nekat mengikat lehernya dan menggantung dirinya memakai sebuah spanduk di dalam kamar kontrakannya yang sederhana di daerah Ciracas Jakarta Timur. Menurut cerita seorang temannya dikatakan bahwa ada kemungkinan Sianipar putus asa sebagai pedagang kaki lima (PKL) tidak berkembang.

Temannya itu menuturkan, bahwa mereka sebelumnya sama-sama berjualan di daerah Pasar Rebo Jakarta. Sebagai PKL, barang dagangan mereka berdua diceritakan sering menjadi sasaran empuk penggusuran atau dirazia oleh petugas ketentaraman dan ketertiban (Trantib) pemda. Situasi ini memaksa Sianipar pindah berjualan di daerah Glodok Jakarta Barat yang sebenarnya juga tidak membawa perkembangan karena terlalu banyak saingan. Kesulitan hidup di Jakarta inilah yang menurut kawannya itu membuat Sianipar putus asa dan memutuskan bunuh diri. Mengerikan sekali hidup di Jakarta ini, miskin tanpa ada bantuan atau perhatian dari pemerintahnya dan terpaksa bunuh diri untuk menghentikan penderitaan.

Kejadian lain sejenis juga dialami oleh sebuah keluarga miskin di daerah Halim Jakarta Timur pada November 2004 lalu. Seorang ibu bernama Rosmawati (32 tahun) terpaksa meninggal dunia pada tanggal 18 November 2004 karena menderita infeksi dan tumor di kandungan. Kemiskinan keluarganya membuat Romawati terpaksa dibawa ke “pengobatan alternatif”, tidak berobat ke rumah sakit karena biaya pengobatan sangat mahal. Tindakan ini justru membuat penyakit Rosmawati semakin parah dan mengalami infeksi pada kandungannya karena tindakan pada pengobatan alternatif itu steril. Saat kritis, pihak keluarga mencoba kembali membawa Rosmawati ke sebuah rumah sakit umum daerah dan diminta biaya Rp 50 juta walau keluarga sudah menyertakan Surat Keterangan bahwa mereka adalah keluarga miskin.

Begitu pula penggusuran tempat tinggal yang di alami oleh sekitar 200 keluarga pemulung di bawah jembatan Kampung Melayu Jakarta Timur. Seharusnya ketika itu mereka sedang menyiapkan hari Raya Lebaran. Tetapi beberapa hari sebelumnya pada tanggal 10 Oktober 2007 mereka harus berhadapan dengan penggusuran paksa yang dilakukan oleh aparat Trantib dari Pemkodya Jakarta Timur. Semua yang dijanjikan Pemprov Jakarta akan memberikan tempat tinggal di rumah susun sebagai alternatif atau uang pindah sebesar Rp 1 juta tiap keluarga yang kembali ke kampung, rupanya isapan jempol belaka. Para pemulung itu akhirnya digusur begitu saja tanpa ada rumah susun atau uang pindah ke kampung halaman.
Beberapa hari lalu saya kedatangan seorang kawan warga bernama ibu Purwanti, tinggal di kawasan tanah garapan Halim Jakarta Timur. Sepeninggal wafat suaminya, ibu Purwanti berusaha seorang diri membiaya hidup keluarganya dengan 3 anak masih sekolah dengan berjualan Mie Ayam. Anaknya yang nomor satu bernama Heri Purwanto tahun sempat putus sekolah setamat SD karena kesulitan ekonomi dan terpaksa bekerja sebagai calo angkutan umum di dekat rumahnya. Belakangan anaknya tersebut merengek-rengek minta meneruskan sekolah ke SMP karena dia sudah bosan menganggur di rumah, cerita ibunya. Atas dorongan rengekan anaknya itulah dia bersama ankanya itu sudah menjajaki sebuah sekolah swasta di dekat rumahnya. Ketika mereka bertanya tentang biaya masuknya ternyata biaya cukup mahal mencapai sekitar Rp 2 juta untuk uang masuk, uang membeli seragam dan buku-buku. Sebagai pedagang mie ayam, tentu penghasilannya tidak cukup membiayai masuk sekolah. Apalagi hari-hari ini dia sering tidak berjualan karena lokasi berjualan ditutup oleh aparat Satuan Polisi Pamong Praja.

Semua kejadian bunuh diri dan penderitaan berlatar belakang kemiskinan ini membuktikan pemerintah negara ini telah gagal total melindungi hak-hak dasar semua warga negaranya, agar mendapat pelayanan kesehatan, mendapat pendidikan, tempat tinggal yang layak dan dapat bekerja secara manusiawi semua warga negaranya agar hidup layak. Pemerintah atau Negara ini menempatkan warga Negaranya yang miskin, yang manusia itu seperti sampah saja, diperlakukan sesukanya, dibuang atau dibakar semaunya. Manusia dicipkan oleh penciptanya sebagai citra atau gambaran dari keberadaan sang PenciptaNya itu sendiri. Sang Pencipta sangat menginginkan manusia citaannya sejajar hidupnya denganNya sehingga memberikan hak-hakNya kepada manusia ciptaanNya itu. Artinya hak-hak dasar yang dimiliki dan diberikan pada manusia itu adalah juga hak-hak dasar yang melekat dalam keberadaan Sang PenciptaNya. Membunuh, menggusur, menganiaya dan membiarkan manusia dibunuh atau atau digusur adalah bukan hanya pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia tetapi juga pelanggaran terhadap hak-hak Sang Pencipta.

Indonesia sebagai salah satu Negara yang katanya beragama, beradab dan berdemokrasi sudah merativikasi Kovenan Intemasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, tahun 1966 (menjadi UU 11/2005). Pikiran sederhana warga, berharap dengan diratifikasinya Kovenan hak Ekosob akan memberikan perubahan perilaku pemerintah. Kesadaran bahwa manusia itu bukan sampah itu ternyata lebih hidup di dalam diri para korban itu sendiri ketimbang para pelaku dan pembiaran pelanggaran hak azasi manusia itu sendiri. Sebagai korban, itu awalnya dan selanjutnya mereka sadar dan bangkit menjadi pejuang hak azasi manusia itu sendiri. Secara sadar mereka menggunakan pengalaman dan diri mereka sebagai korban menjadi contoh bagi perlawanan guna penegakan hak-hak dasar sebagai manusia. Sebagai korban sekaligus pejuang, selama ini mereka berupaya menghentikan pelanggaran hak azasi manusia dengan melakukan:
· Mengorganisir diri dan sesama korban itu berjuang bersama
· Membangun jaring-jaring perjuangan lintas kepentingan untuk memperluas dampak
bagi lainnya
· Melakukan gugatan-gugatan hukum di pengadilan publik bertema penegakan hak-hak
dibidang Ekosob sebagai langkah penegakan dan pendidikan publik
· Menerbitkan dan menyebar luaskan hasil pengalaman perjuangan warga
· Melakukan pelatihan-pelatihan bersama warga tentang advokasi dan Hak Azasi manusia
bagi warga yang selama ini menjadi korban

Sebagai contoh berkaitan dengan upaya perjuangan warga akan haknya itu pernah beberapa kali melakukan gugatan publik di pengadilan. Gugatan tersebut antara lain 2 kali dilakukan Gugatan Publik Legal Standing Banjir Jakarta terhadap Presiden dan Pemda Jakarta serta 1 kali menggugat Komnas HAM dalam kasus Penggusuran Jakarta. Gugatan ini bukan bermaksud sekedar untuk menang di pengadilan melainkan sebagai langkah kampanye dan pendidikan politik tentang Hak Azasi Manusia bagi warga, pemerintah, pengusaha serta para pelaku perjuangan hak lainnya. Melalui gugatan ini warga bertambah peluang mengorganisir dirinya serta sesama, mengekspresikan kepeduliaannya terhadap hak sesama dan perjuangan dengan pendidikan publik.

Ratifikasi seharusnya berarti pemerintah akan membuat kebijakan yang menghormati dan melindungi hak-hak warganya, begitu harapan warga. Melakukan pembangunan atas dasar pemenuhan hak-hak di bidang Ekosob sebagai tolok ukurnya. Tidak lagi membangun hanya sekedar memake-up sebuah kota atau wilayah untuk kepentingan tanpa tujuan atau suka-suka saja, tidak semata kemauan aparat pemerintah dan kepentingan dagang pemodal. Perubahan itu juga diharapkan disertai upaya atau langkag-langkah nyata membangun sebuah sistem pemerintahan yang menghormati dan melindungi hak-hak dasar di bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Langkah tersebut misalnya:
· membangun rincian atau tolok ukur pencapaian perlindungan bagi hak Ekosob agar
memilik visi kemanusian dalam pembangunan
· sosialisasi hak-hak ekosob dan tolok ukur pencapaiannya
· mengevaluasi dan mengaudit sistem dan peraturan yang sudah ada berdasarkan indikator
pencapaiannya hak-hak Ekosob.

Setidaknya juga, apabila Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Hak Ekosob ini sudah tergambar dalam pelaksanaan keseharian pemerintahannya. Hal yang paling nyata untuk itu adalah bertambahnya atau meningkatnya kesadaran warga terutama aparat pemerintah yang mengetahui dan menyadari tentang perlindungan hak-hak dasar di bidang Ekosob jug. Warga berharap dan membayangkan tidak ada lagi penggusuran, kesulitan bekerja, sekolah berobat atau kelaparan dan pendek kata berkurangnya tindakan-tindakan menghina serta melanggar hak-hak Ekosob di negeri Pancasila ini.

Banyak kritik yang disampaikan warga dan berbagai kalangan lain terhadap perilaku aparat pemerintah yang main gusur, memanipulasi peraturan pelayanan publik serta memperdagangkan perizinan bagi warga ini menunjukkan bahwa belum adanya kemauan dan rendahnya pemahaman mereka terhadap perlindungan hak-hak Ekosob. Pemerintah bisa saja berkampanye bahwa ratifikasi ini adalah sebuah prestasi tetapi warga tidak bisa dibohongi begitu saja. Kenyataan dalam praktik sehari-hari justru di bidang hak ekonomi, sosial, dan budaya hingga kini berkata bahwa belum ada perubahan maju. Fakta menyatakan perubahan yang diharapkan ternyata masih jauh dipenuhinya hak-hak warga di bidang ini. Hal ini dapat dilihat dengan masih berlangsungnya penggusuran, banyak warga meninggal dunia karena kelaparan atau tidak mampu berobat ke rumah sakit dan banyak anak dan ibu mati karena miskin serta anak-anak tidak sekolah karena kemiskinan orang tuanya. Semua pengalaman memalukan sebagai bangsa karena pemerintahnya tidak mau memenuhi hak warga negaranya. Situasi gagal ini juga menunjukkan bahwa perjuangan warga selama ini masih belum kuat dan belum menggerakkan banyak pihak lainnya untuk memperjuangkan hak hidup sejahtera dengan dipenuhinya hak-hak di bidang Ekosob.

Berangkat dari pengalaman memalukan di atas, kami mengajak seluruh warga, parat pemerintah dan khususnya Komnas HAM untuk melakukan tugas penegakan Hak Asasi warga negara sesuai amanat konstitusi dan perundang-undangan. Komnas HAM di mata warga atau public sebenarnya sudah sangat dikenal sebagai lembaga yang bias dijadikan teman perjuangan hak-hak azasi. Pengenalan public ini adalah modal besar bagi Komnas karena diterima dan akan didukung apabila bekerja sesuai mandate eksistensinya. Secara khusus kami berharap agar Komnas HAM ke depan jauh lebih baik dari yang sebelumnya. Tidak lagi mendiamkan apalagi mendukung terjadi penggusuran atau penindasan terhadap hak-hak Ekosob warga seperti yang dilakukan beberapa anggota Komnas HAM periode sebelumnya. Mendiamkan adalah juga pelanggaran, sehingga kami berharap ada perubahan perilaku anggota Komnas HAM sekarang menjadi lebih berani, berpihak, sensitive, cerdas dan kreatif dalam memperjuangkan penegakan dan melindungi hak warga. Jangan sampai lagi Komnas HAM digugat seperti kami menggugatnya ketika maraknya penggusuran di Jakarta tetapi Komnas HAM diam saja, seakan kalah sebelum berperang.

Jakarta, 1 Juli 2008
Tulisan ini disampaikan untuk Lokakarya Hak Azasi Manusia yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Azasi Manusia pada 8-11 Juli 2008 di Jakarta dengan tema “10 Tahun Reformasi: Quo Vadis Pemajuan dan Penegakan HAM di Indonesia.
Penulis adalah Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) dan seorang Advokat Publik bagi Warga Miskin di Jakarta, tinggal di Jakarta. Email: azastigor@yahoo.com , http://www.azastigornainggolan.blogspot.com, Kontak:0815 9977041


Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) adalah sebuah Forum Warga Kota Jakarta yang memiliki keprihatinan dan aktivitas advokasi pada persoalan-persoalan kota Jakarta, khususnya masalah yang dihadapi kaum miskin kota Jakarta. Saat ini FAKTA sedang membangun dan mendampingi berbagai kelompok masyarakat miskin di Jakarta dan mengembangkan kegiatan Radio Komunitas Warga yang bernama Radio Suara Warga Jakarta
Sekretariat: Jalan Pancawarga IV No:44, RT:003 RW:07, Cipinang Muara, Jakarta Timur 13420,
Telp:021-8569008